Sumi mengusap wajahnya yang basah. Menatap Bapak dengan pandangan sedih dan nanar. Apa lagi salahnya? Bahkan sejak pagi sudah susah payah memasakkan untuk keluarga calon suami Intan. Namun kenapa kini malah dirinya yang kembali disalahkan.
Sumi menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. Suaranya gemetar ketika bertanya.
“Kenapa Bapak gitu, Pak? Aku dari tadi di sini … kenapa Bapak nyalahin aku?”
Bapak membuang muka. Dia memutar tubuh dan meninggalkan Sumi tanpa kata. Dibantingnya pintu itu sehingga Sumi pun terkejut dibuatnya. Sumi mengelus dada, berharap sesak ini hilang. Namun usianya yang baru Sembilan belas tahun belum cukup mampu bersikap dewasa. Sumi berlari ke kamar dan menumpahkan tangisnya di sana.
Sumi masih terisak ketika derit pintu terdengar. Intan muncul dengan mata merah. Mereka tidur se kamar karena rumah mereka hanya ada dua kamar. Sumi menoleh pada adiknya yang tampak habis menangis juga. “Dek, apa yang terjadi? Kenapa Bapak nyalahin teteh, apa kamu beneran batal lamaran?” Sumi mengusap air mata dan menatap wajah cantik Intan yang mendung.Namun jawaban Intan yang biasanya lembut, mendadak ketus. Kedua bola matanya melirik penuh kekesalan.“Sudah deh, Teh! Gak usah sok baik! Ardi itu cintanya sama Teh Sumi bukan sama aku. Kenapa Teteh gak bilang, kenapa Teteh mempermalukan aku? Aku malu, Teh! Teman-teman semua sudah tahu kalau hari ini aku lamaran, tapi nyatanya Ardi membatalkannya, dia mengharapkan Teteh untuk jadi istrinya! Aku benci Teteh!” Intan menjelaskan sambil terisak. Hatinya hancur mendapati semua kenyataan di depan mata yang menyesakkan.
Sumi menggeleng. Hatinya yang sakit tambah tersayat. Kenapa semua kini jadi menyalahkannya. Bahkan adik yang disayanginya dan biasa menghormatinya pun berucap demikian.
“Dek!” Sumi mendekat dan hendak memeluk Intan. Namun tangan Intan menepisnya.
“Mulai hari ini, jangan panggil aku Adek!” Intan melengos pergi dan membanting pintu kamar. Sumi menghela napas. Kembali ditangkupnya wajahnya dan membiarkan semua sesak ini tumpah. Kenapa kini semua jadi salahnya? Pikirannya yang kacau akhirnya abai, rencananya ke rumah Tita pun hampir batal . Dia membuarkan sesak itu menguap bersama tangisan. Ibu berkali-kali datang menghiburnya. Pelukannya sedikit membuatnya tenang. “Sudah, Teh … jangan diambil hati. Maafin sikap Bapak sama Intan. Teteh jangan sedih kayak gini, dong! Ibu sedih kalau Teteh nangis terus!” tukasnya sambil menyeka matanya yang ikut berkaca-kaca. Ya, selama ini Sumi lebih dekat dengan Ibu, sedangkan Intan lebih dekat dengan Bapak. Bahkan Intan sangat dekat. Sumi memeluk Ibu, menumpahkan kembali sesak yang ada hingga dering gawai membuatnya sadar jika ada janji hari ini dengan Tita. Dilihatnya ada pesan masuk dari Tita.[Aku sudah di rumah! Ditunggu ya, sekarang!]
Sumi melepas pelukannya pada Ibu. Dia menyeka air mata, lalu mengambil amplop lamaran yang masih menumpuk di dalam laci.“Mau ke mana?” Ibu menatapnya. Sementara itu, sejak tadi Asril bermain-main sendirian bolak-balik ke ruang tengah. Dia hanya melihat ibu dan kakaknya menangis dan tak mengerti harus bertanya atau berbuat apa.
“Mau ke rumah Tita! Ada lowongan katanya!” tukas Sumi sambil mengambil cardigan warna abu. Dia lalu mencium punggung tangan Ibu.
“Doain Sumi, ya, Bu! Moga keterima kerja kali ini! Malu sama Bapak,” ucap Sumi. Setiap mengingat ucapan Bapak yang menyebutnya tak berguna, dirinya semakin minder dan jatuh dalam kepercayaan kalau dirinya memang benar-benar tak berguna.
“Iya, Teh! Semoga lekas dapat kerja! Jangan terlalu dipikirin omongan Bapak! Ibu gak mau Teteh sakit.” Ibu mengusap pucuk kepala Sumi.Sumi berjalan meninggalkan rumah menuju rumah Tita. Rumah itu tak terlalu jauh , tetapi lumayan membuatnya berkeringat. Menyusuri jalanan aspal yang rusak sambil menunduk mencoba menepis rasa sakit yang masih tersisa.
Setibanya di rumah Tita, diserahkannya lamarannya itu padanya.
“Kamu yakin itu gak pakai tinggi badan?” Sumi menatap Tita.
Tita tersenyum sambil menarik tangannya mengajak duduk pada bangku panjang di depan rumahnya. Rumah Tita cukup besar, terdiri dari empat kamar dan di depannya ada pohon mangga yang rindang. Ayah Tita memiliki sawah yang luas. Ketika pembebasan lahan oleh developer Kawasan industry dia menjual semuanya dengan harga tinggi dan membeli lagi di daerah yang agak jauh sehingga punya dua kali lipat luasnya. Semua sawahnya diurus orang, mereka hanya menunggu hasil panen saja pada setiap musim tanam.
“Biasanya di sana pakai tinggi badan, sih! Minimal 155 senti!” tukas Tita.
“Lah, terus?” Sumi menatap takut-takut. Khawatir jika dia kembali akan gagal karena tinggi badan.
“Sekarang lagi ada perombakan system. Jadi mereka sedang menerima kedi part time … nah, karena butuh banyak dan kebetulan aku ada kenalan orang dalam, jadi bisa nitipin kamu!” tukas Tita lagi dengan yakin.
“Syukurlah! Moga bisa!” Sumi tersenyum penuh harap.
“Tapi ada syaratnya!” tukas Tita.“Apa?” Sumi menatap.
“Ya, nanti kalau kamu sudah lolos training … kamu ngasih lah ucapan terima kasih sama orang kenalan aku itu! Gak usah besar sih, yang penting ada saja!” tukas Tita menjelaskan. Sumi mengangguk paham. Semoga dia bisa mengumpulkan uang dulu dan diberikan pada orang itu nanti.
Sumi berjalan pulang dengan hati sedikit tenang, jika sudah kerja dia akan mengontrak saja. Tinggal di rumah hanya membuat luka hati setiap hari. Apalagi kini Intan pun tampak membencinya. Tak ada alasan lain lagi untuknya tinggal di rumah itu lebih lama.
“Sumi!” Suara seseorang memanggilnya dari samping seraya berhentinya sebuah sepeda motor. Sumi menoleh pada lelaki yang tersenyum padanya. Ardi ada di sana sambil menatapnya.
“Ardi?” Sumi menautkan alis dan menatap lelaki yang tersenyum padanya itu.
“Sum, kamu mau ya nerima lamaran aku?” tukasnya enteng.
Sumi membuang muka. Semudah itu lelaki yang ada di depannya bersilat lidah. Plin plan dan tak punya pendirian.
“Kamu kenapa mainin Intan? Kamu pikir kami ini apaan? Seenaknya kamu gonta ganti orang!” bentak Sumi. Hilang sudah kelembutannya.
Sumi berjalan meninggalkan lelaki itu yang mematung sendirian. Setengah berlari agar lebih cepat sampai rumah, tetapi rupanya Ardi mengejarnya. Ketika dia tiba di depan rumah, Ardi pun menghentikan sepeda motornya. Ada Bapak yang menatap tajam padanya.
“Kamu itu bener-bener, ya! Kamu sengaja mau nyakitin adik kamu dengan jalan sama dia?!” Bapak menatap penuh amarah pada Sumi.
“Aku gak jalan sama Ardi, Pak. Dia yang ngikutin aku!” tukas Sumi sambil menatap kesal pada Ardi. Lelaki itu malah turun dan mendekat.
“Pak, kenapa Bapak nolak lamaran aku buat Sumi? Ternyata setelah kutanyakan pada hati, aku sukanya sama Sumi, Pak … bukan sama Intan! Kan sama-sama jadi mantu Bapak, kenapa harus dibeda-bedakan?” Ardi melempar komplen.
“Sumi itu sudah saya sekolahkan SMA, saya keluarkan modal untuk sekolah! Jadi sebelum balik modal, dia gak boleh nikah dulu … kecuali, kamu mau ganti semua uang yang saya keluarkan buat nyekolahin dia!” Bapak bicara lantang, tega dan jelas. Membuat Sumi semakin benci tinggal di rumah itu. Dia berlari menuju kamar sambil menangis. Kenapa semua itu dianggapnya utang yang harus dilunasi?“Sumi itu sudah saya keluarkan modal untuk sekolah! Jadi sebelum balik modal, dia gak boleh nikah dulu … kecuali, kamu mau ganti semua uang yang saya keluarkan buat nyekolahin dia!”Bapak bicara lantang, tega dan jelas. Membuat Sumi semakin benci tinggal di rumah itu. Dia berlari menuju kamar sambil menangis. Kenapa semua itu dianggapnya utang yang harus dilunasi?Sementara itu, Ardi melajukan kembali sepeda motornya, tak hendak berdebat lebih lama. Memang awalnya dia yang salah, akan tetapi entah kenapa setelah melihat Sumi lagi, hatinya memang tak menginginkan intan. Dia tak menyadari jika karena ulahnya kini Sumi tengah mendapatkan perlakuan tak menyenangkan oleh lelaki yang sejak kecil selalu Sumi panggil Bapak. Entah kenapa Bapak itu seakan hanya sayang pada Intan, apa karena Intan mengalah untuk tak sekolah? Kalau Sumi tahu akan jadi seperti ini, mungkin lebih baik dulu dirinya berhenti saja dan membiarkan takdir menentukan jalan hidupnya. Awalnya dia berkeras ingin melanjutkan
Satu minggu sudah semenjak interview itu terjadi, selama itu pun Intan masih belum mau pulang. Setiap minggu dia meminta uang kiriman dari Bapak. Semakin Intan meminta uang, maka Bapak semakin menyalahkan Sumi.“Kalau bukan karena kamu, Sumi! Bapak gak harus nambah uang bulanan untuk ngasih makan Intan di rumah temannya! Semua ini gara-gara kamu yang masih belum kerja juga! Kalau kamu sudah kerja, pastinya si Ardi juga gak bakal ngarep kalau kamu akan terima. Sekarang apa jadinya?! Lamaran saja banyak kamu kirim sana-sini, tapi gak ada hasil sama sekali!” omel Bapak.Sumi menunduk. Lalu apakah akan jadi salahnya jika sudah maksimal berusaha terus Tuhan belum memberikan pekerjaan? Tak ada pembelaan yang keluar dari mulutnya, toh percuma. Bapak gak akan mau kalah dan salah.“Si Emi---temen SMA kamu saja sudah kontrak di perusahaan honsa motor, si Tita di PT Yamada motor, lah kamu? Dari kemarin masuk ke garmen aja gak keterima! Jangan-jangan nilai-nilai yang dulu selalu kamu bilang bagus
“Via, lihat ini!” Sumi menunjukkan isi dompet itu pada Suvia. Jiwa kerdilnya meronta, tangannya pun sampai gemetar.“Astagaa, Sum! Ayo kita lapor ke kedi master!” tukas Suvia yang tak kalah gemetar. Keduanya saling melempar pandang, lalu setengah berlari bersamaan menuju kantor kedi master untuk melaporkan penemuan mereka. Sementara itu, seorang lelaki bertubuh sedang berjalan cepat menyusuri jalanan yang tadi dilewatinya. Mata sipitnya mengedarkan pandang ke seluruh laluan, akan tetapi benda yang dicarinya tak ditemukan. “Yamada san, cari apa?” kedi yang mengikutinya bertanya sambil terengah-engah. Orang Jepang itu meskipun tak tinggi, tetapi langkahnya mengayun cepat sehingga dirinya yang mendorong bag yang berisi stick golf milik lelaki itu cukup kewalahan mengikutinya. “Pocket kecil saya hilang!” tukasnya. Mata sipitnya tetap mengedarkan pandang. Namun sepanjang jalan yang dilewatinya memang tak ada lagi ditemukan benda yang dicarinya. Setelah memastikan tak ditemukan, lelaki
Sumi meminta turun di dekat warung yang agak jauh dari rumahnya. Dia tak ingin Bapak melihat Zaki. Sumi khawatir kalau Bapak akan berbuat hal yang menyakitkan hati. Waktu sudah hampir maghrib ketika mereka tiba. Sumi menyodorkan helm yang dipakainya, Zaki menerimanya. Tatapan matanya begitu tajam dari balik helm, seolah menyiratkan sesuatu yang tak mampu dia ungkapkan.“Makasih, ya, Zak! Besok aku naik ojek saja! Kamu gak usah jemput!” tukas Sumi. Tak enak harus selalu merepotkan Zaki. “Hmmm! Lihat besok, deh! ” Hanya itu yang terdengar. Lelaki itu pergi dengan menderukan sepeda motornya. Sumi berjalan menuju rumah. Dia mampir sebentar membeli kerupuk untuk tambahan lauk makan, biasanya gak ada apa-apa. Uang belanja Ibu pun, sebagian sudah diberikan padanya untuk naik ojek dan bekal tiap hari.Ya, mau gimana lagi, namanya juga baru masuk kerja dan belum mendapatkan gaji. Sementara itu, di sana tak dikasih makan, semua harus beli. Hanya air minum saja yang gratis. Untuk pulang pergi
Sumiati melangkah tergesa ke ruangan kedi master. Dia mengambil seragam seperti yang diperintahkan oleh Stevani. Akhir-akhir ini Sumi baru tahu, jika Stevani pun rupanya kedi master baru. Sementara itu, kedi master senior yaitu Maharani sedang cuti melahirkan. Stevani menatap punggung Sumi yang baru saja mengambil perlengkapan untuk turun ke lapangan memandu pemain. Hatinya cukup kesal, ketika kemarin Sumi melawan. Beruntung dia bisa mengelak ketika dalam CCTV itu tak ditemukan bukti jika Sumi dan Suviah mengambil uang, beruntung juga ruangan kedi master CCTV nya rusak, jadi dia bisa mengelak. Seorang cleaning service yang akhirnya jadi korban pemecatan. Uang satu juta yang diambilnya, dia tuduhkan pada cleaning service yang kebetulan masuk ke ruangan kedi master untuk bersih-bersih. Awalnya dia mengumpankan Sumi dan Suviah karena melihat wajah lugu mereka. Stevani pikir dia bisa memperdaya dan mengkambinghitamkan kedua gadis itu, seperti yang biasanya dia lakukan pada anak-anak bar
Sumi mulai melangkah mengikuti langkah pemainnya dengan susah payah. Medan lapangan yang turun naik, kadang tanahnya tak rata membuat tangannya benar-benar harus mengimbangi troli yang mendorong bag golf yang dibawanya. Keringat sudah bercucuran, sinar matahari pagi memeluknya dengan senyuman. Mereka hampir tiba pada green---lapang yang berbentuk hampir bulat itu dengan rumput yang tampak bak permadani, sangat rapi dan lembut. Berbeda dengan rumput yang mereka pijak sekarang yang hanya rapi karena di pangkas, tetapi tak sehalus rumput green. “Kokki, mae des! Angin lawan, ya!” Sumi mendengar Tina menjelaskan pada pemainnya. Dia tampak mengambil pucuk rerumputan lalu melemparnya ke udara menunjukkan ke arah mana angin bergerak. Orang jepang yang dibawa Tina tampak berpikir dan menatap stick golfnya, lalu dia mengambil salah satu lalu memukul bolanya dengan stick. Benar, bola golf itu mendarat di green dan sangat dekat dengan lubang. Ya, dia ingat jika bendera yang tiangnya menutup lu
Zaki menepi menuju penjual sate di pinggir jalan sana. Sumi memilih penjual yang membuat satenya dicampur dengan kulit dan usus sehingga harganya pun sedikit lebih murah. Sumi membeli dua puluh lima ribu. Lalu dia pun pergi untuk membelikan Bapak rokok sambil menunggu yang bakar sate selesai. Setelah itu, keduanya kembali mengendarai sepeda motor hingga tiba di tempat biasa. “Makasih, Zak! Gak pake ma-cinta!” ucap Sumi seraya turun. Zaki tersenyum geli, gombalan dan candaannya sudah ketebak lagi sama Sumi.“Yah, gak seru! Lain kali, aku cari yang baru, deh!” kekehnya.Sumi mengeluarkan satu lembar seratus ribuan yang sudah dipisahkannya untuk mengganti uang bensin Zaki karena mengantar jempunya. Namun hatinya ragu, takut-takut Zaki tak mau menerimanya. “Zak! Terima, ya!” tukas Sumi sambil menyodorkan tangannya yang mengepal. “Eh, kamu nembak aku, Sum?” Zaki menatap Sumi sambil mengedip-ngedipkan mata. Ucapan Zaki sontak membuat Sumi menarik napas kesal. Lalu dia masukkan saja uang
“Ya Allah, kenapa sateku ada di sini? Siapa yang sudah begitu tega membuangnya?” umpat Sumi dalam dada. Namun, dia hanya mampu menelan saliva melihat sate-sate yang sudah berserak di tanah dan bercampur debu itu. Hanya sesak dan mengurut dada. Hendak marah pun percuma. Jika pelakunya Intan ataupun Bapak, mereka mana mau mengaku. Yang ada bukan kata maaf yang di dapat, hanya sesuatu yang menyakitkan biasanya.Sumi menghela napas, dia menatap nasi putih yang terhidang. Hanya ada ikan asin dan garam di sana. Sambal pun sudah habis sepertinya. Adapun makanan yang dibawa calonnya Intan, pastinya tak boleh disentuh oleh Bapak. Akhirnya uang dua puluh lima ribunya sia-sia, sate itu hanya dimakan kucing. Jauh bayangan dengan kenyataan. Berharap mendapati senyuman Ibu, Bapak dan Asril karena dia membawa makanan enak, tetapi rupanya sia-sia saja. Sumi kembali ke kamar. Tak menghiraukan gelak tawa yang ada di ruang tengah. Bapak tampak begitu senang melihat Intan kembali ceria atau mungkin hany