Ibra datang membawa mobil baru. Tersenyum begitu turun menginjakkan kaki di halaman. Melihat Nila yang mematung di teras tengah memegang sapu dan menghampirinya.
"Bagaimana, bagus?" tanyanya sembari menatap kendaraan roda empat itu. Nila tidak menjawab. Menunduk sedih teringat Mada yang sudah menyerahkan uang demi menyelamatkan harga diri darinya."Ternyata ada gunanya juga perselingkuhanmu itu." Ibra beralih menatapnya dengan pandangan mengolok. Dia sempat ingin menghabisi istri sendiri saat hubungan gelapnya dengan Mada diketahui. Ibra hancur dan kelimpungan harus mengurusi ibunya sendiri karna Nila yang dibawa pergi. Di tengah perasaan hampir putus asa, terlintas sebuan ide dan kini sudah ada hasilnya. Cukup membuatnya terhibur."Mau mencobanya jalan-jalan denganku?""Tidak!" Nila meninggalkannya ke dalam. Ibra mengekeh senang melihatnya yang penuh rasa bersalah terhadap Mada.Mengurung diri dalam kamar. "Mas Mada ... Maafkan aku, Mas." Sungguh dia telah merepotkannya.Mada menyetujui persyaratan Ibra dan bisa dibebaskan hari itu juga. Kini dia bisa beraktifitas di kantor seperti biasa, tanpa ada yang curiga atau menatapnya hina. Orang-orang tidak ada yang tahu skandalnya. Pun dengan Boss pemilik perusahaan. Masih menganggapnya karyawan teladan, karna kinerjanya yang bagus bersama tim.Awalnya Mada menolak, tapi Ibra memaksa. Dalam perjalanan pulang Mada mengingat saat Ibra mengancamnya lagi."Ooh. Jadi lo nolak? Oke. Bersiap mulai besok orang-orang akan tahu vidio mes-um lo. Teman, Boss, keluarga besar lo, semua akan tahu. Dan lo akan dikurung dalam sel!" Ibra mengotak atik ponselnya menunjukkan vidio itu, Mada melebarkan mata melihatnya. "Sekarang juga gue kirim vidio ini ke situs media por-n0.""Jangan!" Ibra tertawa melihat kehawatiran luar biasa di wajahnya.Mada menghela napas. Melambatkan laju mobil demi bisa meneguk minum. Boto air mineral tersebut lalu ditunda lagi dan dia fokus kembali mengemudi. Uang 150 juta terpaksa dia berikan pada Ibra. Untuk membungkam mulut dan tangannya menyebar aib. Juga membebaskan dari jerat pidana.Duduk bersandar lelah begitu sampai apartemen. Selain pekerjaan ada banyak hal lain yang dipikirkan. Tempat ini pun menjadi terasa sepi sejak Nila pergi. Dia merindukan perempuan itu. Yang menyambut saat pulang kerja dan menyiapkan sarapan saat akan berangkat. Juga membantu mengurusi tempat ini.Bagaimana kabarnya di rumah Ibra? Mada hawatir terjadi sesuatu dengannya. Suaminya itu tidak hanya pelit dan kasar tapi juga serakah. Dan paling menyebalkan, dia licik.Mada merogoh ponsel menghubungi seseorang. "Hallo?"***"Nila! Bersihkan kotoran Ibu!" Ibra kembali menyuruh Nila mengurusi ibunya. Bi Darmi sudah diberhentikan, dia tidak membutuhkannya lagi dan tentu karna sayang uang jika harus menggaji orang."Nila?!" Kembali dia meneriaki istrinya karna tidak langsung datang. Dia sudah tidak tahan mencium aroma tidak sedap yang dikeluarkan ibunya. Menutup hidung dan ke luar kamar.Ditarik tangan Nila yang tengah mengepel dapur. "Kamu budek, ya. Aku bilang bersihkan kotoran Ibu.""Aku dengar, Mas.""Mangkannya langsung samperin dong.""Sebentar, Mas, sedikit lagi pekerjaanku selesai.""Tunda dulu. Bersihkan Ibu, Nila." Ibra tidak mau dibantah. Nila pun menunda pekerjaannya menghampiri ibu mertua di kamar.Membersihkan dan mengelapi kotorannya. Ibu mertua menitikkan air mata dan berkata dengan susah payah. "Maafin Ibu ... selalu merepot ... kan." Mencoba menyentuh tangan Nila dengan satu tangan yang bisa digerakkan meski sulit, sementara sebelah yang lain mati total.Nila membalas menggenggamnya. Dia memang lelah tapi lebih besar rasa kasihan. "Maafin Nila, kemarin ninggalin Ibu." Ibu mertua menggeleng, tidak menyalahkan karna semua ulah putranya sendiri."Kamu ... pergi sajja ... dari Ibra." Ibu mertua menyayangi Nila, tapi dia juga tidak mau terus melihatnya menderita bersama putranya. Pengorbanan dan pengabdiannya selama ini hanya sia-sia dan tidak mendapat balasan setimpal.Ibra tidak memperlakukannya baik, jangankan terhadap Nila terhadapnya sebagai ibu kandung pun enggan. Sudah bosan Ibra mengurusinya. Sudah tidak mau membawa berobat lagi karna tidak ada perubahan dan hanya membuang-buang uang menurutnya. Ibu mertua tak lebih seperti mayat hidup. Dia hanya wanita lemah, putus asa menunggu ajal tiba.Nila merunduk demi bisa memeluknya yang terus berbaring. Tangan ibu mertua berusaha menyentuh lagi dengan bergetar mengelusi punggungnya.Malam hari saat Nila terlelap Ibra menghampiri. Sentuhan tangan lelaki itu di dada membuatnya terkejut dan terbangun. "Mas?" beringsut duduk menarik selimut."Kamu mau apa, Mas?""Pertanyaan macam apa itu? Aku suamimu. Aku berhak datang padamu kapan saja." Ibra hendak meminta jatah kebutuhan batin dari itu mendekatinya. Namun, melihat responnya seperti itu dia tidak suka. Sekarang Nila berbeda sangat enggan ketika didekati. Tidak pasrah seperti dulu."Kamu malas denganku?" Nila tidak menjawab."Cih. Kamu pikir siapa? Asal kamu tahu aku juga malas dengan perempuan murah-an dan kot0r sepertimu. Yang sudah membagi tubuhnya dengan lelaki lain.""Kalau begitu kenapa kamu datang?""Karna aku butuh. Terpaksa aku mendatangimu. Sekarang layani aku.""Aku mau cerai, Mas." Nila menolak sentuhan tangannya lagi. Sedikit menghindar ke samping. "Jangan persulit aku. Biarkan aku bebas. Tolong, berikan kartu identitasku, KK serta buku nikah."Ibra tersenyum kecut menanggapi permohonan itu. "Kamu akan tetap jadi istriku. Oh, bukan, sekarang jadi wanita pemuasku." Direngkuh tubuh Nila, menahan dengan kuat saat dia memberontak. "Meski menjijik-an, tapi kamu gratis dan aku tidak perlu membayar wanita lain di luar." Direbahkan paksa dan mencoba membu-ka semua pakaiannya. Ibra melakukannya kasar dan selalu sesukanya. Hal ini membuat Nila enggan. Dirinya malah ditamp-ar saat protes meminta secara lebih baik. Menetes ujung matanya seiring pergerakkannya yang kuat dan sentuhannya yang menyakitkan.Sementara itu di tempat lain, Mada tidak bisa tidur. Menyentuh sebelahnya yang kosong, yang sempat diisi perempuan itu. Menemani malam sebelumnya begitu bebas, bertukar hangat tubuh dan saling menyenangkan diri dengan kemesraan. Setelahnya Mada memeluk sampai pagi. Kini hanya tersisa perasaan hampa. Terlalu singkat rasanya.Terlepas dari Mada yang tengah merana, Ibra masih di atas Nila, masih belum puas bersamanya. Nila yang telungkup meringis saat Ibra hendak pelepasan tetapi sambil menarik rambutnya. Wajah kesakitan itu tampak mendongak tersiksa. Ibra kemudian menjauh."Aku tidak sudi tidur denganmu!" Pergi setelah membenarkan bawahan. Membiarkannya terisak sendirian ...."Mas Mada ...,"***Bangun pagi dengan tubuh yang pegal, Nila beringsut duduk di sisi ranjang. Mengambil pakaian memakai asal. Beranjak pelan hendak membersihkan diri. Di cermin kamar mandi melihat tanda merah di dua lengan atasnya. Bukan bekas kecupan Ibra tapi bekas kukunya yang mencengkeram keras. Nila meringis saat menyentuhnya. Perlakuan Ibra sangat berbeda jauh dengan Mada yang lebih bisa menghargai tubuhnya.Selesai mandi memasak alakadar hanya membuat telur dadar. Dilanjutkan mencuci piring dan menjemur baju. Ibra sudah tidak ada. Dia jarang sarapan, tak selera katanya. Nila tidak mau ambil pusing justru senang pergi cepat-cepat.Beres dengan pekerjaan rumah, baru mengurusi ibu mertua. Menyuapinya. Tidak hanya memberi makan, Nila juga memandikan. Mandi air hangat di halaman belakang dengan hanya memakai sarung. Susah payah dia mengangkatnya hati-hati di kursi roda. Mengguyur pelan-pelan dan menyabuni tubuh kaku itu. Sinar matahari pagi bagus untuk tubuhnya. Jadi tidak hanya terus dielapi sesekali dimandikan dan dijemur.Menjelang sore Ibra baru pulang. "Siapkan aku makan." Datang-datang menginginkan makan."Sudah ada di meja.""Kamu siapin dong." Tanpa ingin berdebat Nila beranjak dari sofa menuju ruang makan. Ibra mengikuti duduk begitu saja. "Mana air minumnya?" Nila menuangkan air mineral dari teko dan memberikan padanya. Lelaki itu langsung meneguk habis. Nila kemudian menyendokkan nasi dan mendekatkan mangkuk sayur. Ibra makan lahap meski hanya dengan sayur asam dan ikan asin. Nila diam memperhatikan.Jam tujuh malam lelaki itu hendak pergi lagi. "Mas mau ke mana?" Nila mengekori dia yang sudah rapi ke luar kamar. Juga wangi parfum."Ada urusan.""Urusan apa, Mas, malam-malam?""Pekerjaan.""Pekerjaan itu diselesaikan di kantor, atau di rumah. Bukan di luar.""Kamu tidak usah bawel.""Mas." Nila menahan tangannya yang hendak membuka pintu. Tetapi lelaki itu menepisnya hingga terjatuh. "Ceraikan aku sekarang juga. Jatuhkan talak untukku!" Nila meradang kembali. Sebentar-sebentar dibuatnya emosi. Ibra tidak mendengarkan keluar begitu saja. Pintu ditutupnya kencang. Nila menekuk lutut kesal. Apa memang sebaiknya pergi tanpa mementingkan surat itu lagi. Pikirannya terus berkecamuk.Mobil Ibra menjauhi halaman. Terus melaju lurus di jalan. Kemudian mobil lain berada tidak jauh terdiam sejak tadi, mendekat dan berhenti di depan rumahnya.Nila yang menunduk mendongak mendengar ketukan pintu. Beranjak bangun. Mengusap wajah berusaha terlihat baik-baik saja. Pintu dibuka. Melebarkan mata terkejut sekaligus senang melihat siapa yang datang."Mas Mada!" Lelaki itu tersenyum. Nila memeluknya. Erat. "Mas Mada ...,"Untuk pertama kali Nila singgah lagi di apartemen Mada. Lelaki itu tidak takut membawanya ke sana. Meski sebelumnya terjadi insiden tidak mengenakan. "Aku merindukan kehadiran kamu di sini." Dengan jujur mengungkapkan apa yang tengah dirasakan. Nila meliriknya dan berhadapan. "Mas." Mada meraih tangannya menggenggam hangat. "Harusnya kamu tidak menuruti Mas Ibra." Dia hanya tersenyum kecil diingatkan itu. "Uang 150 juta bukan sedikit." Mada menuntunnya untuk duduk bersama. Nila terus memperhatikan tampangnya yang tenang. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Mada sekarang lebih bisa menguasai diri. Setelah kemarin-kemarin dibuat kalut Ibra. "Kamu pinjam, Mas?" Nila tidak mau lelaki itu sampai terlilit hutang karenanya dan menjadi beban. "Tidak," jawabnya enteng. "Aku minta maaf banget, Mas. Karnaku kamu rugi." "Konsekuensi untukku sudah salah mendekatimu.""Tapi tidak harus begitu." "Tidak apa-apa, Nila. Hitung-hitung buang sial. Malam itu Ibra sangat menekanku. Aku ingin hari
Nila langsung menutup pintu kembali saat melihat siapa yang datang. "Nila, biarkan aku masuk!" Mada menahan pintu itu tak mengerti. Tidak biasanya kedatangannya ditolak. Tenaga Nila kalah dan pintu tetap terbuka akhirnya. Lelaki itu menerobos masuk dan menutupnya kembali. Nila mundur. Mada semakin tidak mengerti melihat reaksinya. "Kamu kenapa?" tanyanya seraya mendekat. Terus menatap heran. "Tidak seharusnya kamu ke sini, Mas.""Kenapa? Aku tahu Ibra tidak ada. Kamu tidak usah takut." Bukan itu maksud Nila. Mada tidak mengerti. "Mau apa kamu ke sini, Mas?"Lelaki itu tersenyum pada akhirnya dia mau menanyakan. "Tentu karna aku kangen." Lebih mendekat memeluk begitu saja. "Kamu tidak membalas pesanku, tidak menerima panggilan teleponku, kamu membuatku tersiksa, Nila." "Cukup, Mas." Alih-alih membalas, Nila malah melepaskan diri dan menjauh. "Kamu jangan seenaknya menyentuhku. Aku masih istri orang, Mas." Pelan mencoba mengingatkan. "Kenapa baru sekarang? Apa Ibra mengancam? Kata
"Ini buat kalian." Mada menyerahkan amplop coklat berisi uang tunai pada dua orang yang sudah berhasil membawa ponsel Ibra sampai ke tangannya. "Terimakasih, Boss," ucap salah satunya sambil menerima amplop yang dia angsurkan. Mengecek isinya dan puas. "Ayo." Mengajak pergi kawannya. Dua orang itu naik ke motor dan berlalu. Mada menutup kaca mobil. Tersenyum lega karna bukti perbuatan hilafnya sudah ada padanya. Dia akan menghapus semua vidio menjijikkan itu. Berikut isi chat saat merayu Nila, juga poto-poto mesra mereka. Setelahnya ponsel Ibra akan dihancurkan. Lelaki itu mengemudi untuk segera melancarkan aksi melenyapkan bukti. Rela merogoh kocek lagi demi membuat diri aman. Juga membuat Nila nyaman.Pola yang mengunci layar bisa dibuka oleh ahli reparasi ponsel di toko besar dan terpercaya. Dengan begitu Mada bisa leluasa melihat isi galeri. Tentu dengan membuang sim card Ibra terlebih dahulu. Menghapus semua vidio mesumnya bersama Nila. Poto-poto, juga chat mesra. Setelah itu
"Sebentar!" Nisa buru-buru membilas piring saat seseorang menekan bel apartemennya secara berulang tak sabaran. Mencuci tangan lalu pergi membuka pintu. "Astagfirullah, Nila!" ujarnya panik. Melihat wajah perempuan itu babak belur di balik kain penutup kepala yang disampirkan asal. "Mbak, Nisa, tolong saya ...," Pelan dan bergetar Nila katakan. Nisa segera merangkul bahunya membawa masuk. Namun, baru beberapa langkah tubuh Nila ambruk jatuh telungkup."Ya, Allah!" Tubuh lemah itu sekarang ada di bed pasien. Tetes demi tetes cairan mengalir dari kantung infusan melalui selang, tersambung dengan tangannya. Nisa menunggui. Mungkinkah semua luka ini oleh suaminya? Jika benar, tega sekali. Tidak bisa dibiarkan. Nila harus menjauhi lelaki toxic seperti itu. Beruntung dia masih bisa menyelamatkan diri. Nisa membayangkan tidak mudah baginya pergi dalam kondisi tidak baik-baik saja. Dia melihat hijab fasmina yang tadi dipakainya asal. Nila menutupi wajah dan leher dengan kain itu sampai di
"Ambil semua. Ambil!" Ibra melemparkan surat-surat penting yang dibutuhkan Nila ke hadapan Mada. "Ini juga, silahkan lo ambil!" Dia juga melemparkan beberapa gepok uangnya. Mereka ada dalam rumah. Mada berhasil membawanya ke sana berikut koper yang sudah diangkut. Ibra membuka wadah besar itu dan menyerahkan apa yang selama ini dia pertahankan. "Asal, biarin gue pergi!" "Lo gi-la." Mada hanya melihat sekilas apa yang barusan dilemparkannya yang kini berserak di bawah. Tertuju pada kamar yang membuka terdapat ibu Ibra. "Ibu lo ma-ti dan lo mau pergi?" Lelaki itu sudah memberitahu ibunya meninggal dan Mada sudah melihat. "Gue gak peduli. Gue akan mengurusnya sendiri!" "Urus Ibu lo di sini." "Jangan ngatur gue. Kalau lo mau Nila, silahkan ambil. Gue gak akan mempersulit lo lagi. Jadi biarkan gue bebas!" Ibra tidak mempedulikannya lagi. Menutup koper lalu beralih ke kamar ibunya. Hendak mengangkut tubuhnya ke dalam mobil. "Ibu lo pantas diurusi dengan layak di sini. Gue gak akan nge
"Aku memaafkanmu, Mas. Tapi aku tidak bisa mencabut laporan." Ucapan tersebut keluar dari bibir Nila merespon permohonan suaminya. "Aku mohon, La ... Aku mohon." Ibra masih mengiba di bawahnya. Mada tidak suka melihat hal itu, meminta pihak tertentu menjauhkannya. Lelaki itu dibangunkan petugas hendak dikembalikan ke sel tahanan. "Sudah, Pak Ibra. Ayo, ikut kami." Ibra tidak menuruti kembali mendekati Nila, memeluknya erat. Semua dibuat terkejut karna ulahnya, termasuk Mada tampak kepanasan. "Mas, lepas.""Untuk terakhir, Nila. Bagaimanapun kamu masih istriku. Aku masih berhak menyentuhmu." Perempuan itu melirik Mada yang sangat cemburu. Di sisi lain dia merasakan iba terhadap Ibra. Mengapa saat sudah terpojok seperti ini baru bisa luluh? Bisa lembut? Dan penuh penyesalan. Jika saja dia mampu mengontrol emosi, tidak pelit, tidak kasar, ini semua tidak akan terjadi. Saat ini dia pasti menjadi istri setia, patuh terhadapnya. Lelaki ini hampir membuatnya m4ti dan sudah menyiksa berkal
"Papa bicara apa?" Mada tidak suka mendengarnya. Dia tahu Nila yang gerogi dan gugup, menjadi bertambah tidak percaya diri karena ucapannya dan terlihat sedih. "Benar kan apa yang Papa katakan? Dia perempuan yang tidak punya harga diri." "Nila perempuan baik-baik dan terhormat," balas Mada membelanya. "Perempuan baik-baik tidak akan selingkuh dari suaminya. Apapun kesalahan suami. Sedangkan dia berhianat dan mengobral tubuhnya. Mana ada terhormat kalau sudah begitu?" Irwan terus memojokkan Nila. "Yang ada rendahan," tambahnya berbicara menekan sembari menatapnya hina. "Nila tidak seburuk yang Papa kira. Nila memang salah, tapi itu juga karna saya, Pa. Saya yang sudah menggodanya. Nila tidak mengobral tubuhnya ke banyak pria. Dia melakukan itu hanya terhadap saya." "Dan dia bisa mengulanginya di kemudian hari setelah bersamamu, Mada." "Tidak. Semua tergantung suaminya. Papa tahu apa yang dilakukan suaminya sebelumnya bukan? Nila hampir mati sering mendapat kekerasan dan tidak di
Di basement Selin berjalan tergesa ke mobilnya. "Maafkan anak tante, Selin." Widya mengejar. Mencegah gadis itu masuk. Selin mencoba tersenyum meski hati diliputi amarah. "Gak apa-apa tante." "Nanti tante akan bujuk Mada lagi.""Terimakasih tante, Selin pulang dulu." Widya melepas kepergiannya dengan perasaan bersalah karna telah menyakiti gadis itu dengan sikap Mada. "Ayo, kita pulang juga, Ma." Irwan sudah ada di sisinya."Pa, kasihan Selin. Dia bahkan tidak sempat mengobrol dengan Mada, anak itu langsung pergi membawa serta Nila." Tidak mau lama berdebat, Mada memutuskan ke luar apartemen lagi, meninggalkan mereka semua. "Mada tidak mau, Ma." "Kita harus mencobanya lagi, Pa. Kapan lagi kita bisa mendapat calon mantu gadis cantik dan berasal dari keluarga terhormat seperti Selin? Dia sangat cocok untuk Mada." "Terserah Mama saja." Widya tersenyum Irwan memasrahkan semua. Lelaki itu mendekati mobil miliknya memasuki kursi kemudi, "Ayo naik.""Baik, Pa." Irwan menjalankan pelan k