***"Kamu ini kenapa sih, Hana? Hoby sekali nabrakin diri ke saya. Sudah mulai jatuh cinta?"Aku mencebik. Beruntung para staf yang lain sedang berada di kantin perusahaan, kalau tidak ...."Jangan ngaco deh, Pak," elakku. "Lagipula kan Bapak yang sengaja berhenti tiba-tiba.""Terus kamu mau apa ngintilin saya mulu? Sana makan, sebentar lagi jam masuk kantor," usirnya lembut.Aku menggeleng lemah. "Saya ingin bertanya tentang Anita, Pak.""Saya tidak mau menjelaskan apapun!""Tapi ...."Mata Pak Kenan memindai wajahku dengan tajam. "Tapi apa?""Saya sekertaris anda disini, sudah seharusnya kan saya tau apa yang sedang terjadi, Pak?""Jangan lupa, Hana ... saya pemilik Perusahaan ini, jadi kalau saya bilang tidak mau menjelaskan, ya sudah. Terima saja!"Aku mengangguk kecewa dan bergeming sementara Pak Kenan semakin melangkah menjauh. Beliau benar ....Aku hanya sekertaris disini, lagipula bisa bekerja dengan ijazah yang kumiliki rasanya sudah cukup beruntung. Pak Kenan benar, Perusah
PoV Tiga"Kenapa kamu pulangnya selalu malam begini gini sih, Ar?" Risa berkacak pinggang di depan pintu.Ari membuang muka, dia mendorong bahu Risa untuk mencari jalan agar bisa masuk ke dalam rumah. Hatinya begitu kesal. Dia tidak menyangka jika Hana sekarang bisa melawan semua ucapannya."Jangan ngoceh terus, aku capek!""Ya wajarlah aku marah, kamu itu sekarang berubah, nggak seperti biasanya. Ingat ya, Ari ... kamu sudah janji mau meluruskan hubungan kita!"Ari menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke belakang dimana Risa berdiri dan bersedekap dada. Sementara di dalam kamar, Heni samar-samar mendengar pertengkaran anak dan menantunya. "Aduh, kepalaku kalau malam kenapa selalu pusing gini sih." Heni bermonolog sambil memegang kepalanya yang terasa nyut-nyutan."Kamu kira gampang meluruskan hubungan kita ke Ibu dan suamimu, hah? Sabar, Ris!" Suara Ari meninggi.Heni yang berada di dalam kamar berjalan dengan langkah pelan mendekati ruang tamu dimana anak dan menantunya melangsungk
***"Bu...?"Risa mengetuk pintu kamar Heni berkali-kali namun wanita paruh baya itu tidak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ibu...? Boleh aku masuk?"Terkunci. Pintu kamar Heni terkunci dari dalam sejak semalam dia mengetahui kebenaran tentang hubungan anak dan menantunya."Bu ...?"Jdor ... Jdor ... Jdor ....CeklekPintu kamar Heni terbuka, wanita paruh baya itu berjalan menjauhi Risa yang masih berdiri mematung di depan kamar Heni."Bu!"Heni menghentikan langkahnya yang hendak membuka pintu depan. Pagi ini, dia berencana memasak masakan kesukaan Adrian karena anak sulungnya berkata jika dia akan pulang ke rumah."Apa?" tanya Heni datar."Ibu mau kemana?""Belanja.""Anu ... ehm, aku ikut ya, Bu?"Heni mengangguk datar. Dia berbalik dan kembali melanjutkan jalannya menuju gerobak sayur yang sudah mangkal di depan rumah Yu Tikah."Pagi, Bu Heni, suram banget wajahnya kayak anak muda yang abis diputusin pacar," goda Srinah-- salah satu karyawan Bu Wira. Heni hanya tersenyum,
***PoV Tiga"Kenapa kamu seperti kesal sekali pada Hana, Ris?" tanya Yu Tikah memancing emosi Risa. "Padahal Hana sudah bercerai loh, tapi kenapa dia selalu kamu hina, heran saya!""Apalagi sikap kamu menunjukkan seolah-olah kamu itu istrinya Ari, padahal kan ....""Diam, Yu Tikah! Tau apa kamu tentang hidupku. Lagipula Hana memang pantas dihina, suka-suka aku dong!" sahut Risa menahan kesal di dada.Heni meninggalkan tempat berbelanja dengan perasaan hampa. Dia tidak memperdulikan teriakan Risa yang memanggil namanya. Bahkan bahan belanjaan dia tinggalkan seperti orang yang kehilangan gairah hidup."Aku harus menemui orang tua Hana." Heni bermonolog. "Jika Hana tidak bisa kembali lagi dengan Ari, maka dia tidak boleh menikah dengan lelaki manapun. Ya, aku benar! Hana hanya akan menjadi istri Ari, dengan begitu kasus Risa akan tertutupi. Aku harus membujuk Hana, juga orang tuanya." Heni menyunggingkan senyuman licik. Harga diri keluarga membuatnya kembali gelap mata. Heni hanya belum
***Prok ... Prok ... Prok ...."Ternyata istriku sedang hamil," ucap Adrian setelah bertepuk tangan dengan mata berkaca-kaca."Mas Andrian?" pekik Risa terkejut. Si-- siapa yang hamil?"Heni membuang muka, dia mengusap air matanya dengan kasar. Sejenak melupakan tentang tujuannya barusan untuk menemui Hana dan orang tuanya."Ayolah Risa, telinga Mas masih belum terlalu tuli meskipun selama ini aku bekerja jauh di luar pulau." Adrian menyugar rambutnya kasar. "Kalian kenapa mesra sekali?" Ari melepaskan pegangan tangannya pada pinggang Risa."Aku kan tadi hampir jatuh, Mas, jadi Ari bantuin aku," sahut Risa gugup.Adrian terkekeh, dia mendekati Risa dan berkata, "Ya, aku lihat tadi. Tapi kenapa kamu gugup sekali, Sayang? Kamu terlihat sangat ketakutan."Risa gemetar. Dia melirik ke arah Heni yang sedang membuang muka ke arah lain. Ludahnya terasa sangat sulit untuk dia telan mengingat ketakutan yang dia rasakan barangkali Heni sudah mengadukan semuanya pada Adrian."Ibu kok nggak bila
***"Tidak, Adrian." teriak Heni. "Tidak! Risa dan Ari hanya ingin membuatmu marah pada Ibu, biarkan Ibu menemui Hana maka semua akan baik-baik saja."Heni hendak berbalik, namun teriakan Adrian terpaksa menghentikan langkahnya saat itu juga."Hentikan, Bu!" seru Adrian lantang. "Jangan mengusik kehidupan Hana lagi. Sudah cukup kita melukainya dulu, lalu sekarang ... ibu mau Hana kembali pada Ari? Laki-laki yang jelas sudah menorehkan luka di hatinya, apa Ibu pikir Hana sebodoh itu?" cecar Adrian melemah.Heni mengusap air matanya dengan kasar sementara Risa membuang muka mendengar nama Hana disebut oleh Adrian."Hana memang bodoh, Dri. Dia pasti mau menikah lagi dengan Ari, dia hanya wanita kampung," sahut Heni lepas kendali."Siapa bilang, Bu?" teriak Hana geram.Mereka semua menoleh dan mendapati tubuh Hana berdiri di sisi Yu Tikah. Tak lupa pula kedua orang tuanya turut menyaksikan keributan di depan rumah Heni."Hana ... sini, Nak! Kamu pasti mau kan kembali bersama Ari. Kamu mas
***Kenan menaikkan kedua alis dengan percaya diri. Hana menggigit bibir bawahnya risau. Jika bilang tidak, maka Ari dan keluarganya tidak akan melepaskan dirinya. Jika mengatakan iya, itu artinya ...."Ayo ... Mama sudah menunggu di rumah. Lain kali tunggu Mas saja, jangan jalan kaki." Kenan menggenggam jemari Hana lembut."Hana bukan calon istrimu. Dia akan kembali pada Ari," teriak Heni membuat Kenan menoleh dan memicingkan matanya."Benarkah begitu, Han?"Hana menggeleng cepat, "Saya sudah berkali-kali mengatakan pada Bu Heni. Hanya wanita bodoh yang mau kembali dengan anak Ibu. Maaf, silahkan datang ke acara lamaran kami hari Minggu nanti.""Wah ... jadi beneran calon menantunya Bu Wira?""Lepas dari Ari dapat Mas Kenan. Rejeki nomplok itu namanya.""Kalah jauh lah sama Mas Kenan. Ari mah nggak ada seujung kukunya.""Bagus Hana, jangan mau disakiti terus. Harus move on!"Suara-suara pujian para tetangga terdengar berdesakan di telinga. Wajah Hana memanas, dia mengeratkan genggama
***Jarak antara kontrakan Hana dengan rumah Bu Wira memang tidaklah jauh. Beruntung Kenan segera datang sehingga Hana dan kedua orang tuanya bisa lolos dari keributan yang terjadi di rumah Bu Heni."Aku sudah menunggu terlalu lama, semoga jawaban kamu tidak mengecewakan nantinya."Hana bergeming. Hatinya bergejolak memikirkan semua ungkapan cinta Kenan. Siapa sangka, teman jail di masa kecilnya ternyata berubah menjadi pria kaya yang ... tampan.Sesampainya di rumah Bu Wira, Kenan membuka pintu mobil dan mempersilahkan kedua orang tua Hana untuk keluar. Belum sempat Kenan memutar langkahnya untuk membukakan pintu mobil untuk Hana, wanita itu sudah lebih dulu turun dan menggandeng tangan Emak dengan erat."Mak ....""Emak yakin kamu punya jawaban yang tepat, Nak. Pikirkan usia Emak dan Bapak yang sudah renta, setidaknya kamu harus mulai membuka hati untuk pria lain yang benar-benar menyayangi kamu," tutur Emak lirih.Hana mengan