Pov Mas Ronald.
Mobil berhenti dihalaman rumah orangtuaku, sejak kemarin Ibu begitu cerewet mengingatkan agar hari ini aku bisa berkunjung kerumahnya."Assalamuallaikum ..." ucapku saat memasuki rumah yang pintunya terbuka lebar."Nah ini ..." ucap Ibu begitu sumringah saat melihat aku ada didepannya, tanpa menjawab salamku."Ada apa Bu?" alisku menaut saat Ibu bangkit dan berjalan kearahku."Ini loh, Sekar ... perempuan yang Ibu ceritakan tempo hari. Anaknya Ibu Yuni, tetangga kita dulu," ucap Ibu dengan senyum cerah, menunjukkan perempuan yang sedang duduk sambil tersenyum malu melihatku."Sekar, Mas ..." perempuan itu berdiri, lalu menyodorkan tangannya."Iya." sahutku sambil menjabat tangannya sekilas."Duduk, Nald." titah Ibu. Aku langsung menurut, dan duduk didepan Ibu dan Sekar."Kalian kenalan saja dulu. Kan sudah lama tidak bertemu," ucap Ibu dengan senyum penuh arti keaPov Mas Ronald.Aku mengejrap pelan, tersentak saat melihat Sekar ada disamping tubuhku. Dia sedang duduk terisak, menatap nanar kearahku."Kenapa? Apa yang terjadi?" Tanyaku sambil memulihkan ingatan."M-as ... kita sudah melakukannya," ucapnya pelan disela isak tangis. "Bagaimana kalau aku sampai hamil," sambungnya sambil menundukkan wajah.Mataku menangkap pakaian yang berserak dilantai, aku meraba tubuh dengan panik, tak ada satupun pakaian yang melekat dibadan ini. Itu berarti aku dan Sekar?Ahh ... mengapa aku bisa seceroboh ini.Aku mencengkram rambut kepala, sangat menyesal sudah melakukan dosa besar yang dibalut dengan kenikmatan sesaat ini."Mas ... akan bertanggung jawabkan?" Sekar menyentuh tanganku."Eh ... i-iya," aku mengangguk lemah."Janji ya, Mas ..." Sekar menghapus air mata, lalu meringsekkan tubuhnya kearahku."Maaf ..." lirihku serba salah. Aku benar-be
Selesai makan dan membersihkan badan, kami langsung menuju peraduan. Setelah mencium keningku, Astrid menarik selimut hendak menutup mata."Mah ....""Apa, Yah?" tubuh Astrid bergeliat, lalu meringsek memelukku."Itu ... mm, gimana ya cara bicaranya," aku menggaruk kepala. Membuat Astrid mendongkak kearahku."Bicara saja?" ucapnya."Ibu ... dia kepingin kalung katanya," ucapku kemudian.Astrid menghela nafas, lalu memejamkan mata."Beli saja, buat orangtua jangan terlalu perhitungan. Harga kalung berapa sih?" sahutnya.Senyumku mengembang seketika, Astrid memang sangat baik hati dan pengertian pada keluargaku. Tak salah memang, aku sudah menjadikannya seorang istri."Sudahlah, Mah kali ini tidak usah, Ibu terlalu merepotkanmu," pancingku ingin melihat reaksinya."Jangan bicara begitu, Yah ... aku kerja kaya gini juga demi keluarga. Jika Ibumu senang, dia pasti mendoakan keba
Gawai berbunyi nyaring, nama Raka tertera didalam layar."Mas ..." suara manja perempuan yang aku rindu, memenuhi pendengaran."Apa sayang?" balasku lembut.Ya ... Raka adalah nama untuk Sekar di gawaiku. Tak mungkin aku menuliskan namanya, bisa banyak pertanyaan nantinya."Kapan kekosan ... kalau terlalu lama bisa berjamur aku," nada suaranya terdengar merajuk, namun gemas ditelinga.Sudah empat hari ini aku tidak menemuinya, aku mau mencari aman dulu dari mertua. Papah itu sangat keras, berbeda sekali dengan anaknya yang lemah lembut."Sabar ... ini juga demi kebaikan kita," sahutku."Nanti Mas pikirkan, bagaimana caranya agar kita bisa bertemu setiap hari," sambungku, setelah mendengar dengkusan kesal dari ujung telepon."Mas ... bagaimana kalau aku melamar kerja ditoko matrial?" usul Sekar. "Kita bisa setiap hari bertemu," sambungnya riang."Mm ... tidak mudah menerima karyawan dis
Mata mengejrap pelan, lalu mengedarkan pandangan keseluruh ruangan.Ssss ....Sakit langsung menyerang kepala, mata kembali tertutup, tak sanggup terbuka karna rasa perih yang begitu luar biasa."Astaga apa yang terjadi!" teriakan Ibu terdengar ditelinga.Tak lama sentuhan tangan mendarat diwajahku. "Siapa pelakunya!!" geram Ibu.Suara tangis Sekar terdengar, dengan sekuat tenaga aku membuka mata."Ibu ... huhu," Sekar menangis pilu."Argh...""Ro-nald," wajah Ibu yang pertama kali aku lihat. Gurat kecemasan tergambar jelas diwajahnya."Air ..." lirihku. Ibu langsung meraih botol mineral dan membukanya, lalu memasukkan sedotan kedalamnya.Tenggorokan yang semula kering, kini terasa lega seirama dengan air yang mengalir melewati tenggorokan."Siapa? Siapa yang berani melukaimu?" cecar Ibu. Aku hanya terdiam, dan mengehela nafas dengan berat."Ibu ..." Se
"Kenapa Bu?" tanyaku saat melihatnya tertegun memandangi gawai."Astrid ... dia memblokir nomer Ibu," lirihnya dengan tatapan tak percaya.Aku terkejut mendengar ucapan Ibu, memijit pelipis yang tiba-tiba terasa tegang.Ada apa ini. Mengapa Astrid sekejam itu."Mbak Astrid blokir nomer Ibu?" seru Zeky dengan alis menaut.Ibu memandang kearahku dan Zeky bergantian dengan panik."Ada masalah apa? Selama ini Mbak Astrid sangat baik sama Ibu, Ibu apain Mbak Astrid?" cecar Zeky dengan wajah frustasi."Kalau caranya begini, bisa gagal beli motor baru," sungut Zeky dengan sinis."Benar-benar kurang ajar! Mertua sendiri diblokir, masih untung kamu tidak menceraikan dia." rutuk Ibu tak terima."Cerai. Siapa yang mau cerai?" Zeky menatapk
"Ibu Astrid bilang, di-a tidak menerima sumbangan ..." ragu Bik Irah berucap."Apaaa!!" Ibu terlonjak dari tempatnya.Meneguk saliva yang terasa menggumpal, hatiku mencelos mendendengar ucapan Bik Irah.Astrid ... dia menganggap kami pengemis? Jahat sekali.Wajah Ibu langsung memerah, dengan langkah lebar dia berjalan menaiki tangga, melewati Bik Irah yang ketakutan."Hei ... jangan sembarang memasuki rumah orang!" Vivian yang biasa masa bodoh dengan keadaan, angkat bicara."Kamu diam. Jangan ikut campur! Ini rumah Ronald juga!" sentak Ibu. Vivian mendecih, lalu mengangkat bahunya."Menantu tidak tahu adab. Didiamkan semakin melunjak, tidak tahu diri!!" umpat Ibu dengan begitu geramnya."Dia pikir aku itu pengemis. Dasar anak durhaka!"
"Aku tidak peduli dengan masalah kalian ... yang aku tahu, Mbak harus menepati janji itu," sambung Zeky sambil memegangi tangan Astrid.Astrid menatap Zeky tak percaya, ada binar kesedihan yang terpancar dari matanya."Mbak ... Mbak Astrid," Zeky terus memohon, sementara Astrid hanya diam menanggapinya."Lepas ..." manik Astrid menyorot tangan Zeky yang memeganginya. Mata Zeky memerah, dengan pelan dia melepasnya."Saya tidak pernah menjanjikan apapun untukmu, Zek." sanggah Astrid."Loh ... Mas Ronald bilang, Mbak akan membeli motor untukku bulan depan. Ini sudah lebih dari sebulan, Mbak." Zeky memelas."Mas mu yang menjanjikan bukan saya," tegas Astrid. "Saya bukan lagi Atm berjalan, yang bisa kapan saja kalian poroti." sambung Astrid dengan senyum miring menyebalkan."Jadi selama ini kamu tidak ikhlas? Pakai ngomong di poroti segala. Wajar! Kami ini keluargamu, sudah seharusnya kamu yang punya banyak uang
"Zeky!!" jerit Ibu. "Dasar tidak punya hati, lihat Zeky seperti ini karna ulahmu!" nafas Ibu menggebu-gebu, matanya melotot tajam kearah Astrid.Astrid menatap datar, lalu masuk kedalam kamar tanpa menoleh sedikitpun kearah Zeky."Astrid!! Mau kemana kamu hah! Tanggung jawab," deru nafas Ibu menggebu-gebu.Astrid tetap tak peduli, dia malah membanting pintu dengan keras."Siaaallan! Menantu durjana!" maki Ibu dengan gigi bergeletuk kuat."Ronald, bagaimana ini. Huhu ..." Ibu menangis histeris, memegangi tangan Zeky."Dasar ibliiis! Tidak punya otak! Dia menyuruh Zeky bunuh diri. Huhu," rutuk Ibu disela isak tangisnya."Ya Alloh ... Mas Zeky kenapa, Oma!" seru Bik Irah sambil berlari kearah kami."Astrid ... dia pelakunya!" jerit Ibu. Bik Irah terlonjak, tak