Ketika membuka mata Nila sudah berada dalam kamar. Mengerjap melihat suami di dekatnya. "Kamu gak apa-apa?" Mada hawatir menggenggam tangan. "Pusing?" Nila mengangguk kecil. "Mual juga?" tanya mama mertua yang juga ada di sebelahnya. Dan mengangguk lagi. Rahayu tersenyum. "Sepertinya kamu hamil." "Hah?" Nila sedikit terkejut dan hendak bangun. Mada membantunya duduk. Menatap tersenyum berharap ucapan mamanya benar. "Coba ingat-ingat terakhir datang bulan." Nila terdiam termenung. Memang dia telat datang menstruasi. "Nanti kamu tes pek ya, biar jelas. Mada, nanti kamu beli alatnya.""Iya, Ma." Rahayu kemudian pamit membiarkan keduanya istirahat. Tidak lupa mengingatkan Nila untuk meminum air hangat yang dibawakan Mada di meja kecil samping ranjang. Dia lalu meminumnya. Mada memeluk dari samping. "Akhirnya aku bisa jadi ayah," ucapnya senang tak henti mengukir senyum. Setelah berbulan-bulan menikah dengan ihtiar sesering mungkin bisa membuahkan hasil. "Iya, kan, Sayang?" Nila ikut
[Bisa kamu beri aku waktu? Lima menit saja di kamar mandi.]Pesan itu dibaca Nila dengan hati berdebar, dari kontak yang dinamai Mala. Padahal sebenarnya dia laki-laki yang kini tengah berkumpul bersama suaminya dan beberapa kawan lain di ruang tengah. Mereka tengah asik berbincang sambil mengopi dan merokok. [Hanya sebentar, Nila. Aku sangat membutuhkanmu.] Nila hanya membacanya lagi dan mematung menatap layar ponsel. Diliriknya ruangan depan yang tampak riuh suara obrolan. Hanya suaranya yang tidak terdengar. "Mada!" Seseorang melemparinya cangkang kacang hingga lelaki yang sibuk dengan ponselnya itu sedikit tersentak dan mendongak. "Kenapa lo? Diem aja dari tadi." "Gak apa-apa." "Lo pasti nunggu kopi yang belum jadi kan, Mad? Sebentar." Ibra, suami Nila bangkit dari sofa sembari memasukkan ponselnya ke saku levis. Menuju dapur. "Nila! Cepat bikin kopi untuk Mada. Lelet amat!" "Busett si Ibra, galak bener sama istrinya. Gak liat-liat ada kita, main bentak aja." "Udah biasa d
"Lo pelakunya?" Ibra melepas Nila, menghampiri Mada menarik kerah bajunya. Mencurigai dia. "Sudah menyentuh istri gue?!" sentaknya. Lelaki itu melihat Nila yang menggelengkan kepala. Pertanda jangan mengaku. Tetapi dia malah berkebalikannya mengatakan 'ya' membuat sepasang mata Nila membola. "Ya, gue sentuh Nila," tegasnya. Seketika Ibra tidak dapat menahan diri melayangkan pukulan, tapi Mada mampu menangkisnya. Serangan kedua dan ketiga juga tetap meleset. Yang ada tubuhnya terhuyung dihempas Mada."Brengsekk. Berani-beraninya." Tatapan Ibra semakin murka dan tajam terhadapnya. Tapi Mada tidak takut. Membayangkan Nila akan babak belur jika dia tidak kemari. Ibra tidak hanya akan menampar bisa lebih dari itu. Mada tidak tega melihatnya disiksa. "Katakan, sudah berapa lama kalian berhubungan?!" Suami Nila tidak bisa merendahkan suara lagi. Terlebih setelah perselingkuhan istrinya terbongkar dan pasangannya ada di sini merupakan teman sendiri. Dan mereka belum lama berbuat mesra. Me
Semilir angin menerpa kulit wajah Nila, menerbang-nerbangkan rambutnya pelan. Memberi sensasi segar dan menyingkirkan sedikitnya keraguan dan kepiluan. Entah mengapa kini hatinya merasa tenang meski bersama orang lain. Bersama Mada. Lelaki itu terus membawa pelan motor ke tempat yang ditujunya. Mada sudah baik, ada rasa haru di tengah rasa berdosa. Andai dipertemukan sebelum mengenal Ibra. Sayangnya kini dia malah mempunyai hubungan gelap dengannya. Dan menjadi rumit setelah diketahui Ibra. Kepala Nila pusing. Juga merasa lelah. Menyandarkan tubuh pada Mada. Menempelkan pipi di punggungnya. Dan dia merasa nyaman. Mada sendiri tidak keberatan malah tersenyum senang. Menoleh sekali ke belakang pada Nila yang bersandar manja lalu fokus ke depan. Membawa Kawasaki merahnya sedikit lebih cepat. "Silahkan." Mada membuka pintu mempersilahkan Nila masuk lebih dulu. Mereka sudah sampai di apartemen. Nila sejenak terdiam ragu. "Kamu butuh istirahat. Di dalam kamu bisa santai." Ramah Mada men
Tengah malam Nila terbangun karna rasa haus juga lapar. Menyingkirkan selimut beranjak turun dari ranjang. Membuka pintu pelan dan ke luar kamar. Mematung merasa sungkan melanjutkan langkah saat tatapan Mada ke arahnya. Ternyata lelaki itu belum tidur. Mada tengah menonton bola. Berpaling sejenak melihatnya. "Aku haus, Mas. Ngg ... aku juga lapar. Tapi aku tidak punya uang untuk membeli makanan. Uang dari Mas Mada sebelum ke sini, ada di rumah Mas Ibra." Ragu-ragu dia katakan kenapa terbangun dari tidur. Mengenyampingkan rasa malu sudah lapar tapi tidak punya apa-apa. Saat ribut-ribut di rumah Ibra dia tidak memikirkan lagi uangnya yang tergeletak di lantai. Boro-boro, yang ada rasa kalut dan Mada cepat membawa pergi. Karna Ibra terus menyakiti tubuhnya. "Ini." Mada meraih sesuatu dari samping tubuhnya. "Aku udah beli makanan." Dia lalu menaruhnya di meja. "Sengaja takut kamu lapar. Jadi aku sediakan. Makanlah." Terenyuh sekali Nila dengan perlakuannya, sampai mata tak terasa berka
"Kamu gak usah takut." Mada menyentuh tangan Nila sebelum ke luar dari mobil. Menenangkannya yang cemas. "Ibra pasti sedang bekerja, tidak akan ada di dalam rumahnya." Mereka sengaja mendatangi kediamannya siang-siang. Untuk mengambil buku nikah, kartu keluarga, KTP, untuk melengkapi berkas gugatan cerai. Dan mengambil keperluan Nila yang lain seperti baju. Mada rela cuti sehari dari kantor untuk mengurusinya. "Turun?" Nila mengangguk. Mada membuka pintu lebih dulu. Dengan dada berdebar Nila menyusul turun. Berjalan lambat mengikuti langkahnya. Hampir satu minggu dia meninggalkan rumah ini. Ibra juga tidak ada menemuinya. Entah apa lelaki itu sangat benci terhadapnya sehingga tidak mau melihat lagi. Kalau begitu Nila akan mempercepat proses perceraian. Ada rasa sedih, takut, saat menginjakkan lagi kaki di teras. Banyak kenangan di sini. Kenangan yang membuat ia seperti terpasung. Bagaimana kabar ibu mertua? Siapa yang merawat? Terselip setitik rasa bersalah sudah meninggalkan tanpa
Nila didudukkan paksa di tempat tidur. Wajahnya terus menghindar enggan melihat Ibra. Lelaki itu tersenyum puas telah berhasil membawa pulang istri yang kabur dengan laki-laki lain. Dia menekuk kaki berjongkok di hadapannya, agar wajah yang terus menunduk itu dapat melihatnya. Sebelah tangan ditumpu di paha Nila sambil terus mendongak ke arahnya. "Kamu pikir aku akan diam saja? Tidak, Nila. Kamu, Mada ... kalian harus mendapat balasan. Sudah menyakitiku," ucapnya pelan dengan ancaman dan menekan. Ibra tidak membiarkan begitu saja. Sejak Nila pergi besoknya langsung membuat laporan ke kantor polisi, mengadukan perbuatan Mada. Mengumpulkan bukti-bukti untuk kemudian di proses. Sehingga puncaknya hari ini. Penyidik datang menjemput paksa Mada di kediamannya setelah adanya bukti kuat dan Nila ditemukan tengah bersamanya. "Bi Darmi bilang kamu ke sini bersama kawanku yang brengs*k itu mencari buku nikah. Untuk apa Nila? Ooh, untuk menggugat cerai aku? Agar kalian bisa menikah nantinya,
Ibra datang membawa mobil baru. Tersenyum begitu turun menginjakkan kaki di halaman. Melihat Nila yang mematung di teras tengah memegang sapu dan menghampirinya. "Bagaimana, bagus?" tanyanya sembari menatap kendaraan roda empat itu. Nila tidak menjawab. Menunduk sedih teringat Mada yang sudah menyerahkan uang demi menyelamatkan harga diri darinya. "Ternyata ada gunanya juga perselingkuhanmu itu." Ibra beralih menatapnya dengan pandangan mengolok. Dia sempat ingin menghabisi istri sendiri saat hubungan gelapnya dengan Mada diketahui. Ibra hancur dan kelimpungan harus mengurusi ibunya sendiri karna Nila yang dibawa pergi. Di tengah perasaan hampir putus asa, terlintas sebuan ide dan kini sudah ada hasilnya. Cukup membuatnya terhibur. "Mau mencobanya jalan-jalan denganku?" "Tidak!" Nila meninggalkannya ke dalam. Ibra mengekeh senang melihatnya yang penuh rasa bersalah terhadap Mada. Mengurung diri dalam kamar. "Mas Mada ... Maafkan aku, Mas." Sungguh dia telah merepotkannya. Mada me