Share

MARTIN AND BIANCA-FOURSOME

MARTIN AND BIANCA-FOURSOME

BIANCA menghentikan mobilnya tepat di depan pintu garasi. Setelah menghela napas satu kali, Bianca menenggelamkan wajahnya di dalam tepalak tangan. Sungguh, hari ini adalah hari yang sangat menyebalkan baginya. Bianca sudah menunda pemotretan, membolos sekolah dan bahkan harus membayar denda atas tindakan bodohnya. Semua itu ia lakukan untuk Jullio. Ya, Jullio, lako-laki yang sudah sangat lama sekali mengambil hatinya. Kemarin Benedict mengatakan hari ini ia akan mempertemukan Jullio dengannya di taman. Namun, saat Bianca sudah sampai di sana, menunggu selama beberapa menit. Tidak nampak juga batang hidung Jullio.

Kesal, itulah yang dirasakan Bianca saat ini. Bianca sengaja bersembunyi di salah stau sudut taman untuk mengintai kedatangan Jullio. Ia ingin tahu apakah Jullio benar-benar datang atau hanya sekedar ingin mempermainkannya. Hingga bermenit-menit kemudian, pria itu tidak juga muncul. Bianca cukup kecewa dengan dirinya sendiri yang terlalu banyak berharap pada Jullio, tetapi ia benar-benar tidak bisa melupakan pria itu. Dan Bianca sudah bertekad akan mendapatkan Jullio dengan caranya sendiri.

Lelah menunggu, akhirnya Bianca memilih keluar dari pemsembunyiannya. Ia hendak duduk di salah satu kursi, tapi kemudian melihat seorang laki-laki yang sepertinya sedang mengalami frustasi yang cukup berat. Bianc mengerutkan keningnya, gadis itu berdiri di atas jalanan berkerikil sembari melihat sosok pria yang kini membanting ponselnya. Bianca menghela napas, ia tidak tega melihat hal-hal menyedihkan di sekitarnya. Apalagi jika hal tersebut berhubungan dengan mental seseorang. Bianca sering kali mendengar kasus bunuh diri karena tidak bisa menghadapi tekanan mental.

Setelah berpikir beberapa saat, Bianca akhirnya memutuskan untuk menghampiri pria itu dan duduk di sampingnya. Ia tidak tahu siapa dan dari mana pria itu berasal. Jika boleh menebak, Bianca ingin sekali menyebut pria di sisinya berasal dari planet Pluto. Mengingat Pluto adalah planet paling jauh dari matahari dan wajah itu semurung planet yang jarang terkena sinar matahari. Bianca menyimpulkan pria ini dan Pluto memiliki banyak kesamaan. Kira-kira itulah yang ada di dalam otaknya yang tidak terlalu cerdas tapi cukup pandai dalam beberapa hal.

“Seharusnya aku datang ke sini bersama seseorang.” Bianca berusaha memulai percakapan di antara mereka. Ia menunggu selama beberapa saat, tetapi pria dingin itu sepertinya tidak tertarik dengannya. Bianca tidak peduli. Ia hanya ingin menyelamatkan pria itu dari hal tidak diinginkan itu saja.

Lama Bianca menemari pria itu. Hingga akhirnya ia mulai lelah. Bianca memilih pulang. Tidak ada gunanya menunggu Jullio lebih lama lagi. Sampai kapan pun, Jullio tidak akan datang. Jullio tidak akan pernah tertarik padanya. Namun Bianca akan terus berusaha. Nanti, jika Jullio sudah menemukan wanita yang bisa membuatnya jatuh cinta, Bianca akan berhenti. Untuk sekarang, selama Jullio masih tidur dengan semua wanita yang ia temui di club, Bianca tidak akan menyerah. Tidak akan.

Setelah merenungkan kejadian hari ini, Bianca kembali membuka matanya. Untuk sesaat ia tidak bisa melihat apa-apa. Semua gelap, sepertinya retina matanya sedang tidak berfungsi dengan baik.

Begitu mendapatkan penglihatannya lagi, Bianca mengulurkan tangan untuk membuka pintu mobil. Gadis itu melangkah turun dan berjalan menuju rumah. Rumah besar dan nyaman itu dihuni oleh lebih dari tiga puluh orang. Empat di antaranya adalah anggota keluarga dan sisanya asisten rumah tangga, supir, tukang kebun dan beberapa teman yang sengaja diundang oleh salah satu anggota keluarga yang lain. Bianca langsung menuju ke lantai tiga. Tempat di mana kamarnya berada.

Sesampainya di depan sebuah pintu yang menjulang tinggi di hadapannya, Bianca kembali memejamkan mata. Seandainnya saja ia tidak semarah ini, mungkin Bianca tidak akan berteriak seperti orang gila nanti. Sayangnya, dia sedang marah dan kesal untuk saat ini. Maka, Bianca akan berteriak sekuat tenaga untuk melampiaskan kemarahannya. “Benedict!”

Bianca tahu, seseroang-atau mungkin dua orang atau lebih sedang berada di dalam kamar tersebut. Mereka pasti pura-pura tidak mendengarnya. “Aku tahu kau di dalam. Buka pintunya dan temui aku sekarang juga!” teriak Bianca lagi.

Muak, Bianca mencoba menahan diri untuk tidak menyentuh pintu itu dan menerobos masuk. Ia tahu apa yang akan ia temui nanti kalau ia nekat membukanya. Maka dari itu ia akan menunggu. Bianca masih memiliki stok kesabaran yang cukup banyak. Tidak perlu terlalu terburu-buru.

Satu menit berlalu, Bianca lelah menunggu. Gadis itu akhirnya nekat membuka pintu dan berjalan dua langkah di bawah bingkai itu.

Tepat seperti dugaannya, Bianca melihat seorang pria sedang dikerubungi oleh tiga wanita sekaligus. Mereka berempat sama sekali tidak memakai sehelai benang pun. Sang pria sedang berbaring dengan seorang wanita berada tepat di depan bagian intimnya. Satu lainnya menciumi perut pria itu dan wanita terakhir mencumbu bibir pria tersebut dengan begitu rakus. Bianca menghela napas sekali. Suara music yang cukup keras membuat keempat orang tidak tidak mendengarnya.

Dengan kesal, Bianca mengambil remote control dan mematikan music yang menggema di ruangan itu. Seketika itu juga, ia mendengar umpatan yang cukup keras dari laki-laki yang semua berbaring di ranjang. “Shit!”

Bianca berbalik, ia mendapati pria tersebut menutupi pakaiannya dengan selimut. Sedangkan tiga wanita yang menemaninya masih santai duduk di sisi ranjang meski tidak mengenakan pakaian apa pun.

“Bee!” seru pria yang usianya hanya terpaut lima tahun dari Bianca.

“Aku memanggilmu berkali-kali, Benedict.” Bianca menyilangkan kedua tangan di dadanya. “Kau tidak mendengarku. Ternyata kau sedang asyik bermain.”

“Kalian, pergilah!” Pria bernama Benedict itu mengusir tiga wanita yang menemaninya dengan melambaikan kedua tangan.

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, ketiganya segera angkat kaki. Mereka memunguti pakaiannya dan bergegas menuju walk in closet untuk memakai baju. Setelah urusan mereka selesai, ketiga wanita itu segera meninggalkan kamar Benedict dengan perasaaan tak kalah kesal. Bukan uang Benedict yang mereka inginkan, melainkan tubuh pria itu. Sayang sekali Bianca menganggu having sex empat orang itu.

Begitu ketiga orang itu keluar, Bianca segera berjalan ke balkon. Ia ingin memberi waktu untuk Benedict agar pria itu memakai bajunya. Pemandangan yang barusan adalah satu dari sekian hal tidak pantas yang pernah ia lihat sejak bertahun-tahun terakhir.

“Ada apa?” suara Benedict terdengar di belakangnya. Bianca memutar tubuh, mencoba berbicara baik-baik.

“Jullio tidak menemuiku. Kau sudah berjanji akan mempertemukan kami, Ben.” Keluhnya. Sebenarnya, semua ini sama sekali bukan salah Benedict. Pria itu sudah berusaha keras agar Jullio mau menemuinya, tetapi Bianca tidak punya teman untuk berbagi dan tempat untuk berkeluh kesah. Bianca sendirian. Ia hanya memiliki Benedict, satu-satunya kakak dan keluarga yang peduli padanya.

“Aku akan menghajarnya karena dia ingkar janji. Tenanglah,” Benedict menarik Bianca ke dalam pelukan dan mengusap lembut kepala gadis itu.

Bianca menggeleng. “Kau tidak boleh melukai Jullio, Ben. Dia…”

“Kau sangat mencintainya, ya?”

Gadis berambut sebahu itu mengangguk. “Kau tahu itu.”

“Dia tidak pantas mendapatkan gadis sebaik dirimu.”

Bianca memajukan bibirnya. Ya, Bianca memang selalu dianggap baik, manis, santun dan bahkan imut. Namun semua anggapan itu dia dapatkan dari keluarganya. Sedangkan sejak mengenal Jullio, ia sudah berusaha menjadi gadis liar agar pantas bersanding Jullio. Sungguh, bodohnya dia. Bukan Bianca tidak menyadari apa yang ia lakukan, ia sangat-sangat sadar dengan semua tingkah lakunya selama ini, tetapi Bianca tidak peduli. Dia hanya menginginkan Jullio, bukan orang lain. “Aku menyukainya, Ben.”

“Jullio terlalu liar, Bee. Aku tidak mau kau menjadi salah satu korbannya.”

“Aku bisa berubah menjadi gadis liar. Semua anggota keluarga kita terkenal liar, bukan?” Protesnya.

Benedict mengangkat dagu adik semata wayangnya. “Ya. Kau benar sekali. Tapi kau satu-satunya yang tidak. Terlalu berharga untuk berubah menjadi hewan seperti kami.” Pria itu menekankan setiap kata yang keluar dari bibirnya.

“Tapi, Ben-”

“Tidak.” ucap pria itu pada akhirnya. “Pembicaraan kita cukup sampai di sinia. Aku tidak mau dan tidak suka kau mendekati Jullio. Dia tidak pantas untuk gadis baik-baik sepertimu. Orangtua kita dan aku boleh liar. Tapi aku tidak akan pernah mengijinkanmu mengikuti jejak kami. Pikirkan masa depanmu, karirmu dan cobalah hidup bahagia seperti seharusnya. Jangan hanya memikirkan Jullio  dan Jullio. Aku sudah cukup membantumu. Apa kau mengerti?”

Bianca ingin sekali memprotes kata-kata kakaknya, tetapi ia tidak sanggup melakukannya untuk saat ini. Bianca sangat bersyukur Benedict mau mendengar, membantu dan peduli dengannya. Tidak ada orang lain sebaik Benedict di dunia ini.

Setelah mengeluarkan kekesalannya pada sang kakak, Bianca yang sudah mulai tenang memilih kembali ke kamarnya. Ia tidak mau menganggu aktifitas Benedict lagi. Besok, Bianca harus menjalani syuting dan tubuhnya harus fit. Uang sakunya sudah habis untuk membayar denda pembatalan pemotrtan siang ini. Bianca harus bekerja keras agar ia bisa pergi ke club malam Jullio.

Meski kesal dengan Jullio, Bianca tetap tidak akan mau melupakan perasaannya kepada pria itu. Ia menginginkan Jullio dan akan berjuang hingga titik darah penghabisan. Titik.

**

Martin membawa mobilnya ke sebuah bar yang terletak tak jauh dari rumahnya. Masih terlalu sore untuk pergi ke club malam. Meski ia sudah berjanji kepada salah satu sahabatnya kalau hari ini ia akan datang, Martin akan tetap ke sana setelah makan malam. Kabar baiknya, setelah sekian lama hidup dalam kegelapan, setelah sekian lama tidak makan dan mandi dengan benar, hari ini untuk pertama kalinya Martin mulai menjalani hidup seperti manusia pada umumnya.

Jika biasanya Martin mandi tiga sampai lima kali dalam sehari, mulai hari ini ia akan mandi maksimal tiga kali. Di saat tertentu, ketika benaknya tidak lagi berpikir dengan jernih, seringkali Martin menghabiskan waktunya untuk berendam di dalam bathtub selama beberapa jam. Itulah alasan ia harus mandi lebih dari tiga kali sehari,

Dan untuk makan, siang ini ia sudah berhasil menghabiskan sepotong roti dan sebuah pisang yang ukurannya cukup besar. Martin melakukan semua itu setelah ia bertemu dengan lebah. Lebah yang memberinya softcase berwarna merah muda. Martin bahkan tidak membuang ponselnya lagi. Ia akan menyimpannya, berharap suatu hari ia bertemu dengan gadis yang-

Kening Martin terlipat saat ia melihat sosok yang sejak beberapa jam yang lalu menghuni benaknya. Bee? Katanya dalam hati.

Dengan gerakan yang cukup cepat, Martin memarkirkan mobilnya. Ia lalu turun dan berlari untuk menyusul Bee. Pintu bar terbuka cukup lebar saat Martin melewatinya. Pria itu melongokkan kepala kesana kemari, mencari keberadaan Si Penghisap Madu. Setelah sekian detik yang menegangkan, Martin akhirnya menemukan Bee duduk di salah satu meja. Sendirian.

Saat hendak menghampiri gadis itu, Martin melihat meja bartender yang ternyata penuh. Pria itu menduga Bianca sengaja duduk di meja sendirian karena menunggu orang-orang dan mengantri untuk memesan minuman. Kebetulan sekali Martin mengenal bartender itu. Ia bisa menyelinap dan meminta minuman pada temannya.

“Aku butuh dua minuman rendah alcohol.” Kata Martin pada sang bartender.

Dengan cekatan, pria yang sudah lama bekerja di bar itu segera meracik minuman dan memberikannya pada Martin. “Terima kasih.” Ucap Martin lalu melangkah untuk menghampiri Bee.

Martin menyunggingkan senyuman. Pria itu meletakkan dua gelas di atas meja Bee dan ikut duduk dengan santai. “Hai…” katanya saat Bee mendongak. “Senang bertemu denganmu lagi.”

Gadis bernama Bee menatapnya lekat-lekat, seolah mengingat siapa dirinya.

“Martin…” Katanya seraya mengulurkan tangan. Martin ingin melihat Bee lagi. Gadis itu mengubah pandangannya dalam menghadapi masalah yang saat ini menerpanya. Bahwa tidak semua orang beruntung bisa hidup seperti dirinya. Bahwa di luar sana, masih banyak orang yang mencoba tetap hidup meski maut mengancam mereka semua. Pengamil cilik itu contohnya.

Bee akhirnya mengulurkan tangannya. “Senang bertemu denganmu lagi, Martin. Kuharap kau sudah jauh lebih baik sekarang.”

“Seperti yang kau lihat. Kita belum berkenalan.” Martin merelakan tangan Bee saat gadis itu mengurai jabat tangan mereka. Ia ingin berlama-lama merasakan jemari lembut itu membungkus jemarinya. Ia ingin berlama-lama memandang wajah semanis madu dan suara selembut bisikan syurga.

“Namaku Bianca.” Kata gadis itu lembut. “Dan namamu Martin. Perkenalan ini selesai.” Bee mengulas senyuman.

“Kau lucu sekali.” Gumam Martin lebih kepada dirinya sendiri.

“Aku bukan layar komedi yang akan membuatmu tertawa, bukan?”

“Apa?” salah satu alis Martin terangkat cukup tinggi.

“Kau mengatakan aku lucu.”

“Tidak.” sangkal Martin.

“Iya.” Ucap Bee kekeuh.

“Kau salah dengar, Bee.”

Bee tertegun saat Martin mengucapkan nama panggilan itu. Gadis itu tampak tidak suka. “Jangan memanggilku seperti itu.”

“Kenapa?” tanya Martin merasa tidak enak karena menyinggung Bee.

“Karena hanya orang-orang yang dekat denganku yang memanggilku seperti itu.” kata Bee terus terang. Ah, nanti Martin akan menjadi salah satu orang yang menaggil gadis itu dengan sebutan lebah. Kita lihat saja nanti.

Martin cukup yakin ia akan menjadi salah satu orang terdekat Bee. Tidak peduli kapan waktu itu akan tiba. “Baiklah kalau begitu. Aku minta maaf. Kalau begitu aku akan memanggilmu, Bianca.”

“Boleh.” Bee memainkan ponselnya di atas meja saat mendengar sebuah lagu diputar. Ia sangat menyukai lagu itu. Lagu yang mengingatkan dirinya pada Jullio.

“Ngomong-ngomong, aku membeli minuman ini untukmu. Sebagai tanda terima kasihku karena kau memberiku es krim tadi siang.” Ujar Martin sembari menyodorkan gelas ke arah Bianca. Sekarang, ia tahu siapa nama gadis itu.

“Terima kasih. Kau tidak perlu repot-repot melakukannya. Es krim itu bukan apa-apa.”

“Begitu juga dengan minuman ini. Anggap saja kita impas.” Martin memaksa.

“Jika itu maumu, aku akan menerimanya.” Bianca menerima gelas itu. Ia meletakkan satu tangannya di gelas tersebut sehingga jemarinya dan jemari Martin tidak sengaja menyentuh satu sama lain.

Martin sengaja berlama-lama menyentuh gelas tersebut. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi salah satu orang yang dekat dengan Bianca. Namun, tiba-tiba seorang pria dengan perawakan yang cukup… sempurna datang menghampiri Bianca. Pria itu tampak begitu dekat dengan Bianca dan sejujurnya, Martin sama sekali tidak suka ada yang menganggu mereka berdua. Siapa pun pria itu, Martin seharusnya sadar, dirinya dan Bianca hanya sekedar kenalan yang tidak sengaja bertemu di taman. Tidak lebih.

“Bee?” pria itu menyentuh bahu Bianca dengan possessive. “Siapa dia?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status