Share

BAB 6

Nila didudukkan paksa di tempat tidur. Wajahnya terus menghindar enggan melihat Ibra. Lelaki itu tersenyum puas telah berhasil membawa pulang istri yang kabur dengan laki-laki lain. Dia menekuk kaki berjongkok di hadapannya, agar wajah yang terus menunduk itu dapat melihatnya. Sebelah tangan ditumpu di paha Nila sambil terus mendongak ke arahnya. 

"Kamu pikir aku akan diam saja? Tidak, Nila. Kamu, Mada ... kalian harus mendapat balasan. Sudah menyakitiku," ucapnya pelan dengan ancaman dan menekan. 

Ibra tidak membiarkan begitu saja. Sejak Nila pergi besoknya langsung membuat laporan ke kantor polisi, mengadukan perbuatan Mada. Mengumpulkan bukti-bukti untuk kemudian di proses. Sehingga puncaknya hari ini. Penyidik datang menjemput paksa Mada di kediamannya setelah adanya bukti kuat dan Nila ditemukan tengah bersamanya. 

"Bi Darmi bilang kamu ke sini bersama kawanku yang brengs*k itu mencari buku nikah. Untuk apa Nila? Ooh, untuk menggugat cerai aku? Agar kalian bisa menikah nantinya, begitu?" Nila tidak menjawab. Bibirnya terus mengatup rapat. Meski benar adanya. Dia berani memutuskan berpisah karna Mada. 

"Tapi tidak menemukan bukan? Karna aku sudah menyimpannya di tempat aman." Ibra terkekeh mengejek kegagalannya. 

"Aku sudah menebak kalian akan datang untuk mengambil persyaratan berkas gugatan. Aku mengenal baik siapa Mada. Dia yang menyarankanmu menggugat cerai aku. Benar begitu?" Nila masih bungkam. Namun, hatinya semakin mengkerut. Ibra mengetahui semua rencananya. 

"Awalnya aku begitu menggebu untuk menceraikanmu Nila. Tapi itu akan membuat kalian senang. Aku tidak mau kalian bahagia di atas penderitaanku!" 

"Maafkan aku, Mas. Tolong jangan penjarakan Mas Mada." Baru Nila bicara. Memohon pacar gelapnya itu dibebaskan. Mada sudah sangat baik terhadapnya meski kedekatan mereka salah. 

Dia menatap ngeri Ibra yang sedikit menyeringai di antara pancaran matanya yang penuh kabut dendam. Responnya sangat menakutkan meski baru sekedar ekspresi wajah. 

"Dia harus mendapat hukuman!" Berubah garang dengan suara meninggi. "Kamu juga, harus mendapat balasan!" 

"Mas pikir selama ini baik sama aku? Tidak. Mas kejam!" Melihat Ibra galak seperti biasanya, Nila tidak tahan menumpahkan isi hati. Dia pun memiliki emosi terpendam dan kali ini terpantik keluar begitu saja. 

"Aku tidak tahan. Mas Mada sudah membuka pikiranku. Aku tidak mau terus-terusan disakiti jiwa ragaku sama kamu!" 

Plak! Tamparan mendarat di pipinya. Segera dia memegangi kulitnya yang terasa panas dan perih. Sontak matanya berkaca-kaca. 

Ibra kemudian menyentuh pipi itu. Menghadapkan kembali wajah yang menyamping akibat terbawa tamparannya. "Maaf," berkata sambil meringis tapi bukan hal tulus, Nila merasa seperti diejek. Ditepis tangan tersebut darinya dan beranjak. 

"Kamu memang jahat. Asal kamu tahu, Bi Darmi meminta uang dan Mas Mada membayarkan upahnya karna kamu tidak mau memberi. Tidak hanya pelit sama aku, kamu juga pelit sama orang lain. Bahkan tidak mau membayar hak orang lain!" 

"Terus. Terus saja sanjung orang itu. Dan aku semakin yakin untuk memberikan pelajaran padanya karna telah mencuci otakmu!" 

"Dia tidak mempengaruhiku tapi aku yang menyadarinya." 

"Siapa suruh memberi uang Bi Darmi? Aku akan membayarnya tapi nanti."

"Nanti kapan? Kamu tidak jelas sedangkan Bi Darmi sangat membutuhkan. Kamu mau membuat orang kelaparan? Dia bahkan mogok bekerja tidak mengurus Ibumu dan berniat berhenti." 

"Sudah. Cukup! Kamu berani melawanku setelah bersama si bajing4n itu." Ibra menekan dua sisi bahunya. 

"Aku tidak akan membiarkanmu lepas. Dan Mada harus menikmati penderitaan." Menyeringai kembali bibirnya dengan sorot tajam dan berhasr4t karna dendam. Membuat Nila bergidik ngeri lagi dan takut. 

"Bukti penyelewengan kalian ada bersamaku. Jadi, jangan macam-macam!" 

*** 

Ibra sudah pergi. Saat lelaki itu tidak ada terbesit rasa ingin kabur. Tetapi saat hendak membuka pintu, Nila mundur kembali. Teringat surat-surat penting.  Kalau dia pergi begitu saja urusannya akan terus rumit tanpa identitas. Entah di mana Ibra menyembunyikan. 

Nila akhirnya tetap diam di rumah untuk sementara. Dengan tujuan mencari barang itu lagi. Duduk lemas dan mengusap wajah, menyesali kebodohannya yang hanya pasrah begitu saja padahal banyak kesempatan, sekarang saat mau bertindak keadaaan mempersulitnya. 

Mada tengah sibuk dengan kasus yang menjeratnya. Menjawab setiap pertanyaan tim penyidik. Berulang kali membuang napas gusar dan ingin pergi. Meski berusaha baik-baik saja, semua itu tidak bisa disembunyikan sempurna. 

"Sejak lima bulan lalu saudara Mada telah mendekati saudari Nila, melakukan tindakan pelecehan hingga menggauli paksa di kediaman Bapak Ibra." Kembali penyidik memastikan isi berkas keterangan dari pelapor. 

"Saya tidak melecehkan," ujar Mada dengan intonasi tenang namun sebenarnya sedang menahan geram. Karna pertanyaan hampir serupa terus dilayangkan. 

"Tidak mau mengaku rupanya. Sudah terciduk pun." Ibra datang lagi. Berdiri di sisinya. Mada melirik lelaki itu, berusaha menormalkan raut wajah yang tegang.

"Jelas-jelas sudah ada bukti. Juga saksi," tambahnya. Seseorang datang menyusul menghampiri Ibra. 

"Yoga?" seru Mada tak percaya melihatnya. 

"Dia saksi saat kejadian pemerkosaan yang dilakukan Mada terhadap istri saya, Pak." Ibra tidak mempedulikan keterkejutan Mada atas hadirnya teman mereka. Terus melaporkan hal buruk lelaki itu terhadap istrinya. 

"Silahkan saudara Yoga duduk dan memberi keterangan." Yoga pun duduk menghadap penyidik. 

"Betul, Pak. Malam itu saya ada di kediaman Ibra dan melihat dengan mata kepala sendiri Mada melakukan tindakkan asusila pada istrinya." 

Tangan Mada terkepal erat. Salah satu dari ketiga teman yang membersamainya malam itu, mau bersekongkol dengan Ibra untuk menjeratnya.  

Ibra tersenyum puas melihatnya tidak bisa berkutik. Ditepuk pundak Yoga sudah bersedia membantu. Dia sudah memberi lelaki itu uang. Yoga yang awalnya tidak mau ikut campur meski tahu skandal Mada dan Nila, menjadi bersedia. 

Lelaki itu tidak berani melihat Mada setelah ikut memojokkannya sepihak. Hanya menghadap penyidik menyelesaikan investigasi. Terpaksa melakukan karna membutuhkan uang Ibra. Suami Nila tidak sayang menggelontorkan uang untuk membalaskan dendam. Mada secepatnya bisa ditetapkan sebagai tersangka dan akan menerima hukuman penjara setelah sidang nanti. 

***

Sebelum pulang, Ibra menemuinya berbicara empat mata. Lelaki itu langsung ditahan sejak hari itu juga. 

"Lo harusnya minta maaf sama gue," ujar Ibra pongah. Telah berhasil membawa musuh ke sini. 

"Untuk apa meminta maaf pada orang yang tidak kalah buruk dari gue." 

"Jangan belagu. Masa depan lo akan hancur. Ingat, gue punya bukti. Lo ceroboh meninggalkan ponsel Nila. Yang lo pikirkan hanya perempuan itu saja. Sampai mengabaikan hal penting. Bod0h tergesa-gesa membawanya pergi." 

Mada yang terus berpaling kini melihatnya. Tertegun. Merutuki diri atas kebodohan itu. Dia terlalu memikirkan keselamatan Nila, tapi abai akan keselamatan dirinya sendiri. Meninggalkan hal penting yang bisa menjadi ancaman. 

Banyak chat, panggilan telepon, VCS, hingga rekaman vidio mesra saat dia bersama Nila di ponsel itu. Ibra tidak menyia-nyiakan menjadikan senjata. 

"Ada bukti dan saksi, masih mau menyangkal?" 

Lelaki itu tidak menjawab. Sedikit mendongak menghirup napas kuat-kuat, seakan udara di sekitarnya sulit didapat. 

"Apa yang bakal lo lakuin? Mau melawan gue? Menyewa pengacara? Lo gak bakal menang." 

"Jangan sombong, selama ini lo jahat terhadap Nila. Dia bisa balik melaporkan lo." 

Ibra malah tertawa mendengar itu seakan hal lucu dan merasa terhibur. "Mada ... Mada ... Perempuan penakut seperti dia mana mungkin melakukan hal itu." 

"Jangan tenang dulu. Nila bisa saja melakukan hal nekat mengadukan lo atas tindakkan penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga. Dan menuntut nafkah yang tidak didapatkan layak olehnya selama ini."

Ibra masih terkekeh. Sama sekali tidak takut apa yang Mada katakan. Menganggapnya lelucon. 

"Begini saja. Lupakan soal Nila. Kembali pada kasus lo. Mau lanjut atau setop?" 

Mada mengeryit. "Maksud lo?" 

"Lo gak mau sampai di penja-ra kan?"

Mada tidak paham. Terdiam menunggu ke mana arah pembicaraan. 

"Gue bisa mencabut laporan. Lo bisa pulang lagi malam ini juga. Asal ... lo bersedia membayar denda dan ganti rugi sebesar 150 juta sama gue." Mada membola mendengarnya. 

"Besok lo tetap bisa masuk kerja seperti biasanya. Tapi ... kalau tidak mau. Siap-siap, akan dijerat hukuman berat. Boss di kantor akan tahu vidio panas lo dan bisa dipecat." Ibra lalu mundur setelah memberi penawaran sekaligus mengancam. Tersenyum licik padanya yang terdiam kaku dan memucat. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status