Sumpah demi apapun, aku jadi istri di umur 17 tahun dan masih KELAS 2 SMA. Baru kemarin ulang tahun dibeliin mobil baru, eh hari ini malah disuruh nikah. Parahnya lagi, calon suami yang dalam hitungan minggu bakal jadi suami aku itu... kakak kelas paling nyebelin, tengil, dan manusia yang hobi banget bikin hidup aku sengsara: Muh. Alif Shadiq. — Nazilla Atsira Chandra Dosa apa di umur semuda ini, aku bakal jadi suami? Diumur 18 tahun udah nikah, bagus kalo calon istri aku anak baik-baik. Lah ini, otaknya geser, cerewet, bawel, manja, dan hobinya bikin hidup gue ribet. — Muh. Alif Shadiq Nazilla—cewek imut, ekspresif, dan selalu jadi pusat perhatian di sekolah—harus menerima kenyataan pahit: hidupnya berubah 180 derajat setelah orang tuanya menjodohkan dia dengan Alif, kakak kelas dingin, kaku, dan anti-sosial yang bahkan nggak pernah diajak ngobrol di sekolah. Dua dunia yang bertolak belakang dipaksa bersatu dalam ikatan pernikahan dini. Nanas yang ceria dan penuh warna, harus belajar menghadapi Alif si “manusia kulkas” yang nyaris nggak pernah menunjukkan emosi. Awalnya, mereka cuma saling menghindar dan saling sindir. Tapi, perlahan, mereka mulai menemukan sisi lain satu sama lain: Nanas yang ternyata nggak cuma cerewet, tapi juga tulus dan setia; Alif yang di balik sikap dinginnya, diam-diam perhatian dan protektif. Di tengah drama sekolah, geng sahabat yang super heboh, dan keluarga besar yang penuh ekspektasi, Nanas dan Alif harus belajar menerima, memahami, dan—siapa tahu—mencintai. Tapi, mampukah dua remaja yang bahkan belum lulus SMA ini bertahan menghadapi dunia yang terlalu cepat memaksa mereka dewasa? Menikah muda bukan akhir cerita, tapi awal perjalanan penuh tawa, air mata, dan kejutan yang nggak pernah mereka bayangkan Terima kasih banyak udah menunggu dari 2016 sampai 2025 ini, novelnya aku edit lebih baik lagi dari awal banget. Mohon dukungan dan masukannya yaa.
Lihat lebih banyakAda tiga hal yang paling aku benci di dunia: bangun pagi, kehilangan sinyal Wi-Fi, dan kehilangan guling kesayangan. Pagi ini, ketiganya nyaris terjadi sekaligus.
“Nas... Naaas, bangun! Udah jam setengah enam, masa dari tadi nggak bangun juga?” Suara Mama menembus mimpi indahku. Aku masih setengah sadar, mencoba mencari posisi nyaman di antara tumpukan bantal dan guling yang sudah seperti benteng pertahanan.
Aku mengerang pelan, “Hmm... Maaah, aku dan kasur nggak bisa dipisahkan. Kami saling mencintai. Jangan rusak hubungan kami, please...” jawabku sambil memeluk guling lebih erat.
Mama nggak peduli kemudian mematikan AC dan membuka jendela lebar-lebar. Tangan dinginnya mengguncang bahuku lebih keras. “Nazilla! Ini udah jam setengah enam! Kamu belum sholat, belum mandi, belum sarapan. Nanti telat, Nas! Kamu nggak mau nyoba mobil baru kamu?”
Aku langsung duduk tegak. Mata yang tadinya berat tiba-tiba melek. “Mobil?” Aku tepok jidat sendiri. “Aduh, kok Nanas bisa lupa, ya? Hari ini kan mau bawa mobil sendiri ke sekolah!”
Mama tertawa kecil, lalu menarik selimutku dengan tenaga super. “Ayo, buruan mandi! Jangan lupa beresin kamar!”
Aku mengacungkan jempol. “Aye aye, Captain!” Dan sebelum Mama sempat menambah ceramah, aku sudah lari ke kamar mandi, membawa guling seperti tentara yang nggak mau meninggalkan senjatanya di medan perang.
Air dingin pagi itu bikin aku benar-benar sadar. Aku menatap cermin, melihat wajah sendiri yang masih setengah ngantuk, rambut acak-acakan, dan mata panda yang makin jelas. Tapi hari ini, aku nggak boleh malas. Hari ini, aku resmi jadi pengendara mobil, bukan lagi penumpang setia ojek atau supir keluarga.
Setelah mandi dan sholat, aku buru-buru ganti baju. Seragam putih abu-abu, dasi biru, dan sepatu putih yang baru dicuci Mama semalam. Aku sempat menatap lemariku, tergoda untuk pakai lip tint, tapi akhirnya batal. Mama pasti bakal ngomel kalau aku kelamaan dandan.
Aku turun ke bawah, aroma nasi goreng buatan Mama langsung menyambut. Di meja makan, sudah ada Papa yang sibuk membaca koran, Achyar adik cowokku yang lagi asik main game di HP, dan Idam, adik bungsuku yang masih kelas 6 SD, sibuk ngaduk susu coklat.
“Tumben, Kak, cepet banget turunnya. Biasanya nunggu Mama teriak dulu baru turun,” sindir Achyar tanpa mengalihkan pandangan dari layar HP.
Aku nyengir, langsung duduk dan mengambil piring. “Hari ini spesial, dong. Gue mau bawa mobil baru ke sekolah. Masa nggak semangat?”
Papa menurunkan koran, menatapku sambil tersenyum. “Papa bangga sama kamu, Nas. Tapi ingat, hati-hati di jalan, jangan ngebut, dan jangan main HP pas nyetir.”
Aku mengangguk mantap. “Oke, Pa!”
Achyar mendengus. “Tapi kan, Pah, aku lebih jago nyetir daripada Kak Nanas. Kenapa aku nggak boleh bawa mobil duluan?”
Aku melirik Achyar, pura-pura serius. “Karena kamu belum cukup umur, Dek. SIM aja belum punya. Gue aja harus nunggu seminggu sampai SIM jadi baru boleh bawa mobil. Sabar, ya!”
Achyar manyun, lalu menatap Papa penuh harap. “Tapi, Pah...”
Papa mengangkat tangan, tanda diskusi selesai. “Nanti kalau sudah cukup umur, baru boleh. Sekarang, ikuti aturan. Udah, makan dulu. Nanti telat.”
Mama datang membawa sepiring telur dadar, menaruhnya di meja. “Nas, kamu sama Idam bareng aja ke sekolah. Papa sama Achyar, biar Papa nggak muter jauh ke kantor.”
Aku mengangguk, lalu menoleh ke Idam yang sudah siap dengan tas ranselnya. “Siap, Ma. Yuk, Dam, kita berangkat. Bye, Mama, Papa. Assalamualaikum!”
Aku cium pipi Mama dan Papa, lalu keluar rumah bersama Idam. Udara pagi masih segar, langit cerah, dan di halaman, mobil putih baruku sudah menunggu. Rasanya deg-degan, kayak mau ujian nasional. Tapi aku berusaha tenang, menyalakan mesin, dan pelan-pelan keluar dari garasi.
Idam duduk di samping, wajahnya sumringah. “Kak Nanas keren banget, sekarang udah bisa nyetir sendiri!”
Aku tertawa. “Jangan gangguin kakak, ya. Kakak masih belajar. Nanti kalau kamu ribut, kakak bisa nabrak pohon.”
Idam tertawa, lalu sibuk dengan komik di tangannya. Aku menarik napas panjang, memutar lagu favorit, dan mulai melaju ke sekolah. Di sepanjang jalan, aku merasa seperti tokoh utama di film remaja. Semua mata seolah tertuju padaku, padahal mungkin cuma perasaanku aja.
Sampai di sekolah, aku parkir dengan hati-hati. Di depan kelas, tiga sahabatku sudah menunggu. Acha, Lila, dan Maura. Mereka lagi asik ngobrol sambil ngemil roti coklat.
“Pagi, bebs! Lagi gosipin apa sih? Asik banget, kayaknya,” aku menaruh tas di bangku, lalu duduk di sebelah mereka.
Acha langsung nyengir. “Nas, lo bawa mobil sendiri hari ini? Gila, keren banget!”
Aku mengangguk bangga. “Iya dong! Akhirnya, setelah sekian lama jadi penumpang, sekarang jadi supir beneran.”
Lila, si selebgram kelas, langsung mengeluarkan HP dan memotretku. “Harus diabadikan nih, momen bersejarah. Nanas, the new driver!”
Aku pura-pura pose, lalu tertawa. “Jangan upload ke story, malu gue.”
Maura, si tomboy pelindung kami, menepuk pundakku. “Hati-hati di jalan, Nas. Jangan ngebut, jangan balapan sama truk pasir.”
Aku menjulurkan lidah. “Iya, Maura sensei!”
Acha menepuk meja, mengalihkan topik. “Eh, kalian udah denger belum? Ada guru baru gantiin Bu Tika. Katanya sih, cakep banget!”
Lila langsung nimbrung. “Iya, dan katanya killer, tugasnya banyak, nggak kayak Bu Tika yang baik hati.”
Aku menghela napas. “Nasib kita sebagai siswa, ya, selalu jadi kelinci percobaan. Guru baik diganti guru killer.”
Maura mengangkat alis. “Emang Bu Tika kemana, sih?”
Acha mengangkat bahu. “Katanya sih dimutasi. Tapi nggak tau juga kenapa.”
Bel masuk berbunyi. Kami buru-buru masuk kelas. Tak lama, guru baru itu masuk. Pak Roby namanya. Masih muda, tinggi, kulit sawo matang, rambut rapi, dan... ya, cakep, sesuai rumor. Tapi matanya tajam, kayak bisa baca pikiran murid satu kelas.
“Selamat pagi, semuanya. Nama saya Roby Pratama. Mulai hari ini, saya akan mengajar Biologi di kelas kalian. Saya harap kalian bisa kerja sama dengan baik, ya.”
Suara Pak Roby tegas, tapi nggak galak. Aku sempat melirik Acha, yang langsung tersenyum geli. Lila sudah sibuk bisik-bisik sama Maura.
Pelajaran berjalan lancar, meski di akhir jam Pak Roby membagikan tugas lumayan banyak. “Tugas ini dikumpulkan minggu depan. Saya mau lihat seberapa serius kalian belajar.”
Begitu Pak Roby keluar kelas, suasana langsung ramai.
“Eh, kalian nyadar nggak, Pak Roby nggak sekiller yang diceritain? Cuma tugasnya aja yang banyak,” aku berkomentar sambil memasukkan buku ke tas.
Lila mendesah. “Tetep aja, tugas banyak itu nyiksa. Yang namanya ngasih tugas di luar kemampuan manusia, tetep aja killer, Nas.”
Acha mengangguk. “Bener. Apalagi tadi dia bilang, kalau ada yang nggak ngerjain satu nomor aja, disuruh nyabut anak rambut deket telinga. Serem banget!”
Maura menggeleng. “Udah ah, mending cari makan. Gue laper, tadi nggak sempet sarapan.”
Kami tertawa, lalu berjalan ke kantin. Acha memang paling perhatian di antara kami. Dia selalu tahu kapan temannya lapar, sedih, atau butuh pelukan. Selain itu, dia jago masak. Semua masakannya enak, nggak ada yang gagal.
Lila, si ratu dandan, nggak pernah keluar rumah tanpa make up. Di tasnya selalu ada lipgloss, bedak, eyeliner, hand cream, kaca, dan tisu. Dia juga selebgram dengan ribuan follower, stylish, dan boros. Tapi hatinya baik, selalu siap dengerin curhat siapa aja.
Maura, si tomboy, udah sabuk hitam taekwondo. Dia pelindung kami. Salah bacot atau berani macem-macem sama salah satu dari kami, siap-siap dihajar Maura. Tapi dia juga paling pinter, sering jadi juara kelas.
Aku? Kata mereka, aku paling manis. Nggak pernah bosen liat muka aku, katanya. Aku juga cerewet, walau kalah sama Lila. Tapi aku paling jago bikin kue. Setiap ada acara kelas, aku yang selalu diminta bawa brownies atau cookies.
Kami berempat punya keunikan masing-masing. Lila tercantik, aku paling manis, Acha paling imut, Maura paling seksi meski nggak pernah pakai baju kurang bahan. Kami saling menutupi, saling menyayangi, dan saling membela.
Persahabatan kami dimulai sejak SMP. Aku dan Maura sudah sahabatan sejak kelas 8. Masuk SMA, kami beda kelas. Aku di 10C, Maura di 10F. Aku duduk sebangku sama Lila, Maura sama Acha. Karena sering barengan, akhirnya jadi akrab dan nggak bisa dipisahkan.
Jam istirahat kedua, kami nongkrong di teras kelas. Acha bawa gitar, mulai main lagu-lagu galau. Suaranya bagus, sering menang lomba nyanyi. Lila sibuk selfie, Maura ngemil keripik, aku ikut nyanyi-nyanyi nggak jelas.
“Eh Cha, suara lo bagus gitu, kok nggak pernah ikut audisi di TV?” tanya Lila, sambil makan keripik. Bahkan anak - anak lain yang juga ikut nangkring di teras kelas juga setuju. Malah berjanji bakal kirim sms yang banyak supaya menang dan uangnya dibagi - bagi.
"Iya Cha sekalian gantiin uang pulsa yang gue pake buat nge-smsin elu" ledekku yang diikuti derai tawa teman – teman lainnya.
Acha mengangkat bahu. “ Ah kalian mah nggak iklhas gitu, apalagi Nanas pamrih banget. Males. Antriannya panjang, saingannya banyak. Gue udah cukup seneng ikut lomba di sekolah aja.”
Aku nyengir. “Padahal kalau lo ikut, pasti menang. Biar bisa traktir kita makan pizza.”
Semua tertawa. Suasana hangat, penuh canda.
Sepulang sekolah, aku pulang bareng Idam. Di rumah, Mama sudah menunggu di ruang tamu.
“Assalamualaikum, Ma. Aku pulang!” Aku cium pipi Mama.
“Waalaikumsalam. Nas, nanti malam ada pesta di hotel. Urusan bisnis Papa. Tapi kali ini, kamu dan adik-adik juga ikut.”
Aku mengerutkan dahi. “Tumben banget. Biasanya kalau urusan bisnis, cuma Papa atau Mama yang pergi.”
Mama tersenyum. “Yang ini beda. Peresmian perusahaan baru, acaranya lebih ke keluarga. Jadi kamu ikut, ya. Siapin baju yang rapi.”
Aku mengangguk. “Oke, Ma. Kupikir nanti aku bakal jadi kambing congek, nggak ada temennya.”
Mama tertawa. “Tenang aja, di sana pasti banyak makanan enak.”
Aku naik ke kamar, membuka lemari, dan mulai memilih baju. Dalam hati, aku bertanya-tanya. Pesta malam ini, apa bakal biasa aja, atau justru jadi awal dari sesuatu yang nggak pernah aku duga?
Aku menatap bayangan sendiri di cermin. Hari ini aku resmi jadi pengendara mobil, dan malam ini, siapa tahu, aku akan jadi bagian dari cerita baru yang belum pernah aku bayangkan.
Aku duduk di meja kerja, membuka laptop untuk mengecek laporan magang di cabang perusahaan Ayah. Baru saja aku selesai mencatat beberapa poin penting, Bunda masuk ke kamar dengan senyum lebar yang langsung bikin aku curiga. Bunda selalu punya agenda kalau sudah senyum begitu.“Nak, jadi apa kata Zilla? Udah ditulis list-nya?” tanya Bunda, sambil naruh sepiring roti bakar di depanku, matanya penuh harap.Aku cuma menggeleng pelan, ambil roti tanpa menoleh. “Zilla nggak ngerti, Bun,” jawabku singkat, nggak mau panjang-panjang. Aku tahu Bunda bakal lanjut ngomong, dan aku sudah siap-siap buat dengar ocehan panjang.“Ya udah, ntar Bunda telepon. Tapi kamu juga bantu cari apa kesenengan Zilla. Sepatu kek, tas kek,” lanjut Bunda, nadanya penuh semangat, seolah aku punya waktu luang buat mikirin hal-hal begitu.“Iya, Bun. Aku turun dulu,” jawabku singkat, langsung berdiri bawa cangkir teh. Aku udah nggak sanggup denger ocehan Bunda yang pasti bakal panjang. Zilla belum jadi istri aja udah dip
Pagi ini, aku bangun dengan semangat setengah-setengah. Beberapa hari ini aku agak nge-neglect adik-adik tersayangku gara-gara sibuk ngurusin apartemen dan drama pernikahan. Jadi, aku mutusin buat bikin kue buat mereka, biar nggak dikira kakak yang lupa keluarga. Di dapur, aroma choco chip crackers yang lagi aku panggang udah mulai nyebar, bikin perutku sendiri ikutan keroncongan. Aku sibuk ngaduk adonan sisa di mangkok, sambil dengerin lagu trending dari earphone yang nyantol di telinga. Dapur rumah pagi ini rame sama suara mixer sama bunyi piring yang aku taruh sembarangan di meja.Tiba-tiba, dari sudut mata, aku liat bayangan seseorang masuk ke dapur. Aku kaget, hampir ngejatuhin spatula. Ternyata si Lempeng, berdiri di ambang pintu dengan muka datar kayak biasa. Mama pasti yang bilang aku lagi di dapur, soalnya dia langsung nyelonong masuk tanpa basa-basi.“Masak apa?” tanyanya, suaranya datar, tangan disilang di dada.“Choco chip crackers,” jawabku singkat, males ngomong panjang.
Aku benar-benar manfaatin waktu “tahanan rumah” sahabat-sahabatku buat fokus ngurus apartemen. Setiap hari aku ditemani Bunda, Mama, adek-adek tersayang, dan si kembar yang selalu bikin suasana rame. Apartemen itu mulai berubah pelan-pelan. Cat dinding selesai dalam sehari—untung aku minta tukang mulai dari dapur dulu, jadi begitu selesai, dapur langsung bisa dipakai buat beberes.Sambil nunggu cat kering dan barang-barang yang kemarin dibeli dikirim, aku dan Mama pergi belanja kebutuhan dapur. Bunda dan si kembar tinggal di apartemen, nemenin tukang dan beresin sisa-sisa debu. Aku sama Mama keliling toko, beli piring, gelas, mangkok, sendok, garpu, cangkir, toples berbagai ukuran, pisau, rak piring mini, teflon, panci, wajan, dan segala printilan dapur lainnya. Aku paling semangat waktu lihat rak perlengkapan bikin kue—langsung kalap ambil cetakan, mixer, loyang, spatula, pokoknya semua yang bisa bikin dapur lengkap ala dapur chef.Belanjaan kami sampai numpuk. Mobilku nggak muat, akh
Apartemen kami di lantai 9, pintu paling belakang sebelah kanan kalau keluar dari lift. Di lantai ini cuma ada empat pintu—dua kanan, dua kiri. Begitu pintu lift terbuka, aku dan Alif jalan beriringan. Suara langkah kami menggema di lorong yang sepi, bikin suasana makin aneh di dadaku.“Buruan gih buka pintunya, gue penasaran.” bisikku pelan.Alif cuma mengangguk, ekspresinya datar kayak biasa. “Kode pintu, 789789,” katanya pendek. “Nanti diganti tanggal nikah.”Aku mengangguk, menekan angka-angka di keypad pintu. Begitu pintu terbuka, hawa dingin AC langsung menyambut. Apartemen ini benar-benar kosong. Lantai masih mengilap, dinding putih bersih, aroma cat baru samar-samar tercium. Aku diam sebentar, menelan ludah. Dalam hati, aku masih nggak percaya harus tinggal di sini, harus nikah, harus mulai hidup baru—semua terlalu cepat.“Kosong banget ya.” Aku menoleh, berusaha santai.Dia cuma melirik. “Isi sendiri nanti.”Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku jalan pelan, mataku menyapu ruang
Hari ini aku bangun kesiangan. Gimana nggak, semalam aku sama sekali nggak bisa tidur mikirin kejadian di acara lamaran. Rasanya kepala penuh, dada sesak, dan setiap kali merem, bayangan wajah Papa, Mama, dan Kak Alif di ruang tamu terus muncul. Akhirnya aku baru tidur menjelang subuh, dan hasilnya: aku telat masuk sekolah. Begitu sampai, langsung kena semprot Bu Ratih, guru BK. Belum cukup, aku juga harus bolak-balik ke ruang piket buat izin masuk kelas kedua. Sialnya, muka aku masih bengkak dan lecek, kayak bantal baru dicuci setengah kering.Begitu masuk kantin, aroma gorengan dan teh manis langsung nyambut hidungku. Suara ramai, tawa anak-anak lain, bunyi sendok beradu di nampan-semua terasa asing. Aku lihat sahabat-sahabatku duduk di pojokan, wajah mereka nggak kalah lecek dari aku. Lila bahkan masih pakai masker, Maura ngelamun sambil mainin sendok, Acha ngucek mata kayak habis nonton drama Korea semalaman.“Jadi tahanan rumah itu nggak enak, Nas,” keluh Lila, suaranya pelan samb
Sabtu siang, rumahku mendadak terasa sesak. Matahari sudah tinggi, tapi hawa di ruang tamu malah bikin aku makin dingin. Sejak pagi Mama mondar-mandir, bolak-balik dari dapur ke ruang tamu, memastikan segala sesuatu rapi dan siap. Aroma ayam goreng dan sambal dari dapur biasanya bikin aku lapar, tapi hari ini malah bikin perutku mual. Adik-adikku, yang biasanya ribut dan bercanda, hari ini lebih banyak diam, sesekali bisik-bisik di sudut ruang makan, wajah mereka tegang dan cemas. Semua orang tahu, hari ini keluarga Kak Alif akan datang melamar aku.Selesai makan siang, Mama masuk ke kamarku sambil membawa setelan yang menurutnya paling pantas. “Nanas, dandan yang cantik ya, Nak. Hari ini hari lamaran. Mata kamu yang sembab itu ditutupin, biar nggak kelihatan.”Aku menghela napas panjang, menatap cermin dengan ragu. Sudah berkali-kali aku hapus-pakai-hapus make up, tapi hasilnya tetap aja ancur. Aku memang bukan Lila yang jago dandan. Make up-ku cuma bisa bedak, eyeliner, maskara, blus
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen