Gedoran di pintu mengejutkan Ibra. Mengehentikan aktifitasnya memagut mesra bibir Nila. Juga gerakkan di bawahnya. Lelaki itu tengah menikmati tubuh istri Mada ke tiga kalinya. Berdecak kesal. "Jangan ganggu gue!" teriaknya. Tidak ada suara lagi. Ibra pun melanjutkan kesenangannya sembari tersenyum menatap Nila sayang. Tetapi perempuan itu sebaliknya, sangat benci dengan mata sembab dan tatapan putus asa. Mual setiap mendengar desah dan erangan kenikmatan dari bibirnya.Tidak lama gedoran terdengar lagi kali ini lebih keras. Bahkan didobrak. Tiga orang masuk. Ibra yang merunduk terlena, sibuk mengecup dan mengecap ditarik tubuhnya hingga menyingkir dari Nila diseret turun. Nila menangis sangat malu tubuh telanj4ngnya kini dilihat banyak orang sementara tangan dan kaki terikat. "Lanc4ng kalian. Mengangguku!" Ibra marah kesenangannya dihentikan paksa. "Sudah cukup lo senang-senangnya, sekarang giliran kami," ujar salah satu seraya tersenyum menyeringai menatap Nila yang seketika pi
Irwan sangat berduka cita atas kepergian istrinya. Widya tidak bisa diselamatkan dari kecelakaan, mengembuskan napas terakhir di ruang ICU. Kini jenazahnya sudah dikebumikan. "Ma ...," Putra mereka mengusap nisan bertuliskan namanya. Anak lelaki itu sangat terpukul atas kepergian mamanya. Anggota keluarga menghibur mengelusi bahu. "Sabar ... biarkan Mamamu tenang di alam sana. Masih ada Papamu." Adik tiri Mada itu tidak mendengarkan ucapan siapapun. Terus terisak di hadapan makam yang masih basah dengan taburan kelopak bunga segar di atasnya. Rahayu mematung melihatnya. Bersyukur dia selamat dari kecelakaan dulu. Sehingga masih bisa menemani Mada. Menyempatkan datang melihat akhir kehidupan wanita perebut suaminya dulu yang tragis. Membenarkan selendang hitam yang merosot di rambutnya juga menyentuh kaca mata, Rahayu kemudian berbalik. Irwan melihatnya mencegah. "Tunggu, Yu. Aku ingin bicara." Rahayu melepaskan tangan lelaki itu yang sembarangan menyentuhnya. "Katakan saja sekara
"Jadi, Mas Ibra jatuh ke jurang saat dikejar polisi dan sekarang terbaring koma?" "Ya. Seperti yang kamu lihat." Nila memperhatikan lagi mantan suaminya yang terbaring lemah dengan sisa luka di wajah. Baru tahu dan baru melihatnya. Dia enggan mengingat lagi sosok itu dan benci. Mada mengajak ke sini setelah selesai membesuk teman kantor yang sakit. Nila bertahan di tempat saat Mada mengajak mendekat. Menggenggam tangannya erat serta menggeleng kuat. "Cukup, Mas. Kita pergi dari sini." Dia takut dan trauma dengan apa yang telah diperbuatnya. Mada memaklumi. Dia pun tidak memaksa. "Ayo." Berbalik mengajak ke luar ruangan. Menyusuri lorong bersama orang-orang yang berkepentingan sama di jam besuk. "Apa setelah sembuh Mas Ibra ditahan?""Ya. Setelah sembuh dibawa ke sel tahanan. Proses hukum terus berlanjut." "Syukurlah. Orang jahat seperti dia memang pantas membusuk di penjara." Nila berkata geram. Menyadari seemosi itu, Mada meraih tangannya. "Maaf, ya, harusnya aku gak usah ngaj
Ketika membuka mata Nila sudah berada dalam kamar. Mengerjap melihat suami di dekatnya. "Kamu gak apa-apa?" Mada hawatir menggenggam tangan. "Pusing?" Nila mengangguk kecil. "Mual juga?" tanya mama mertua yang juga ada di sebelahnya. Dan mengangguk lagi. Rahayu tersenyum. "Sepertinya kamu hamil." "Hah?" Nila sedikit terkejut dan hendak bangun. Mada membantunya duduk. Menatap tersenyum berharap ucapan mamanya benar. "Coba ingat-ingat terakhir datang bulan." Nila terdiam termenung. Memang dia telat datang menstruasi. "Nanti kamu tes pek ya, biar jelas. Mada, nanti kamu beli alatnya.""Iya, Ma." Rahayu kemudian pamit membiarkan keduanya istirahat. Tidak lupa mengingatkan Nila untuk meminum air hangat yang dibawakan Mada di meja kecil samping ranjang. Dia lalu meminumnya. Mada memeluk dari samping. "Akhirnya aku bisa jadi ayah," ucapnya senang tak henti mengukir senyum. Setelah berbulan-bulan menikah dengan ihtiar sesering mungkin bisa membuahkan hasil. "Iya, kan, Sayang?" Nila ikut
[Bisa kamu beri aku waktu? Lima menit saja di kamar mandi.]Pesan itu dibaca Nila dengan hati berdebar, dari kontak yang dinamai Mala. Padahal sebenarnya dia laki-laki yang kini tengah berkumpul bersama suaminya dan beberapa kawan lain di ruang tengah. Mereka tengah asik berbincang sambil mengopi dan merokok. [Hanya sebentar, Nila. Aku sangat membutuhkanmu.] Nila hanya membacanya lagi dan mematung menatap layar ponsel. Diliriknya ruangan depan yang tampak riuh suara obrolan. Hanya suaranya yang tidak terdengar. "Mada!" Seseorang melemparinya cangkang kacang hingga lelaki yang sibuk dengan ponselnya itu sedikit tersentak dan mendongak. "Kenapa lo? Diem aja dari tadi." "Gak apa-apa." "Lo pasti nunggu kopi yang belum jadi kan, Mad? Sebentar." Ibra, suami Nila bangkit dari sofa sembari memasukkan ponselnya ke saku levis. Menuju dapur. "Nila! Cepat bikin kopi untuk Mada. Lelet amat!" "Busett si Ibra, galak bener sama istrinya. Gak liat-liat ada kita, main bentak aja." "Udah biasa d
"Lo pelakunya?" Ibra melepas Nila, menghampiri Mada menarik kerah bajunya. Mencurigai dia. "Sudah menyentuh istri gue?!" sentaknya. Lelaki itu melihat Nila yang menggelengkan kepala. Pertanda jangan mengaku. Tetapi dia malah berkebalikannya mengatakan 'ya' membuat sepasang mata Nila membola. "Ya, gue sentuh Nila," tegasnya. Seketika Ibra tidak dapat menahan diri melayangkan pukulan, tapi Mada mampu menangkisnya. Serangan kedua dan ketiga juga tetap meleset. Yang ada tubuhnya terhuyung dihempas Mada."Brengsekk. Berani-beraninya." Tatapan Ibra semakin murka dan tajam terhadapnya. Tapi Mada tidak takut. Membayangkan Nila akan babak belur jika dia tidak kemari. Ibra tidak hanya akan menampar bisa lebih dari itu. Mada tidak tega melihatnya disiksa. "Katakan, sudah berapa lama kalian berhubungan?!" Suami Nila tidak bisa merendahkan suara lagi. Terlebih setelah perselingkuhan istrinya terbongkar dan pasangannya ada di sini merupakan teman sendiri. Dan mereka belum lama berbuat mesra. Me
Semilir angin menerpa kulit wajah Nila, menerbang-nerbangkan rambutnya pelan. Memberi sensasi segar dan menyingkirkan sedikitnya keraguan dan kepiluan. Entah mengapa kini hatinya merasa tenang meski bersama orang lain. Bersama Mada. Lelaki itu terus membawa pelan motor ke tempat yang ditujunya. Mada sudah baik, ada rasa haru di tengah rasa berdosa. Andai dipertemukan sebelum mengenal Ibra. Sayangnya kini dia malah mempunyai hubungan gelap dengannya. Dan menjadi rumit setelah diketahui Ibra. Kepala Nila pusing. Juga merasa lelah. Menyandarkan tubuh pada Mada. Menempelkan pipi di punggungnya. Dan dia merasa nyaman. Mada sendiri tidak keberatan malah tersenyum senang. Menoleh sekali ke belakang pada Nila yang bersandar manja lalu fokus ke depan. Membawa Kawasaki merahnya sedikit lebih cepat. "Silahkan." Mada membuka pintu mempersilahkan Nila masuk lebih dulu. Mereka sudah sampai di apartemen. Nila sejenak terdiam ragu. "Kamu butuh istirahat. Di dalam kamu bisa santai." Ramah Mada men
Tengah malam Nila terbangun karna rasa haus juga lapar. Menyingkirkan selimut beranjak turun dari ranjang. Membuka pintu pelan dan ke luar kamar. Mematung merasa sungkan melanjutkan langkah saat tatapan Mada ke arahnya. Ternyata lelaki itu belum tidur. Mada tengah menonton bola. Berpaling sejenak melihatnya. "Aku haus, Mas. Ngg ... aku juga lapar. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli makanan. Uang dari Mas Mada sebelum ke sini, ada di rumah Mas Ibra." Ragu-ragu dia katakan kenapa terbangun dari tidur. Mengenyampingkan rasa malu sudah lapar tapi tidak punya apa-apa. Saat ribut-ribut di rumah Ibra dia tidak memikirkan lagi uangnya yang tergeletak di lantai. Boro-boro, yang ada rasa kalut dan Mada cepat membawa pergi. Karna Ibra terus menyakiti tubuhnya. "Ini." Mada meraih sesuatu dari samping tubuhnya. "Aku udah beli makanan." Dia lalu menaruhnya di meja. "Sengaja takut kamu lapar. Jadi aku sediakan. Makanlah." Terenyuh sekali Nila dengan perlakuannya, sampai mata tak terasa berka