Share

BAB. IV PECEL LELE

Sebuah mobil SUV perlahan berhenti di depan rumahku saat aku baru saja kembali dari melihat keadaan kebun sawitku. Sesosok kepala berhijab menyembul dari pintu yang terbuka diiringi oleh senyum manis seorang wanita cantik dan ramah, Ririn. Dia datang bersama Adjie dan seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan jilbab lebar seperti Ririn.

Adjie menyalamiku sementara Ririn dan perempuan paruh baya yang dipanggil Bu Nah oleh Ririn menangkupkan jemarinya kepadaku dan kubalas dengan gaya yang sama.

“Assalamualaikum, Bang.” Adji menyalami dan memelukku.

“Waalaikumsalam warrahmatullah. Waduh.. tamu jauh ini yah. Ayo, Mari masuk. Tapi maaf lho kondisi rumahnya agak berantakan.” Aku mempersilahkan mereka masuk.

Mereka mengikutiku masuk dan duduk di ruang tamu yang tak seberapa luas.  Aku menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang. 

“Ada angin apa rupanya yah. Ayoo, diminum dulu. Adanya Cuma air putih” aku menyajikan air mineral dingin yang ku ambil dari kulkas.

“Begini Bang. Kedatangan kami kemari karena dua hal. Yang pertama silahturahim dan mengundang abang. Walaupun waktunya masih lama, dua bulan lagi. kami berharap agar abang mau menjadi saksi pernikahan kami. Yang kedua, kami ingin mengajak abang berbisnis. Saya dengar dari Pakde Darkum kalau abang pintar masak. Kemarin Pakde Darkum mencicipi Sambal Pecel Lele abang, beliau bilang sambal buatan abang sangat enak. Pakde terus – terusan memuji rasa sambal pecel lele abang. Katanya sambal abang orisinil dan bikin ketagihan. Beliau memaksa saya untuk mengajak abang kerja sama. Abang yang mengelola warungnya, dan saya yang memberikan modalnya. Hasilnya kita bagi tiga. Satu buat saya, satu buat abang dan satu lagi untuk pengembangan warung. Bagaimana bang?” 

Aku terdiam, memang beberapa hari lalu Pak Darkum ku ajak makan masakan ala kadarnya dirumahku saat dia bertamu. Dia makan lahap sekali, sampai nambah beberapa kali. Aku fikir karena lapar. Padahal sambal itu tak ada yang istimewa. Resepnya diajarkan oleh ibu angkatku. Tapi biar bagaimanapun juga tawaran ini adalah peluang, peluang untukku merubah nasib.

“Adjie percaya sama Abang?” Tanyaku meyakinkan

Adjie terkekeh pelan.

“Haduh….Bang, sebelum kesini itu, saya sudah banyak mengumpulkan informasi tentang abang ke rekan – rekan bisnis abang dahulu. Rata – rata mereka bilang abang orang yang bertanggung jawab dan amanah. Mereka bahkan sangat mendukung jika saya berbisnis dengan Abang. Karena itulah saya akhirnya memutuskan untuk mengajak Abang berbisnis sebagai patner, selain itu saya juga sudah istikharah sebelum datang kesini. Dan hasilnya hati saya semakin mantap saja. Nah sekarang tinggal tergantung sama Abang, Abang bersedia tidak jadi patner bisnis saya?” Ulasnya. Mendengar itu aku sangat terharu.

Jadi bagaimana Bang?” Adjie menuntut jawaban. Sementara Ririn dan Bu Nah hanya menyimak pembicaraan kami.

“Kalo memang demikian, Bismillah, Abang terima tawaran ini. Tapi apa Adjie gak mau mencicipi dulu sambalnya. Nanti kecewa. Kebetulan abang masak tadi, tunggu sebentar yah.” 

“Apa gak merepotkan, Bang?” Adjie tampak sungkan

“Justru kamu harus cicip Djie. Biar lebih yakin.” Aku meyakinkan.

“Rezeki pantang ditolak. Gimana sayang? Mau nunggu kan. Kita cicip sambal legendnya Bang Zul?” Adjie meminta persetujuan Ririn.

            “Boleh, Pengen juga ngerasain masakan, Bang Zul yang kata Pakde Darkum Fenomenal itu.” Goda Ririn yang membuat seisi ruangan tertawa. Hatiku menghangat, Allah maha baik telah mengirimkan orang – orang baik ini padaku.

Gegas Aku ke dapur untuk mempersiapkan sambal, lalapan. Ku nyalakan kompor dan menunggu minyaknya panas untuk menggoreng tempe, tahu dan ikan lele hasil pancinganku kemarin sore.  Setelah selesai, kubawa lalapan, Lele goreng, Nasi dan tak lupa sambal ke ruang tamu tempat mereka menunggu sembari memainkan gawai. Demi melihatku, serentak mereka menyimpan gawainya dan segera menyambut piring di tanganku untuk kemudian menatanya di meja bersama - sama. 

“Ayo, silahkan dicicipi. Kalau rasanya masih kurang pas, nanti kita koreksi lagi.” 

Adji meyendok sedikit nasi dan mengambil sambal dan lele goreng diikuti oleh Ririn dan Bibinya. Kami makan bersama dengan lauk seadanya. Namun terasa amat nikmat. Dan hanya dalam sekejap mata hidangan di meja sudah tandas tak bersisa. 

Dengan bibir merah dan sedikit sembab karena kepedasan Adjie mengacungkan kedua jempolnya kepadaku.

“Luar biasa Bang, sambalnya juara. Belum pernah saya makan sambal seenak ini. Perpaduan rasanya bikin pengen nambah nasi terus” Adjie mencuci tangannya dalam kobokan yang sudah ku persiapkan. 

“Iya bang, enak banget lho sambalnya. Ririn aja sampe  nambah nasi. Alamat gagal diet ini. Bisa – bisa kebaya Ririn gak muat lagi nanti pas hari nikahan.” Ririn menimpali sembari menjilati ujung - ujung jarinya.

“Gak bisa ditunda lagi ini, Bang. Harus kita percepat mulainya bisnis kita ini. Kira – kira menurut Abang kapan bagusnya kita mulai bisnisnya?

“Secepatnya kalau bisa, kalau memang Adjie sudah siap modalnya. Besok Abang dah bisa kasih rekapan kebutuhan untuk memulai bisnisnya. Abang akan antar ke rumah Adjie.” Pungkasku.

“Alhamdulillah. Modalnya sudah siap, Bang. Besok abang ke rumah yah. Kita bicarakan lagi lebih lanjut tentang konsep dan lokasinya. Kalau begitu kami permisi dulu, besok kita diskusi lagi tentang bisnis pecel lele kita. Kita pamit ya, Bang. Ririn ada janji dengan tukang jahit kebayanya. Terima kasih banyak untuk makanan yang luar biasa lezat ini. Assalamualaikum.” Ujarnya sembari menyambut tanganku untuk kemudian di genggamnya. 

“InshaAllah pecel lele kita akan sukses.” Ujarnya yakin.

“Amiiinn,” Aku, Ririn dan Bibinya berbarengan mengucapkannya.

Keesokan harinya, aku mendatangi kediaman Adjie dengan daftar barang yang akan dibeli. Kami lalu berdiskusi mengenai konsep pecel lele kami. Tak membutuhkan waktu lama, hanya dalam waktu satu minggu semua persiapan telah rampung dan kami tinggal menunggu waktu yang tepat untuk launching.

Aku dan Adjie sepakat bahwa untuk hari pertama buka kami akan menggratiskan makan dan minum, dan hanya minta dibayar dengan doa saja. Pancingan rezeki katanya. Aku hanya menurut, karena aku di sini hanya bagian pengelolaan saja.

Di luar prediksi, animo masyarakat sekitar ternyata sangat besar. Banyak sekali tamu yang datang ingin mencoba sambal pecel lele buatanku.

Pukul Lima sore semua dagangan kami sudah habis tak bersisa bahkan beberapa dari mereka hanya minta makan dengan sambal dan lalapan saja karena ayam dan ikan lelenya sudah habis. Dan feedback dari customer yang mampir pun cukup memuaskan.  Hingga kami semakin mantap untuk berbisnis ini.

Allah Maha Pemberi Rezeki. Dan rezekimu tak pernah tertukar dengan orang lain aku percaya itu.

Keesokan harinya, Aku mulai menjalankan warung ini sendiri dibantu beberapa anak buah yang tak ku kenal namanya siapa saja, namun sepertinya mereka kerabat Adjie. Dan hari ini, Kembali pengunjung warung kami membludak. Aku sampai kewalahan, walaupun sudah dibantu beberapa anak buah. Adjie memiliki insting wirausaha yang luar biasa. Dia mendaftarkan Warung pecel lele kami di Applikasi online. Hingga pelanggan banyak juga yang membeli secara online karena malas untuk antri jika mau makan di tempat.

Dalam waktu tiga bulan, pecel lele kami menjadi salah satu makanan yang paling banyak di cari di applikasi online. Bulan pertama kami mampu meraup keuntungan bersih lima belas juta setelah dipotong gaji karyawan dan biaya operasional. Sebuah angka yang fantastis untuk kategori warung yang baru seperti kami. 

Bulan kedua, Adjie menyerahkan sepenuhnya bisnis itu di bawah pengawasanku karena dia sibuk mengurus pernikahannya dengan Ririn. Kesibukanku dan naiknya jumlah penghasilanku perlahan mengikis habis rasa sakit hatiku pada Nuraini, hingga saat Nuraini datang ke warung untuk mengantarkan fotokopi surat cerai kami perasaanku sudah bisa ku kendalikan meski dia datang dengan menggandeng pria setengah botak itu dengan kemesraan yang dibuat - buat. Nuraini terhenyak saat melihat jumlah pelanggan yang memenuhi warung kami. Belum lagi sejumlah Ojek Online yang mengantri pesanan mereka dan pengunjung yang antri karena kebetulan tempat duduk sudah penuh.

“Ini fotokopi surat cerai kita Bang, jika Abang mau menikah, Abang bisa ambil ke kantor pengadilan agama. Harus abang sendiri yang mengambil, tak bisa di wakilkan. Oh iya Bang. Nur sudah menikah lagi. Ini suami Nur, Dia punya sepuluh hektar kebun karet.” Nur memamerkan suaminya. Dia mungkin berharap aku sakit hati seperti kemarin saat dia datang ke rumah dengan membawa suami botaknya itu. Namun dia salah, perasaanku biasa saja. Tak ada cemburu atau sakit hati. Datar!

“Oh, iya. Nanti saja Abang ambilnya tunggu Abang sudah punya calon. Selamat untuk pernikahannya yah. semoga langgeng dan bahagia. Ada lagi yang mau Nur sampaikan? Kalau sudah gak ada yang harus dibicarakan lagi, Abang permisi karena pelanggan sudah menunggu. Atau silahkan kalau mau mencicipi menu warung kami, tapi antri dulu yah.” Aku menyambar langsung sebelum Nur menuntaskan ceritanya sembari menunjuk barisan antrian pelanggan yang menunggu untuk makan di warungku.

Aku berlalu ke dapur mengurus pesanan yang terabai karena kedatangan Nur. Sementara Nur nampak kesal melihat reaksiku. Dia berfikir aku akan kembali menunjukkan wajah memelas seperti yang aku lakukan beberapa bulan lalu. Humm,,, tak akan pernah lagi. Tak akan pernah lagi aku biarkan hatiku patah karena wanita yang bahkan tak layak untuk ku cintai.

****

Hari ini, Aku berdiri didepan cermin di depan kaca lemari tua dikamarku. Mematut kemeja batik yang baru kubeli kemarin. Hari masih terlalu pagi, Namun aku tak mau terlambat. Hari ini pernikahan Adjie dan Ririn. Dan aku telah menyanggupi untuk menjadi saksi pernikahan mereka. Setitik rasa sedih singgah dihatiku. Seandainya dulu aku memilih Ririn, Astaghfirullah segera kutepis fikiran busuk itu. Gegas kupakai kopiah dan menyarungkan kaos kaki  lalu kemudian ku kenakan sepatu kulit hitam yang juga baru aku beli kemarin. Sejujurnya, semua ini Ririn yang memilihkan. Aku hanya tinggal membayarnya dengan pembagian hasil warung bulan depan. Dan semua pilihan Ririn begitu pas, baik warna dan ukurannya. Dia juga membelikan aku sebuah jam tangan bertali kulit hitam yang sangat modis. Dengan langkah mantap aku segera menuju kerumah Ririn dengan mengendarai motorku. 

Sesampai dirumah Ririn kulihat Pak Darkum sudah tiba lebih dahulu. Aku membantu pegawai di warungku yang juga merupakan kerabat dekat Adjie menyusun kursi di tenda, mengatur air mineral dan membantu perkerjaan ringan lainnya sebisaku. Aku berhutang budi pada Adjie dan Ririn. Allah telah mengutus mereka berdua untuk membantuku keluar dari keterpurukanku. Aku berjanji dalam hati bahwa aku akan berusaha untuk membalas budi baik mereka dengan cara apapun. 

Acara pernikahan nya berjalan dengan lancar. Ririn nampak sangat cantik dalam balutan gamis putih dan hijab syarii yang dia kenakan, dan Adjie nampak gagah dengan balutan kemeja koko Putih dengan detail bordir di sakunya. Mereka benar – benar pasangan yang serasi. Resepsi pernikahan mereka berlangsung sederhana namun tak mengurangi kemeriahan acara. Aku lihat Nur bersama suaminya datang dan menyalami Pak Darkum kemudian ke panggung untuk menyalami Ririn dan Adjie.

Sepintas kulihat perut Nur sedikit membesar seperti ibu hamil. Dia terlihat bahagia menggandeng suaminya. Beberapa tamu nampak berbisik – bisik saat Nur dan suaminya melewati mereka. Ketika melihatku Nur terlihat sedikit kaget dan segera melepaskan pegangan tangan suaminya, aku menyalami suaminya. Nur mengulurkan tangan hendak menyalamiku juga. Namun aku tak menyambutnya, sebagai gantinya aku menangkupkan kedua tanganku didada. Aku harap dia mengerti bahwa dia bukan lagi muhrimku.  Nur terlihat kaget dan menganggukkan kepala melihat reaksiku yang tak mau lagi menyentuhnya. Wajahnya yang tadi berlumur senyum mendadak tertekuk.

“Hum… dia kenapa yah. Salahku apa? Koq mendadak cemberut.” Batinku dalam hati.

Entah kenapa aku merasa sepanjang acara mata Nur terus mengawasiku. Dan benar saja, saat aku melihatnya, dia melemparkan senyum, sepertinya sudah tak marah lagi padaku.  Aku melengos tak mau membalas senyumnya, kulihat suami Nur yang begitu serius mendengarkan  Ustad yang sedang memberikan ceramah dan nasihat pernikahan untuk kedua mempelai hingga tak memperhatikan kelakuan istrinya yang terlihat sekali berusaha menggodaku. Jika dulu aku merasa begitu bahagia saat Nur menatapku seperti itu, saat ini aku merasa risih dan jijik. Bagaimana bisa dia terus - terusan menatap aku, saat berada di samping suaminya. Seandainya suaminya tahu, pastilah dia sangat kecewa. 

Saat tiba acara santap siang, aku lihat Nur seperti tergesa menuju meja tempat aku mengantri. Suaminya kewalahan mengikuti langkah kaki Nur. Entah bagaimana caranya tiba – tiba aku lihat Nur sudah berada di belakangku diikuti oleh suaminya. Seperti sengaja, Nur mulai menyentuh punggungku dengan jemarinya seperti menggelitik dengan telunjuknya. Awalnya ku fikir tak sengaja. Tapi sentuhan itu begitu intens dan seperti menggoda membuat aku jengah dan memaksa lelaki yang ada di hadapanku untuk segera maju. Aku berusaha untuk tak menoleh kebelakang. Setelah mengambil nasi dan lauk pauk, aku sesegera mungkin kembali ke tenda untuk mencari tempat yang nyaman untuk bersantap, dan aku berharap Nur tak lagi mengikutiku.

Tapi ternyata harapanku salah, Nur sedang menuju ke arahku saat aku baru saja meletakkan bokongku di kursi pojok paling belakang.  Saat dia datang mendekat aku segera berdiri dan menjauh. Akhirnya aku makan di belakang panggung. Aku tetap di belakang panggung menunggu sampai Nur pulang. Kekanakan sekali bukan. Namun aku benar – benar risih dengan tingkahnya. Benar – benar aneh.

Ditengah tenda, aku lihat Nur celingak –celinguk mencari sesuatu. Apa mungkin dia mencariku?

“Geer sekali kau Zul,” kata suara hatiku. Tapi aku tetap memutuskan untuk tetap duduk dibelakang panggung ini sampai Nur pulang. Karena Aku belum ingin Pulang, aku ingin membantu membereskan sisa – sisa acara dulu baru pulang. 

Saat kulihat Nur dan suaminya sudah meninggalkan acara, aku segera keluar dan ikut membantu membereskan dan merapikan kursi dibawah tenda dan menyapu pekarangan rumah Adjie. Mengumpulkan cangkir air mineral dalam karung untuk dijual lagi oleh tuan rumah.

“Lho, Zul. Bapak fikir kamu sudah pulang. Dari mana aja tadi?” Pak Darkum tiba – tiba sudah berdiri dibelakangku. 

“Tadi saya makan di balik panggung pak. Trus ngaso sebentar disana. Eh malah kebablasan.” Aku menggaruk kepala yang tak gatal.

“Owalah, yo wis. Kamu bantu – bantu dulu. Nanti kita pulangnya bareng yah. saya mbonceng kamu aja.” Pak Darkum segera masuk kedalam rumah. Aku meneruskan pekerjaanku menumpuk kursi – kursi tamu karena mau dikembalikan. 

Setelah rapi semua, aku pamit ke Ririn dan Adjie untuk pulang. Ririn menyerahkan bungkusan berisi lauk pauk sisa acara resepsi. Lumayan untuk makan malam nanti. Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun berpamitan untuk pulang dengan membonceng Pak Darkum. Saat melewati rumah Nur, aku melihat Nur di pintu pagar seolah menunggu seseorang. Demi melihat aku dengan Pak Darkum wajahnya nampak kesal dan bersungut. Tak lama dia segera masuk ke dalam rumah menyusul suaminya dengan wajah sebal. lha,, kenapa dia kesal. Emang salahku apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status