Share

05 . Awal Perjalanan

"Sakit dalam perjuangan itu hanya sementara. Bisa jadi kamu rasakan semenit, sejam, sehari , atau setahun . Namun jika menyerah, rasa sakit itu akan terasa selamanya." Lance Amstrong.

____________________________________________________________________________

Wei Fangying menatap negara Tiongkok yang semakin kecil dari ketinggian, airmata pun menetes di ujung matanya saat bayangan akan kenangan masa kecil bermain di pelupuk matanya. Masih sangat jelas dalam ingatannya, bagaimana kakek Wei menghapus diam-diam airmata yang jatuh di pipi tuanya saat dirinya meminta restu untuk hidup sendiri.

Masih didengarnya suara tangis adik perempuannya Nuan Nuan yang tak rela ditinggalkan. Begitu juga tatapan sedih dan kecewa di mata adik lelakinya Wei Ju Long yangsempat berbisik akan mencari dan menyusul dirinya dimana pun berada. Tangis kehilangan dari mama, yang sepanjang usiannya lebih banyak menangis untuknya. Dan tatapan bersalah yang ditunjukkan paman Lin yang seakan ingin mengatakan kalau semua ini adalah kesalahannya.

Tidak paman, ini bukanlah kamu yang memulai tapi takdirlah yang mengatur ini semua. Takdir sudah menuliskan seperti inilah jalan cerita keluarga Wei. Paman Wei Qio Lin memang sangat berbeda dengan kakak lelakinya mendiang Wei Qio Yue yang arogan dan tak setia. Paman Lin type pria lembut berhati hangat yang sangat menyayanginya bukan sebagai keponakan tapi sebagai putra sulungnya.

Bahkan setiap bulan paman Lin tak pernah absen mengisi saldo tabungannya walau dirinya tak pernah memintanya. Dan secara perlahan paman Lin juga mengembalikan semua aset yang disiapkan oleh kakek untuknya, aset yang sempat direbut oleh mendiang ayahnya.

Bahkan paman Lin menugaskan salah satu pekerjanya untuk mendampingi dan memantau kehidupan Wei Fangying dari jauh. Agar putra pertamanya itu tidak merasa menderita sendirian di tanah yang jauh dari tanah leluhur.

Wei Fangying memejamkan kedua matanya, dia tak mengantuk seperti halnya paman Wong yang sudah tertidur nyenyak. Dia hanya memikirkan apa yang akan dia lakukan di Singapura nanti. Apakah dia hanya makan dan tidur dirumah sepupu jauhnya, atau bekerja dengan bermodalkan ijazah yang dia bawa. Wei Fangying sama sekali belum memiliki bayangan untuk itu.

Dia berjanji dalam hati, untuk tidak merepotkan kakek juga pamannya. Dia ingin buktikan kekuatannya sendiri dalam membentuk dua kaki yang kokoh dan dua lengan yang kuat untuk menopang ke hidupannya dimasa depan.

Suara merdu awak kabin membangunkannya akan mimpi makan bersama seluruh keluarga, saling bersenda gurau dengan menghadap aneka makanan lezat.

"Apa kita sudah sampai, tuan muda?" paman Wong yang juga terbangun mengedarkan pandangan ke sekeliling kabin ekonomi itu. Dirinya harus berhemat untuk uang yang dia bawa. Sebenarnya bisa saja dia memilih untuk duduk dikelas bisnis, tapi pikirnya itu hanya membuang uang saja. Sementara antara penumpang kelas bisnis dan ekonomi sampai ditujuan bersama-sama. Jadi apa istimewanya.

"Belum paman, pilot masih mencari jalur aman untuk turun ke landasan."

Paman Wong hanya mengangguk mendengar jawaban tuan mudanya ini. Lalu kembali menyandarkan punggungnya kekursi.

Tiga puluh menit kemudian suara pilot terdengar, mengabarkan kepada penumpang kalau pesawat sudah bersiap melakukan pendaratan di bandara internasional Changi, Singapura.

Wei Fangying segera memeriksa nomor telphone juga alamat milik kakak sepupunya itu agar tidak salah.

Hentakan roda dengan aspal landasan pacu menandakan kalau saat ini mereka sudah menginjak bumi, tidak lagi melayang diantara awan diatas ketinggian hampir 30 ribu kilometer. Dan akhirnya bangunan bandara Changi pun terlihat sempurna dengan segala kemewahannya

Fengying tetap berada di kursinya hingga semua penumpang turun, dia memang paling malas untuk berdesak-desakan.

Mereka langsung menuju ruang bahasi untuk mengambil tas yang tidak terlalu besar. Lalu melapor kepihak imigrasi bandara atas paspor yang mereka miliki.

Ternyata kakak sepupunya sudah menunggunya di depan pintu keluar gedung kedatangan. Pria bertubuh sedikit pendek darinya itu tersenyum lebar lalu memeluk saudaranya erat.

***

"Ayo kita langsung pulang saja, kakakmu Lin mei sudah menyiapkan makan siang istimewa untukmu." gege Youpan mengajak Wei Fangying juga paman Wong untuk masuk kedalam mobil milik kakak sepupunya itu.

****

Kehidupan yang baru bagi tuan muda Wei pun dimulai. Selama di Singapura yang merupakan kota modern di kawasan Asia Tenggara, Wei Fangying tinggal untuk sementara di salah satu flat di apartemen murah dikawasan yang tak jauh dari Marina Park, yang merupakan salah satu icon terkenal di Singapura dengan patung ikan berkepala manusia yang diberi nama Marlene.

Setiap pagi Fang Ying akan membantu kakak sepupunya membuak kedai Laksa makanan khas Singapura yang berupa mie dengan kuah pedas dengan rasa yang nikmat.

Bekerja dari pagi hingga menjelang sore, dan malamnya Fangying bekerja disebuah pusat keramaian bagi para penggemar kehidupan malam. Mencoba menjadi seorang bartender dengan percaya diri.

"Lusa, pergilah kau temani Jacky ke Batam. Dia kakak suruh menagih uang pembayaran sewa kapal."

Fangying mengangguk sembari tangannya membersihkan meja agar pelanggan yang datang merasa senang.

Batam, adalah salah satu kota penghubung antara Singapura dan Indonesia. Mengingat nama Indonesia, mendadak terbit senyum cerah penuh harapan di hati Fangying.

"Aku akan coba meletakkan garis start di Indonesia. Kakek, mohon restui aku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status