"Iya, aku tau. Udah, kamu nggak usah khawatirin aku, Den. Insya Allah aku udah siap kok dengan segala resikonya. Doakan aja aku cepet dapet kerja ya?" "Iya pasti lah aku doakan. Mana mungkin enggak sih. Oh ya ngomong-ngomong, jadi gimana Al ceritanya? Kamu kan baru nikah sama suami kamu, siapa tuh namanya?""Genta," sahut Alea."Iya. Genta itu, baru sekitar satu bulan kan? Kok bisa sih langsung mutusin buat cerai gitu? Apa nggak bisa dibicarakan secara baik-baik masalahnya?""Gimana ya, Den. Mungkin untuk kesalahan lain aku masih bisa maafkan. Tapi ini udah sangat fatal." Alea menghentikan kalimatnya. Sesak di dadanya rasanya kembali lagi."Apa memangnya? Dia selingkuh ya?" tebak Dena. "Bukan seperti itu sih tepatnya," sanggah Alea. "Trus apa dong?" desak Dena penasaran."Dia ternyata udah sempat pacaran sama murid kami sebelum memutuskan untuk menikahiku, Den." Alea sejujurnya tak pernah ingin mengungkit cerita itu lagi. Tapi demi sahabatnya yang penasaran, dia pun akhirnya mau ber
Usai menutup rapat koper besarnya, pemuda itu berjalan pelan ke arah jendela kamarnya. Seperti biasa, dia selalu suka memandangi kelap kelip lampu jalanan kota dari dalam kamarnya di lantai dua rumah peninggalan kedua orangtuanya itu. Beberapa detik kemudian, dia memutuskan untuk bergeser menuju balkon. Dibukanya pintu saat dirasakannya udara di dalam kamarnya tiba-tiba terasa sangat pengap, padahal AC di kamar berukuran besar itu hampir tak pernah mati saat dia sedang ada di rumah. Bertahun-tahun tinggal bersama adik perempuan satu-satunya dan para pembantu di rumah itu sejak kedua orangtua mereka meninggal karena kecelakaan sepertinya tak pernah membuatnya setidaknyaman sekarang. Meski tak ada lagi orangtua yang menemaninya dan adiknya, Aaron tak pernah merasa tidak menyukai rumah itu seperti saat ini, sejak lelaki bernama Genta itu ikut tinggal bersama mereka. Baru beberapa menit mencoba mengusir rasa gundah di hatinya, tiba-tiba Olivia muncul mengagetkanya dari arah pintu. Denga
Rendy, lelaki yang beberapa tahun lagi menginjak kepala empat itu sedikit kaget saat salah satu resepsionis di kantor memberitahukan kedatangan Aaron siang itu. Tawa khas yang hangat dan pelukannya segera menyambut Aaron yang masuk dengan celana blue jeans dipadu dengan kaos polo warna putih dan sneaker biru tuanya. Rendy mengakui, dengan gaya pakaian apapun, keponakannya itu memang selalu terlihat setampan almarhum kakaknya. Ketampanan natural yang dulu saat remaja selalu membuatnya iri karena sepertinya teman-teman sepermainan mereka selalu terkesan lebih menyukai kakak satu-satunya itu dibanding dirinya. Rendy bukannya tidak tampan. Darah Sunda dan Jerman orangtua mereka membuat perawakan dan wajah keduanya cenderung lebih di atas rata-rata teman sepermainannya waktu itu. Namun rupanya Reynold, kakaknya, memiliki fisik yang jauh lebih menarik dibanding dirinya. "Ada apa? Bukannya harusnya kamu masih menikmati peran baru sebagai kakak ipar di Solo? Kenapa malah sudah ada di sini
Hari menjelang maghrib saat Alea tiba kembali di kost Dena dengan ojek online. Kelelahan tampak jelas di wajahnya kala sahabatnya itu menyapa di balik pintu kamarnya."Hai Sayang, udah pulang? Gimana, gimana hari ini?" Dena rupanya tak begitu sadar dengan wajah kuyu sahabatnya. Gadis yang sudah mengenakan piyama tidur warna silver dan toples cemilan super besarnya itu malah memberondongnya dengan pertanyaan. "Ditolak semua, Den. Hari ini aku udah ke dua tempat dan semuanya zonk," jawab Alea lemas sembari mendudukkan diri di karpet lantai kamar Dena yang super tebal dan empuk. Rasa nyaman berada di karpet mahal itu pun tak bisa dirasakannya lagi saat mengingat perjuangannya beberapa hari ini berkeliling ibukota untuk mengadu nasib mencari pekerjaan. Dena langsung meletakkan toples cemilannya. Raut mukanya ikut langsung prihatin dengan kesedihan sang sahabat. "Yang mana yang ditolak? Kemarin kamu dapet panggilan di sekolah favorit itu kan?" tanyanya dengan nada tak percaya. Seingatny
"Kenapa sih, Mas? Aku perhatikan dari tadi kok gelisah gitu?" Olivia menghentikan makannya. Dengan sedikit kesal ditaruhnya sendok dan garpu di atas piring yang masih penuh dengan makanan di depannya. Genta yang tak menyangka bahwa gerak geriknya diperhatikan oleh istrinya mendadak gugup. Lelaki itu pun kemudian melakukan hal yang sama, menghentikan kegiatan sarapannya padahal nasi di piringnya masih belum sesendok pun berkurang. Sudah hampir dua minggu dirinya resmi menyandang status sebagai suami dari Olivia Alexandra Winata dan selama itu pula hampir tak pernah dia keluar dari rumah besar nan megah itu. Olivia masih belum mengijinkannya pergi, apalagi jika itu sendirian. Sepertinya jika tak salah hitung, baru dua kali lelaki itu keluar dari rumah. Itupun hanya untuk mengantarkan istri cantiknya pergi bertemu dengan teman-temannya. "Hari ini aku minta ijin keluar ya?" ucapnya lirih usai terdiam beberapa saat di bawah tatap mata curiga sang istri. Mata lelaki itu pun mulai menatap
"Jadi ini yang namanya Alea?" Lelaki dengan postur tak terlalu tinggi itu mengusap dahinya dengan punggung tangan kanannya usai menyalami Alea. Beberapa saat yang lalu dirinya menerima kedatangan Dena di ruangannya, membawa seorang wanita yang menurutnya memiliki wajah lembut dan sangat manis itu. Rama mulai memindainya dari atas sampai bawah, membuat Alea sedikit risih dibuatnya. "Mas Rama!" Rama tampak gelagapan saat tangan Dena mencubit lengannya dengan keras. "Eh iya iya, maaf. Aku kok kayak nggak asing ya sama wajah temanmu ini, Den. Makanya tadi aku perhatikan lagi. Jangan-jangan aku kenal," kilahnya demi membuat cemberut di wajah kekasihnya itu hilang. Dena bukannya tak tahu kalau lelaki yang sedang dipacarinya itu adalah seorang playboy dan mata keranjang. Namun apa mau dikata, Rama bisa memanjakannya dengan uang gaji dan fasilitas yang dimilikinya. Hal itulah yang membuat Dena tak peduli dengan apapun kelakuan lelaki itu di luaran sana. "Jadi gimana, Alea bisa langsung
"Supermarket? Nggak salah, Om?" Mata pemuda itu sampai menyipit menatap pamannya. Pengembangan bisnis memang sempat diutarakan oleh pamannya itu padanya beberapa waktu yang lalu. Tapi rasanya mengherankan jika bisnis bidang property ayahnya akan merambah ke pertokoan seperti yang dikemukaan oleh lelaki itu barusan. Rendy baru saja kembali ke kantor dan langsung mengajak Aaron pulang ke rumahnya. Usai memerintahkan beberapa pembantunya untuk menghidangkan makanan spesial untuk keponakannya, lelaki yang sudah mengganti setelan jasnya dengan pakaian casual itu mulai berbicara dengan hati-hati tentang rencananya untuk menanamkan modal ke sebuah bisnis supermarket yang baru saja dikunjungi siang harinya. "Sebenarnya ini bukan keinginan Om, Ron. Dulu, semasa hidup, mamamu pernah punya keinginan untuk memiliki bisnis supermarket. Hal itu pernah diutarakan pada papamu dan aku. Sayangnya, sebelum sempat merealisasikan keinginan mamamu, mereka sudah pergi duluan." Tentu saja Rendy berkata boh
Bu Dharma menyambut kedatangan suaminya malam itu dengan secangkir teh hangat seperti biasa. "Apa anak itu pulang?" tanya pak Dharma usai istrinya meletakkan minumannya di atas meja. Sementara dirinya mulai melepas jaket dan sepatu yang rasanya sudah sangat lengket di badan lelaki itu tua. "Iya, Pak. Tadi siang dia datang. Katanya habis ketemu sama teman yang menawarkan pekerjaan untuknya.""Syukurlah, kalau akhirnya dia bekerja lagi. Apa jam segini mereka sudah tidur?" Pak Dharma melirik arloji di tangannya sekilas. Sebenarnya dia tak begitu yakin bahwa anak lelaki bungsunya itu pulang ke rumah bersama istrinya. Tapi rasa penasaran memaksanya untuk tetap bertanya."Mereka siapa?" Bu Dharma pura-pura tak paham dengan pertanyaan suaminya. Wanita paruh baya itu pun kemudian menyibukkan diri dengan majalah lama yang dia ambil dari laci bawah meja. "Jangan bilang dia pulang ke sini sendirian tanpa istrinya, Bu," ujar pak Dharma dengan nada tak suka. Lalu terlihat bu Dharma menatap suam