Share

BAB 6 : MENUNGGU

"Ini gila."

Maya masih memikirkan bagaimana cara menjalani hari esok. Tidak ada pilihan. Dia tidak ingin berurusan dengan Angga, pun tidak mungkin berhenti bekerja.

Wanita itu sampai tidak dapat tidur semalaman. Berusaha keras bersikap tidak peduli, tapi malah berkebalikan. Semakin tidak dipikirkan malah kepikiran.

Maya mengusap matanya yang berkedut. Dari berbaring ke kanan, memilih telentang. Film dokumenter seperti diputar di langit-langit atap.

"Hai, namaku Maya Amalia. Kita satu kelompok." Maya mengulurkan tangan pada laki-laki gemuk yang tengah termenung. Duduk sendirian di sudut.

Laki-laki yang tadinya menunduk itu, mendongakkan kepala. Tatapan mereka bertemu, dan dia melupakan kesendiriannya. "Halo. Aku Angga."

Maya mengangguk. "Aku tau. Aku liat papan namamu. Kita satu kelompok."

Angga mengangguk singkat, lalu menundukkan kepala.

Maya duduk di sampingnya, memperhatikan laki-laki itu dengan baik. "Salam kenal, ya."

Angga tidak menyahut. Melihat timbal balik yang tidak sesuai membuat Maya mundur. Tidak ingin mengganggu laki-laki itu.

Maya mengumpulkan anggota kelompok mereka yang lain dan melakukan hal sama seperti pada Angga. Mereka berbincang santai. Hanya Angga yang terlihat membuat benteng untuk diakrabi.

"Jadi kita mau bikin pertunjukkan apa, nih, buat hari terakhir MOS?" tanya seorang cewek yang memiliki tahi lalat di pipinya.

Mereka tampak berpikir. Maya memberi saran. "Gimana kalau drama teater aja?"

"Ide bagus. Aku setuju." Si cowok berambut keriting menanggapi. Sosok yang terkenal sejak awal MOS hingga menjadi incaran kakak kelas cewek.

Maya tersenyum. "Yang lain gimana?"

Teman-teman kelompoknya juga bersepakat. Hanya Angga yang tidak merespons.

Teman-teman kelompoknya menganggap Angga sebagai angin lalu. Tapi Maya tidak bisa membiarkannya lepas begitu saja.

"Kamu gimana, Ga? Setuju gak? Atau ada saran lain?" tanya Maya. Tatapan mereka bertemu lagi. Sedikit teduh, tapi lebih banyak mencekam.

Angga diam beberapa saat, lalu mengangguk. "Setuju."

Maya senang mendengarnya. "Nah, semuanya sudah setuju. Sekarang kita mau bikin drama tentang apa?"

Ide-ide yang ada kemudian ditampung. Setelah menimang-nimang, akhirnya mereka memilih untuk mementaskan drama Snow White. Maya akan berperan sebagai tuan Putri dan si anak famous dipilih menjadi pangeran. Selain itu, masing-masing satu orang berperan sebagai penyihir dan dalang. Sisanya menjadi kurcaci, termasuk Angga.

Jalan cerita yang familier membuat mereka tidak kesusahan. Dialog juga sengaja dirancang sederhana. Tidak pakai penata musik karena ini pentas seni biasa. Pun mereka memakai properti apa adanya.

Mereka hanya latihan beberapa kali, hingga pada hari pentas ternyata si anak famous tidak dapat berhadir ke sekolah. Yang Maya dengar karena laki-laki itu jatuh sakit.

"Gimana, dong?" Mereka kelimpungan, terlebih lagi si anak famous merupakan pemeran utama. "Kita gak mungkin gantiin posisinya karena dialognya panjang-panjang dan banyak."

Tepat di tengah kebingungan itu, seorang laki-laki dengan karton yang dibuat kerucut di kepalanya mengangkat tangan. "Aku bisa. Aku hafal semua dialog pangeran."

Semua anggota kelompok langsung mengarahkan perhatiannya pada Angga. Mereka heran, sedikit takjub, dan tidak percaya.

Maya dengan dress senada gaun Snow White menatap dengan dahi berkerut. "Kamu serius?"

Samar-samar Angga mengangguk. "Ya. Aku serius."

Atau yang benar Angga sengaja menghafal dialog itu karena membayangkan dapat bersanding dengan Maya.

"Ya udah, kamu aja yang jadi gantinya." Maya menyerahkan mandat. "Lagian dialogmu gak akan ngerubah jalan cerita 'kan?"

Angga menggeleng. Toh, di dalam drama, dia hanya akan menjadi kurcaci yang diam.

"Tapi seharusnya pangeran itu ganteng, May," celetuk cewek dengan tahi lalat di pipi. "Kamu lihat sendiri 'kan Angga itu gimana? Dia gak memenuhi ekspetasi sebagai pangeran."

Semua anggota kelompok tiba-tiba memperhatikan Angga dari atas sampai bawah. Mereka benar. Seharusnya pangeran bertubuh proporsional. Tidak seperti Angga yang gemuk.

Maya memilih tidak peduli. "Gak papa, kok. Semua laki-laki berhak jadi pangeran bagi sang putri."

Itulah satu hal yang membuat Angga merasa dihargai.

Ketika sampai gilirannya, kelompok Maya naik ke pentas. Riuh tepuk tangan bersahutan di aula. Beberapa sudah menantikan si anak famous yang tersebar akan menjadi pangeran. Lalu kekecewaan menyeruak saat Angga masuk. Laki-laki itu bisa merasakan atmosfer sekitar yang berubah tak nyaman.

Dia bukan pangeran yang diharapkan. Tapi lagi-lagi Maya tidak peduli.

Ketika film dokumenter ingin menayangkan adegan terakhir di mana sang pangeran mencium sang putri, Maya sudah lelap dalam tidurnya.

***

"Bangun, Sayang."

Angga membuka tirai kamar Dira. Cahaya matahari langsung menyerbu masuk. Anak kecil yang berada di ranjang itu menggeliat, lalu lekas duduk.

"Selamat pagi, Ayah." Suaranya masih semanis biasa, meski baru bangun tidur.

Dira mengucek mata berulang kali. "Hali ini Dila ketemu lagi sama mama 'kan, Yah?"

Angga duduk di pinggiran ranjang. Menatap Dira penuh sayang. Tangannya terulur untuk mengusap rambut sang anak yang berantakan.

"Iya, hari ini kita ketemu mama lagi. Makanya Dira harus siap-siap."

Senyum terbit di wajah anak kecil itu. "Yeeey hali ini ketemu mama lagi. Dila boleh bawa Ponyo gak, Yah?"

Dira memeluk boneka kelinci yang setia menemani tidur setiap malam.

Angga mengangguk. "Iya, silakan. Tapi Dira harus siap-siap sekarang. Jangan sampai terlambat, nanti kasihan mama menunggu Dira."

"Oke, Ayah!"

Dira lekas turun dari ranjang, lalu masuk ke kamar mandi yang sudah dirancang aman bagi anak-anak. Jadi Angga tidak perlu cemas. Bahkan gadis kecil itu sudah biasa melakukan aktivitasnya sendiri. Hasil disiplin sejak bayi.

Angga berdiri di depan kamar mandi. Mengetuk pintunya beberapa kali. "Ayah akan memasak di dapur, ya, Dira."

Suara gosok gigi terdengar dari dalam. "Baik, Ayah," katanya sesudah meludah.

Angga mengembuskan napas sebelum keluar dari kamar Dira. Laki-laki itu segera pergi ke dapur dan menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak.

Dira menikmati nasi goreng dan telur mata sapi buatan sang ayah. Dia tidak protes, sekali pun makanan yang disajikan cenderung sama. Angga bersyukur karena Dira pintar dan dapat memahami kekurangan ayahnya.

Kehadiran Dira-lah yang membuat Angga masih memiliki kewarasan dan tujuan melanjutkan hidup.

"Mama Dila cantik, loh, Ponyo!" ucap Dira pada bonekanya ketika mereka dalam perjalanan ke sekolah. Anak kecil itu baru selesai membaca buku yang sama seperti sebelumnya; tentang cantiknya sosok ibu.

Dira sangat senang sampai-sampai pipi bulatnya tampak seperti bakpao. "Ponyo pasti suka sama mama Dila. Mama Dila itu mama yang paling caaanntiiik seduunia!"

Ya, memang cantik.

Dari kaca spion, Angga bisa mengamati tingkah laku sang putri. Gadis kecil itu tidak berbohong dengan perasaannya yang begitu tulus untuk Maya.

Tapi ternyata tidak berlangsung lama.

"Sepertinya Bu Maya libur mengajar hari ini, Pak. Malah tanpa keterangan." Kepala sekolah menjelaskan. Sudah setengah jam Dira dan ayahnya menunggu kedatangan Maya. Namun, tidak ada tanda-tanda wanita itu akan tiba.

Dira sedih. Tidak lagi bersemangat. "Mama ke mana, Yah? Kenapa mama Dila gak datang?"

"Sebentar, Dira." Angga menelpon nomor Maya yang tertera di resume. Sebenarnya sudah lama laki-laki itu menyimpan nomor Maya. Namun, tidak pernah punya alasan untuk menghubunginya.

Sayang panggilan terus berada di luar jangkuan.

Angga menghela napas dalam. Menatap Dira penuh arti. "Kita datangin mama ke rumah, mau?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status