Diandra baru saja tiba di lobby kantor PT Start Snack. Kebetulan sekali, mata Diandra langsung menangkap sosok Hanum—sepupunya—yang mengawali pengajuan lamaran kerja ke kantor itu.—yang juga baru tiba dan turun dari mobilnya.
“Selamat pagi, Mbak Hanum.” sapa Diandra yang sudah berada di belakang Hanum.
Hanum berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Alisnya terangkat sebelah karena bingung dan heran.
‘Cowok? Siapa, sih? Nggak kenal deh...’
‘Oh, nggak! Dandanannya aja yang kayak cowok. Tapi, kayaknya aslinya cewek? Eh, gimana sih?’ batin Hanum bingung.
“Maaf, kamu siapa, ya? Apa saya kenal?” tanya Hanum sopan.
Diandra yang ditanyai seperti itu malah bingung dan langsung memperhatikan penampilannya sendiri. Tapi setelah itu Diandra terkekeh.
“Apa kamu nggak ngenalin aku, Num? Beneran udah ok ya, penampilan aku, sampai kamu pangling gitu
Diandra baru saja tiba di lobby kantor PT Start Snack. Kebetulan sekali, mata Diandra langsung menangkap sosok Hanum—sepupunya—yang mengawali pengajuan lamaran kerja ke kantor itu.—yang juga baru tiba dan turun dari mobilnya.“Selamat pagi, Mbak Hanum.” sapa Diandra yang sudah berada di belakang Hanum.Hanum berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Alisnya terangkat sebelah karena bingung dan heran.‘Cowok? Siapa, sih? Nggak kenal deh...’‘Oh, nggak! Dandanannya aja yang kayak cowok. Tapi, kayaknya aslinya cewek? Eh, gimana sih?’ batin Hanum bingung.“Maaf, kamu siapa, ya? Apa saya kenal?” tanya Hanum sopan.Diandra yang ditanyai seperti itu malah bingung dan langsung memperhatikan penampilannya sendiri. Tapi setelah itu Diandra terkekeh.“Apa kamu nggak ngenalin aku, Num? Beneran udah ok ya, penampilan aku, sampai kamu pangling gitu
Rudi sendirian di kantor setelah Clarissa pergi. Dia termenung, melirik cincin tunangannya sendiri, tapi wajah yang muncul di pikirannya malah… sosok wanita yang wajahnya samar dari masa lalu yang belum hilang dari ingatannya.Malam itu, di balkon kamarnya, Rudi duduk sendirian sambil menatap puntung rokok yang tinggal separuh disesapnya. Dari tempatnya duduk, semilir angin dan suara jangkrik entah mengapa lebih membuat tenang hatinya, daripada suara manja Rissa, tunangannya.Ia teringat kabar dari perusahaan—besok akan ada calon sekretaris baru yang akan diwawancara. Entah kenapa, kabar itu membuat pikirannya melayang jauh.Rudi termenung, kepalanya dipenuhi satu bayangan yang selalu datang saat ia sedang sendiri. Malam panas di Bali, di sebuah village tempat ia menginap.Saat itu ia baru saja pulang dari pesta kecil temannya yang menikah. Badannya masih hangat oleh minuman, tapi kesadarannya penuh. Lalu… terdengar ketukan panik di pintu.
Malam itu rumah terasa begitu tenang. Pesta pernikahan Darren dan Tina masih terbayang dalam ingatan, dengan tawa, musik, dan lampu gemerlapnya.Namun kini, hanya ada suara jangkrik dari luar jendela dan napas kecil Akbar yang sudah lelap di kamarnya.Ali bersandar di sisi ranjang, memandang Dahlia yang sibuk melepas perhiasannya satu per satu. Ada kilau lembut di mata pria itu, seolah setiap gerakan istrinya adalah sesuatu yang ingin ia abadikan.“Lelah, Sayang?” tanya Dahlia sambil tersenyum tipis, tanpa menoleh.Ali mendekat, tangannya menyentuh perlahan bahu istrinya dari belakang, “Sedikit. Tapi lebih lelah lagi kalau harus nahan diri buat nggak nyentuh kamu.”Dahlia terkekeh pelan, wajahnya sedikit memerah, “Mas ini, ada-ada aja…”Ali berputar, berdiri tepat di depannya, lalu meraih kedua tangannya, “Tadi semua orang kagum sama Tina yang jadi ratu sehari. Tapi tahu nggak, Yang? Bagiku, dari dulu sampai sekarang, pengantin tercantik itu ya kamu.”“Kamu yang aku menangkan dulu, da
Detik-detik penuh haru itu menjadi titik balik hidup Dahlia dan Ali. Malam ketika tangisan bayi kecil memanggil pulang sang ayah dari ambang maut, adalah malam yang tak pernah mereka lupakan.Sejak hari itu, hidup mereka tak lagi sama. Hari-hari berat di rumah sakit berganti dengan tawa kecil, belajar ulang bagaimana menjadi orangtua, dan menemukan makna baru tentang kebersamaan.Ali yang dulu hampir menyerah, kini punya alasan untuk bertahan.Dahlia yang pernah merasa sendiri, kini selalu ditemani dua cahaya dalam hidupnya.Mereka belajar menerima hari-hari sederhana, menemukan kebahagiaan di balik hal-hal kecil, seperti sarapan bersama, menonton anak mereka belajar berjalan, hingga mendengar celoteh polosnya yang memenuhi rumah.Dan waktu pun berjalan tanpa terasa…Enam tahun kemudian, matahari pagi menyinari halaman rumah sederhana di pinggiran kota. Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlari kecil dengan tawa renyah, memanggil-manggil ayahnya yang sedang menyiram bunga di t
Dahlia menggenggam tangan Ali yang dingin, menatap wajahnya yang masih terpejam dengan selang dan kabel medis di sekujur tubuh. “Aku di sini, Mas…” bisiknya lembut, “Aku udah memaafkan semuanya. Sekarang tugasku hanya menemani kamu sampai kamu bangun nanti.”Dalam kesunyian ruang rawat itu, Dahlia tahu, meski jalan hidupnya penuh luka, Tuhan masih memberinya kesempatan untuk menjaga cinta yang tersisa. Dan dari situlah ia akan memulai hidup yang baru.Hari-hari di Singapura berjalan dengan lambat bagi Dahlia. Setiap pagi, ia datang lebih awal ke rumah sakit, kadang bahkan sebelum matahari terbit. Suster-suster sudah hafal wajahnya, begitu juga dengan satpam yang selalu menyapanya ketika ia masuk dengan langkah pelan dan wajah letih.Ruang rawat Ali terasa seperti dunia kecil yang tak pernah berubah. Hanya suara mesin monitor detak jantung yang terus berdenting, seakan menjadi pengingat bahwa suaminya masih bertahan, masih berj
Hidup Nila berubah drastis sejak statusnya diputuskan sebagai tahanan rumah.Rumah kontrakan kecil, hampir menyerupai gubuk reyot, kini menjadi satu-satunya dunia yang ia kenal. Di sana, ruang sempit itu bukan hanya tempat tinggal, tetapi juga penjara yang tak terlihat.Polisi berjaga di luar setiap hari. Dua orang bergantian mengawasi, memastikan ia tak berani melangkah sejengkal pun keluar tanpa izin. Setiap pintu diketuk, setiap suara langkah di luar kontrakan, membuat jantungnya berdegup takut. Ia tahu, satu kesalahan saja bisa membuatnya kembali masuk ke balik jeruji.Keseharian Nila penuh dengan pekerjaan tanpa henti. Bayinya yang masih merah sering menangis di malam hari, membuatnya terjaga hingga dini. Sementara di siang hari, ia harus mengurus ibu mertuanya yang lumpuh separuh badan. Dari memberi makan, membersihkan tubuh, hingga menahan sabar saat Bu Bani mengigau menyebut nama Juanda, anak laki-l