Aku tarik nafas dalam-dalam. Aku hembuskan pelan
Menyaksikan dengan langsung perselingkuhan suami memang begitu menyayat hati. Tetapi aku tidak boleh gegabah. Aku jatuhkan tas ku hingga menimbulkan bunyi. Aku membungkuk agar mereka mengira aku belum sampai menyaksikan perselingkuhan mereka. Ekor mataku menangkap suamiku yang salah tingkah, lalu ia berpura pura menandatangani berkas-berkas. Sekertaris hanya bingung melihat perubahan sikapnya hingga menyadari ada aku disitu.Aku melangkah penuh senyum ke dalam ruangan suamiku walau hati ini penuh sesak. Aku kira pelakor hanya ada di cerita-cerita fiksi atau sinetron yang pernah aku lihat. Tetapi nyatanya memang ada. Dan kini aku menghadapinya."Asalamuakaikum mas.""Wa'alaikumsalam Nis,". Aku mencium tanganya. Kebiasaan yang selalu kami lakukan. Sementara wanita itu masih berdiri disitu tanpa sungkannya."Kenapa ruangan direktur utama sekarang di desain seperti ini mas? Kok tidak izin sama aku? Belum tentu aku mengizinkan lho."Wanita itu menautkan alis. Menatap Mas Ridwan dan aku bergantian. Dasar ular. Kamu pikir perusahaan ini milik lelaki ini?"Ehm Ratih. Bisakah kamu meninggalkan ruangan ini. Saya ingin bicara dengan istri saya," pinta Mas Ridwan halus kepada wanita itu yang sekarang ku ketahui bernama Ratih."Istri?" tanyanya dengan melongo lalu menahan tawa seperti apa yang dilakukan Clara. Bukanya aku malu justru aku cekat tanganya."Berapa nomor id dan siapa nama kamu?"Aku merogoh saku mencari kertas yang aku gunakan untuk mencatat id dan nama Clara tadi.
Ratih hanya melirik Mas Ridwan dengan tatapan marah. Seolah bertanya bagaimana ini? Tetapi justru Mas Ridwan lemah di depan nya. Karena memang dia tidak berwenang disini. Ratih meninggalkan ruangan dengan menunduk dan dengan bahasa wajah yang sulit aku artikan."Nis, kamu kesini kok tidak bilang-bilang sih?""Biar sama sepertimu mas. Merombak perusahaan ini juga tidak bilang-bilang,""Bukan begitu Nis. Aku tata ulang biar tidak bosan," jawabnya lirih'bosan denganku atau dengan ruangan ini,' batinku."Ah sudahlah mas. Aku kesini ingin memeriksa catatan keuangan. Kemarin Mas Roy telefon," . Roy adalah kakak ku yang tinggal di Belanda. Karena jauh, almarhum ayahku memasrahkan perusahaan ke tangan Mas Ridwan. Awal mula aku percaya saja. Tetapi setelah menyaksikan perlakuan suamiku dan sekertarisnya membuat rasa percayaku mulai memudar. Iya aku takut harta ayahku mengalir ke kantong wanita itu.Reaksi Mas Ridwan justru mengagetkan. Ia tampak kelabakan mendengar aku ingin memeriksa laporan keuangan.Dengan ragu ia menyerahkan sebuah map kepadaku. Aku menautkan alis, ganjil sekali laporan ini."Mas, ini kok ada dana mengalir ke rekening kamu?""Ehm itu sayang. Ibu kemarin sakit, jadi aku harus transfer dana yang lumayan. Aku sungkan harus bilang kamu,"Mertua ku adalah seorang janda, dan Mas Ridwan mempunyai adik yang masih kuliah. Sebenarnya adiknya enggan melanjutkan sekolah. Tapi karena doronganku dan biaya dari ku, ia mau melanjutkan sekolah. Anggun namanya."Keluargamu itu keluargaku juga mas. Jadi lain kali bilang ya."Aku mencoba bersikap manis pada suamiku. Sebelum aku mulai gencatan senjata itu. Ah rasanya bahkan tidak ada sensasinya jika harus membuangnya begitu saja. Mana ada gregetnya."Sayang, makan siang yuk diluar. Mumpung kamu disini," ajaknya. Aku hanya melirik sisa piring yang masih ada dimeja."Ngapain sih mas. Itu makananya masih," ku lirik bekas makanan itu dan sekertarisnya."Ah makanan tidak enak," jawabnya lalu menggandengku keluar ruangan.Sekertaris itu hanya menunduk lalu menatapku dengan penuh benci saat aku berjalan bersama Mas Ridwan. Ku gandeng tanganya dengan mesra, agar semakin panas."Maaf bu atas sikap saya tadi. Bukan maksut saya menghina. Setau saya seorang istri bos itu bisa mengurus diri dan suami nya dengan baik," kata Ratih tiba-tiba.Kata-kata perminta maafan yang halus tapi sengaja menyakiti. Baik. Kalau dia ingin bermain-main denganku, aku turuti."Oh iya. Ngomong-ngomong kamu sudah punya suami?"Ratih hanya menggeleng."Tetapi kamu sudah paham tugas seorang istri?"Kemudian ia mengangguk."Kalau kamu paham tugas seorang istri. Kamu paham cara mengurus suami, saya minta tolong jangan mengurus suami orang. Cari suami sendiri ya...Tentu saja Bu Woro kaget mendengar jawaban Clara. Bahkan dari raut wajahnya memang Clara terlihat begitu tegas. Netranya sedikit melotot "Ra," ucap Bu Woro pelan. Ia benar benar tidak menyangka akan begini respon Clara.Clara mengangguk."Iya. Tak ada yang salah dengan jawaban saya. Dengan tegas saya memang menolak.""Tapi Hisyam Ra."Clara hanya mendengus kesal "Kenapa dengan Hisyam Bu? Bukannya usahanya saja yang terbakar? Hisyam juga baik baik saja bukan?" respon Clara dengan santai."Apa kamu lupa dengan niat awal kamu untuk mendapatkan dia?" tanya Bu Woro dengan lirih"Hemm dulu. Kalau sekarang sudah tidak mungkin ya. Hisyam sudah jatuh. Mungkin memang hanya Anisa yang mau. Lagipula siapa yang mau dengan pria yang sudah bangkrut. Laki laki itu kodratnya menafkahi, tidak bergantung dengan wanita," jawab Clara Bu Woro menggeleng. Ia benar benar tak menyangka. Saat mendengar Hisyam jatuh, terungkap sudah sifat asli Clara."Tapi saya bersyukur Ra atas musibah ini." ucap Bu Woro ti
Sontak warga yang lalu lalang segera menghampiri wanita yang tergeletak di pinggir jalan. Luka di kakinya membuat sebagian orang merasa jijik."Panggil Dinsos saja," inisiatif seseorang.Dan akhirnya Ratih dibawa ke rumah sakit. Pemberitaan mengenai Ratih mati ternyata salah. Dia masih hidup. Namun menurut Dokter, Ratih terkena penyakit diabetes akut.Ia menangis sesenggukan di atas ranjang rumah sakit. Sendirian. Teringat bagaimana saat dia di masa berjaya. Dia bisa makan dan minum apa saja yang di mau. Hidupnya bebas. Ingin apapun tinggal beli. Apa itu kesehatan? Ia tak perduli. Baginya asal punya uang, hidup pasti akan berjalan dengan mulus.Tentu orang orang tak ada yang berani mendekat atau mungkin menunggu. Karena takut dimintai pertanggungjawaban.Namun tak lama ada seorang wanita muda yang mendekat. Ia tidak tau siapa wanita itu. Dia tak mengenalnya sama sekali maupun bertemu sebelumnya."Bagaimana ibu? Apakah sudah ada perubahan? Oh iya saya Desi. Saya dari Dinas Sosial." ka
Bu Woro tampak melengos dengan pertanyaan Hisyam. Pelan, namun tak meninggalkan kesan tegasnya. Kalau bukan dia yang membela Anisa, lalu siapa lagi?"Bukan maksut ibu untuk tidak memperlakukan Anisa dengan tidak baik. Hanya saja siapa sih orang tua yang tidak ingin agar anaknya segera mendapatkan keturunan?" elak Bu Woro lagi.Hisyam mengambil nafas panjang. Semata agar emosinya tetap stabil."Bu, anak adalah rezeki. Dan rezeki, jodoh maut itu sudah ada yang mengatur. Jadi berhenti untuk bersikap seperti Tuhan," Hampir saja Bu Woro ingin menyela lagi."Saya sedang repot Bu. Sebentar lagi ada meeting yang harus saya ikuti," potong Hisyam dengan cepat. Agar sang ibu diam. Dan akhirnya dengan langkah gontai, Bu Woro terpaksa pergi dari ruangan itu.Berkali kali pihak properti melihat lihat rumah Anggun yang akan dijual. Membuat Ridwan sedikit uring uringan."Nggun sebelum kamu menikah, setidaknya tolonglah Carikan aku hunian dan pekerjaan," keluh Ridwan di suatu hari.Anggun hanya mengh
Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T
Ratih hanya menatap pemilik suara itu. Dia tidak sadar jika dia sudah sampai sebuah warung. Dimana banyak bapak bapak yang tengah ngopi."Cari pekerjaan lain atuh neng. Pasrah banget sampai memulung.""Jangan malas Neng. Jangan takut kerja keras. Masih muda loh.","Atau, jadi simpanan kita saja mau atau tidak? Dijamin makan tiga kali sehari."Dan terdengar tawa dari mereka yang ada disitu. Tangan Ratih mengepal. Dulu dia punya kuasa. Dulu tak ada satu orang pun yang berani menghinanya. Sekarang semua berubah."Lalu kenapa memangnya kalau aku memulung? Apakah aku merepotkan kalian? Apakah kalian memberi aku makan? Tidak kan? Jadi berhenti menghinaku? Jangan kira karena aku pemulung jadi aku tidak punya harga diri ya," bentak Ratih dengan berani Namun perlawanannya tersebut justru membuat semua yang ada disitu tertawa."Heh, pemulung itu orang miskin. Orang miskin saja sok bifaravtentang harga diri. Mana pantas? Ngaca!" seru salah seorang pelanggan warung.Hampir saja Ratih mengelak. T
Mulanya Ratih hanya menatap penuh tanda tanya. Matanya melotot."Ya kalau kamu tidak mau tidak apa apa. Aku tidak memaksa. Aku juga tidak bisa memberikanmu apa apa. Karena aku sendiri juga kesusahan. Hasil sedikit tidak apa apa. Yang penting cukup untuk makan." kata Ridwan lagiRatih masih terdiam di tempatnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya, jika dia harus menjadi pemulung. Bahkan usianya saat ini masih tergolong muda.Perlahan Ridwan mulai melangkah meninggalkannya. Dia berpikir, Ratih tidak punya keputusan. Jadi untuk apa dia membuang buang waktu.Saat langkah Ridwan sudah agak jauh baru Ratih menoleh."Tunggu. Aku ikut," teriaknya.Ya dia membulatkan tekad. Jika saat ini ia masih ada yang memberi bantuan. Tapi bagaimana keesokan harinya. Belum tentu ia bisa makanMulanya Ratih merasa kikuk. Canggung. Tapi semua ia lawan demi isi perut.Karena belum terlalu mengerti tentang seluk beluk disini, Ratih hanya mengekor di belakang Ridwan. Sembari menungvi komando untuk apa yang