LOGINAlea melangkah menjauh dari kerumunan reporter, membiarkan para tamu kembali pada percakapan gala dan kilatan kamera yang terus menyala.Lorong remang di sisi aula menjadi tempat paling tenang setelah lelang berakhir. Alea hendak mengambil napas tenang saat melihat seseorang berdiri di ujung lorong.Serena.Senyumnya tidak lagi manis dan anggun seperti di depan kamera. Senyum itu dingin, tipis, membuat udara di lorong terasa lebih sempit.“Seharusnya malam ini menjadi milikku, Alea,” ucap Serena pelan. “Tapi kau justru menarik perhatian semua orang. Seolah aku tidak ada.”Alea menahan napas. “Apa maumu?"“Aku hanya ingin menempatkanmu kembali di tempat yang semestinya.”Tanpa peringatan, Serena menangkap pergelangan tangan Alea dan menariknya mendekat. Gerakannya begitu cepat hingga Alea kehilangan keseimbangan. Namun sebelum Alea sempat menolak... Serena menjatuhkan dirinya sendiri ke lantai.Suara tubuhnya membentur marmer memecah keheningan.Alea terbelalak.“Apa yang kau—”Belum s
Aula utama Gala Amal VaC Corporation & Hamesworth Group berpendar dalam cahaya kristal keemasan. Langit-langitnya menjulang tinggi, dihiasi lampu gantung raksasa yang memantulkan bias lembut ke seluruh ruangan. Malam itu, acara penggalangan dana untuk anak-anak korban perang di Marawi digelar—malam eksklusif yang hanya dihadiri kalangan elite Geneva dan para pemilik nama besar. Alea datang lebih awal, mengenakan gaun hitam sederhana. Ia membawa baki kristal berisi barang lelang milik keluarga Morgan, berjalan dengan tenang melewati lorong kaca yang berembus udara dingin dari pendingin ruangan. Namun langkahnya terhenti ketika telinganya menangkap suara samar dari balik pintu kaca buram bertuliskan Restricted – Board Access Only. Suara itu... milik Ethan Vale. Dan bersamanya—tawa orang-orang yang dulu menyebut Alea bagian dari keluarga mereka. “Akhirnya Serena kembali,” ujar seseorang dengan nada lega. “Antara Serena dan Alea? Yang satu pewaris Morgan, yang satu mantan asisten yan
Keesokan harinya, begitu Alea tiba di kantor pusat Hamesworth Group, suasana terasa berbeda.Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, seolah udara di tempat itu memberi peringatan bahwa segalanya sudah berubah.Beberapa karyawan yang biasanya menyapa kini hanya menunduk, pura-pura sibuk dengan layar komputer.Lobi yang biasanya riuh kini terasa seperti ruang tunggu tanpa jiwa.Dan kemudian, suara seseorang terdengar memanggilnya dari ruangan direktur.“Alea.”Nada datar tanpa kehangatan sedikit pun.Alea menoleh, mendapati Ethan Vale berdiri di depan pintu ruangannya.Sikapnya kaku, dingin—seolah mereka hanyalah atasan dan bawahan yang tidak pernah saling mengenal.Tangannya menegang di sisi tubuh, namun ia tetap melangkah mendekat, mengikuti perintah yang tak diucapkan.Saat Alea masuk, Ethan bahkan tidak menoleh.Matanya terpaku pada layar ponsel, jarinya bergerak cepat, sementara Alea berdiri di ambang pintu seperti pesakitan yang menunggu vonis.“Tutup pintunya,” katanya akhirny
Mobil yang dikemudikan Alea terus membelah jalanan malam, dengan air mata yang mulai menetes meski sebelumnya ia sudah yakin kalau hatinya itu sudah mulai kebas."Nggak, kamu nggak boleh lemah, Alea."Getir! itu yang dirasakan Alea, setelah tahu kenyataan bahwa suaminya dan keluarganya sendiri tidak menginginkannya. dan itu karena Serena.Ya, Serena.Kakak yang tertukar dengannya sejak lahir.Gadis yang selalu mendapatkan semua yang seharusnya menjadi milik Alea—kasih sayang, kemewahan, bahkan pria yang ia cintai.Masih jelas dalam ingatan Alea, dua bulan setelah kebenaran pertukaran bayi terungkap, Alea “dikembalikan” ke keluarga Morgan seperti barang hilang.Namun sambutan yang datang hanyalah dingin dan perhitungan.“Kami tak bisa menyingkirkan Serena,” ujar sang ayah waktu itu. “Dia sudah menjadi bagian keluarga ini selama dua puluh lima tahun. Kau? Kau hanya kebetulan berdarah sama, dan kembali di saat yang tidak tepat.”Alea menunduk waktu itu, menahan perih yang menyesakkan da
Bau obat dan disinfektan memenuhi udara. Ruangan itu putih, sunyi, hanya suara mesin monitor yang berdetak pelan di sisi tempat tidur.Alea membuka mata perlahan. Cahaya dari jendela menyilaukan pandangannya yang masih kabur. Tubuhnya terasa berat, setiap tarikan napas seperti menarik jarum di dada.Selang infus tertancap di tangannya. Luka di bibirnya belum kering, dan pipinya masih membengkak akibat tamparan hari itu.Suara langkah kaki terdengar dari arah pintu. Pelan, tapi pasti mendekat.Ketika pintu terbuka, napas Alea tercekat.Sosok itu berdiri di ambang pintu, mengenakan jas hitam dan kemeja putih rapi.Ethan.Tatapan Alea membeku. Ia ingin marah, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk sekadar mengangkat tangan.Ethan mendekat, wajahnya datar tapi suaranya dibuat lembut—terlalu lembut untuk jadi tulus. “Alea…” suaranya rendah. “Aku baru tahu kau benar-benar diculik.”Alea menatapnya lama, suaranya nyaris tak keluar. “Baru tahu?”Ethan menarik kursi dan duduk di samping ranjang.
Alea melangkah keluar dari rumah keluarga Morgan tanpa menoleh ke belakang. Malam sudah larut, udara di kota Volka menusuk dingin. Di bawah sinar lampu jalan yang redup, bayangan tubuhnya tampak rapuh namun tegar. Ia masuk ke dalam mobilnya, menutup pintu perlahan, lalu duduk diam cukup lama. Tangannya memegang setir, tapi matanya menatap kosong ke depan. Tidak ada air mata, tidak ada amarah. Hanya kehampaan yang begitu kental hingga membuat napas terasa berat. Ia menyalakan mesin. Suara mobil memecah kesunyian malam, membawa dirinya menjauh dari rumah yang tidak lagi pantas disebut rumah. Selama perjalanan, lampu-lampu kota memantul di kaca depan. Setiap kilau seperti bayangan masa lalu yang datang silih berganti—menyisakan luka yang belum kering tapi juga sudah terlalu lama untuk disembuhkan. Tidak ada lagi air mata. Sudah habis. Yang tersisa hanyalah rasa sesak di dada yang tak bisa dijelaskan. Alea menatap sekilas pantulan wajahnya di spion. Wajah itu tampak asing.







