Share

BAB 7

Ibra datang membawa mobil baru. Tersenyum begitu turun menginjakkan kaki di halaman. Melihat Nila yang mematung di teras tengah memegang sapu dan menghampirinya.

"Bagaimana, bagus?" tanyanya sembari menatap kendaraan roda empat itu. Nila tidak menjawab. Menunduk sedih teringat Mada yang sudah menyerahkan uang demi menyelamatkan harga diri darinya.

"Ternyata ada gunanya juga perselingkuhanmu itu." Ibra beralih menatapnya dengan pandangan mengolok. Dia sempat ingin menghabisi istri sendiri saat hubungan gelapnya dengan Mada diketahui. Ibra hancur dan kelimpungan harus mengurusi ibunya sendiri karna Nila yang dibawa pergi. Di tengah perasaan hampir putus asa, terlintas sebuan ide dan kini sudah ada hasilnya. Cukup membuatnya terhibur.

"Mau mencobanya jalan-jalan denganku?"

"Tidak!" Nila meninggalkannya ke dalam. Ibra mengekeh senang melihatnya yang penuh rasa bersalah terhadap Mada.

Mengurung diri dalam kamar. "Mas Mada ... Maafkan aku, Mas." Sungguh dia telah merepotkannya.

Mada menyetujui persyaratan Ibra dan bisa dibebaskan hari itu juga. Kini dia bisa beraktifitas di kantor seperti biasa, tanpa ada yang curiga atau menatapnya hina. Orang-orang tidak ada yang tahu skandalnya. Pun dengan Boss pemilik perusahaan. Masih menganggapnya karyawan teladan, karna kinerjanya yang bagus bersama tim.

Awalnya Mada menolak, tapi Ibra memaksa. Dalam perjalanan pulang Mada mengingat saat Ibra mengancamnya lagi.

"Ooh. Jadi lo nolak? Oke. Bersiap mulai besok orang-orang akan tahu vidio mes-um lo. Teman, Boss, keluarga besar lo, semua akan tahu. Dan lo akan dikurung dalam sel!" Ibra mengotak atik ponselnya menunjukkan vidio itu, Mada melebarkan mata melihatnya. "Sekarang juga gue kirim vidio ini ke situs media por-n0."

"Jangan!" Ibra tertawa melihat kehawatiran luar biasa di wajahnya.

Mada menghela napas. Melambatkan laju mobil demi bisa meneguk minum. Boto air mineral tersebut lalu ditunda lagi dan dia fokus kembali mengemudi. Uang 150 juta terpaksa dia berikan pada Ibra. Untuk membungkam mulut dan tangannya menyebar aib. Juga membebaskan dari jerat pidana.

Duduk bersandar lelah begitu sampai apartemen. Selain pekerjaan ada banyak hal lain yang dipikirkan. Tempat ini pun menjadi terasa sepi sejak Nila pergi. Dia merindukan perempuan itu. Yang menyambut saat pulang kerja dan menyiapkan sarapan saat akan berangkat. Juga membantu mengurusi tempat ini.

Bagaimana kabarnya di rumah Ibra? Mada hawatir terjadi sesuatu dengannya. Suaminya itu tidak hanya pelit dan kasar tapi juga serakah. Dan paling menyebalkan, dia licik.

Mada merogoh ponsel menghubungi seseorang. "Hallo?"

***

"Nila! Bersihkan kotoran Ibu!" Ibra kembali menyuruh Nila mengurusi ibunya. Bi Darmi sudah diberhentikan, dia tidak membutuhkannya lagi dan tentu karna sayang uang jika harus menggaji orang.

"Nila?!" Kembali dia meneriaki istrinya karna tidak langsung datang. Dia sudah tidak tahan mencium aroma tidak sedap yang dikeluarkan ibunya. Menutup hidung dan ke luar kamar.

Ditarik tangan Nila yang tengah mengepel dapur. "Kamu budek, ya. Aku bilang bersihkan kotoran Ibu."

"Aku dengar, Mas."

"Mangkannya langsung samperin dong."

"Sebentar, Mas, sedikit lagi pekerjaanku selesai."

"Tunda dulu. Bersihkan Ibu, Nila." Ibra tidak mau dibantah. Nila pun menunda pekerjaannya menghampiri ibu mertua di kamar.

Membersihkan dan mengelapi kotorannya. Ibu mertua menitikkan air mata dan berkata dengan susah payah. "Maafin Ibu ... selalu merepot ... kan." Mencoba menyentuh tangan Nila dengan satu tangan yang bisa digerakkan meski sulit, sementara sebelah yang lain mati total.

Nila membalas menggenggamnya. Dia memang lelah tapi lebih besar rasa kasihan. "Maafin Nila, kemarin ninggalin Ibu." Ibu mertua menggeleng, tidak menyalahkan karna semua ulah putranya sendiri.

"Kamu ... pergi sajja ... dari Ibra." Ibu mertua menyayangi Nila, tapi dia juga tidak mau terus melihatnya menderita bersama putranya. Pengorbanan dan pengabdiannya selama ini hanya sia-sia dan tidak mendapat balasan setimpal.

Ibra tidak memperlakukannya baik, jangankan terhadap Nila terhadapnya sebagai ibu kandung pun enggan. Sudah bosan Ibra mengurusinya. Sudah tidak mau membawa berobat lagi karna tidak ada perubahan dan hanya membuang-buang uang menurutnya. Ibu mertua tak lebih seperti mayat hidup. Dia hanya wanita lemah, putus asa menunggu ajal tiba.

Nila merunduk demi bisa memeluknya yang terus berbaring. Tangan ibu mertua berusaha menyentuh lagi dengan bergetar mengelusi punggungnya.

Malam hari saat Nila terlelap Ibra menghampiri. Sentuhan tangan lelaki itu di dada membuatnya terkejut dan terbangun. "Mas?" beringsut duduk menarik selimut.

"Kamu mau apa, Mas?"

"Pertanyaan macam apa itu? Aku suamimu. Aku berhak datang padamu kapan saja." Ibra hendak meminta jatah kebutuhan batin dari itu mendekatinya. Namun, melihat responnya seperti itu dia tidak suka. Sekarang Nila berbeda sangat enggan ketika didekati. Tidak pasrah seperti dulu.

"Kamu malas denganku?" Nila tidak menjawab.

"Cih. Kamu pikir siapa? Asal kamu tahu aku juga malas dengan perempuan murah-an dan kot0r sepertimu. Yang sudah membagi tubuhnya dengan lelaki lain."

"Kalau begitu kenapa kamu datang?"

"Karna aku butuh. Terpaksa aku mendatangimu. Sekarang layani aku."

"Aku mau cerai, Mas." Nila menolak sentuhan tangannya lagi. Sedikit menghindar ke samping. "Jangan persulit aku. Biarkan aku bebas. Tolong, berikan kartu identitasku, KK serta buku nikah."

Ibra tersenyum kecut menanggapi permohonan itu. "Kamu akan tetap jadi istriku. Oh, bukan, sekarang jadi wanita pemuasku." Direngkuh tubuh Nila, menahan dengan kuat saat dia memberontak. "Meski menjijik-an, tapi kamu gratis dan aku tidak perlu membayar wanita lain di luar." Direbahkan paksa dan mencoba membu-ka semua pakaiannya. Ibra melakukannya kasar dan selalu sesukanya. Hal ini membuat Nila enggan. Dirinya malah ditamp-ar saat protes meminta secara lebih baik. Menetes ujung matanya seiring pergerakkannya yang kuat dan sentuhannya yang menyakitkan.

Sementara itu di tempat lain, Mada tidak bisa tidur. Menyentuh sebelahnya yang kosong, yang sempat diisi perempuan itu. Menemani malam sebelumnya begitu bebas, bertukar hangat tubuh dan saling menyenangkan diri dengan kemesraan. Setelahnya Mada memeluk sampai pagi. Kini hanya tersisa perasaan hampa. Terlalu singkat rasanya.

Terlepas dari Mada yang tengah merana, Ibra masih di atas Nila, masih belum puas bersamanya. Nila yang telungkup meringis saat Ibra hendak pelepasan tetapi sambil menarik rambutnya. Wajah kesakitan itu tampak mendongak tersiksa. Ibra kemudian menjauh.

"Aku tidak sudi tidur denganmu!" Pergi setelah membenarkan bawahan. Membiarkannya terisak sendirian ....

"Mas Mada ...,"

***

Bangun pagi dengan tubuh yang pegal, Nila beringsut duduk di sisi ranjang. Mengambil pakaian memakai asal. Beranjak pelan hendak membersihkan diri. Di cermin kamar mandi melihat tanda merah di dua lengan atasnya. Bukan bekas kecupan Ibra tapi bekas kukunya yang mencengkeram keras. Nila meringis saat menyentuhnya. Perlakuan Ibra sangat berbeda jauh dengan Mada yang lebih bisa menghargai tubuhnya.

Selesai mandi memasak alakadar hanya membuat telur dadar. Dilanjutkan mencuci piring dan menjemur baju. Ibra sudah tidak ada. Dia jarang sarapan, tak selera katanya. Nila tidak mau ambil pusing justru senang pergi cepat-cepat.

Beres dengan pekerjaan rumah, baru mengurusi ibu mertua. Menyuapinya. Tidak hanya memberi makan, Nila juga memandikan. Mandi air hangat di halaman belakang dengan hanya memakai sarung. Susah payah dia mengangkatnya hati-hati di kursi roda. Mengguyur pelan-pelan dan menyabuni tubuh kaku itu. Sinar matahari pagi bagus untuk tubuhnya. Jadi tidak hanya terus dielapi sesekali dimandikan dan dijemur.

Menjelang sore Ibra baru pulang. "Siapkan aku makan." Datang-datang menginginkan makan.

"Sudah ada di meja."

"Kamu siapin dong." Tanpa ingin berdebat Nila beranjak dari sofa menuju ruang makan. Ibra mengikuti duduk begitu saja. "Mana air minumnya?" Nila menuangkan air mineral dari teko dan memberikan padanya. Lelaki itu langsung meneguk habis. Nila kemudian menyendokkan nasi dan mendekatkan mangkuk sayur. Ibra makan lahap meski hanya dengan sayur asam dan ikan asin. Nila diam memperhatikan.

Jam tujuh malam lelaki itu hendak pergi lagi. "Mas mau ke mana?" Nila mengekori dia yang sudah rapi ke luar kamar. Juga wangi parfum.

"Ada urusan."

"Urusan apa, Mas, malam-malam?"

"Pekerjaan."

"Pekerjaan itu diselesaikan di kantor, atau di rumah. Bukan di luar."

"Kamu tidak usah bawel."

"Mas." Nila menahan tangannya yang hendak membuka pintu. Tetapi lelaki itu menepisnya hingga terjatuh. "Ceraikan aku sekarang juga. Jatuhkan talak untukku!" Nila meradang kembali. Sebentar-sebentar dibuatnya emosi. Ibra tidak mendengarkan keluar begitu saja. Pintu ditutupnya kencang. Nila menekuk lutut kesal. Apa memang sebaiknya pergi tanpa mementingkan surat itu lagi. Pikirannya terus berkecamuk.

Mobil Ibra menjauhi halaman. Terus melaju lurus di jalan. Kemudian mobil lain berada tidak jauh terdiam sejak tadi, mendekat dan berhenti di depan rumahnya.

Nila yang menunduk mendongak mendengar ketukan pintu. Beranjak bangun. Mengusap wajah berusaha terlihat baik-baik saja. Pintu dibuka. Melebarkan mata terkejut sekaligus senang melihat siapa yang datang.

"Mas Mada!" Lelaki itu tersenyum. Nila memeluknya. Erat. "Mas Mada ...,"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Maliq Food And Drink
mas Madaku, nila kangen
goodnovel comment avatar
Isabella
ah mas Mada sayang
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status