Kedua kakiku sudah teramat sangat pegal menunggu Bang Zul lewat di depan rumahku. Begitu juga dengan Leherku karena celingukan dari tadi mengawasi ujung jalan untuk melihat Bang Zul lewat tetapi yang ditunggu tak kunjung juga muncul batang hidungnya. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu ganteng sekarang, sama seperti dulu waktu pertama kali aku mengenalnya. Hatiku pun kembali berdesir saat menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuh atletis miliknya saat kami berdekatan di pesta pernikahan Ririn tadi. Mataku terpaku pada garis wajahnya yang sangat tampan sekarang, begitu bersih dan meneduhkan. Ah, menyesal aku dulu meminta cerai darinya. Apalagi sekarang dia sudah terlihat sangat mapan. Dulu aku menggugat cerai darinya karena dia sudah tak punya apa – apa. Apa yang bisa ku harapkan dari seorang tukang ojek yang menyambi kerja sebagai kuli bangunan. Penghasilannya dulu bahkan tak cukup untuk membiayai skincare dan beraneka ragam produk kecantikanku. Bapak dan Emak ku pun mendukung keputusanku untuk menggugat cerai Bang Zul saat itu. Penyebabnya sudah pasti karena Bang Zul tak lagi memiliki penghasilan yang memadai yang bisa aku gunakan untuk memberi Emak dan Bapak setiap bulannya. Sebelumnya, Saat bang Zul sedang berjaya usaha peternakan ayam potongnya, aku begitu leluasa memberi Bapak dan Emak uang setiap bulannya. Sekaligus menjadi penopang ekonomi kedua kakak ku yang sudah menikah dan masih tinggal bersama Bapak dan Emak. Namun sejak usaha Bang Zul bangkrut, aku tak bisa lagi memberi uang kepada Bapak dan Emak setiap bulannya, apalagi kepada kakak – kakakku.
Siang hari itu semua berubah. Keadaan menjadi tak berpihak kepada Bang Zul. Kondisi flu burung yang menyerang semua ayam – ayamnya berimbas pada kondisi keuangan kami yang akhirnya berubah total menjadi serba kekurangan.
“Dek, usaha abang sedang dalam kondisi tak bagus, Abang butuh tambahan modal untuk memulai kembali usaha Abang. Apa adek punya tabungan yang bisa Abang pakai untuk modal Abang dulu. Nanti uangnya Abang ganti kalo usaha abang sudah berhasil lagi.” Bang Zul bertanya dengan sangat hati – hati padaku.
“ Ya, Gak ada lah, Bang. Uang yang abang kasih setiap bulan kan selalu habis.” Aku menjawab dengan emosi. Aku merasa terpojok dengan pertanyaannya. Apa dia sengaja bertanya seperti itu karena ingin mencari cela yang ada padaku.
“Habis, Dek. Abangkan selalu ngasih adek nafkah lebih dari tiga puluh juta sebulan.” Tanyanya heran.
“Adek kan ngasih emak dan Bapak sepuluh juta, Bang Alim lima juta dan Bang Sahid lima Juta. Abang fikir uang segitu banyak. Kalau Aini mau, Aini bisa menikah dengan lelaki yang sanggup memberi nafkah lebih dari itu. Baru ngasih uang segitu aja udah itung – itungan. Abang tahu kan, Kalo berbakti pada Emak dan Bapak itu kewajibanku yang bearti kewajiban Abang juga. Abang cari lah duit lain. Masa uang yang dikasih mau diambil Kembali. Dimana maruah abang sebagai suami.” Sengitku.
Bang Zul terdiam dan menarik nafas berat. Lalu dia berlalu dan melamun menghabiskan separuh malam duduk di teras menghabiskan berbatang – batang rokok dan bercangkir – cangkir kopi.
Aku segera menelpon Emak demi mengadukan mereka tentang kondisi keuangan Bang Zul. Aku berharap Emak ada sedikit simpanan yang bisa digunakan untuk modal Bang Zul. Selama ini Emak dan Bapak aku beri setengah dari uang yang diberikan oleh Bang Zul kepadaku. Rasanya Emak mungkin ada simpanan sedikit yang bisa aku gunakan.
“Assalamualaikum, Mak”
“Waalaikumsalam, Ada apa Nur? Emak lagi di Palembang ini sama teman – teman arisan Emak. Kami lagi sibuk belanja di Mall ini. Emak belikan kamu baju daster, Eh, Jangan lupa kirimin uang Emak nanti yah kalau kamu sudah dikasih si Zul. Uang Emak sudah habis buat traktir makan teman – teman Emak.” Cerocos Emak tanpa henti.
Aku menghembuskan nafas kesal. Dari nada bicaranya sudah pasti Emak tak punya simpanan uang yang bisa aku pakai. Semenjak aku menikah dengan Bang Zul, Emak mulai berubah menjadi sosialita dadakan. Jalan – jalan kesana kemari dengan teman – teman arisannya. Tak jarang membeli barang – barang yang tidak begitu berfaedah dengan harga fantastis.
“Mak, Bang Zul bangkrut, Usaha ayam potong Bang Zul rugi besar. Kami butuh modal untuk membangun bisnis ayam potong lagi. Bulan ini, Nur gak bisa kasih Emak dan Abang. Nur saja belum tentu di kasih nafkah atau gak oleh Bang Zul bulan ini.” Jelasku lesu.
“ Apaaaaaa!!!!!!! Kamu gak becanda kan Nur. Gimana Emak dan Bapak makan bulan ini. Haduh,, Mana Emak baru habis ambil kreditan tas sama Bu Mila. Mau bayar pakai apa? Suami kamu gimana sih, kok bisa bangkrut. Menantu bawa sial. Bikin ibu malu saja bisanya. Pokoknya Emak gak mau tau. Emak mau dia kasih uang ke Emak seperti bulan lalu, Ingat Nur, Darah dan air susu emak yang Emak beri ke kamu itu tak kan terbayar dengan apapun. Sudah waktunya kamu menyenangkan Emak dan Bapak!’ Umpat Emak kesal lalu menutup panggilan secara sepihak dengan omelan yang masih terdengar.
Tak lama dari sana Bang Alim menelpon.
“Nur, Bener yang dibilang Emak kalo si Zul Bangkrut. Itu serius atau bercanda sih Nur. Kami masih dapat kiriman bulan ini kan Nur. Ayolah, Gimana kami bisa makan kalau Zul gak kasih kami duit. Atau begini saja, kamu jual aja itu kebun dan tanah si Zul untuk biaya kita bulan ini. Bulan depan baru abang cari kerjaan. Tolong lah Nur, Kasian ponakan – ponakan mu kalau mereka harus kelaparan.” Cecar Bang Alim. Aku mendengus sebal. Mereka sama sekali tak berempati atas apa yang terjadi pada suamiku. Giliran suamiku butuh bantuan dana. Mereka malah sibuk memikirkan diri sendiri tanpa ada niat membantu.
“Bulan ini gak ada lagi kiriman. Makanya abang kerja dong. Jangan terus – terusan minta Bang Zul menanggung hidup abang sekeluarga. Boro – boro mau bantu. Mau makan atau gak abang dan anak – anak abang terserah.” Kututup telpon dengan kesal.
Tak lama kemudian Bang Sahid Kembali menelponku. Namun kuabaikan karena aku tahu pasti dia akan berbicara dengan topik yang sama dengan Bang Alim. Berkali – kali Bang Sahid menelpon, namun tetap ku abaikan. Akhirnya gawaiku ku non aktifkan karena kesal dengan saudara – saudaraku.
Semua gara -gara Bang Zul. Kami sekeluarga ikutan sengsara gara - gara ketidak becusan dia mengelola bisnisnya. Setitik kebencian mulai muncul di hatiku saat itu.
Sejak saat itu, Bang Zul tak lagi mengurusi perternakan ayam potongnya karena semua ayam sudah mati. Untuk memenuhi tanggung jawabnya memberiku nafkah, dia memutuskan untuk mengojek dan bekerja serabutan. Kadang dia ikut kerja bangunan, kadang jadi kuli panggul di pasar dan di toko – toko kelontong. Yang pasti dia selalu membawa uang saat pulang ke rumah untuk menafkahiku memenuhi kewajibannya. Tapi tetap saja jumlah uang yang dia berikan sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga kami dan untuk membeli skin careku. Belum lagi Emak yang terus meminta uang kepadaku untuk membayar kreditan – kreditannya.
“Bisa gak sih Abang cari kerjaan lain. Masa tiap hari bawa uang gak pernah lebih dari seratus ribu. Mana Cukup untuk beli Skin Care Nur. Mana Cream Malam dan Siang Nur sudah pada habis. Bisa kusam wajah Nur Nanti." Aku mencecarnya saat dia baru pulang dari menjadi kuli Panggul di pasar.
“ Nur yang sabar ya Dek, Ini juga Abang lagi cari usaha lain. Cuma abang terkendala modal, Dek.” Dia menjawab dengan lembut.
Aku semakin kesal mendengar jawabannya. Dia ingin memojokkan ku dengan jawabannya.
“ Maksud Abang apa? Abang masih menyesalkan Nur yang gak bisa simpan uang sampai kita gak ada tabungan. Kan Nur sudah menjelaskan kemana uang itu Nur berikan. Kenapa Masih diungkit – ungkit juga! Abangnya aja yang gak becus jadi pebisnis.” Serangku.
“Dek, Abang kan gak bilang begitu. Kok adek marah? Yaudah kalau begitu abang minta maaf ya Dek.” Ujarnya sembali mengelus tanganku lembut.
“Makanya kerja pake otak dong, kerja pake otot ya mana bisa kaya. Tuh, Si Tejo aja bisa berhasil bisnisnya. Masa abang gak bisa meniru si Tejo.” Aku mulai membanding – bandingkan dia dengan suami mirna si Tejo yang sekarang kebun karetnya sedang jaya – jayanya.
“ Tau gitu dulu, mending aku nikah aja sama Tejo. Gak akan aku sengsara begini.” Ketusku lagi.
Bang Zul menatapku kecewa dan segera menyambar secangkir air putih yang ada di meja lalu meminumnya hingga tandas. Aku masa bodo dengannya, Salahnya sendiri kenapa bisa jatuh miskin.
Suara decit Ban memekakan telinga, menghentak tubuh Rania yang terbelit oleh Safety Belt ke depan hingga kepalanya hampir terantuk ke dasboard mobil. Sementara suaminya, Zul, Tergugu di balik kemudi dengan wajah pucat pasi. Hampir saja. Hampir saja Zul menabrak ibu – ibu yang tengah hamil besar yang berjalan tertatih – tatih dan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan jalan lg dia langsung menyeberang hingga nyaris di tabrak oleh Zul. Beruntung Zul masih sempat menginjak pedal rem hingga kecelakaan itu dapat di hindari. Rania bergegas membuka pintu dan menghambur keluar menghampiri ibu hamil yang kini tengah terduduk lemas dengan wajah pucat pasi di pinggir jalan. “Kalo Jalan jangan ngebut – ngebut wooyyy!!” Bentak salah seorang pejalan kaki sembari memukul kap mobil depan Zul dengan wajah beringas. Zul hanya mengangguk dan melemparkan senyum canggung. Dia segera membuka pintu mobil dan menyusul istrinya. Itu semua bukan sepenuhnya salahnya, Ja
Pukul satu siang Pak RT diantar oleh Adit datang menemui Zul. “Gimana keadaan Nur, Pak? Apa kata dokter?” Tanya Zul berbasa basi. “Udah diperiksa semua, kata dokter gak ada sakit apa – apa Zul. Tapi kemungkinan alergi kata dokter yang memeriksanya tadi.” Terang Pak RT “Oh, Jadi dirawat atau dibawa pulang ke rumah.” Zul bertanya sembari netranya menyapu keadaan rumah Nur dari jauh. “Dibawa ke pesantren akhirnya. Paman Nur memaksa. Katanya mau di rukiyah di sana.” Terang Pak RT lagi. “Baguslah kalau begitu, Pak. Masuk dulu pak. Rania baru saja selesai masak. Kita makan siang bareng.” Zul mengajak Pak RT dan Adit masuk. Meski merasa sungkan, akhirnya Pak RT dan Adit akhirnya menuruti undangan Zul. Rania yang tak menyangka akan kedatangan tamu akhirnya kalang kabut. Untung saja Rania masak untuk sekalian makan malam. Hingga lauk yang dimasak Rania yang sejatinya untuk makan malam juga habis tak bersisa.
Malam masih mencekam, Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut Nur yang begitu menyayat membuat suasana semakin seram. Lengkingan jerit yang keluar dari mulut Nur membuat merinding semua orang yang mendengar tak terkecuali Zul dan Rania. Meski rumah mereka berjarak sekitar seratus meter dari rumah Nur, namun lolongan tersebut masih terdengar dengan begitu jelas. “Bang, aku takut.” Zul mengetatkan pelukannya pada Rania meski sebenarnya dia sendiripun bergidik ngeri setiap kali mendengar suara lolongan kesakitan Nur. Zul tetap berusaha menenangkan Rania yang begitu gelisah dengan mendekapnya. “Baca ayat kursi atau ayat – ayat pendek lain, Dek. Biar hati tenang.” Saran Zul sembari membelai rambut legam Rania. Berkali – kali kalimat tahmid dia lafazkan, karena telah terhindar dari sihir Nur. Zul yakin, Nur tak akan berhenti sampai di sini. Akan ada serangan lain ke depannya yang mungkin lebih beringas lagi. “Pagari diri dengan doa dan murajaah
“Gimana ini, Bang? Kenapa Asep jadi begini?” Adit kebingungan bercampur takut melihat mata Asep yang tiba – tiba melotot dengan mulut yang meracau menggunakan Bahasa yang tidak mereka fahami. “Duniaku ada tiga warna… DUNNIIAAA KUUU AADDAAA TTIIIGAA WARNA… Hihihihihihi…” Ceracau Asep dengan Mata menyalak garang lalu menoleh ke Zul dengan seringai seramnya. “Aku juga gak tau ini, Dit. Coba kamu panggil Pak De Darkum aja. Suruh si Memet jemput beliau. Bawa Asep ke dalam kamar, Jangan sampe ganggu pembeli yang lagi makan.” Titah Zul yang sedang cemas bercampur takut melihat netra Asep yang terus menerus menatapnya dengan seringai yang membuat bulu kuduk berdiri. Tiba – tiba Asep terjatuh dan menggelepar di lantai, mulutnya mengeluarkan suara ngorok dari tenggorokan yang mengerikan seperti orang yang sedang mereggang nyawa. Mulutnya mengeluarkan busa air liur yang kemerahan karena bercampur darah. “Cepat angkat ke dalam.” Zul memerint
Rania tertegun di ambang pintu, netranya menangkap bayangan suaminya yang tengah didekap erat seorang wanita yang dia tak tahu itu siapa. Pemandangan yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Jadi ini rupanya penyebab suaminya tak mengangkat telepon darinya dan membalas pesannya di applikasi hijau hingga akhirnya dia memutuskan untuk memesan ojek online untuk sampai ke kediaman suaminya. Zul menghampiri istrinya, sebelah tangannya meraih koper yang tengah dipegang Rania, sebelah lagi merangkul Rania ke dalam dekapannya. “Siapa dia?” Tanya Rania dingin, netranya tak lekang menatap Nur yang kini tersenyum sinis padanya. “Dia mantan istri Abang, Dek. Tolong jangan salah faham dulu. Semua tidak seperti yang Adek lihat.” Zul sungguh takt ahu bagaimana cara meyakinkan Rania bahwa ini bukan salahnya. “Kenapa dia kemari?” Netranya masih menatap tajam ke arah Nur yang saat ini mendekati mereka. “Jadi ini istri baru, Abang?” Nur
Setelah selesai sarapan, Zul memeriksa pembukuan yang dibuat Rapi oleh Adit. Tak lama kemudian Mereka telah terlibat dalam diskusi yang membahas tentang masalah warung, dan omset yang di dapat setelah beberapa hari ditinggalkan Zul. “Alhamdulillah, Omset kita naik ya, Dit. Bisa nih buat naikin gaji karyawan.” Zul menatap pembukuan yang dibuat Adit dengan amat sangat rapi. “Menurutku nanti dulu naikin gaji karyawannya, tunggu tahun depan aja. Saat ini fokus kita balikin modal abang aja dulu. Setelah itu baru fokus ke kesejahteraan karyawan.” Usul Adit. Zul manggut – manggut. Tepat Jam Sembilan, Zul dan Adit menyudahi pembahasan mereka tentang pendapatan warung beberapa hari ini, Adit lalu pamit untuk ke pasar berbelanja stok warung untuk berdagang sore ini. Sementara Zul memutuskan untuk pergi meninjau keadaan warung dan karyawan yang telah dia tinggalkan selama beberapa hari ini. Zul segera memeriksa gawainya. Dia lupa kalau semalam hendak menelpon Rania istrinya. Pagi ini karena t