"Kalau kamu menang, aku yang nyetir hari ini," kata dia. "Deal," jawabku, buru-buru mengusir bayanganku buat main sama dia di atas meja dapur sambil makan blueberry sama stroberi dari tubuh dia. "Oke deh, yang terakhir ya." Dia masukkan pancake rasa anggur ke mulutnya, mengunyahnya sekali, terus langsung jalan ke wastafel buat meludah. "Enggak bisa nih. Semua biji-biji kecilnya pahit banget di mulut aku." Aku senyum, terus menghabiskan pancakeku yang lain. "Jadi, bisa dibilang aku yang menang dong?" Dia balik badan, ambil tisu dari rak dan bersihkan mulutnya. "Aku dari dulu suka stroberi ya?" tanyanya, terlihat kecewa. Aku bikin dia tenang sedikit, aku geleng kepala dulu. "Terus dulu favorit aku apa?" Aku tunjuk pisang, dan dia tersenyum. Tapi senyumnya cerah banget, seperti dia bakal kecewa kalau ternyata masih suka buah yang sama, strawberry. Aku tahu, apa yang dibilang Derrin ke dia waktu di pesta itu keterlaluan. Sekarang Khalisa merasa bersalah, selalu punya p
Seminggu setelah tinggal di Villa ....Aku bangun di kamar tamu dan bukannya langsung turun, aku malah duduk dulu di pinggir kasur sambil memandangi jendela depan.Ada suara di bawah, sepertinya Khalisa lagi bikin sarapan. Beberapa hari terakhir, dia lagi coba makanan-makanan baru. Gara-gara dia suka banget sama Sufle buatan Jalapeno di penginapan waktu itu.Dia bilang kalau hari ini lagi buat varian barunya. Aku tertawa sendiri. Khalisa yang dulu enggak pernah mau mencoba apa pun yang dia belum yakin bakal suka.Sebenarnya, aku sudah merasakan dari awal pas setuju buat bantu dia, batas di antara kita pasti akan pudar. Tapi aku bukannya ingin Khalisa yang dulu kembali, aku malah makin suka sama Khalisa yang sekarang.Aku pakai kaus dan turun ke bawah buat sarapan. Aku sudah ada janji hari ini sama kepala sekolah tempat dulu Khalisa bekerja, buat ajak dia lihat kelas lamanya dan bertemu sama anak-anak.Pak Wimbbie bilang semua mur
Lalu kami berdua tertawa terbahak-bahak. Aku duduk di atas sofa, “Khalisa, sini duduk, aku pangku.” Khalisa melangkah sambil tersenyum malu, lalu duduk di pangkuanku dengan posisi menghadap belakang. Aku dapat merasakan pinggul dan pahanya yang hanya dibalut legging tipis. Dan aku menduga ia juga bisa merasakan tonjolan Juniorku di pantatnya, tapi ia enggak bilang apa-apa. “Oh iya, Alzian. Kamu jangan macem-macem ya. Kita masih pacaran, jadi kamu jangan ngelakuin hal yang lebih ya,” ucap Khalisa. “Iya, aku ngerti kok. Aku nggak akan ngelakuin yang nggak kamu minta,” balasku. Aku melingkarkan tanganku di pinggang Khalisa, lalu mulai meraba perutnya yang rata dari luar kaos. “Perut kamu six pack, ya?” tanyaku, bercanda. Ia hanya tertawa. Lalu rabaan kedua tanganku naik ke atas, ke arah dua tonjolan di dadanya, namun sebelum menyentuh bagian itu, segera kubelokkan ke arah ketiak.
Esok paginya, untuk memastikan kalau hubunganku dengan Khalisa baik-baik saja, aku memberanikan diri mampir ke rumah Khalisa, dengan alasan ingin mengembalikan buku yang pernah kupinjam. Aku mengetuk pintu rumahnya, lalu tak lama kemudian ia pun membuka pintu. Selama beberapa detik, kami bertatapan tanpa suara. Wajah manisnya tampak begitu alami karena ia enggak mengenakan make up. Ia memakai kaos putih polos dan celana legging warna hitam. Sepertinya ia sedang bermalas-malasan di kamar. “Eh, Alzian? Kok nggak bilang mau kesini?” tanyanya sambil tersenyum. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat. “Iya, aku kebetulan lewat sini dan ingat mau ngembaliin buku,” ucapku canggung. “Oh iya, yuk masuk dulu. Sori agak berantakan,” ucapnya sambil mempersilakan aku masuk ke dalam ruang tamu. Aku mengeluarkan buku dari dalam tas dan masuk ke dalam rumahnya. Meskipun ia bilang berantakan, tapi bagiku rumahnya tampak rapi.
୨ৎ A L Z I A Nજ⁀➴ Sepuluh tahun yang lalu .... Khalisa lah satu-satunya cewek yang kupacari sejak lama, ia adalah teman sekelasku. Orangnya ramah, sangat enerjik, dan bisa dibilang tomboy. Ya, dia adalah salah satu di antara empat orang teman dekatku di sekolah, yang lain adalah Luno, si anak paling kaya di Bangora, Tedy si paling menyebalkan, dan Daniar, teman akrab Khalisa yang ke mana-mana selalu bersama. Malam ini, kami berempat janjian bertemu di Twice Caffe untuk merayakan selesainya masa ujian semester dan tibanya masa liburan. Aku datang ke kafe bersama dengan Luno, menumpang di mobilnya. Tiba di kafe, Tedy sudah memesan tempat. Ia duduk di salah satu sofa di pojok ruangan yang memang sudah disetting untuk empat orang. Mata Tedy tak henti menatap monitor laptop di hadapannya, sehingga ia tak sadar kalau kami sudah ada di belakangnya. “Hey!” Luno menepuk pundak Tedy, membuat pria cungkring itu terhenyak kaget.
Saat aku enggak lagi mendengar suara apa pun dari kamar atas, aku buka lemari itu pelan-pelan. Aku tarik napas lega waktu melihat tumpukan kotak. Aku ambil satu dan buru-buru menutup pintu kamar lalu menguncinya.Aku buka kotak pertama, isinya beberapa bingkai foto. Ada foto kita berdua waktu masih muda. Satu lagi waktu kita dinobatkan jadi pangeran dan ratu sekolah, waktu karnaval tujuh belasan. Ada juga medali sama piala-piala punyanya Alzian. Terus ada potongan artikel koran tentang betapa hebatnya si Alzian Sunya main bola, dan bagaimana kampus-kampus besar berebut ingin merekrut dia. Karena kakaknya, Alvaro, sudah lebih dulu bikin gebrakan di kampusnya.Banyak banget foto-foto keluarga Alzian, ada juga foto dia bareng Mamanya waktu masih kecil. Terus aku baru sadar, foto-foto ini bukan dari rumah kita. Ini foto dari kamar rumahnya dia.Aku ingat waktu itu, setelah karnaval berakhir terus aku bawakan foto-foto kami ke dia. Hapsari sama Sahar lagi pergi. Tentu saja kita boleh ada d