Aku berlari sekuat tenaga, saat seekor an jing mengejarku secara tiba-tiba. Bagaimana aku tidak takut dengan hewan satu ini? Hewan yang akan menyalak apa bila ada orang baru yang dia lihat. Dikiranya aku orang jahat mungkin.
"Bagaimana, Mar? Apa kamu bisa masak?" tanya Bu Sela--mertuaku.Aku yang baru saja masuk membawa barang belanjaan dan berpeluh-peluh karena di kejar hewan si alan itu tidak menjawab, sebab masih sibuk mengatur napas. "Kamu di tanya malah kayak orang habis kena asma!" sentaknya membuatku sedikit kaget dengan suaranya. "Maaf, Ma. Yuni habis di kejar an jing." Aku membela diri."Ya, sudah habis ini kamu masak, sesuai yang aku tulis di kertas yang tertempel di kulkas," perintahnya. Siap, Maryuni bisa masak apa saja, asal ada bahan-bahan yang tersedia.Mama mertua berlalu meninggalkan aku yang masih selonjoran di lantai dapur karena kelelahan. Aku masih belum paham dengan karakter mama, apa dia baik atau julid seperti mertua tetangga di kampung dulu, entahlah. Sebelum banyak protes yang di lakukan oleh mertua, aku bergegas menyiapkan bahan-bahan, sesuai dengan masakan yang mama perintahkan.Aku tidak mau di cap menantu manja, meski kenyataanya aku berharap di manjakan.Pukul sebelas lebih seperempat waktu yang di tunjukan oleh benda bulat yang tergantung di dinding ruang makan. Semua makanan sudah tersaji dan siap untuk di santap.Mas Anjar-suamiku jam segini pasti belum pulang kerja, jadi aku memutuskan untuk memanggil mama mertua dulu. "Ma, masakan sudah siap, mau di ambilkan apa mau makan di meja saja?" Tidak ada jawaban, tetapi pintu terbuka dan wajah mama menyembul dari balik pintu. Tanpa ba bi bu mama langsung menuju meja makan, mengambil piring, menyentong nasi lalu beberapa lauk sudah berada di atas nasi yang masih mengepul. Untung saja aku sudah menyisihkan lauk untuk suamiku."Panggil Meri," perintahnya, bo dohnya aku hanya menurut saja seperti kambing yang di cucuk hidungnya.Meri iparku yang katanya lulusan sarjana, tetapi lebih memilih menganggur di rumah dengan alasan nggak mau kerja sembarangan. Mereka melahap semua masakan yang terhidang, tanpa mengajaku dan menyisahkan untuk makan siangku.Tidak apa toh mungkin mereka sangat lapar. Kedatanganku saja di sambut dengan kosongnya kulkas, habisnya gas, tiadanya beras apa lagi uborampe perbumbuan. Tidak ada sama sekali!Yaa Allah, apa selama ini mereka tidak makan? Entah lah.+++Seminggu sudah aku berada di rumah mertua, keinginanku untuk pindah sudah aku utarakan dengan Mas Anjar, entah setuju atau tidak belum juga ada jawaban. Menghadapi kelakuan dua perempuan beda usia tersebut membuatku ingin manjat pohon kelapa, Ahhh... "Mbak Mar, sekalian cuciin baju aku, ya," perintah Meri yang datang secara tiba-tiba di kamarku.Mau di bilang bocah sudah besar, tapi kelakuannya kayak nggak punya sopan santun. "Aku lagi sibuk, cuci saja sendiri. Toh tinggal masukin mesin cuci," tolakku halus. Sebenarnya aku malas mengerjakan semua perintah mereka. "Sibuk apa? Dari kampung aja bela gu!" sungutnya.Wow ternyata bukan hanya cerita dalam drama Kbm saja ipar seperti ini. Oke, Maryuni beraksi."Lha emang kamu yang di kota sibuk apa?" tanyaku sembari meletakan hape di atas nakas. "Maksud kamu mau ngatain aku pengangguran? Hah!" bentak Meri tidak terima. Wah dia terpancing dengan ucapanku."Oh tentu tidak, aku hanya bertanya iparku yang manis," jelasku sambil mendekat lalu mengambil baju kotor yang ada di tangannya."Nah, gitu kan cocok!" Maksudnya aku cocok jadi pembantu gitu? Tidak ini hanya permulaan saja. Aku berjalan keluar menuju kamar mama."Ma, Meri meminta Mama untuk mencucikan bajunya dia sibuk katanya," kataku sambil melirik Meri yang mengekor di belakangku.Rasain!Mama tertegun dengan ucapanku, tetapi dia memilih mendekati Meri bukan mengambil pakaian kotor yang ada di tanganku."Tadi katanya sudah nyuci?" tanya Mama pada Meri.Meri hanya diam tidak menjawab pertanyaan Mama."Berikan pada Meri, Mar. Biar dia yang nyuci sendiri!" Yes, aku berhasil. "Siap, Ma." Aku berbalik menuju Meri yang menahan amarah memberikan pakaiannya lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Sebelum aku menutup pintu kamar ku lirik Meri yang berjalan sambil menghentakan kaki.Aku tidak peduli!Hari ini aku akan mengunjungi usahaku setelah beberapa hari tidak berangkat dan memilih menyuruh orang lain untuk mengurus lapak sayur yang aku rintis dari nol.Aku tidak mau para pelangan pergi karena saking lamanya aku tidak mengirim barang ke mereka. Meski jarak yang harus aku tempuh sekitaran satu jam perjalanan belum lagi baliknya, tetapi hari ini aku ingin memberi tangung jawab kepada dua orang yang membantu aku selama ini.[Mas, aku berangkat sekarang ya 😊 ]Segera aku kirim
Mas Anjar tidak bertanya tentang toko yang di katakan oleh Meri. Mungkin karena Meri tidak bisa membuktikannya. "Mas, bagaimana permintaanku kemarin?" tanyaku pada Mas Anjar yang masih sibuk dengan lembar-lembar kertas yang berada di depannya."Untuk apa kita pindah, Yank? Bukankah di sini lebih asik? Banyak temen ngobrol, ada mama juga Meri yang selalu di rumah," jawabnya seperti tanpa beban. Dia tidak tahu bahwa kelakuan adik perempuannya layaknya bayi, mama masih mending tidak begitu mencampuri urusanku. "Justru karena Meri dan Mama di rumah, Mas." "Terus maksud kamu Mama dan Meri suruh pergi begitu?" tanyanya memicingkan mata. "Siapa yang bilang begitu? Justru karena mereka di rumah kita harus pindah, biar bisa mesra-mesraan setiap saat. Aku nggak nyaman begini," keluhku.Urat leher Mas Anjar sedikit mengendur setelah mendengar penjelasanku barusan. Aku kira dia akan memprioritaskan aku, tetapi semua hanya keinginanku saja. Drett!Drett!Drett!Hape yang sengaja aku letaka
Setelah menutup gerbang, aku mengajak mama menyusuri trotoar. Mama hanya mengekor langkahku tanpa keluar sepatah kata pun."Mar, kalian kenapa?" tanya mama membuka percakapan. Malas sebetulnya menjawab pertanyaan mama, tetapi kalau aku hanya diam di kiranya aku yang keterlaluan. "Mas Anjar, Ma. Dia memintaku untuk membelikan jajan buat Meri, tapi nggak ngasih uang," jelasku."Jangan di kasih, biar dia mencoba mandiri!" Wanita berkerudung cokelat itu terus melangkah, sementara aku terperangah dengan ucapannya barusan. "Jadi, Mama nggak marah?" Aku balik bertanya."Untuk apa marah, lagi pun memang Anjar pelitnya minta ampun. Jadi wajar kalau harus di kasih peringatan. Biar dia tau kalau perbuatannya itu keterlaluan." Aku mencoba menggandeng tangannya, beliau tersenyum ramah, lalu mengaitkan jemari dan membawaku dalam langkahnya. Andai Simbok masih ada, mungkin aku akan sangat senang mengajaknya walau sekedar jalan membeli bubur kacang ijo langganan. "Mar, kenapa dulu kamu mau sam
"Siapa bilang, Mbak?" tanya mbak Wati kebingungan. "Teman kamu ini," ucapku menunjuk wanita yang kutahu bernama Desti tersebut. "Jangan menuduh, Mbak!" sentaknya. "Oh, ya! Lalu tadi siapa yang menjual brokoli seharga dua puluh lima ribu kepadaku tadi? Bukankah kamu yang melayaniku?" "Mbak itu siapa berani-beraninya memfitnah saya!" bentaknya tidak terima. "Wow! Ternyata ini karyawan baru yang beberapa hari yang lalu nangis-nangis minta di beri pekerjaan?" Suaraku tidak kalah lantang. Dia pikir aku akan takut dengan gertakkannya. Keributan kami mengundang para pengunjung pasar pagi itu penasaran. Akan tetapi, aku tidak peduli. Toh, orang ini sudah berbuat curang di tokoku. "Desti! Jangan kurang ajar kamu! Mulai sekarang kamu berhenti dari sini!" usir mbak Wati. "Mbak percaya sama dia! Tolong mbak jangan mudah percaya! Aku butuh pekerjaan ini," rengeknya seolah dia orang yang terdzolimi. "Iya, aku lebih percaya pada bos pemilik toko ini, di bandingkan dengan kamu. Orang yang t
Setelah menutup gerbang dan bersiap untuk membuka aplikasi Go Car, tiba-tiba saja ada orang yang menyiramkan air ke arahku dengan sengaja. "Sial!" Aku menoleh, ternyata Meri yang melakukan itu semua. Dasar manusia tidak punya tata krama."Itu ganjaran buat orang yang sudah merusak kebahagiaanku!" teriak Meri dari dalam gerbang. "Kebahagiaan apa? Kebahagiaan menipu saudara sendiri? Wow ... Ternyata ada orang yang bisa bahagia di atas penderitaan orang lain?" Segera aku kembali kedalam untuk berganti baju, untung saja ponsel di tangan masih aman. Kalau sampai rusak gara-gara kena air, aku pasti akan menuntut Meri. Belum saja menginjakkan kaki di teras, Meri menarik rambutku yang tergerai. "Dasar orang kampung! Sudah miskin bela gu! Sebelum kamu datang ke sini semua baik-baik saja! Tapi sekarang aku harus kehilangan kasih sayang mas Anjar!" teriak Meri kalap sambil menarik dan mencakar wajahku. Dengan sigap aku menarik tangan Meri dan segera menjatuhkannya ke tanah. Sebelum wajahk
"Siapa yang kuli? Dia bukan kuli! Dia itu pemilik semua ini!" Yaa Allah, Mbak Wati. Aku melotot ke arah mbak Wati. Untungnya Meri menghadap ke arahnya, jadi ketika aku memberi kode, Meri tidak melihat. "Maksudnya apa? Siapa pemilik semua ini?" tanya Meri seperti penasaran. "Em ... Itu ... Dia pemilik semua barang sampah ini. Jadi dia bukan kuli. Dia mengambil semua itu untuk tambah-tambah pemasukan," sanggah mbak Wati."Oh ... Aku kira dia pemilik toko ini. Duit dari mana? Hasil ngepet!" sindir Meri sambil berlalu.Aku bernapas lega. Jika tadi mbak Wati sampai membocorkan semua ini, alamat Meri akan berubah seratus delapan puluh derajat. "Kenapa, si, Mbak? Dia siapa?" tanya mbak Wati penasaran dengan kejadian barusan. "Dia iparku, Mbak. Pokoknya jangan sampai ada keluarga mas Anjar yang tau kalau toko ini milikku. Apa lagi perempuan tadi," jelasku.Kami kembali ke rutinitas semula, setelah menutup toko, Mbak Wati berpamitan untuk pulang. Sementara aku menuju warung nasi padang.
Maksudnya seperti mantan istrinya yang bagimana?Menajamkan pendengaran dan menjernihkan pikiran yang aku lakukan saat ini. Aku ingin mendengar apa saja yang ingin mereka bicarakan, bisa jadi di luar pikiranku."Kamu sabar dulu, jangan gegabah," lanjut mas Anjar."Makasih buat semuanya, ya, Mas." Meri beranjak lalu mencium pipi suamiku.Astagfirullah. Aku bersandar di dinding agar Meri tidak melihat keberadaanku. Kini jarak antara Meri dan mas Anjar sangat dekat, bahkan mas Anjar balik mencium kening Meri. Apa seperti ini yang mereka lakukan setiap kali aku tidak ada. Bukankah mereka saudara kandung? Yaa Allah, nyeri sekali dadaku. Kuputuskan untuk kembali ke kamar, sungguh kenyataan ini sangat menyakitkan. Kenapa mereka melakukan hal yang sangat menjijikan. Bahkan mereka melakukan selayaknya orang pacaran? Apakah hal ini yang membuat mas Anjar bercerai dengan istrinya? Kepalaku berdenyut nyeri memikirkan kemungkinan-kemungkinan di luar nalar. Tidak terasa tanggul yang sengaja da
"Maryuni, kamu dari mana?" Suara lembut itu membuatku menoleh ke sumber suara. Belum pernah aku bertemu dengan orang ini, tetapi dia bisa tahu namaku."Dia siapa?" batinku bermonolog.Perempuan berjilbab lebar itu mendekat, lalu mengulurkan tangannya menyapaku. "Hai, perkenalkan aku Naomi mantan istri Anjar," sapanya ramah.Sejenak aku tertegun dengan ucapannya barusan, dia adalah mantan istri mas Anjar? Apa tidak salah mas Anjar menceraikannya? Wanita ini sungguh terlihat luar biasa. Bukan hanya parasnya, tetapi tuturnya pun lembut tidak di buat-buat. "Kok, malah bengong," imbuhnya sambil tersenyum renyah. "Em ... Saya Maryuni, Mbak. Dari mana mbak tau kalau saya istri mas Anjar? 'Kan kita belum pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku penasaran. "Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di sana," ajaknya menuju sebuah warung kopi.Aku menurut saja, mengikuti langkahnya sedangkan aku menyalakan motor menuju warung itu. "Kopi guday karebian satu pake es, ya, Pak. Kamu mau minum apa,