Share

3

Wajah Ratih seketika berubah menjadi merah padam bak kepiting rebus. Aku memberikan senyum sinis penuh kemenangan.

"Nis, kamu kok bicara seperti itu kepada Ratih? Seolah-olah aku dan Ratih seperti ada hubungan saja," tanya Mas Ridwan beralibi.

"Lalu kamu mau nya bagaimana mas? Aku menghormati wanita kegenitan seperti dia. Lagipula kenapa tidak ditegur sih mas. Disini dia kerja bukan mau clubing. Pakai baju yang agak longgar apa nggak bisa."

"Bukan begitu Nis. Memang dia bawahanku. Tapi kamu selalu bilang bahwa semua manusia itu sama. Kamu paham kan?"

"Banyak orang lain ingin dihargai tapi lupa caranya menghargai orang lain. Saya tidak peduli jabatanya maupun pekerjaanya. Yang aku lihat dari caranya memperlakukan orang lain. B*jing*n sekalipun akan saya hormati jika dia dapat menghargai saya."

Mas Ridwan diam seribu bahasa. Mungkin menyadari sikap Ratih saat melihatku.

Aku tidak bermaksud menguasai Mas Ridwan. Bukan juga merasa unggul atau suamiku. Walau dari segi pendidikan, ekonomi dan keluarga memang lebih unggul aku. Tetapi aku memang menyadari kodrat sebagai istri adalah menghormati suaminya

Kami mulai turun dengan lift. Sampai di lantai tiga, dua orang karyawan masuk. Salah satu ku duga orang yang mengiraku akan melamar menjadi cleaning service.

"Mbak sih dibilangin ngeyel. Saya kan sudah bilang kalau mau melamar memjadi cleaning service, ruanganya di lantai satu. Kenapa justru ke ruangan Dirut di lantai empat?" celetuknya tiba-tiba.

Mas Ridwan menoleh dengan tatapan tajam dan penuh amarah. Sang karyawan menunduk.

"Ada yang salah pak dengan perkataan saya? Saya hanya merasa sudah memberitahu wanita itu," ucapnya lirih.

Justru Mas Ridwan menarik kerah karyawan itu membuatnya hampir terjatuh. Entah ini memang tulus dari hati atau hanya pencitraan belaka.

"Jaga mulut kamu. Dia istri saya."

Karyawan itu mendekap mulutnya penuh sesal.

"Bu, maafkan saya," katanya dengan menunduk.

Baik. Kali ini saya anggap maklum dengan penampilanku karena sebenarnya baju dan jilbab yang ku pakai ini buka punyaku.

"Lain kali hati-hati ya pak. Jangan menilai orang dari luarnya. Pribadi seseorang terlalu kompleks jika hanya dilihat dari warna kulitnya," ucapku penuh senyum.

Baru akan melangkah melewati pintu utama. Clara sang resepsionis berdiri.

"Maaf Pak Ridwan. Ada seorang perempuan yang ingin menemui Bu Anisa," katanya penuh hormat.

Nikmatilah perkerjaanmu Clara. Sebelum tanganku sendiri yang akan mengeluarkanmu dari kantor ini.

Wanita itu berbalik badan.

"Dewi, kenapa harus kesini?"

Dia Dewi teman ku sewaktu kuliah. Tetapi sayang dia putus kuliah karena harus merwat ibunya di kampung yang sedang sakit-sakitan dan berujung meninggal. Lalu Dewi kembali ke kota ini lagi untuk bekerja dan melanjutkan kuliah lagi.

"Kamu yang harusnya kenapa Nis. Kamu tidak bilang kalau mau ke perusahaan. Bajumu aku pinjam, sementara kamu pakai baju ku yang kamu sendiri tidak pantas memakainya Nis."

Sebelum kesini aku memang mampir ke kos Dewi. Dan ternyata ia sedang dilanda kebingungan. Dia diundang ke rumah calon mertuanya. Sementara bajunya hanya itu-itu saja. Karena sudah mepet waktu, aku pinjamkan saja baju yang aku pakai. Maklumlah ia juga harus menanggung keponakanya yang yatim, sementara ibu dari anak itu hanya bekerja serabutan.

"Ini baju kamu Nis. Cepatlah ganti. Wanita sepertimu tidak pantas memakai bajuku yang kusam dan jelek ini," ucapnya.

Aku tersenyum. Menggenggam tanganya.

"Kamu suka baju ini Wi? Ambilah. Aku ikhlas."

Dewi memeluk ku.

"Ah Anisa. Tuhan Maha Baik. Menciptakan kawan sebaik kamu."

"Lagipula banyak hikmah yang aku dapat dari baju ini, Wi. Ternyata banyak yang menilai sesorang hanya dari penampilan luar," kataku sekaligus menyindir Clara.

"Itu ciri ciri orang bodoh. Orang kaya itu kalau pinter, goodlooking, orang akan tau sendiri tanpa dia perlu menjelaskan. Jadi yang mengira kamu miskin itu bodoh."

Kami tertawa bersama.

Setelah urusan dengan Dewi selesai. Aku naik mobil untuk makan siang dengan Mas Ridwan. Saat di depan satpam, aku meminta Mas Ridwan berhenti.

"Mas tunggu dulu aku lupa mrnyerahkan kunci cadangan untuk membuka lantai empat. Aku kembalikan dulu pada Pak Kodir."

"Sudah kamu disini saja Nis. Biar aku yang mengembalikan."

Mas Ridwan keluar mobil. Tiba-tiba ku dengar dering dari handphone nya. Handphone nya tertinggal. Aku coba membuka. Ingin tau pesan dari siapa.

[ Mas, ibu sakit lagi. Tolong mas ]

Pesan dari Anggun.

Jadi apa mungkin benar uang yang masuk ke dalam rekening Nas Ridwan itu untuk ibu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status