"Mama ...!"
Maya menggeliat tak nyaman. Wanita itu tengah bermimpi seorang anak perempuan memanggilnya mama.Diumur yang sudah kepala tiga, Maya juga ingin menikah dan memiliki anak. Dia iri. Semua kawan-kawannya sudah menikah dan hanya Maya yang tertinggal. Bahkan mantan yang tidak bisa dilupakan Maya pun sudah punya anak sekarang.Bukankah hidup Maya menyedihkan?Tapi dengan datangnya minpi ini dapat membuat sebagian diri Maya senang."Mama ...!"Anak kecil itu kembali memanggil dan Maya tersenyum mendengarnya."Lia!"Sebentar. Suara ini terasa akrab. Maya mengingat-ngingat. Di mana kira-kira dia pernah mendengarnya?"Lia, buka pintunya sekarang."Waduh.Sekarang Maya ingat.Wanita itu tersentak dari tidur. Matanya membelalak sempurna. Bangun secara tiba-tiba membuat jantungnya berdetak keras. Kepalanya juga ikut berdenyut-denyut.Ini hanya mimpi, tapi kenapa terasa nyata?Maya tertawa. Mimpi terkadang bisa sedemikian realistis karena stres. Tidak perlu risau. Maya hanya harus merilekskan diri.Tarik napas ....Seseorang mengetuk pintu.Maya membuang napasnya sembarang.Ini bukan mimpi!"Lia buka pintunya!"Maya mengerjapkan mata. Wanita itu jelas dapat mengenali si pemilik suara dengan sangat baik.Tidak mungkin.Maya menggeleng keras-keras. Ngapain juga si kepala yayasan ke kontrakannya 'kan seperti orang kurang kerjaan?Pasti suara itu milik orang lain."Mama, Dila mau masuk."Astaga. Itu suara anak-anak yang persis didengarnya ketika bermimpi. Apakah Maya sudah punya keluarga.Dira. Kenapa namanya tidak begitu asing bagi Maya?Maya meneguk ludah susah payah. Tidak salah lagi. Itu pasti Angga dan anaknya. Sedang apa mereka di sini?!Maya kelimpungan. Apa dia harus berpura-pura tidak ada orang di rumah?Opsi buruk."Saya akan kasih kamu surat peringatan karena bolos kerja hari ini."Maya gelagapan. Memangnya sekarang pukul berapa?Ketika menampaki jam dinding, sontak saja wanita itu berteriak, lalu menutup mulutnya dengan tangan.Sekarang pukul sembilan! Seharusnya wanita itu berada di sekolah sejam yang lalu!"Mama ...."Aih. Maya memijat kepala dengan pikiran nelangsa. Bagaimana bisa dia bolos hari ini? Jelas terpampang di peraturan sekolah bahwa guru tanpa keterangan akan mendapat sanksi berupa pemotongan gaji. Terlebih lagi presensi menggunakan deteksi wajah dan batas waktu, sehingga tidak dapat dimanipulasi.Kenapa juga dia harus ketiduran?!Sekarang apa yang harus dilakukan Maya? Apakah dengan meminta pengampunan Angga gajinya bisa terselamatkan?Ya, ya. Maya harus mencobanya!Wanita itu segera bangkit dan mengambil kardigan. Mencepol rambut sepunggungnya dengan jedai.Maya mengintip dari jendela, menampaki sosok Angga dan Dira di luar sana. Kabar baiknya mereka adalah orang-orang penuh tata krama karena melepas alas kaki ketika menginjak teras.Maya menggigit jari. Apa sih mau mereka?Awalnya Maya ingin bersikap tak acuh. Namun, mengingat Angga adalah kunci keselamatan gaji, wanita itu harus membuang pendiriannya jauh-jauh.Ceklek.Maya tegang dan berusaha menutupinya dengan tersenyum. Dia tidak ingin melakukan kontak mata dengan Angga, sehingga memilih untuk melihat Dira yang menghamburkan dirinya ke pelukannya."Mama ...," ucap anak kecil itu riang. "Dila kangen Mama!""Halo, Dira," jawab Maya canggung, lalu balas memeluk Dira.Malangnya Maya tanpa sengaja bersitatap dengan Angga. Wanita itu membatu dengan napas memburu."Saya kasih waktu 15 menit untuk bersiap ke sekolah."WHAT?!Maya cepat melepaskan dekapannya, menatap Angga tidak percaya. "Maksudnya apa?!""Cepat bersiap. Kita ke sekolah."Maya berdiri, dikepalannya terkumpul emosi yang siap menghajar Angga kapan saja. "Mana bisa cuma 15 menit!" pungkasnya kesal."Tiga belas menit." Angga melirik jam tangannya dan meraih tangan Dira. "Kami tunggu di mobil.""Ish!"Maya segera berlari masuk ke kontrakan, melupakan tindakan yang sudah direncanakan. Tidak pakai mandi, hanya cuci muka, gosok gigi, dan berdandan seadanya.Maya hendak mengambil duduk di kursi penumpang belakang. Tapi melihat ada boneka di sana membuatnya menautkan alis dalam."Duduk di sebelahku saya," ucap Angga bak mengerti isi kepala wanita. "Jangan ganggu Ponyo."Sejenak Maya bertanya-tanya siapa Ponyo. Apakah boneka kelinci ini? Tapi lebih baik bagi Maya mengasuh boneka daripada duduk di samping Angga yang membahayakan.Wanita itu tidak ingin berada di situasi tidak menyenangkan. Tahu Angga menjemputnya saja sudah misteri besar."Mama tadi kenapa ga ke sekolah? Tadi Dila nungguin Mama lho," ucap Dira sendu dan kembali memeluk Maya.Wanita itu bersimpati, merasa sedikit bersalah. Dia teledor karena begadang semalam suntuk dan berakhir tidur ketika hari menjelang pagi."Maaf, ya, Dira. Tadi Kakak ketiduran." Maya memberi pengertian. Lagi-lagi merasa ada ikatan batin antara dirinya dan Dira sama seperti mereka bertemu untuk pertama kali di taman.Mobil lalu melaju, sedang Dira asik berceloteh di sana. Mencairkan suasana yang beku kalau hanya ada Maya dan Angga di dalamnya."Mama, kenalin itu namanya Ponyo." Dira menunjuk boneka yang dipangku Maya. "Ponyo mau ketemu mama. Dila bilang kalau mama itu mama paling cantik seduuuniaa!"Maya tersipu, mencubit pelan pipi Dira gemas. Tahu 'kan kalau anak-anak selalu jujur?"Kakak 'kan memang cantik!" bangganya pada diri sendiri.Dira kembali bersemangat. Ditatapnya Maya dengan penuh kebahagiaan. "Tadi Dila sedih kalena Mama tidak ada di sekolah. Tapi sekalang Dila senang bisa ketemu mama lagi."Sebuah pengakuan mengejutkan dan berhasil mendamaikan perasaan Maya yang tadi berantakan.Wanita itu tersenyum. "Kakak juga senang bisa ketemu Dira lagi."Dan akan senang lagi jika saja bukan anak mantannya sekaligus si pemilik yayasan."Mama, Mama." Dira menggoyangkan lengan Maya. Meminta agar mendapatkan perhatian lebih."Hm?""Dila mau makan kelipik lagi. Boleh, ya?""Hah?" Maya mendadak tuli."Dila mau makan keripik lagi, Mama. Dila mau makan yang banyak!"Dira, astaga. Kalau ngomong gak difilter. Alhasil Maya mendapat delikan tajam dari Pak CEO lewat kaca spion itu.Angga berdeham. Suaranya berubah dingin. Hanya dengan satu kata mampu menghentikan aliran darah Maya."Jelaskan!" titahnya.Untuk ke sekian kali, Maya merasa jantungnya telah jatuh ke perut. Ah, lupakan masalah pemotongan gaji. Ada yang lebih penting daripada itu sekarang!Nyawanya terancam!Maya menggaruk kepala yang tak gatal sambil mencari alibi terbaik. "Anu, itu ...."Tapi tidak ada kata-kata yang dapat keluar. Kerongkongannya tercekat."Jelaskan, Dira." Angga mengintrupsi.Dira menjelaskan masih dengan perangainnya yang ceria. Benar-benar tanpa beban."Dila kemalen makan kelipik, Ayah. Mama yang kasih. Lasanya enak! Dila suka!""'Kan Ayah sudah bilang, makanan seperti itu tidak sehat, Dira." Sekilas Angga menoleh ke belakang. Maya langsung mengarahkan pandangan ke sembarang arah."Kata Mama gak papa, Ayah."Maya tidak tahu seketat apa didikan Angga pada anaknya. Tapi Maya lebih tahu nyawanya tidak dapat terselamatkan."Dila boleh makan itu lagi, 'kan, Ma?"Kenapa, sih, Dira masih bisa menanyainya?!Perlu waktu beberapa saat bagi Angga untuk kembali berbicara. Itu pun bukan pertanda baik bagi Maya."Lia, sesampainya di sekolah, kita harus bicara."Maya diam, tidak merespons. Wanita itu menggeser duduk lebih dekat ke jendela. Dia harus keluar mobil sekarang kalau mau aman."Siapa pun. Tolong aku ...."[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih
“Eh tau gak kalo Pak Angga ternyata udah punya pacar?” “Masa, sih? Gak percaya!” “Iya, sih, susah dipercaya apalagi katanya pacar Pak Angga itu guru.” “Astaga, makin gak percaya aku. Masa orang sekeren Pak Angga pacarannya sama guru. Mustahil banget!” Wanita dengan rambut kucir kuda itu mengambil lipstik dari tasnya, lalu melihat lawan bicaranya dengan heran. “Emang dapat gosip dari mana, sih? Ada-ada aja.” “Budi yang nyeritain. Dia bilang ketemu Pak Angga sama pacarnya di kondangan.” Wanita dengan rambut tergerai itu menjelaskan, sedangkan tangannya sibuk menyapukan bedak ke wajah. “Budi?” Ada nada tidak percaya di dalamnya. Senyum penuh ledekan dilemparkan pada kawannya itu. “Heh? Emang kondangannya anak siapa sampe Budi bisa satu tempat sama Pak Angga? Gila ngaco banget tau gak.” Wanita dengan rambut tergerai mengangkat bahu tak tahu. Terlepas dari benar atau tidaknya berita itu, dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Iya, sih. Emang mustahil Budi bisa satu tempat sama Pak An
“Apa, sih, maunya Angga?!” Maya memijat pelipis, berakhir dengan sungutan kesal dan meninggalkan Angga dengan Bisma di koridor. Baiklah, sekarang Maya tidak peduli dua orang laki-laki itu dewasa itu akan bertengkar karena pikirannya telah terbawa arus lain. Segala tindakan Angga yang membuatnya merasa ‘dicintai’ membuat Maya pening. Apa sebenarnya motif laki-laki itu? “Mama kenapa?” Dira bertanya dengan raut khawatir, sedangkan Maya hanya menggeleng pelan. Wanita itu merasa tertangkap basah. “Mama gak papa, kok, Sayang.” Maya tersenyum pada anak kecil di sampingnya. Kalau sampai ditegur begini, berarti emosinya benar-benar menguar keluar, bukan? Anak kecil itu masih menatap Maya seperti mencari jawaban lain di sana. “Ayok, kita main lego blocks aja, Sayang.” Maya berusaha mengalihkan pembicaraan. Wanita itu mengambil tas Dira, lalu mengeluarkan isinya. “Yey! Dila mau buat lumah, Mama!” kata Dira antusias. Anak kecil itu kemudian mengambil beberapa blocks dan mulai membangun imaj
“Libur semester nanti kamu pulang ke Jawa?” tanya Maya pada Angga. Saat itu mereka berada di kelas sepuluh dan berangkat sekolah. Aktivitas yang akhir-akhir selalu mereka lakukan bersama. Mereka baru sampai di gerbang sekolah dan melihat siswa laki-laki sangat antusias bermain bola di lapangan. Apakah mereka tidak takut berkeringat dan membuat kelas berbau tidak nyaman? Aih, menurut Maya, mereka tidak keren sama sekali. Mereka berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang selalu wangi. Maya jadi penasaran, parfum apa kira-kira yang digunakan Angga? Namun, pikiran gadis itu segera teralihkan ketika Angga menjawab pertanyaannya. “Mungkin enggak. Masih belum tau.” Maya melihat Angga dengan alis Maya bertaut heran. “Emang kenapa gak pulang?” Laki-laki itu sedikit melirik ke arahnya, lalu mengendikkan bahu. “Entahlah. Kayaknya karna takut disuruh-suruh selama liburan. Lagian libur semester paling cuma seminggu.” Maya tertawa. “Iya, sih. Aku setuju. Kalo liburan biasanya bakalan disuru