MEMBALAS HINAAN SUAMI DAN MERTUA (1)
"Ra, kamu di belakang aja, cuci piring sama nyiapin makanan buat tamu yang datang. Yang di depan biar Inggrid sama Maya saja. Kamu sama anak-anak kamu di belakang aja, takut bikin malu tamu mama. Tapi ingat jangan dihabisin makanannya ya, yang lain masih belum kebagian soalnya!" seru Bu Rahmi, mama mertuaku dari sekat ruang tengah menuju dapur dengan nada keras.
Mendengar seruan itu, aku menghentikan gerakanku menata gelas bersih ke atas rak piring lalu menatapnya dengan dada bergemuruh.
Ini bukan kali pertama mama memperlakukanku dan Dino serta Dini, dua buah hatiku seperti ini. Bahkan sudah menjadi makanan sehari-hari.
Ingin rasanya melawan, tapi kalau hanya dengan mulut saja aku pasti akan kalah. Mbak Inggrid dan Mbak Maya juga Dahlia, adik bungsu Mas Indra, suamiku pasti akan memberondongku habis-habisan hingga aku tak bisa berkutik lagi karena bagaimanapun juga saat ini aku memang terpaksa tinggal menumpang di rumah milik mertua ini karena Mas Indra belum mampu membangun rumah sendiri yang bisa kami tinggali.
Jadi mungkin aku harus bersabar untuk beberapa waktu ke depan sampai usaha mengumpulkan uang yang diam-diam kulakukan saat ini membuahkan hasil. Dengan begitu aku dapat membuka mata mertuaku ini, kalau aku bukanlah menantunya yang miskin dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Saat ini boleh saja aku dan dua buah hatiku tinggal menumpang di rumah mertua ini, tapi tunggu saja nanti jika usahaku telah berhasil, menjadi seorang penulis platform online yang sukses, aku pasti akan secepatnya pindah dari rumah ini dan memulai hidup baru sendiri, karena mengandalkan Mas Indra untuk bisa membangun rumah sendiri juga rasanya mustahil. Aku sudah capek dan lelah sebab suamiku itu sepertinya tak memiliki niat ke arah itu.
Kami sudah sering membicarakan itu dan selalu berakhir dalam sebuah pertengkaran karena Mas Indra tak menjadikan membangun rumah sendiri menjadi prioritas dalam hidupnya.
Sementara ibu mertua dan ipar yang lain menjadikan hal itu sebagai bukti kesuksesanku dalam membangun rumah tangga bersama Mas Indra.
Dengan mata tajamnya, Bu Rahmi kemudian menyapu dingin wajah Dino dan Dini, dua buah hatiku yang seketika mengkeret dan merapat ke tubuhku saat neneknya yang sudah terbiasa marah-marah itu, menyebut nama mereka dengan nada tak suka.
Aku sendiri hanya bisa mematung diam meski hati bergolak kencang merasa tidak terima atas perlakuan beliau padaku dan anak-anak, menganggapku serta kedua cucunya adalah orang-orang miskin yang hanya akan menghabiskan makanan di rumah ini.
Di mata beliau, aku memang bukan siapa-siapa jika dibandingkan dengan Mbak Inggrid dan Mbak Maya, dua menantu beliau yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil di instansi pemerintah dengan jabatan lumayan tinggi.
Aku hanya Aira, seorang ibu rumah tangga biasa yang sehari-hari bekerja mengurus suami dan anak-anak serta mengurus rumah mertua ini dengan nafkah bulanan tidak seberapa yang kudapatkan dari Mas Indra karena uang gajinya sebagian besar memang diberikan pada mama dan dipegang sendiri untuk membiayai keperluannya sendiri sehingga jangankan bisa hidup enak dan berkecukupan, untuk makan sehari-hari saja aku seolah harus mengemis pada mertua supaya aku dan anak-anak bisa makan.
Hanya saja sudah tiga bulan ini diam-diam aku bekerja menjadi seorang penulis platform online dan meskipun belum banyak mendapatkan uang dan tabungan, tetapi sudah cukup lumayan bagiku untuk diam-diam bisa memenuhi kebutuhan hidupku sendiri dan anak-anak. Juga terkadang aku menggunakan uangku untuk membeli gula dan teh untuk kebutuhan di rumah ini.
Sayang, semua itu tampaknya tak ada artinya di mata mama mertuaku ini. Dalam pandangan beliau aku tetaplah menantunya yang miskin dan tak punya apa-apa, sehingga pantas diperlakukan hina seperti ini.
Beda dengan menantu-menantu beliau yang lain itu yang membuat beliau merasa bangga karena keduanya memiliki pekerjaan mapan dan penghasilan yang besar sehingga bisa membantu suami-suami mereka mencukupi perekonomian keluarga dan membantu mertua.
Apalagi dengan gaji yang mereka peroleh dari bekerja, Mbak Inggrid dan Mbak Maya bisa membelikan mama barang-barang kesukaan beliau dari gaji mereka sendiri, jadilah mama merasa begitu bangga dan semakin mengecilkanku, menantu yang beliau anggap tidak berguna ini.
"Anak-anakmu juga jangan boleh main ke depan ya, malu sama tamu yang datang, kok cucu mama yang ini lain sendiri. Lusuh sendiri. Kamu kan tahu, tamu mama itu orang kaya semua, mama nggak mau mereka menghina mama karena anak-anak kamu yang kelihatan susah dan nggak punya sopan santun di depan tamu. Oke! Ya, sudah, mama mau ke depan lagi!"
Lalu tanpa menghiraukan reaksiku atas segala ucapannya, mama mertua langsung membalikkan badannya kembali ke ruang tamu sementara aku hanya mampu mengelus dada menahan rasa perih dan terluka yang seketika menyelusup masuk ke dalam dada mendengar ucapan beliau mengenai dua buah hatiku yang menurut mama tak memiliki attitude yang baik itu.
Padahal kalau mau jujur, justru anak-anak Mbak Inggrid dan Mbak Maya-lah yang kurang punya sopan santun di depan orang lain. Selalu bicara kasar dan bersikap arogan terhadap teman-teman sepermainannya.
Tapi, sudahlah. Biarlah mama dengan semua anggapannya itu. Yang penting aku yakin Dino dan Dini, tidaklah seperti yang diucapkan neneknya. Mereka justru anak-anak baik yang selalu mampu menjaga sikap di depan orang lain.
Dan yang paling penting lagi, biarlah sementara waktu ini mama mertua tak tahu jika saat ini diam-diam aku sudah punya pekerjaan sambilan yang meski baru tiga bulan kutekuni, tetapi alhamdulilah sudah mulai menghasilkan walaupun belum begitu banyak. Namun, cukuplah untuk membiayai kebutuhan hidupku saat kepepet uang.
Ya, siapa tahu pekerjaan sambilan yang kulakukan dari rumah ini bisa mengantarkan aku menjadi seorang penulis sukses dengan penghasilan puluhan juta rupiah nantinya.
Ya, asalkan punya niat dan tekad kuat, aku yakin semua keinginanku itu akan bisa tercapai. Saat ini aku sendiri tengah fokus menulis cerita bersambung yang kuunggah di beberapa platform menulis dan membaca novel online dan meski pun belum begitu banyak memiliki pembaca, tetapi alhamdulillah dua bulan ini aku sudah mulai bisa menikmati dan mencicipi rupiah, hasil dari karya-karyaku itu.
*****
POV DONNYSetelah diperintahkan hakim untuk melakukan mediasi, kami berdua pun akhirnya menghadap hakim mediasi di ruangan kerjanya.Kulihat Nisa menatap garang saat aku berjalan lebih dulu menuju ruangan tersebut. Aku memang berharap hakim mediasi dapat menyatukan kami berdua kembali. "Jadi, Pak Hakim, saya ingin rujuk lagi dengan istri saya ini. Saya memang sudah melakukan kesalahan fatal dengan mengkhianati perkawinan kami, tapi saya sangat menyesali hal itu, Pak Hakim.""Saya juga kasihan sama Nisa, istri saya ini. Kalau dia jadi janda, pasti namanya akan buruk di mata masyarakat. Dia akan jadi bahan gunjingan tetangga. Orang-orang akan takut kalau Nisa merebut suami mereka. Lagi pula, zaman begini banyak laki-laki suka seenaknya saja. Mereka berpikir janda itu perempuan yang mudah digoda dan diajak berbuat yang tidak-tidak.""Makanya saya ingin mengajak Nisa rujuk. Apalagi, Nisa ini hanya ibu rumah tangga biasa. Tidak punya banyak pilihan. Hanya laki-laki yang benar-benar baik s
POV DONNY"Saudari Nisa, Saudari yakin hendak melanjutkan gugatan perceraian pada suami Saudari, yakni Saudara Donny ini? Sudah dipertimbangkan masak-masak? Kami masih memberikan kesempatan bila mana Saudari hendak membatalkannya," ucap salah seorang hakim pada Nisa yang kemudian mengangguk yakin sebagai jawaban."Yakin, Yang Mulia. Sudah saya pertimbangkan masak-masak, saya akan tetap melanjutkan gugatan saya ini," jawab Nisa dengan nada tegas."Baik." Hakim mengangguk-anggukkan kepalanya lalu meneruskan pertanyaan kembali."Apa alasan dan dasar hingga Saudari memutuskan untuk menggugat cerai suami Saudari?" lanjut hakim pula."Karena suami saya sudah menikah lagi tanpa izin dari saya maupun izin atasan tempat ia bekerja sehingga saat ini status kepegawaian suami saya pun terancam dipecat dan berakhir. Bukan itu saja, saat ini suami saya juga sudah memiliki seorang putri dari pernikahan keduanya itu, Yang Mulia dan sebagai seorang istri, rasanya saya tidak bisa menerima dan mentoleri
POV DONNYSetelah dengan terpaksa meninggalkan rumah ibu NIna, aku pun melajukan roda dua menyusuri jalanan kota yang mulai sepi di jam tengah malam seperti ini.Hampir semua rumah penduduk sudah tutup. Hanya warung kopi dan warung pinggir jalan saja yang tampaknya masih buka.Aku pun membelokkan kendaraan ke sebuah warung kopi yang terlihat ramai.Kubiarkan saja tas pakaian berada di jok motor sementara aku duduk di bangku santai yang berjajar di sepanjang pinggir trotoar."Kopi, Mas. Satu," ucapku pada pelayan.Pelayan mengangguk. Aku pun menunggu, tetapi hingga beberapa saat lamanya, pesanan kopiku tak juga kunjung datang.Aku pun memanggil pelayan itu kembali dan dengan tak sabar, meminta pesananku segera dibuatkan.Pelayan tampak grogi. Namun, sesaat kemudian ia membawakan juga pesanan kopi yang kuminta. "Maaf ya, Mas. Kami kurang anggota, jadi pesanan lama nunggu," ujarnya sambil menundukkan kepala, meminta maaf."Kekurangan anggota? Maksudnya kurang pekerja?" tanyaku dengan na
POV DONNY"Nina, apa ini? Keterlaluan kamu! Kamu selingkuh ya! Atau ... jangan-jangan kamu ju*al diri! Kamu gila! Baru saja selesai nifas, sudah berbuat seperti ini! Bukan sama suami, tapi sama orang lain! Dasar perempuan jal*ng!" bentakku kalap saat melihat keadaan Nina yang demikian.Kurenggut kimono yang dikenakan perempuan itu hingga sobek di beberapa bagian.Nina berusaha mempertahankan dan menutup bagian atas tubuhnya yang terbuka dengan telapak tangan, tapi percuma sebab tangan itu pun kurenggut paksa."Percuma kamu tutupi! Aku sudah melihat semuanya, Nina! Kamu selingkuh, kan! Iya, kan!" bentakku lagi dengan kalap.Nina hanya mampu menatapku nanar."Apa kata kamu! Hentikan, Mas! Apa-apaan kamu!" dengkusnya keras."Kamu yang apa-apaan! Kenapa badan kamu merah-merah begini! Kamu habis ngapain! Jelaskan!" bentakku untuk ke sekian kalinya dengan nada penuh curiga dan emosi.Nina hendak membuka mulutnya, tapi urung saat Naura tiba-tiba tersentak bangun dari tidurnya lalu memekik ke
POV DONNY"Bu, memangnya Nina mau ke mana sih? Hari sudah sore, apa nanti nggak kemalaman di jalan?" tanyaku pada ibu mertua saat Nina sudah keluar dari rumah, menggunakan ojek online yang dipesan oleh istriku itu untuk pergi. Entah ke mana."Nina ke mana nggak perlu kamu tanyakan lagi, Don. Biar aja dia pergi. Doakan saja istrimu itu selamat! Yang penting nanti pulang bawa uang. Kamu nggak bisa ngasih istri dan anakmu makan lagi, jadi nggak usah banyak tanya deh!" jawab ibu mertua dengan ketus sambil berlalu ke belakang."Kok ibu ngomong gitu? Sebelum SK pemecatan Donny keluar, Donny kan masih bisa dapat gaji, Bu. Lagi pula gajian kemarin semua uangnya sudah Donny kasih ke Nina, kok dibilang Donny udah nggak bisa ngasih makan Nina dan Naura lagi sih, Bu!" protesku sedikit keras pada beliau sambil membuntuti langkah ibu mertua ke belakang. Namun, beliau mengibaskan tangannya."Iya, bulan ini mungkin masih bisa makan. Tapi itu juga pas-pasan, karena sembako sekarang naik semua. Minyak
POV DONNY"Bu, maaf apa lowongan pekerjaan ini masih ada, Bu?" tanyaku pada ibu pemilik warung yang baru saja mengantarkan teh dingin yang kupesan.Ibu tersebut menganggukkan kepalanya."Masih. Siapa yang butuh pekerjaan? Tapi gajinya kecil ya, cuma lima ratus ribu sebulan. Kerjanya cuci piring sama ngantarin makanan ke meja tamu," sahut sang ibu dengan wajah datar."Lima ratus ribu, Bu? Kecil sekali ya," ucapku tanpa sadar. Membuat sang ibu pemilik warung makan mencebikkan bibirnya tak suka. Hari gini mencari pekerjaan memang susah. Sejak pandemi Corona melanda, hampir semua sektor usaha terdampak. Apalagi rumah makan yang notabene jam operasinya dibatasi sebab pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat."Gajinya kecil? Namanya juga kerja di rumah makan, Mas. Kalau mau gaji besar, situ ngelamar aja jadi menteri apa presiden sekalian. Ya, sudah. Nanti es tehnya nggak usah dibayar! Hitung-hitung saya sedekah sama sampean. Pengangguran aja sok minta digaji besar. Belum tentu juga saya