Share

MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)
MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)
Author: Evie Yuzuma

Bab 1

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2022-05-09 10:39:33

“Percuma kamu Bapak sekolahkan tinggi-tinggi! Susah-susah pun maksain kamu biar masuk SMA, tapi mana nyatanya sekarang! Sudah mau satu tahun lulus sekolah tapi belum kerja juga! Belum ngasilin duit! Mending adik kamu yang sekolahnya SMP doang, sudah punya pacar anak tukang daging sapi, hidupnya terjamin!” celoteh Bapak. Orang yang Sumi paling takutkan ketika sudah bicara.

Sumi menghela napas. Dia masih membelekangi Bapak dan mengiris bawang merah untuk masak. Untuk ke sekian kalinya omelan itu terasa menusuk hati Sumi. Bapak selalu mengungkit keinginannya untuk bersekolah lagi dan menyalahkan karena sampai saat ini belum menghasilkan rupiah.

“Iya, Pak! Sumi juga lagi berusaha cari kerja! Sudah kirim lamaran juga!” tukas Sumi lirih, tak berani menatap wajah Bapak. 

“Ya, tapi mana atuh? Tiap hari ngabisin duit doang buat fotokopi, buat bikin kartu kuning, kartu SKCK, mana? Mana hasilnya?!” Suara Bapak makin meninggi membuat Ibu yang tengah menidurkan Asril---balita berusia tiga tahun---adik sumi yang paling kecil melerai. 

“Pak, sudah! Kasihan Sumi! Kalau belum rejeki, ya, mau gimana, toh?” tukas Ibu. Perempuan yang omongannya pun biasanya Bapak anggap angin lalu.

“Ini nih, semuanya gara-gara Ibu! Coba dulu gak usah nurutin kemauannya buat sekolah lagi, ngabisin duit doang! Gak ada hasilnya!” bentak Bapak.

Setelah itu, Sumi pasti akan menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Ibu yang membelanya dan Bapak yang selalu menyudutkannya tak pernah satu kata. 

Sumi menghentikan irisan bawangnya. Dia berjalan menunduk meninggalkan dapur yang hanya tersekat bilik teriplek dengan ruang tengah. Keluar melalui pintu samping. Sumi mengambil pakan ayam dan memberikannya sambil membiarkan tangisnya tumpah. 

Rupanya nilai yang tinggi memang tak menjamin kesuksesan. Semua prestasi selama sekolah menguap begitu saja. Perawakan Sumi yang hanya seratus lima puluh senti, membuatnya selalu kesulitan mendapatkan pekerjaan. Entah sudah berapa puluh lamaran yang dikirimkannya. Namun semua menguap begitu saja. Benar yang dikatakan Bapak, dia tak berguna, hanya membuang-buang waktu dan menghabiskan uang orang tua. 

Sumi memanddangi ayam-ayam kampung peliharaan Ibu sambil menyeka air mata. Hatinya sedih dan luka atas perlakuan Bapak, tetapi bisa apa? Dia hanya bisa berdoa, menangis dan begitulah berulang sambil menunggu keajaiban. 

“Sumi! Kamu masaknya cepetan! Sebentar lagi keluarga calon suaminya Intan akan datang! Jangan malu-maluin, nanti tamu datang belum ada apa-apa! Kamu itu memang selalu ingin membuat Bapak malu ya di depan calon besan atau jangan-jangan kamu iri sama Intan?” Suara Bapak membuat Sumi bergegas menyeka air mata. 

“Iya, Pak! Bentar!” 

Hanya itu kalimat yang terlontar. Ditinggalnya ayam-ayam itu yang menjadi alibinya untuk menangis di samping rumah yang ada di tepi sawah itu. Ya, kampung Sumi berada di pinggiran Kawasan industri, masih ada petakan-petakan sawah milik tetangganya yang terbentang. Beberapa warga generasi lama pun masih ada yang bertahan sebagai petani, sebagiannya sudah beralih profesi ada yang menjadi tukang sapu di Kawasan, ada yang kuli tanam rumput di para mandor pengelola yang sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan. 

Bapak membanting pintu dan meninggalkan Sumi. Dia kembali menangkup wajah. Rasanya tertekan sekali selalu mendapat perlakuan seperti itu dari Bapak. “Apakah sebetulnya aku ini bukan anak kandungnya?” Kadang pertanyaan itu terlintas dalam benak Sumi. Mengingat perlakuan Bapak selalu beda padanya dan pada Intan---adiknya.

Keluarga calon besan datang. Beruntung Sumi sudah menyelesaikan masakannya. Ayam surrundeng itu sudah tersaji di meja makan. Begitu pun air panas dalam termos, beberapa piring kue yang mendadak dipesan dan beberapa sachet kopi siap dituang. Sumi menyajikannya. Intan yang baru pulang dari jahit pakaian pun membantunya. 

“Teh, maaf … Intan lama, ya! Teteh masak sendirian jadinya!” tukasnya merasa tak enak. Intan memang berhati lembut. Dia pun mengalah untuk tak sekolah SMA karena dia sadar jika dia tak secerdas Sumi. Umurnya yang hanya selisih dua tahun, membuat keluarga harus memilih siapa yang akan melanjutkan sekolah pada akhirnya. Intan mengalah, lagi pula dia pun tak terlalu berminat untuk bekerja. Mending cari suami, ada yang ngasih nafkah katanya.

“Gak apa, Tan! Sudah selesai, kok! Ayo bantu teteh bawain ke depan!” tukas Sumi. Dia membersihkan tangan dan membasuh muka dulu agar tak terlalu terlihat kusut di mata tamu. Ini kali pertamanya keluarga Ardi---calon suami Intan datang. 

Ardi---lelaki yang awalnya mendekati Sumi itu tak bisa membuang pandang. Dia mencoba mendekati Intan karena Sumi mengatakan akan bekerja dulu dan tak bisa menerima lamarannya. Akhirnya dia mendekati Intan karena memang wajahnya mirip dengan Sumi. Namun entah dengan hati, dia pun tak yakin sebetulnya dia jatuh hati pada Intan atau pada Sumi. Menatap gadis manis itu ke depan, Ardi lupa jika yang ditujunya adalah Intan. 

“Nah ini anak-anak saya, Bu Marwah, Pak Amin! Ini Sumiati---kakaknya, yang ini Intan---adiknya. Alhamdulilah kalau Intan ini penurut, dia lebih mikirin keluarga.”

Intan duduk di ruang depan, bergabung bersama Ibu, Bapak dan Asril yang tengah asik bermain pasir. Sementara itu, Sumi kembali ke dalam. Entah kenapa mendengar pernyataan Bapak, hatinya mendadak sesak. Bapak seolah hendak mengatakan jika dirinya yang memaksa bersekolah itu seolah tak memikirkan kepentingan keluarga. 

Sumi berdiam di dapur, diambilnya gawai jadul yang sudah ketinggalan zaman. Ponsel bekas temannya yang dibelinya dari hasil membantu memotong padi di sawah di sela-sela waktu sekolahnya. Sumi membelinya agar ketika ada panggilan pekerjaan itu mudah. Meskipun lagi-lagi Bapak selalu mencibirnya. Rupanya ada pesan dari Tita---teman sekelasnya yang kini sudah kerja di salah satu perusahaan automotive. Tita beruntung karena memiliki tubuh tinggi, meskipun dia tak pernah mendapatkan ranking di kelas, tetapi nyatanya dia lebih mudah mendapatkan pekerjaan dari pada dirinya yang tak pernah geser dari tiga besar. 

[Sum, aku ada info lowongan, tapi gajinya kecil, mau gak? Tapi ada tips juga katanya yang lumayan! Kalau mau bawa lamarannya ke rumah sore nanti, ya!] tulisnya. Jemari Sumi dengan semangat mengetik balasan dengan cepat. 

[Lowongan di mana? Aku selalu gak lolos tinggi badan, Ta! Tapi aku mau coba. Gak apa gaji kecil yang penting kerja dulu.] 

Tampak Tita tengah mengetik.

[Kerja jadi caddy di lapangan golf, Sum! Kebetulan lagi banyak membutuhkan!] tulisnya. 

Sumi belum sempat mengetik pesan balasan ketika Bapak muncul dan menyiramkan air padanya. Beruntung ponselnya tidak kena, jadi masih selamat. 

“Kamu itu memang anak pembawa sial! Kenapa juga masih di rumah gak kerja-kerja! Gara-gara kamu juga, Intan jadi batal dilamar!” bentak Bapak. 

Sumi mengusap wajahnya yang basah. Menatap Bapak dengan pandangan sedih dan nanar. Apa lagi salahnya? Bahkan sejak pagi sudah susah payah memasakkan untuk keluarga calon suami Intan. Namun kenapa kini malah dirinya yang kembali disalahkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 46 - End

    Acara berjalan lancar, menyisakkan lelah setelah semua tamu meninggalkan tempat acara. Para tetangga masih sibuk membantu mencuci piring dan membereskan sisa-sisa yang berantakan di dapur rumah Zaki. Sementara itu, para orang tua sebagian ada yang sudah terkapar karena lelah, ada juga yang masih mengobrol di halaman rumah ditemani angin malam yang menusuk kulit. Tenda masih berdiri, besok baru dibongkar oleh orang yang menyewakannya. Begitu pun pelaminan hanya menyisakkan bunga-bunga yang sebagiannya tampak sudah layu juga. Kamar tidur pengantin sudah dihias indah dengan seprai dan kelambu yang indah, tetapi justru membuat kedua pengantin bingung mau tidur di mana. Semua itu hanya barang yang disewa dan dipakai untuk mengabadikan momen pernikahan mereka. Mungkin berbeda dengan pernikahan para selebritis yang memang kamarnya dihias di hotel megah dan boleh digunakan semaunya. Kalau di kampung beda, pernikahan rakyat biasa seperti keluarga Zaki, untuk tidur malam pun susah. Para kerabat

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 45

    “Sekarangnya saya sudah sembuh! Pergi hospitals saja buat periksa! Hmmm … tapi sayanya mau tanya Umi chan.” Yamada tersenyum, tetapi secepat kilat raut wajahnya tampak mendung. “Tanya apa, ya?” Sumi menoleh padanya.“Zaki san itu siapa, ya? Matanya saya lihat, ada cinta kalau lihat Umi chan, ya?” tanya Yamada menatap sang istri. Sumi terkekeh mendengar pertanyaan Yamada. Dia yang tengah menyetir menoleh pada lelaki bermata sipit yang tengah memasang wajah cemburu itu. “Abi san sok tahu. Mungkin Abi san lihat mata Zaki ketika dia habis tatap Suvia. Kan Suvia itu calon istrinya Zaki. Saya dan Zaki hanya teman sekolah saja, tak ada lah dia cinta saya! Kalau ada mungkin sayanya tak menikah dengan Abi san,” ucap Sumi seraya menggelengkan kepala. Dia memang tak pernah berpikir jika ada perasaan di hati Zaki terselip untuknya, meski dulu kadang rindu dan pernah merasa kehilangan, tapi Sumi sendiri tak bisa mengartikan jika itu cinta. Yamada ikut tertawa senang. Bukan karena dia percaya p

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 44

    Usai menerima panggilan dari rumah sakit, Zaki bergegas ke kamar di mana Suvia, Sumi, Intan dan Ibu berada di sana. Tampak olehnya Sumi baru saja siuman. Lagi-lagi wajahnya tampak begitu mendung. “Sum, maaf … tadi waktu kamu pingsan, ada telepon dari rumah sakit katanya sudah ada kabar tentang Mr. Hiraka,” tukas Zaki. Kalimat yang dilontarkan dengan santai itu sontak menarik perhiatian keempat perempuan itu. “Lalu kondisinya gimana, Zak?” Sumi tampak terkejut, ada raut senang tapi takut terpancar dari sorot matanya yang lemah. “Tadi keburu keputus. Aku telepon balik tapi nomornya sibuk. Mungkin better kita ke sana saja!” jelas Zaki.“Oh ya sudah, ayo kita pergi!” tukas Sumi seraya beringsut turun. Lalu berjalan lemah kea rah key box di mana kunci mobil miliknya berada. “Arsil dan Adzkia tengah pada tidur tapi, Teh! Gimana?” Intan menatap bimbang pada perempuan dengan wajah pucat itu yang tampak berusaha menguatkan diri. “Kamu di rumah saja, Dek! Jagain Asril sama Adzkia. Biar Te

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 43

    Zaki menatap sepeda motor yang penuh kenang itu. Dia mengelus boncengan yang biasa Sumi duduki dulu. Tak berlama-lama menelan nostalgia. Zaki mendorong sepeda motornya keluar dari bagasi. “Kamu tahu alamatnya, Vi?” Zaki menatap wajah Suvia yang tengah menunggunya di halaman rumah. “Sumi sudah share lok, kok!” tukas Suvia seraya menunjukkan layar gawainya. Zaki mengangguk. Sikapnya mendadak cool seperti musim dingin. Hatinya berdentum-dentum tak karuan, tetapi yang jelas dia ingin dirinya ada ketika orang yang masih dicintainya dalam diam itu kesusahan. Sepeda motor yang ditumpangi keduanya berjalan menembus gelap malam. Menyusuri jalanan kampung yang mulai lengang hingga akhirnya berbaur dengan jalan ramai. Meliuk berbelok memecah sunyi dalam dada. Tak ada obrolan tercipta, masing-masing sibuk dengan pikirannya. Hingga akhirnya google maps mengarahkan mereka pada gerbang sebuah cluster elit. Setelah menyimpan KTP sebagai jaminan, barulah sepeda motor Zaki diperbolehkan masuk. Suv

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 42

    Suara pramugari yang menginformasikan jika pesawat akan lepas landas terdengar. Zaki menepuk bahu Arifin yang masih lelap sejak mulai penerbangan tadi. Meskipun penerbangan tadi sempat delay akhirnya mereka tiba dengan selamat. “Pin, sudah sampe. Lu mau turun gak?” Arifin mengerjap, lalu menegakkan duduknya. Dia masih menguap berkali-kali. “Cepet banget, ya, Zak?” “Iyalah, lu molor aja sepanjang jalan! Kalau ibarat kata, ruh lu udah sampe duluan ke Indonesia!” gerutu Zaki. Arifin yang sedikit gemulai tertawa seraya menutup mulut menggunakan tangannya. “Lu bisa aja, Zak!” satu tangan lainnya menepuk Zaki dengan manja. “Lu kapan sih jadi lakinya, masih kemayu aja! Gak inget mau dijemput calon bini!” tukas Zaki seraya menepis tangan Arifin yang masih menempel di pundaknya. Ya, selain Zaki, Afirin pun sama sudah dijodohkan oleh orang tuanya. “Ya, biar saja dia lihat gue yang kayak gini! Kalau emang jodoh ya pasti dia nerima-nerima aja, kok! Lagian kalau gue pura-pura macho demi di

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 41

    Acara wisuda berjalan lancar. Gelar sarjana hadir sebagai penyempurna impian Sumi. Haru biru tak terelakkan.Ibu menangis dengan isak tertahan ketika menatap sosok mungil dan cantik itu tampak tinggi dengan menggunakan sepatu berhak tujuh senti. Kebayanya yang anggun tertutup oleh pakaian wisuda yang berwarna gelap dan longgar. Toga tersemat di kepalanya bersama sebuah senyuman yang tersungging ketika jepretan kamera mengabadikan pengesahan statusnya. “Selamat kepana Sumiati, Sarjana Manajeman. Telah lulus dengan predikat cumlaude.” Terdengar dari pengeras suara. Gema yang membuat sudut mata Sumi basah dan menghangat. Kini dua kata baru tersemat diujung nama polosnya---Sumiati, S.M. Kakinya mengayun pasti turun dari podium menuju tempat duduknya kembali. Di mana di sana ada Ibu dan Yamada yang tengah menunggunya. “Congrats, Umi Chan!” Yamada berdiri dan merenggangkan tangannya. Meskipun malu karena di tengah keramaian. Sumi tetap menjatuhkan kepala pada pelukan Yamada yang kini men

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 40

    Bau menyengat yang tercium dari rumah yang lengang itu akhirnya menarik perhatian. Tiga hari sudah Pak Yanto melepaskan ruh dari raganya tanpa ada seorang pun yang mendampinginya, tanpa ada yang membimbingnya bersahadat dan belum sempat dirinya memperbaiki diri sama sekali. Dia berpulang dengan hati gelap, dengan keadaan yang mengenaskan. Kebetulan satu orang tetangga yang ditugaskan Pak RT untuk memperhatikan kondisi Pak Yanto, anaknya sakit. Sementara itu, dia memang tak menjalin hubungan baik dengan para tetangga, karenanya tak banyak orang yang simpatik dan peduli padanya. Kehidupan masyarakat sekitar pun sedikit banyak sudah terkontaminasi oleh kemajuan gaya hidup modern menjadi lebih individualis. Perkembangan kawasan industri dan para pendatang yang datang menyerbu membuat penghuni kampung itu sudah heterogen. Sikap gotong royong seperti dulu bahkan sudah hampir punah, semua kini dinilai dengan uang. Bahkan sikap peduli mereka pun sudah mulai terkikis. Begitulah kondisi keada

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 39

    Kemarahan Rudi hanya dianggap angin lalu. Bagaimanapun lelaki itu sudah tak lagi memiliki kekuatan. Walaupun misalnya dia nekat menculik Adzkia dari Intan, tetapi Nita sudah pasti tak akan mau menerimanya. Istri pertamanya itu bukan orang jahat. Dia hanya seorang perempuan yang sudah bertahun-tahun merindukan seorang bayi yang hadir dalam rahimnya. Nita yang kini sudah patah, sudah membiarkan rasa kasihnya pada sang suami menguap begitu saja. Apalagi tahu jika kesetiaan yang Rudi agungkan di depannya hanyalah kamuflase belaka. Suaminya itu bahkan menikah diam-diam dan bersenang-senang di belakangnya. Sumi mengajak semua rekannya untuk meninggalkan kediaman Rudi setelah memberikan somasi pada Rudi. Sumi menekankan jika ada hal buruk terjadi dengan Intan atau Adzkia maka orang pertama yang akan dicarinya adalah Rudi. Begitupun dari KPAI dan Komnasham juga memberikan pengarahan dan pengertian pada Rudi tentang batasan-batasan dan hak asasi seseorang. Rudi tertunduk seraya meremas rambu

  • MEMBALAS HINAAN BAPAK (Cerita Cinta Sang Caddy)    Bab 38

    “Kalau gitu, mereka siapa?” Nita menatap perempuan anggun berkerudung lebar bersama lima orang teman lainnya, ada satu lelaki di antaranya. Rudi menautkan alis, mencoba memindai wajah mereka satu demi satu. Namun dirinya seakan hendak melonjak ketika akhirnya mengenali wajah manis Sumi yang melenggang menghampirinya. “I--itu ‘kan kakaknya Intan!” Rudi menggumam dalam dada. Dia masih belum menjawab pertanyaan Nita karena tiba-tiba hatinya dag dig dug tak karuan. “Ayah, mereka siapa?” Nita mengulang pertanyaan. Tampak seorang panitia yang ditunjuk mempersilakan para tamu yang baru datang untuk ikut duduk dan mengikuti kajian yang sebentar lagi usai. “Ahm, sepertinya … mereka itu … hmmm ….” Rudi menggumam tak jelas. Dia pun bingung mau mengatakan apa.“Yah?!” Nita yang sudah kelewat penasaran menepuk punggung tangan Rudi. “Ahm, itu kenalannya Yogi dulu. Mungkin Yogi yang mengundang mereka.” Rudi menjelaskan secara spontan. Meskipun masih diliputi rasa penasaran, tetapi Nita mencoba

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status