"Hah?"
"Mama udah gak sayang Dila, ya?" Maya bisa melihat bibir mungil itu melengkung ke bawah.Apa yang harus Maya lakukan? Menjawab? Wanita itu saja tidak tahu apa-apa.Sebagai gantinya, Maya memeluk gadis kecil itu. Bagi Dira, itu jawaban iya. Namun, tidak berarti apa-apa bagi Maya. Hanya pelukan yang menenangkan.Selebihnya mereka bercanda bersama dan menghabiskan camilan yang ada sambil menunggu ayah Dira tiba.Angga menepati janjinya dengan menjemput Dira dua jam kemudian. Ah, padahal nambah satu jam lagi tidak masalah bagi Maya.“Dila gak mau pulang, Yah!” Dira merapatkan badannya pada Maya, tidak mau melepaskan tangan wanita itu.Maya mengusap rambut Dira yang halus dan lembut. Menatap Angga dengan sorot kemenangan. “Ya sudah, biarkan aja dulu Dira main sama aku.”Dan Maya akan menghitung setiap detiknya untuk ditukar rupiah!“Ketemu mama besok lagi, Dira. Sekarang waktunya kita pulang. Ini jam tidur siangmu.” Angga berjongkok, memberikan pengertian pada Dira. Maya kembali berdesir ketika menaruh minat pada suara bariton milik laki-laki itu.“Enggak, mau, Ayah!” Dira bersikeras. “Kecuali mama ikut. Baru Dila mau pulang!”Angga melirik Maya, bertanya lewat tatapan mata; ‘Bagaimana? Mau pulang bersama kami?’Maya termenung beberapa saat. Pulang dengan Dira ke rumahnya akan menambah jumlah cuan yang dikantongi. Namun, risikonya juga lebih besar. Dia akan bertemu dengan istri Angga atau yang paling parah, dianggap pelakor!Terpaksa Maya melupakan sumber penghasilan dadakannya ini. “Dira, ayok pulang dulu. Kata Ayah ‘kan harus tidur siang. Nanti kalau gak tidur siang, digigit nenek ompong, lho. Emangnya Dira mau?”Anak kecil itu menggeleng. “Dila gak mau, Mama.”“Ya sudah, kalau begitu Dira harus pulang, oke?”Maya melihat kesedihan di mata anak itu. “Maunya sama Mama. Mama pulang sama Dila, ya, ke lumah?”Maya tersenyum. “Enggak bisa, Dira.”“Kenapa?” Dira kelihatan bingung. “Lumah Dila bagus, Mama.”Angga menghela napas. Urusan ini tidak akan selesai kalau terus begini. Laki-laki itu memegang kedua bahu Dira. “Sayang, Mama masih ada urusan di sekolah. Besok saja kalau mau bertemu lagi. Oke?”Ini kenapa bapaknya ikut manggil-manggil mama, sih? Kalau iseng emang gak tanggung-tanggung. Maya membatin.“Besok kita ketemu lagi ‘kan, Ma?” tanya Dira penuh harap. Tanpa pikir panjang Maya mengangguk.“Hore …! Kalau begitu Dila mau pulang, deh.” Dira melepaskan pegangan tangannya. “Ayok, Ayah.”Angga bangkit, berjalan bersisian dengan Dira dari kantin menuju mobil. Maya mengikuti. Masalahnya belum tuntas dengan bapak satu anak itu.Setelah menutup pintu mobil untuk Dira di kursi belakang, Maya melipir ke jendela pengemudi yang terbuka. Berdeham beberapa kali untuk membuang harga dirinya karena telah bertindak sejauh ini demi uang.“Aku udah jagain anakmu, tuh. Jadi, mana bayaranku? O, ya, tadi Dira juga beli minuman di kantin. Harus diganti lima kali lipat, ya.” Tanpa segan Maya mengulurkan tangan.“Sayangnya saya gak bawa uang tunai. Kalau mau, kamu bisa masuk ke mobil biar kita ke atm sekarang.” Angga menepuk kursi di sebelahnya.Maya berdecak, merasa itu hanya akal-akalan Angga. Dia tidak mau terjebak. “Gak perlu. Aku perlu bayaranku sekarang!”“Saya gak bawa uang tunai, Lia.”Maya bergidik ketika Angga memanggilnya demikian.“Jangan panggil aku Lia!” Maya menatap nyalang Angga. “Pokoknya aku perlu bayaran sekarang!”“Kita harus ke atm dahulu.”“Gak mau tau!”“Masuk, gih.” Angga belum menyerah. Dia kembali menepuk kursi di sampingnya. “Saya gak akan macam-macam. Sehabis ke atm, kita kembali lagi ke sekolah.”Mana bisa Maya percaya begitu saja.Tapi kali ini dia merasa tertantang. Wanita itu mendekatkan wajahnya ke jendela mobil. “Emang dibayar berapa kalau aku duduk di situ?”Angga memperhatikan Maya dengan saksama. “Semua tergantung status. Kalau bersedia menjadi Nyonya Bagaskara, setiap kali duduk di samping saya akan dihargai uang tidak terbatas.”“Kurang ajar!”Maya menendang ban mobil itu. Rugi waktu dan uang sekarang tidak berarti lagi. Sudah cukup dengan status mantan, si pemilik yayasan, dan pengasuh anak. Berani-beraninya Angga ingin menjadikannya yang kedua!***“Duda!”Maya sampai terlonjak dari tempat duduknya. Pekikan Salsa sangat cocok dijadikan pengeras suara.Maya menoleh sinis. Fokusnya mengoreksi ulangan buyar. “Kenapa, sih, Sal?”Wanita bergaya chic itu berseru keras seperti ingin menyerukan pada seluruh dunia. “Bu Maya! Ternyata Pak Angga itu duda! Artinya saya punya peluang jadi Nyonya Bagaskara.”Maya menarik diri sedikit ke belakang ketika Salsa memperlihatkan ponselnya. Ada sebuah artikel dan Maya melihat foto mantannya itu beserta penjelasan kalau Angga Bagaskara adalah pengusaha sukses dan seorang duda.Astaga berita murahan macam apa ini?!Maya mendesis. Hanya rumor. Gosip. Tidak ada penjelasan yang membuktikannya fakta. Lucu ketika guru Bahasa Indonesia itu malah kegirangan.“Bohong, nih. Jangan mau percaya.” Maya menjauhkan tangan Salsa yang ada di hadapannya.“Ini serius, Bu Maya! Bukan cuma satu artikel. Ada banyak artikel yang lainnya!” Salsa manyun. “Cuma, ya, itu. Siapa mantan bininya gak disebutkan.”Tapi beberapa saat kemudian, wajah Salsa kembali ceria. “Gak nyangka kepala yayasan kita seorang publik figur! Pantas waktu liat Pak Angga rasanya lagi liat artis. Apalagi liat Dira. Rasanya pengen jadi ibu tiri yang baik, deh!”Maya hanya diam. Merenung. Seterkenal itu ‘kah Angga hingga masuk portal berita? Selama ini Maya tidak pernah mengecek atau mencari tahu. Kalau pun dilakukan, Maya tetap tidak menyangka orang itu adalah mantannya hingga melihat langsung hari ini.Angga dulu dan sekarang sangat kontras sekali.“Bu Maya bakalan ngedukung saya, ‘kan?” Salsa mengguncang pundak kiri Maya tanpa merasa bersalah.“Iya, iya, aku dukung.” Maya pasrah, kalau tidak diiyakan Salsa bakal ngelunjak.“Aduh, sayang Kak Maya banyak-banyak!” Salsa memeluk Maya dari belakang. Wanita itu tahu kelemahan Maya yang paling tidak tahan dipanggil kakak.Maya mengulum senyum. “Ya udah sana, deh. Kembali ke kursi kamu. Aku mau ngelarin ulangan dulu.”“Oke, Kak Maya yang senantiasa awet muda dan cantik!” pujinya. Tidak perlu menunggu untuk diusir kedua kali, Salsa cepat kembali ke tempatnya.Sepeninggal Salsa, Maya tidak dapat fokus mengecek ulangan siswa. Pikirannya menewarang pada kalimat ‘pengusaha sukses’ yang ada di artikel tadi. Bagaimana Angga bisa mengambil posisi besar di perusahaan yang disebut dalam berita? Apakah dia merintis merintisnya dari awal? Laki-laki itu pasti bekerja sangat keras.“May, kok melamun?” Bisma menegur.“Eh?” Maya mengembalikan kesadarannya. “Kenapa, Bis?”“Kok melamun?” tanya Bisma lagi. Laki-laki itu menarik kursi di dekat Maya. “Ceritain, dong. Lagi mikiran apa?”“Itu ….” Maya mengetukkan jari ke meja. “Kamu tau siapa Angga Bagaskara?”Bisma menaikkan sebelas alis. “Kepala yayasan kita yang baru ‘kan?”“Iya …. Emang kepala yayasan yang lama kenapa?”“Tumben kamu peduli masalah beginian.”“Jawab aja setahu kamu,” desak Maya. Laki-laki itu kelihatan berpikir.“Sejak awal kamu mendaftar sekolah ini pun pasti sudah tahu siapa pemilik sekolah ini ‘kan?” Bisma malah balik bertanya.“Iya, aku tau milik PT. Perwira. Terus apa hubungannya dengan Angga Bagaskara, hah?!” tanya Maya tak sabar. Rasa penasaran sudah membuncah di kepala wanita itu.Bisma menginstruksi Maya agar tenang sebelum menjawab. “Yang kutahu, sih, Pak Angga memang punya ikatan keluarga dengan pemimpin PT. Perwira.”Maya membatu. Tidak mungkin!"Jangan becanda, Bis. Kulempar pakai KUHP nih mukamu!"[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih