Maya menggelengkan kepala kuat-kuat. Wanita itu mengangkat tangan. “Saya keberatan!”
“Saya enggak,” jawab kepala sekolah enteng.Maya mendelik. “Bapak aja! Bapak ‘kan nganggur di kantor!” balasnya tidak kalah enteng.Wanita itu mendapat pelolotan tajam dari kepala sekolah. Saking tajamnya sampai-sampai bisa menembus tulang punggung Maya. Bahkan tanpa bersuara pun, Maya dapat memahami kalimat yang dikatakan kepala sekolah; MAU SAYA POTONG GAJIMU, HAH?!TIDAK!Maya meringis. Kalah telak kalau begini caranya.“Saya aja, Pak!” Bisma mengacungkan tangan. Melihat keengganan yang ditunjukkan Maya membuat Bisma menjadi pahlawan kesiangan.“Enggak mau. Dila maunya sama mama!” Dira angkat bicara. Anak kecil itu meminta untuk diturunkan dari gendongan sang ayah, berlanjut dengan memeluk kaki Maya.Kepala sekolah yang tidak tahu apa-apa, hanya mengiya-iyakan saja. “Tuh, Nak Dira maunya sama mama!”Kenapa kepala sekolah malah ikut-ikutan manggil mama?!Sekarang Maya tidak bisa berkutik lagi. Dira tampaknya tidak ingin melepaskan Maya. Apa boleh buat? Lagi pula menolak akan membuat semuanya semakin runyam dan Maya tidak menginginkan itu.“Ya sudah, saya yang akan jadi pemandu Pak Angga," putus Maya pasrah.Dira melepaskan pelukannya, menatap Maya dengan binar mata penuh harapan. “Yeeey! Dila sama mama!”Maya mencoba untuk tersenyum. Anak-anak tidak bersalah. Di umur-umur seperti Dira sekarang, lingkunganlah yang memberi pengaruh sangat besar terhadap pola pikirnya. Hal tersebut sudah pasti berkaitan dengan Angga sebagai ayah Dira.Apa yang sudah dilakukan Angga sampai anaknya memanggil Maya mama? Ke mana mama kandung Dira? Atau pertanyaan lain yang ingin Maya ajukan; kenapa Angga bisa berada di sini?Menjadi pemandu sekolah artinya bisa mendapatkan informasi yang jelas. Maya ingin mengambil kesempatan ini untuk mencari tahu semuanya.Maya meraih tangan Dira. “Ayo, Dira, kita berkeliling sekarang.”“Ayok, Mama!” ucap Dira bersemangat. Keduanya lalu berjalan menjauh dari kantin, sedangkan Angga mengekor di belakang.Tinggal Bisma dan kepala sekolah yang masih bertahan di sana. Bisma berdiri di sebelah kepala sekolah, menatap kepergian Maya hingga punggung itu menghilang.Kepala sekolah berkacak pinggang dan menarik ekor mata pada Bisma. “Apa yang sebenarnya terjadi, Bis?”Bisma menggeleng. “Saya juga gak tau, Pak.”***“Gimana, sih? Teledor banget jadi orang tua!” Maya menghentikan diri ketika mereka sampai di taman. Tempatnya menemukan Dira tadi.Wanita itu membalikkan badan, mendapati Angga yang tidak terlalu berjarak dengannya. Laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan sekaligus pernyataan Maya. Dira sendiri sudah melepaskan diri dan memilih untuk mengamati bunga bugenvil.Maya sebenarnya ingin mengesampingkan urusan pribadi dan pekerjaan. Tapi ternyata wanita itu tak mampu. Maya bisa mati penasaran kalau terus menahan diri.“Kalau anakmu tadi kenapa-kenapa, gimana coba?” Maya masih menasehati Angga. Berbaik hati pada sang mantan yang kelihatan tenang.Angga memasukkan tangan ke dalam saku celana. “Buktinya Dira aman dan menemukan mamanya ‘kan? Jadi apa yang perlu dipermasalahkan?”Maya berdecak. “Apa, sih?! Dari tadi kalian berdua aneh! Aku bukan mama anakmu!"Angga mengangkat bahu. “Kalau begitu kamu harus terbiasa.”“Gila!” Maya mondar mandir di tempatnya. “Tahu ternyata kamu yang jadi kepala yayasan sekolah ini aja udah bikin aku bingung! Eh, kamu malah menambahkan daftar kerumitannya!”“Kenapa juga harus diperumit?” Angga menaikkan sebelah alisnya. “Memangnya kamu gak mau jadi mama Dira?”Maya memijat pelipis. Kepalanya berdenyut. “Jangan bikin aku bingung, deh! Istrimu mana? Kenapa gak ikut? Seharusnya laki modelan kamu yang masih gangguin mantannya diikat aja di rumah!”Angga tidak menjawab. Laki-laki itu malah melirik jam tangannya.Maya menciut. Melihat keseluruhan penampilan mantannya itu sekali lagi, dia percaya bahwa laki-laki itu sudah mapan.“Sebentar lagi saya ada rapat.” Tatapan Angga bersiborok dengan Maya. Dia tidak ingin membuang-buang waktu mendengar ocehan Maya. “Kamu bisa jagakan Dira 'kan?”Maya melotot. Sebelum sempat protes, Angga lebih dahulu berujar, “Dira, Ayah harus buru-buru ke kantor. Kamu sama mama dulu. Nanti Ayah jemput sekitar dua jam lagi.”Anak kecil yang kini sibuk memetik bunga itu menoleh. “Baik, Ayah.”Sedikit senyum terpatri di wajah kaku itu. Tapi Maya melihatnya sebagai sesuatu yang harus dihindari. “Saya titip Dira sama kamu.”“NO!” tolak Maya, “Gak akan! Dia bakal kutinggalin di sini sendirian kalau kamu masih nekat nitipin dia sama aku!”Angga melemaskan bahu tegapnya. Menatap Maya penuh arti. “Lima ratus ribu setiap satu jam.”“Setuju!” jawab Maya tanpa pertimbangan. Tawaran yang menggiurkan. Mana bisa dia menolak.Lagi-lagi Angga memaksakan diri untuk tersenyum. Senyum yang sukses membuat Maya getir dan lekas mengalihkan pandangan. Mana bisa dia terpesona dengan sang mantan yang sudah beristri dan punya anak.“Saya titip Dira sama kamu,” katanya, lalu tanpa basa-basi melangkah pergi.Maya tersenyum jahat. “Lamain juga gak papa!" ucapnya setengah berteriak.Wanita itu dengan mudah melupakan semua kekesalan dan banyak pertanyaan di kepala. Ya, semua karena uang.Uang memang bisa membuat Maya senang.***Daripada ke kantor guru, Maya lebih memilih membawa Dira kembali ke kantin. Wanita itu ingin melipat gandakan uang dengan membiarkan Dira memilih jajanan sesukanya. Dia akan memungut biaya dua sampai tiga kali lipat harga aslinya.Susu pisang, ternyata hanya itu yang dipilih Dira setelah mengamati isi freezer cukup lama. Wanita itu sempat kagum mengetahui Dira mampu membaca merek-merek minuman.“Gak mau yang lain?” Maya berusaha menghasut. "Ambil aja sebanyaknya, Dira."Anak kecil itu menggeleng. “Enggak, Mama. Dila mau susu pisang aja.”Maya memanggutkan kepala, tidak ingin memaksa. Wanita itu mengambil teh botol dan beralih ke meja di samping freezer yang dipenuhi dengan makanan ringan.Dira menarik ujung blouse Maya. Wanita itu melirik. “Mama, kata ayah itu makanan yang enggak sehat."Maya berdecih. Ajaran macam apa itu? Kenapa Angga begitu ketat dengan anaknya sendiri?“Oh, begitu, ya? Tapi sekali-sekali, gak papa, kok, Dira.” Maya menjelaskan, memberi sebungkus makanan ringan untuk anak kecil itu. “Ambil, gih. Itu kesukaan Kakak. Keripik kentang rasa jagung manis.”“Oke, Mama.” Dira duduk di kursi terdekat. Mulai menikmati susu pisangnya.Setelah melakukan pembayaran, Maya ikut melipir duduk di samping Dira. Wanita itu membuka makanan ringan yang mereka beli. Bau harum menyeruak setelahnya.Maya mengambil satu buah keripik, menyerahkannya pada Dira. Anak kecil itu menyambut dengan baik. “Coba, deh, Dira.”Dira menggeleng, teringat sesuatu. "Nanti Dila dimalahin, Ayah.""Nanti kita marahin balik," ujar Maya tanpa tedeng aling-aling."Gak papa kalau Dila makan ini, Ma?" Anak kecil dengan poni sealis itu masih memastikan.Maya mengangguk. "Makan aja. Kakak bolehin, kok.""Oke, Mama."Dira segera memasukkan keripik itu ke mulut. Tersenyum, kemudian mengambil keripik itu lagi dari bungkus, memakan, dan melakukannya berulang.“Enak, Mama!”Maya menyeringai. Tidak ada seorang pun yang bisa tahan godaan micin.Wanita itu puas melihat Dira puas. Dia akan meminta bayaran empat kali lipat kalau begitu. Toh, Angga sekarang sudah kaya ‘kan? Tentu uang sekecil itu tidak bernilai baginya.Tapi masih ada yang mengganjal.“Dira, jangan panggil saya mama, dong. Panggil kakak, aja, oke?” Maya masih tidak tahu alasan Dira memanggilnya begitu. Bertanya pada bapaknya? Bah, lihat sendiri Angga tidak mau menjawab.Dira menggeleng kuat-kuat. “Enggak mau. Mama ‘kan Mama Dila!”“Kenapa, sih, kamu manggil Kakak, mama? Kakak aja belum menikah.”“Enggak mau! Pokoknya mama!” Anak kecil itu hampir menangis dan Maya tidak menginginkannya terjadi.Maya mengembuskan napas. Apakah Angga sudah mencuci otak anaknya sendiri?“Ya sudah, panggil saya ibu, oke?" putus Maya. Itu panggilan yang jauh dari kesalahpahaman dan sesuai untuk digunakan terlebih profesinya sebagai guru.Dira menggeleng lebih keras. “Enggak mau, Mama!”Maya mengusap dada sabar. Baik, anggap saja Dira iseng dan kita harus memakluminya sebagai orang dewasa. Kalau saja Dira bukan ladang cuan, sudah dipastikan dia tidak mau menjaga anak mantan."Mama tidak sayang Dila, ya?"[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih