LOGINKeesokan harinya, begitu Alea tiba di kantor pusat Hamesworth Group, suasana terasa berbeda.
Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, seolah udara di tempat itu memberi peringatan bahwa segalanya sudah berubah. Beberapa karyawan yang biasanya menyapa kini hanya menunduk, pura-pura sibuk dengan layar komputer. Lobi yang biasanya riuh kini terasa seperti ruang tunggu tanpa jiwa. Dan kemudian, suara seseorang terdengar memanggilnya dari ruangan direktur. “Alea.” Nada datar tanpa kehangatan sedikit pun. Alea menoleh, mendapati Ethan Vale berdiri di depan pintu ruangannya. Sikapnya kaku, dingin—seolah mereka hanyalah atasan dan bawahan yang tidak pernah saling mengenal. Tangannya menegang di sisi tubuh, namun ia tetap melangkah mendekat, mengikuti perintah yang tak diucapkan. Saat Alea masuk, Ethan bahkan tidak menoleh. Matanya terpaku pada layar ponsel, jarinya bergerak cepat, sementara Alea berdiri di ambang pintu seperti pesakitan yang menunggu vonis. “Tutup pintunya,” katanya akhirnya. Klik. Suara pintu tertutup terdengar nyaring di antara keheningan. Udara di ruangan itu seolah membeku dan penuh tekanan. Ethan mengangkat wajahnya. Tatapannya dingin, nyaris tanpa emosi. “Alea, aku akan bicara singkat saja. Orang-orang mulai membicarakanmu karena selalu ada yang melihat kalau kau pulang malam, atau bahkan pagi dari apsrtementku. Dan banyak yang mengatakan, kalau kau mulai melenceng dari profesionalitas pekerjaan. dan jujur saja, aku tidak mau reputasiku rusak karena gosip. Mulai sekarang, kamu dipecat dari posisimu sebagai asisten pribadiku. Jadi tidak perlu datang ke kantor pusat lagi. Karena mulai besok, kamu bukan asistenku.” Suara itu menghantamnya tanpa belas kasihan. Namun sebelum Alea sempat memahami sepenuhnya, Ethan menambahkan kalimat yang jauh lebih menyakitkan. “Dan besok, Serena akan menggantikan posisimu.” Nama itu menggema di kepala Alea. Serena. Ada sesuatu yang retak di dadanya—pelan, tapi pasti. Alea nyaris tertawa getir, tapi semua coba ia tahan. “Jangan menangis lagi, Alea. Ini bukan pertama kalinya kau dibuang. Bahkan, Ethan sudah jauh lebih dulu menbuangmu dan kau… sekarang hanya orang asing dengannya. Bertahan sedikit lagi, sampai Sean menghubungimu.” Meski mencoba menguatkan diri sendir,i, Alea tetap saja merasa dirinya rapuh dan kecewa begitu dalam. Ia tidak percaya kalau Ethan—selain membuang dia dari hatinya, Ethan juga membuangnya dari perusahaan. Selama ini, Alea selalu percaya pada impian yang mereka bangun bersama. Ia ada di setiap langkah saat Hamesworth Group mulai berdiri. Saat investor menertawakan presentasi Ethan, Alea begadang semalaman untuk memperbaikinya. Saat Ethan kelelahan, ia yang menyelesaikan semua pekerjaan agar pria itu bisa tidur beberapa jam. Ia tidak pernah meminta apa pun. Tidak saham, tidak pengakuan. Hanya sedikit penghargaan. Tapi rupanya, bagi Ethan, ia hanyalah bagian dari strategi. Dimana dia akan selalu di prioritaskan ketika masih berguna dan dibutuhkan, lalu akan dibuang saat dipandang sudah tidak lagi bisa digunakan. Ethan berdiri di hadapannya dengan tatapan yang kini benar-benar asing. “Alea, kamu punya cukup pengalaman untuk bekerja di mana pun. Tapi pikirkan Serena. Dia baru kehilangan suaminya, dia butuh dukungan. Sebagai gantinya, aku akan—” “Baiklah.” Satu kata itu keluar begitu saja. Hening. Ethan menatapnya, ia tampak tidak percaya. “Baiklah? Hanya itu? Kamu nggak marah dengan apa yang aku katakan?” Ia menggenggam kotak beludru kecil di tangannya, Alea tahu persis isinya. Itu adalah liontin berinisial nama mereka berdua. Simbol manipulasi manis yang dulu selalu membuatnya patuh dan bahkan semakin bergelayut manja, meski respon Ethan sangat dingin. Alea menatapnya datar. “Tidak. Kalau begitu, aku permisi dulu. Aku akan membereskan semuanya.” “Alea… tunggu. Kenapa kamu biasa saja? Kamu nggak mau tanya apa-apa?” Alea hanya mengembuskan napas pelan. Ethan mengira ia akan menangis atau memohon seperti dulu, bahkan Ethan sudah bersiap jika Alea akan memberintak. Tapi kali ini tidak. Alea melihat keanehan itu Dimata Ethan. Tapi, dia sudah tidak perduli lagi. Lukanya sudah terlalu dalam untuk ditangisi. Saat ia hendak keluar, pintu tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. “Ethan! Aku sudah menyalin semua dokumen dan—oh! Alea, kamu di sini?” Suara Serena terdengar ringan, tapi cukup manis untuk mengubah suasana. Ia melangkah masuk dengan senyum lembut dan tas besar di lengannya. Brak! Sebuah kotak musik bergambar balerina jatuh dari meja kecil di pojok ruangan. Pecah. Nada lembut yang seharusnya menenangkan kini terhenti di udara. Alea menatap lantai—boneka porselen itu hancur berkeping. Itu bukan sekadar benda. Itu kenangan. Kotak itu adalah satu-satunya kenangan dia bersama calon bayinya, setelah keguguran yang ia alami. Dan di dalamnya tersimpan foto ultrasonografi anak mereka. “Adik, maaf… aku nggak sengaja,” ucap Serena cepat, matanya berkaca. “Jangan marah, ya—” “Kenapa dia harus marah?!” potong Ethan keras. Lalu beralih menegur Alea. “Alea, kenapa kamu masih menyimpan barang tidak berguna seperti itu? Bagaimana kalau Serena terluka?!” Alea membeku. Barang tidak berguna? Porselen itu satu-satunya alasan ia masih bisa bernapas setelah kehilangan anak mereka. Dan sekarang, itu disebut sampah yang tidak berguna? Apa Dimata Ethan, anak mereka juga sama sekali tidak berarti? Tanpa banyak bicara, Alea memilih berlutut. Jari-jarinya gemetar saat mengumpulkan pecahan kecil itu. Salah satunya mengiris kulitnya hingga berdarah. Tapi Ethan tidak peduli. “Ren, apa lukamu parah? Astaga, ini berdarah,” katanya panik, meski hanya goresan kecil di tangan Serena. “Ayo, kita bersihkan. Jangan sampai infeksi, gara-gara orang yang asal menyimpan barang.” Ia menuntun Serena keluar dengan lembut. Meninggalkan Alea sendirian di ruangan itu, bersama darah, serpihan porselen, dan melodi yang mati di udara. Alea duduk lama di lantai dingin itu, menahan sakit yang terus menikam dari dua orang yang tak lagi pantas disebut manusia.Alea melangkah menjauh dari kerumunan reporter, membiarkan para tamu kembali pada percakapan gala dan kilatan kamera yang terus menyala.Lorong remang di sisi aula menjadi tempat paling tenang setelah lelang berakhir. Alea hendak mengambil napas tenang saat melihat seseorang berdiri di ujung lorong.Serena.Senyumnya tidak lagi manis dan anggun seperti di depan kamera. Senyum itu dingin, tipis, membuat udara di lorong terasa lebih sempit.“Seharusnya malam ini menjadi milikku, Alea,” ucap Serena pelan. “Tapi kau justru menarik perhatian semua orang. Seolah aku tidak ada.”Alea menahan napas. “Apa maumu?"“Aku hanya ingin menempatkanmu kembali di tempat yang semestinya.”Tanpa peringatan, Serena menangkap pergelangan tangan Alea dan menariknya mendekat. Gerakannya begitu cepat hingga Alea kehilangan keseimbangan. Namun sebelum Alea sempat menolak... Serena menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai.Suara tubuhnya membentur marmer memecah keheningan.Alea terbelalak.“Apa yang kau—”Belum s
Aula utama Gala Amal VaC Corporation & Hamesworth Group berpendar dalam cahaya kristal keemasan. Langit-langitnya menjulang tinggi, dihiasi lampu gantung raksasa yang memantulkan bias lembut ke seluruh ruangan. Malam itu, acara penggalangan dana untuk anak-anak korban perang di Marawi digelar—malam eksklusif yang hanya dihadiri kalangan elite Geneva dan para pemilik nama besar. Alea datang lebih awal, mengenakan gaun hitam sederhana. Ia membawa baki kristal berisi barang lelang milik keluarga Morgan, berjalan dengan tenang melewati lorong kaca yang berembus udara dingin dari pendingin ruangan. Namun langkahnya terhenti ketika telinganya menangkap suara samar dari balik pintu kaca buram bertuliskan Restricted – Board Access Only. Suara itu... milik Ethan Vale. Dan bersamanya—tawa orang-orang yang dulu menyebut Alea bagian dari keluarga mereka. “Akhirnya Serena kembali,” ujar seseorang dengan nada lega. “Antara Serena dan Alea? Yang satu pewaris Morgan, yang satu mantan asisten yan
Keesokan harinya, begitu Alea tiba di kantor pusat Hamesworth Group, suasana terasa berbeda.Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, seolah udara di tempat itu memberi peringatan bahwa segalanya sudah berubah.Beberapa karyawan yang biasanya menyapa kini hanya menunduk, pura-pura sibuk dengan layar komputer.Lobi yang biasanya riuh kini terasa seperti ruang tunggu tanpa jiwa.Dan kemudian, suara seseorang terdengar memanggilnya dari ruangan direktur.“Alea.”Nada datar tanpa kehangatan sedikit pun.Alea menoleh, mendapati Ethan Vale berdiri di depan pintu ruangannya.Sikapnya kaku, dingin—seolah mereka hanyalah atasan dan bawahan yang tidak pernah saling mengenal.Tangannya menegang di sisi tubuh, namun ia tetap melangkah mendekat, mengikuti perintah yang tak diucapkan.Saat Alea masuk, Ethan bahkan tidak menoleh.Matanya terpaku pada layar ponsel, jarinya bergerak cepat, sementara Alea berdiri di ambang pintu seperti pesakitan yang menunggu vonis.“Tutup pintunya,” katanya akhirny
Mobil yang dikemudikan Alea terus membelah jalanan malam, dengan air mata yang mulai menetes meski sebelumnya ia sudah yakin kalau hatinya itu sudah mulai kebas."Nggak, kamu nggak boleh lemah, Alea."Getir! itu yang dirasakan Alea, setelah tahu kenyataan bahwa suaminya dan keluarganya sendiri tidak menginginkannya. dan itu karena Serena.Ya, Serena.Kakak yang tertukar dengannya sejak lahir.Gadis yang selalu mendapatkan semua yang seharusnya menjadi milik Alea—kasih sayang, kemewahan, bahkan pria yang ia cintai.Masih jelas dalam ingatan Alea, dua bulan setelah kebenaran pertukaran bayi terungkap, Alea “dikembalikan” ke keluarga Morgan seperti barang hilang.Namun sambutan yang datang hanyalah dingin dan perhitungan.“Kami tak bisa menyingkirkan Serena,” ujar sang ayah waktu itu. “Dia sudah menjadi bagian keluarga ini selama dua puluh lima tahun. Kau? Kau hanya kebetulan berdarah sama, dan kembali di saat yang tidak tepat.”Alea menunduk waktu itu, menahan perih yang menyesakkan da
Bau obat dan disinfektan memenuhi udara. Ruangan itu putih, sunyi, hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan di sisi tempat tidur.Alea membuka mata perlahan. Cahaya dari jendela menyilaukan pandangannya yang masih kabur. Tubuhnya terasa berat, setiap tarikan napas seperti menarik jarum di dada.Selang infus tertancap di tangannya. Luka di bibirnya belum kering, dan pipinya masih membengkak akibat tamparan hari itu.Suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Pelan, tapi pasti mendekat.Ketika pintu terbuka, napas Alea tercekat.Sosok itu berdiri di ambang pintu, mengenakan jas hitam dan kemeja putih rapi.Ethan.Tatapan Alea membeku. Ia ingin marah, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk sekadar mengangkat tangan.Ethan mendekat, wajahnya datar tapi suaranya dibuat lembut—terlalu lembut untuk jadi tulus. “Alea…” suaranya rendah. “Aku baru tahu kau benar-benar diculik.”Alea menatapnya lama, suaranya nyaris tak keluar. “Baru tahu?”Ethan menarik kursi dan duduk di samping ranjang.
Alea melangkah keluar dari rumah keluarga Morgan tanpa menoleh ke belakang. Malam sudah larut, udara di kota Volka menusuk dingin. Di bawah sinar lampu jalan yang redup, bayangan tubuhnya tampak rapuh namun tegar. Ia masuk ke dalam mobilnya, menutup pintu perlahan, lalu duduk diam cukup lama. Tangannya memegang setir, tapi matanya menatap kosong ke depan. Tidak ada air mata, tidak ada amarah. Hanya kehampaan yang begitu kental hingga membuat napas terasa berat. Ia menyalakan mesin. Suara mobil memecah kesunyian malam, membawa dirinya menjauh dari rumah yang tidak lagi pantas disebut rumah. Selama perjalanan, lampu-lampu kota memantul di kaca depan. Setiap kilau seperti bayangan masa lalu yang datang silih berganti—menyisakan luka yang belum kering tapi juga sudah terlalu lama untuk disembuhkan. Tidak ada lagi air mata. Sudah habis. Yang tersisa hanyalah rasa sesak di dada yang tak bisa dijelaskan. Alea menatap sekilas pantulan wajahnya di spion. Wajah itu tampak asing.







