"Ini gila."
Maya masih memikirkan bagaimana cara menjalani hari esok. Tidak ada pilihan. Dia tidak ingin berurusan dengan Angga, pun tidak mungkin berhenti bekerja.Wanita itu sampai tidak dapat tidur semalaman. Berusaha keras bersikap tidak peduli, tapi malah berkebalikan. Semakin tidak dipikirkan malah kepikiran.Maya mengusap matanya yang berkedut. Dari berbaring ke kanan, memilih telentang. Film dokumenter seperti diputar di langit-langit atap."Hai, namaku Maya Amalia. Kita satu kelompok." Maya mengulurkan tangan pada laki-laki gemuk yang tengah termenung. Duduk sendirian di sudut.Laki-laki yang tadinya menunduk itu, mendongakkan kepala. Tatapan mereka bertemu, dan dia melupakan kesendiriannya. "Halo. Aku Angga."Maya mengangguk. "Aku tau. Aku liat papan namamu. Kita satu kelompok."Angga mengangguk singkat, lalu menundukkan kepala.Maya duduk di sampingnya, memperhatikan laki-laki itu dengan baik. "Salam kenal, ya."Angga tidak menyahut. Melihat timbal balik yang tidak sesuai membuat Maya mundur. Tidak ingin mengganggu laki-laki itu.Maya mengumpulkan anggota kelompok mereka yang lain dan melakukan hal sama seperti pada Angga. Mereka berbincang santai. Hanya Angga yang terlihat membuat benteng untuk diakrabi."Jadi kita mau bikin pertunjukkan apa, nih, buat hari terakhir MOS?" tanya seorang cewek yang memiliki tahi lalat di pipinya.Mereka tampak berpikir. Maya memberi saran. "Gimana kalau drama teater aja?""Ide bagus. Aku setuju." Si cowok berambut keriting menanggapi. Sosok yang terkenal sejak awal MOS hingga menjadi incaran kakak kelas cewek.Maya tersenyum. "Yang lain gimana?"Teman-teman kelompoknya juga bersepakat. Hanya Angga yang tidak merespons.Teman-teman kelompoknya menganggap Angga sebagai angin lalu. Tapi Maya tidak bisa membiarkannya lepas begitu saja."Kamu gimana, Ga? Setuju gak? Atau ada saran lain?" tanya Maya. Tatapan mereka bertemu lagi. Sedikit teduh, tapi lebih banyak mencekam.Angga diam beberapa saat, lalu mengangguk. "Setuju."Maya senang mendengarnya. "Nah, semuanya sudah setuju. Sekarang kita mau bikin drama tentang apa?"Ide-ide yang ada kemudian ditampung. Setelah menimang-nimang, akhirnya mereka memilih untuk mementaskan drama Snow White. Maya akan berperan sebagai tuan Putri dan si anak famous dipilih menjadi pangeran. Selain itu, masing-masing satu orang berperan sebagai penyihir dan dalang. Sisanya menjadi kurcaci, termasuk Angga.Jalan cerita yang familier membuat mereka tidak kesusahan. Dialog juga sengaja dirancang sederhana. Tidak pakai penata musik karena ini pentas seni biasa. Pun mereka memakai properti apa adanya.Mereka hanya latihan beberapa kali, hingga pada hari pentas ternyata si anak famous tidak dapat berhadir ke sekolah. Yang Maya dengar karena laki-laki itu jatuh sakit."Gimana, dong?" Mereka kelimpungan, terlebih lagi si anak famous merupakan pemeran utama. "Kita gak mungkin gantiin posisinya karena dialognya panjang-panjang dan banyak."Tepat di tengah kebingungan itu, seorang laki-laki dengan karton yang dibuat kerucut di kepalanya mengangkat tangan. "Aku bisa. Aku hafal semua dialog pangeran."Semua anggota kelompok langsung mengarahkan perhatiannya pada Angga. Mereka heran, sedikit takjub, dan tidak percaya.Maya dengan dress senada gaun Snow White menatap dengan dahi berkerut. "Kamu serius?"Samar-samar Angga mengangguk. "Ya. Aku serius."Atau yang benar Angga sengaja menghafal dialog itu karena membayangkan dapat bersanding dengan Maya."Ya udah, kamu aja yang jadi gantinya." Maya menyerahkan mandat. "Lagian dialogmu gak akan ngerubah jalan cerita 'kan?"Angga menggeleng. Toh, di dalam drama, dia hanya akan menjadi kurcaci yang diam."Tapi seharusnya pangeran itu ganteng, May," celetuk cewek dengan tahi lalat di pipi. "Kamu lihat sendiri 'kan Angga itu gimana? Dia gak memenuhi ekspetasi sebagai pangeran."Semua anggota kelompok tiba-tiba memperhatikan Angga dari atas sampai bawah. Mereka benar. Seharusnya pangeran bertubuh proporsional. Tidak seperti Angga yang gemuk.Maya memilih tidak peduli. "Gak papa, kok. Semua laki-laki berhak jadi pangeran bagi sang putri."Itulah satu hal yang membuat Angga merasa dihargai.Ketika sampai gilirannya, kelompok Maya naik ke pentas. Riuh tepuk tangan bersahutan di aula. Beberapa sudah menantikan si anak famous yang tersebar akan menjadi pangeran. Lalu kekecewaan menyeruak saat Angga masuk. Laki-laki itu bisa merasakan atmosfer sekitar yang berubah tak nyaman.Dia bukan pangeran yang diharapkan. Tapi lagi-lagi Maya tidak peduli.Ketika film dokumenter ingin menayangkan adegan terakhir di mana sang pangeran mencium sang putri, Maya sudah lelap dalam tidurnya.***"Bangun, Sayang."Angga membuka tirai kamar Dira. Cahaya matahari langsung menyerbu masuk. Anak kecil yang berada di ranjang itu menggeliat, lalu lekas duduk."Selamat pagi, Ayah." Suaranya masih semanis biasa, meski baru bangun tidur.Dira mengucek mata berulang kali. "Hali ini Dila ketemu lagi sama mama 'kan, Yah?"Angga duduk di pinggiran ranjang. Menatap Dira penuh sayang. Tangannya terulur untuk mengusap rambut sang anak yang berantakan."Iya, hari ini kita ketemu mama lagi. Makanya Dira harus siap-siap."Senyum terbit di wajah anak kecil itu. "Yeeey hali ini ketemu mama lagi. Dila boleh bawa Ponyo gak, Yah?"Dira memeluk boneka kelinci yang setia menemani tidur setiap malam.Angga mengangguk. "Iya, silakan. Tapi Dira harus siap-siap sekarang. Jangan sampai terlambat, nanti kasihan mama menunggu Dira.""Oke, Ayah!"Dira lekas turun dari ranjang, lalu masuk ke kamar mandi yang sudah dirancang aman bagi anak-anak. Jadi Angga tidak perlu cemas. Bahkan gadis kecil itu sudah biasa melakukan aktivitasnya sendiri. Hasil disiplin sejak bayi.Angga berdiri di depan kamar mandi. Mengetuk pintunya beberapa kali. "Ayah akan memasak di dapur, ya, Dira."Suara gosok gigi terdengar dari dalam. "Baik, Ayah," katanya sesudah meludah.Angga mengembuskan napas sebelum keluar dari kamar Dira. Laki-laki itu segera pergi ke dapur dan menyiapkan bahan-bahan untuk dimasak.Dira menikmati nasi goreng dan telur mata sapi buatan sang ayah. Dia tidak protes, sekali pun makanan yang disajikan cenderung sama. Angga bersyukur karena Dira pintar dan dapat memahami kekurangan ayahnya.Kehadiran Dira-lah yang membuat Angga masih memiliki kewarasan dan tujuan melanjutkan hidup."Mama Dila cantik, loh, Ponyo!" ucap Dira pada bonekanya ketika mereka dalam perjalanan ke sekolah. Anak kecil itu baru selesai membaca buku yang sama seperti sebelumnya; tentang cantiknya sosok ibu.Dira sangat senang sampai-sampai pipi bulatnya tampak seperti bakpao. "Ponyo pasti suka sama mama Dila. Mama Dila itu mama yang paling caaanntiiik seduunia!"Ya, memang cantik.Dari kaca spion, Angga bisa mengamati tingkah laku sang putri. Gadis kecil itu tidak berbohong dengan perasaannya yang begitu tulus untuk Maya.Tapi ternyata tidak berlangsung lama."Sepertinya Bu Maya libur mengajar hari ini, Pak. Malah tanpa keterangan." Kepala sekolah menjelaskan. Sudah setengah jam Dira dan ayahnya menunggu kedatangan Maya. Namun, tidak ada tanda-tanda wanita itu akan tiba.Dira sedih. Tidak lagi bersemangat. "Mama ke mana, Yah? Kenapa mama Dila gak datang?""Sebentar, Dira." Angga menelpon nomor Maya yang tertera di resume. Sebenarnya sudah lama laki-laki itu menyimpan nomor Maya. Namun, tidak pernah punya alasan untuk menghubunginya.Sayang panggilan terus berada di luar jangkuan.Angga menghela napas dalam. Menatap Dira penuh arti. "Kita datangin mama ke rumah, mau?""Mama ...!"Maya menggeliat tak nyaman. Wanita itu tengah bermimpi seorang anak perempuan memanggilnya mama.Diumur yang sudah kepala tiga, Maya juga ingin menikah dan memiliki anak. Dia iri. Semua kawan-kawannya sudah menikah dan hanya Maya yang tertinggal. Bahkan mantan yang tidak bisa dilupakan Maya pun sudah punya anak sekarang.Bukankah hidup Maya menyedihkan?Tapi dengan datangnya minpi ini dapat membuat sebagian diri Maya senang."Mama ...!"Anak kecil itu kembali memanggil dan Maya tersenyum mendengarnya."Lia!"Sebentar. Suara ini terasa akrab. Maya mengingat-ngingat. Di mana kira-kira dia pernah mendengarnya?"Lia, buka pintunya sekarang."Waduh.Sekarang Maya ingat.Wanita itu tersentak dari tidur. Matanya membelalak sempurna. Bangun secara tiba-tiba membuat jantungnya berdetak keras. Kepalanya juga ikut berdenyut-denyut.Ini hanya mimpi, tapi kenapa terasa nyata?Maya tertawa. Mimpi terkadang bisa sedemikian realistis karena stres. Tidak perlu risau. Maya hanya harus merile
"Aku bisa jelasin." Maya dan Angga turun lebih dahulu. Mereka sedikit menjauh dari mobil agar Dira tidak mendengarnya."Silakan."Maya mengembuskan napas, mencoba meminimalisir gugup yang menciderai seluruh indra. "Aku gak sengaja ngasih Dira camilan itu. Lagian cuma sebungkus, apa artinya, sih?"Angga menatap Maya tajam. "Dia sudah saya didik bahwa makanan seperti itu tidak baik. Dira bukan anak-anak yang mudah percaya sesuatu."Maya ikut menantang tatapan Angga dan semakin memberanikan diri. "Satu bungkus doang sewot banget!""Ya. Tapi membuat candu. Sekali suka camilan-camilan seperti itu akan terus dicoba. Memangnya kamu mau tanggumg jawab?"Maya tidak ingin kalah. Wanita itu berkacak pinggang. "Lagian kamu dulu juga suka makanan begitu! Apalagi keripik kentang rasa jagung manis 'kan?!"Angga tertegun sekaligus menyesali sesuatu dalam hidupnya. Laki-laki itu memegang kedua bahu Maya, menambah keintensan keduanya. Mau tidak mau Maya mendongak untuk menemukan tatapan Angga."Jangan
"Siapa, ya?" Maya menampaki laki-laki berjas polkadot itu. Tangannya menenteng plastik besar."Wow." Salsa berlagak membasahi bibirnya yang bergincu merah menyala. Wanita itu menatap penuh hasrat. "Han!" Dira berteriak riang. Anak kecil itu menghentikan aktivitas menggambarnya.Maya tercengang, mengamati Dira dan laki-laki itu bergantian. "Kamu kenal dia, Dira?"Dira mengangguk. "Han!"Han tersenyum, lalu membungkukkan sedikit badan. "Perkenalkan saya Han Fauzan, asisten Pak Angga. Saya ke sini mau membawakan pesanan yang diminta Pak Angga untuk Bu Maya."Hah? Pesanan apa? Perasaan Maya gak mesan apa-apa.Han menaruh plastik besar di tangannya ke atas meja. Sontak saja Maya dan Salsa menautkan alis heran."Apa isinya Mas Han?" tanya Maya. Han menjelaskan dengan senyumnya yang semakin ramah. "Jajanan sehat untuk Dira dan Bu Maya. Pak Angga tidak mau kalian memakan makanan yang tidak sehat lagi." "Keren, Mas Han," ucap Salsa dengan suara setengah berdesah. Wanita itu kagum, langsung
"Siapa tuh tadi? Kok pulang naik mobil, May?"Sesampainya di kontrakan, Maya malah bertemu dengan Ibu Neneng di halaman. Mata wanita berbadan subur itu memicing melihat kepergiaan mobil yang mengantar Maya.Maya menggigit bibir. Urusan akan menjadi ribet kalau Ibu Neneng ikut campur. Beliau adalah ketua julid di kawasan ini sekaligus pemilik kontrakan Maya.Maka, alangkah baiknya jika Maya menghindar saja."Maya mesan taksi online, Bu. Pagi tadi mau ke sekolah tapi motornya gak mau nyala."Ibu Neneng hanya ber-oh. Mengerti maksud Maya. Walaupun perkiraan umur sudah lima puluhan, beliau tetap melek perkembangan terkini.Harus dong. Kan beliau orang yang berpengaruh di sini."O, iya, Bisma sudah balik juga 'kah?" tanyanya kemudian.Bisma?Maya mengusap leher. Terlupa satu informasi kalau Ibu Neneng adalah orang tua laki-laki itu.Maya menggeleng. Kali ini berlaku jujur. "Enggak tahu sih, Bu. Tapi ini emang udah jamnya pulang sekolah."Ibu Neneng menggemeletakkan gigi lantas berkacak ping
[Mau keluar malam ini?]Maya yang tadinya sibuk mengisi rapor siswa, membaca pesan Bisma dengan dahi berkerut."Biasanya Bisma gak gini," ucap Maya heran.Jalan-jalan ke luar? Ya, ini memang malam Minggu, sih. Maya seharusnya tidak memikirkan pekerjaan saat dirinya sendiri perlu hiburan.Mumpung ada yang mengajak, kenapa tidak? Apalagi Maya baru saja mendapat uang dadakan yang bisa digunakan untuk sedikit bersenang-senang.Wanita itu mengetikkan balasan.[Mau ke mana dulu nih?]Tidak lama kemudian, Maya mendapat pesan jawaban.[Terserah, sih. Kamu maunya ke mana, May?]Maya memandang laptop sambil berpikir. Satu tempat terbesit di pikirannya.[Ke mal aja gimana?]Maya mengetukkan jari ke meja, kembali menunggu balasan.[Setuju. Aku jemput setengah jam lagi.]Yes!Tanpa merapikan meja kerja, Maya segera bangkit untuk bersiap-siap. Wanita itu memakai sweter dan celana jin. Berhias sedikit. Tidak lupa mengikat rambut kuncir kuda dan mencangklongkan tas selempang sebagai sentuhan akhir.K
"Kamu tahu 'kan kalau diabetes itu penyakit keturunan, Lia?"Maya tertegun, refleks menaruh minuman dan berdiri bersamaan dengan Bisma. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya.Sedang apa Angga dan Dira di sini?!Tapi yang paling membuat Maya heran, kenapa Angga harus menyinggung soal diabetes? Seolah-olah dia tahu apa yang terjadi.Spekulasi muncul cepat di otak Maya. Apakah Angga mengawasinya?Tidak. Tidak mungkin. Pasti cuma kebetulan. Bukannya Angga memang ketat dalam urusan perut? "Mama, tadi Dila beli buku balu loh!"Maya yang dari tadi mengarahkan atensi pada Angga, beralih menatap Dira. Anak kecil itu begitu antusias, lalu mengambil sesuatu dari paper bag yang dipegang sang ayah."Ini, Mama. Bukunya bagus 'kan?" tanya Dira sambil menyerahkan buku dengan hard cover itu.Maya tersentak. Mengerjapkan mata. Wanita itu dua kali lebih terkejut dari sebelumnya.Buku itu adalah buku sama yang dipegangnya di toko buku tadi!"Bagus 'kan, Ma?" tanya Dira lagi."Ah?" May
Maya memeluk Dira. Di dalam lubuk hatinya terbesit sayang pada gadis kecil itu. Sesuatu yang Maya sendiri tidak tahu apa sebabnya."Iya, Dira. Kakak gak akan ke mana-mana." Maya melepaskan pelukannya. Menatap Dira dan tersenyum tulis. "Kakak percaya Dira pasti bisa!"Dira balas tersenyum. Kepercayaan dirinya bangkit. Anak kecil itu meneguhkan diri, lalu mulai berjalan dengan pelan di jembatan.Kenapa sekarang malah Maya yang deg-deg-an?Maya menunggu Dira sampai ke seberang. Anak kecil itu melambaikan tangan ketika sampai tujuan. Dan itu berhasil melegakan perasaan Maya."Kakak tunggu di bawah, ya!" kata Maya nyaring."Oke, Mama!" balas Dira tidak kalah nyaring.Maya segera turun dan menunggu di bawah perosotan. Wanita itu bisa melihat Dira dari sana. Seorang petugas membantu. Anak kecil itu meluncur dengan riang.Melihat keberanian Dira, Maya merasa tidak perlu khawatir lagi anak kecil itu meluncur sesukanya. Maya duduk di lantai dekat perosotan dan bermain bola. Waktunya menunggu D
"Mama, Dila mau sekolah juga. Boleh gak?"Blaass ...! Pertanyaan Dira membuat Maya tidak tahu harus menjawab apa. Kalau saja Dira anaknya, mungkin Maya bisa mempertimbangkan itu. Lah ini? Maya bukan siapa-siapa. Dia hanyalah orang asing yang tiba-tiba terjebak skenario membingungkan.Wanita itu tersenyum, mengusap kepala Dira lembut. "Nanti tanya sama Ayah aja, ya. Sekarang Dira harus istirahat.""Tapi, tapi, Mama gak ninggalin Dila lagi 'kan?"Untuk pertanyaan itu, Maya lagi-lagi hanya bisa tersenyum. Dia sudah berjanji ini yang terakhir."Dira harus tidur sekarang, ya? Kalau gak tidur, nanti Kakak marah, loh."Anak kecil itu berakhir pasrah. Lagi pula sudah tidak bisa menahan kantuk, bahkan sejak tadi menguap."Oke, Mama," putus Dira.Saat merasa anak kecil itu sudah benar-benar lelap, Maya turun dari ranjang. Namun, wanita itu tidak langsung ke luar kamar. Perhatiannya teralihkan melihat deretan buku Dira di rak sudut ruangan.Luar biasa. Tidak mengherankan jika Dira sudah lancar m