Share

Bab 41

Penulis: Puspita
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-30 14:34:38

"Permisi, Pak." Setelah jarak yang cukup dekat, aku menyapa lelaki yang katanya ingin bertemu denganku itu.

Lelaki yang duduk memunggungiku itu menoleh. Benar dugaanku, dia adalah Mas Tama. Sebuah senyuman menghiasi bibirnya. Binar kebahagiaan itu terlihat jelas di manik hitamnya.

"Nin, apa kabar?"

Mantan suamiku itu bangkit kemudian mengulurkan tangannya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandang tangan yang dulu selalu menggenggam tanganku itu. Ada perasaan getir yang tiba-tiba menyergap. Tangan itu dulu pernah jadi tempatku bersandar, tangan yang menenangkan di kala aku gelisah, tapi juga tangan yang melepasku tanpa ragu saat memilih orang lain. Aku sama sekali tidak berniat untuk menyambutnya.

Untuk menghargainya aku menangkupkan kedua tangan di dada, sebagai ganti jabat tangan.

Mas Tama tersenyum kecut, perlahan dia menurunkan tangannya. Sepertinya dia sangat kecewa. Terserah, karena perasaannya itu tak ada hubungannya denganku.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak? Kata salah satu kary
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 49

    "Kami bawa motor, Nak Arya," sahut bapak. Aku bersyukur bapak menolak tawarannya. "Nin, adikmu sudah kamu kabari?" Bapak beralih padaku."Udah, Pak, tapi dia nggak bisa datang. Kerjaannya belum selesai." Bapak terlihat sedih mendengarnya. Mungkin, bapak memikirkanku."Lah, terus kamu bagaimana?" Bapak kembali bertanya. Nampak jelas kekhawatiran di wajahnya."Iya, bagaimana ini?" Ibu ikut panik. "Coba kamu telpon Adikmu sekali lagi," imbuhnya."Aku udah pesan ojol, Bu, Pak. Tenang saja. Sebentar lagi ojolnya sampai kok." Bukannya senang mendengar ucapanku. Bapak malah terlihat khawatir."Ini udah malam, Nin. Bapak nggak tega kamu sama ojol." Tuh, kan benar. "Gini aja, Pak. Biar sama-sama enak. Saya antar pulang saja. Biar motornya tinggal di sini. Besok akan saya antar." Lagi-lagi Pak Arya menawarkan diri."Iya, Pak, Bu. Bagusnya diantar sama Arya aja. Sekalin semuanya." Ibunya Mas Arya ikut menimpali."Bapak sama Ibu diantar Mas Arya. Aku yang akan naik motor. Sepertinya itu jalan te

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 48

    "Nak Anin, sini duduk dekat dengan ibu."Ibunya Mas Arya menepuk kursi kosong di sebelahnya. Suaranya lembut, penuh kehangatan khas seorang ibu yang sudah terbiasa menenangkan anak-anaknya. Sebenarnya aku ingin menolaknya. Ada rasa enggan yang tiba-tiba muncul. Duduk di dekat calon mertua—ah, bahkan memikirkannya saja membuat wajahku panas. Namun, sopan santun masih mengekangku. Dalam budaya kami, apalagi di hadapan orang tua, menolak ajakan semacam itu bisa dianggap kurang ajar. Maka, dengan hati yang sedikit berdebar, aku melangkah dan duduk di sana."Masyaallah, dilihat dari dekat ternyata tambah cantik," pujinya.Aku refleks tersenyum tipis, tapi dalam hati aku merasa kikuk. Pujian bukanlah sesuatu yang nyaman bagiku. Sudah sejak lama aku lebih suka dianggap biasa saja, tidak perlu dilebih-lebihkan. Kata-kata semacam itu justru membuatku ingin bersembunyi di balik tirai."Bu, Anin tak suka terlalu dipuji," sahut Mas Arya.Untuk sesaat aku

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 47

    "Kalau ibu sih iyes."Deg. Mengapa suara yang sangat familiar itu terdengar di sini? Tubuhku seketika menegang. Rasanya seperti ada petir menyambar tepat di atas kepala. Suara itu—aku tidak mungkin salah mengenalinya. Itu suara ibu. Suara yang selalu menenangkan, tapi kali ini justru membuat seluruh syarafku panik."Bapak juga."Kali ini tak hanya jantungku yang berdetak kencang. Mataku pun spontan melebar. Itu suara bapakku. Suara berat dengan aksen khas Jawa yang selalu kurindukan. Bagaimana bisa? Mengapa bapak dan ibu ada di sini? Aku tidak pernah diberitahu apa-apa. Napasku tercekat, seakan ada gumpalan udara yang menghalangi kerongkongan. Namun aku masih bergeming, sama sekali tak ingin menoleh. Bagian dari diriku takut jika benar-benar melihat mereka di hadapan."Kami juga."Kali ini suaranya terdengar serentak. Beberapa orang lain rupanya ikut bersuara. Telingaku semakin kebanjiran tanda tanya.Tak sabar dengan rasa penasa

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 46

    "Dek Anin, maaf jika ucapanku ini akan membuatmu terkejut, dan kemungkinan terburuknya adalah kamu akan membenciku. Namun, aku sudah mempersiapkan diri jika opsi kedua yang terjadi."Ucapan Pak Arya semakin tak kumengerti. Kata-katanya meluncur pelan, penuh tekanan, seperti seseorang yang sudah lama menyimpan rahasia besar. Suasana pesta yang tadi riuh oleh musik dangdut campursari, dentuman sound system, dan celoteh tamu undangan mendadak terdengar samar-samar di telingaku. Semua suara itu bagai tenggelam ditelan ketegangan antara aku dan dia.Aku tak tahu saat ini dia sedang menatapku apa tidak. Sumpah! Aku tidak punya keberanian untuk memastikannya. Jantungku berdebar terlalu kencang, bahkan rasanya lebih keras dari suara kendang di panggung. Aku hanya menunduk, memainkan jemari sendiri di pangkuan, berusaha mencari ketenangan. Namun, semua tak boleh berlarut-larut, dia harus menjelaskan. Ada apa dibalik sikapnya yang absurd itu?"Sebenarnya Bapak, eh Mas Arya mau bicara apa?" Tak

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 45

    "Boleh duduk di sini?" ucapannya membuatku tertarik dari bayang masa lalu.Aku terperanjat. Barusan pikiranku masih melayang, menatap panggung pelaminan dengan hiasan bunga warna-warni. Musik gamelan yang ditabuh terdengar samar karena pikiranku sibuk mengulang kenangan. Dan tiba-tiba saja, suara itu menyentakku, nyata, lembut, tapi cukup membuat napasku terhenti sepersekian detik."Silakan, Pak." Duh, kenapa juga suaraku terdengar sedikit serak. Ah, memalukan! Ini. Aku menunduk, berharap ekspresiku tidak begitu jelas.Tiba-tiba saja aku merasakan canggung. Apalagi setelah dia duduk tepat di depanku. Senyum manisnya seolah menghipnotis, sehingga membuatku sedikit salah tingkah. Saat seperti ini aku mengutuk Bariq. Ke mana dia? Kenapa adikku itu begitu tega meninggalkanku sendirian di tengah pesta?"Sendirian?" tanyanya singkat. Lagi-lagi aku gelagapan. Duh, Anin! Ayolah, kenapa kamu jadi salting gitu? Dalam hati aku menggerutu sendiri. Merutuki diri."Sama Bariq, Pak." Aku berusaha te

  • MANTAN SUAMI MATI GAYA    Bab 44

    "Buk, Pak. Kami pergi dulu ya." Lebih baik aku segera pergi dari pada urusannya tidak selesai-selesai. Ibuku itu kalau belum puas dengan hatinya, beliau akan terus berbicara.Ibu menghela napas setelah aku selesai bicara. Ibu menatap sendu padaku. "Iya, jangan malam-malam, Riq. Jagain Mbakmu."Nah kan. Ibuku itu memang ajaib. Lihatnya ke aku, tapi bicaranya ke adikku. Ah, pokoknya di di dunia ini tidak ada seorang ibu, seperti ibu."Napa senyam-senyum? Ada yang lucu?" Dengan nada sedikit sewot ibu menegurku yang secara tidak sadar sudah tersenyum. Semoga saja ibu tidak mengerti jika aku tersenyum karenanya."Ibu apa-apaan sih? Memang aku anak kecil," protesku. Sengaja bibir ini kumonyong-monyongkan biar dikira aku sedang merajuk."Kalau bukan Bariq yang jagain kamu, lalu siapa lagi? Udah sana berangkat. Nanti telat loh.""Telat yo nggak pa-pa to, Bu. Wong kita ini mau ke acara mantenan, bukan mau rapat."Aku menjerit kecil ketika ibu mencubit pipiku ketika salim. "Biasakan datang tepa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status