Share

PROLOG

PROLOG

MARTIN melempar ponsel yang baru saja ia beli kurang dari satu jam yang baru. Benda pipih itu langsung tercecer di atas rumput hijau yang sebagian masih terbungkus embun pagi. Matahari belum sepenuhnya berada di atas kepala. Namun, teriknya berhasil membakar seluruh bagian tubuh Martin. Terutama hatinya. Seandainya saja keadaannya tidak seburuk ini, mungkin ia tidak akan membanting apa pun yang berada di tangannya atau berada di sebuah taman yang cukup sepi pada jam sepuluh pagi hari.

Kedua tangan Martin membungkus wajahnya yang kini sudah sepucat zombie. Martin lupa berapa banyak botol wiski yang ia teguk dan kapan terakhir kali ia makan dan minum atau tidur teratur. Sejak berminggu-minggu yang lalu, Martin memang tidak pernah lagi memikirkan dirinya. Ia cukup muak dengan semua yang terjadi pada kehidupannya. Jika bukan karena kedua orangtuanya, mungkin saat ini Martin sudah mengakhiri kehidupan yang kelam itu.

Tak lama berselang, Martin mendengar suara derap langkah kaki. Ia menduga ada seseorang yang lewat di hadapannya. Saat ini, Martin memang duduk di sebuah kursi taman yang berada tidak jauh dari jalur utama pelajan kaki yang hendak memasuki taman tersebut. Wajar sekali ada orang yang berlalu lalang di hadapannya. Martin mengabaikan suara kaki itu. Masih memejamkan matanya rapat-rapat.

Beberapa saat kemdudian, ia mendengar sebuah suara yang sangat asing baginya. Mau tidak mau, Martin mendongak untuk menatap suara perempuan yang ditangkap oleh gendang telinganya.

“Kau tidak boleh membuang barang-barangmu sembarangan seperti ini. Kalau kau tidak menyukainya, kau tetap harus membuangnya ke tempat sampah.” Ucap gadis yang kini duduk di sisinya. Gadis itu dengan cekatan menyatukan kembali bagian ponsel yang tercecer miliknya. Setelah semua bagiannya bersatu, gadis misterius itu meletakkan ponselnya di atas kursi. Ia lalu membuka tas dan mengambil sesuatu dari sana.

Martin mengamati setiap gerakan gadis itu. Gadis tersebut mengambil ponselnya sendiri, yang ternyata sama persis dengan miliknya. Gadis yang tidak diketahui namanya itu melepas softcase dari ponselnya lalu memasangkan di ponsel milik Martin. Kini, ponsel yang semula tergores di beberapa bagian itu sudah tertutup dengan softcase berwarna merah muda milik gadis itu. Tanpa ia sadari, sudut bibir Martin terangkat. Entah mengapa, kehadiran gadis itu membuatnya merasa sedikit lebih baik.

“Ini,” kata sang gadis seraya menyodorkan ponsel milik Martin. “Jaga benda ini baik-baik. Ponselmu bisa membiayai kehidupan satu anak jalanan hingga ia selesai kuliah. Kalau menyia-nyiakan benda ini sama saja kau tidak menghargai apa yang Tuhan berikan padamu. Kau mungkin punya banyak uang, tetapi bukan berarti kau bebas membuang barang berharga seperti ini.”

Martin menerima ponselnya. Ia lalu memasukkan benda tersebut ke saku hoddienya. Setelah itu, Martin kembali melihat gadis yang kini duduk di sisinya. Gadis itu mengambil sesuatu dari kantong plastic yang sengaja ia bawa. Sebelumnya ia tidak melihat kantong tersebut. Gadis itu mengeluarkan dua buah es krim rasa coklat dan vanilla. Ia lalu memberikan salah satunya untuk Martin. “Untukmu.” Katanya dengan senyum menawan.

Mau tidak mau, Martin menerima es krim itu dari tangan gadis yang duduk di sisinya. Ia mengamati es krim tersebut. Sebelum ia sempat membukanya, terdengar suara gadis itu lagi. “Kalau kau tidak bisa membukanya, aku bisa melakukannya untukmu.”

Martin menggeleng, membuka bungkus es krim bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan pria dewasa sepertinya. Segera setelah kembali memusatkan pandangannya pada benda tersebut, Martin melucuti bungkus es krim di tangannya dan mulai melahap makanan itu. Tiba-tiba saja ia merasa haus dan lapar. Gadis itu beraroma coklat, vanilla, stroberry dan kue. Mungkin itulah alasan akhirnya Martin merasa lapar seteleha sekian minggu nyaris tidak pernah merasakan enak atau tidaknya sebuah makanan.

Keheningan menyergap keduanya. Gadis itu bersandar di punggung kursi, tatapannya terpusat pada sekelompok anak kecil yang berkumpul di sisi jalanan, bernyanyi dan memainkan alat music ala kadarnya. “Seharusnya aku datang ke sini bersama seseorang.” Tiba-tiba gadis itu berbiacara. Martin menoleh sekilas untuk melihat gadis tersebut masih mengamati anak-anak jalanan yang tampaknya sedang mengamen. “Tapi dia tidak mungkin datang. Jadi, percuma saja aku membeli dua es krim. Aku tidak tega membuangnya. Jadi, kuberikan saja padamu.” Katanya lagi.

Martin tidak berani berkomentar. Gadis itu mungkin memiliki masalah yang kurang lebih sama seperti dirinya, tetapi ia tidak ingin mengorek lebih dalam lagi. Sekali lagi, gadis itu bukan urusannya.

Tak lama kemudian, seorang anak kecil datang menghampiri mereka berdua. Martin yang tidak terlalu terbiasa dengan pengamen sedikit ketakutan. Ia takut anak itu akan menganggunya. Namun di sisinya, gadis itu justru tampak girang.

“Aku…” anak itu bericicit. “aku akan bernyanyi.” Katanya lemah dan takut.

“Aku akan mendengarmku, jagoan!” kata gadis itu girang.

Anak kecil yang semula ketakutan itu kini bersorak gembira. “Terima kasih.” Katanya penuh penghargaan.

“Apa aku boleh memintamu menyanyikan sebuah lagu?” tanya gadis itu seraya mengacak-acak rambut si pengamen kecil.

Anak itu mengangguk ragu-ragu. “Tentu. Aku akan menyanyikannya kalau aku bisa.”

“Tolong nyanyikan lagu Twinkle Twinkle Litte star. Apa kau bisa?” tanya gadis itu pada si pengamen.

Anak itu mengangguk antusias. Ia lalu memetik gitar kecil nan usang di tangannya dan mulai berdendang. Suaranya yang kecil dan lemah memaksa gadis itu untuk ikut bernyanyi.

Twinkle, twinkle, little star

How I wonder what you are

Up above the world so high

Like a diamond in the sky

Twinkle, twinkle little star

How I wonder what you are

When the blazing sun is gone

When he nothing shines upon

Then you show your little light

Twinkle, twinkle, all the night

Twinkle, twinkle, little star

How I wonder what you are

Begitu lagu itu usai, gadis yang duduk di sisi Martin tertawa riang. Tawa yang membuat sedikit beban pikirannya berkurang. Tanpa ia sadari,Martin menyunggingkan senyuman terbaiknya. Ini adalah hari terbaik setelah ia melewati hari-hari buruk selama berminggu-minggu lamanya.

“Suaramu bagus sekali!” seru gadis itu seraya mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikannya kepada si pengamen kecil.

“Terima kasih.Tapi ini banyak sekali?” kata anak kecil itu.

“Apa sekolah?”

“Iya. Tapi hari ini ibuku sakit. Dia tidak bisa mengamen, jadi aku memutuskan untuk menggantikannya.”

“Siapa yang di sana itu?” tanya gadis itu lagi.

“Mereka adalah adi dan kakakku.” Jawab anak itu jujur.

Gadis yang duduk di sisi Martin kembali membuka tasnya. Ia lalu mengambil uang tambahan dan memberikannya kepada si pengamen. “Besok, pergilan ke sekolah. Semoga uang ini cukup untuk kalian. Dan hati-hati di jalan.”

Pengamen kecil itu mengangguk. “Kau baik sekali. Boleh aku memanggilmu Ibu peri?”

Sebuah senyuman muncul di bibir gadis itu, membuat Martin semakin tertarik. “Sayangnya, tidak. Aku bukan ibu peri. Tapi kau boleh memanggiku Bee.”

Bee?” ulang anak kecil itu seraya menelengkan kepalanya.

“Orang-orang di sekitarku memanggilku seperti itu. Bee.” Katanya sembari memberikan kantong plastic yang berisi makanan ringan dan roti. “Ini untukmu, sekarang pulang dan rawatlah ibu kalian.”

“Terima kasih, Bee. Kau baik sekali.”Anak itu lalu berbalik dan pergi meninggalkan Martin dan gadis bernama Bee.

Ah, jadi namanya Bee. Martin masih memikirkan nama unik itu setelah si pengamen kecil menghilang ditelah pohon yang menjulang tinggi tak jauh tempatnya duduk.

“Apa pun masalahmu, jangan sia-siakan hidupmu untuk menyesalinya. Karena di luar sana, masih banyak orang yang memiliki beban hidup jauh lebih berat dibanding dirimu. Contohnya anak kecil tadi.” Bee beranjak dari duduknya. “Have a nice day-“ ia menjeda ucapannya. Tatapannya bertemu dengan manik mata lelaki yang terlihat sepucat zombie.

“Martin.” Ucap Martin untuk pertama kalinya.

Have a nice day, Martin. See you.”

Martin masih memikirkan kata-kata Bee saat gadis itu pergi meninggalkannya dan menghilang di balik sebuah mobil berwarna merah yang langsung bergabung dengan mobil-mobil lain di jalanan.

Bee telah mengubah perasaannya yang tadinya sangat buruk menjadi jauh lebih baik. Martin menyesal ia tidak bertanya kepada gadis itu di mana ia tinggal dan berapa nomor ponselnya. Namun, dalam hati ia bertekad akan mencari Bee.

Ya, Bee. Lebah yang manis.

Ah, mungkinkah Bee terlalu banyak menghisap madu sehingga dia bisa terlihat dan terasa semanis itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status