Share

7. RAHASIA STEFANI DAN UMAR

  1. RAHASIA STEFANI DAN UMAR

Mas Arya terfokus kepada tas yang ku bawa. Reflek, tanganku melingkar untuk melindungi tas. Tatapan Mas Arya penuh curiga. Dia menarik tanganku untuk keluar rumah, lalu menutup pintu dari luar.

Suamiku curiga dengan sikapku. Aku juga tak mengerti kenapa tangan ini reflek melindungi tas yang kubawa. Aku mencoba mengatur nafas dan bersikap tenang.

“Apa yang kau bawa?” tanya suamiku dengan tetap terfokus pada tas yang masih kulindungi dengan tanganku.

‘Oh ini, tas.” Jawabku singkat.

“Isinya?!” suamiku mulai meninggikan suaranya dan aku sangat tak menyukainya.

“Kecilkan suaramu! Aku bukan budakmu yang bisa kau bentak sesuka hati!” jawabku sengit dan tak mau kalah.

“Jangan mengalihkan pembicaraan!”

“Siapa yang mengalihkan pembicaraan?! Kau yang menyuruhku keluar dari rumah ini! Apa tak boleh juga aku membawa pakaianku?! Atau kau mau pakai pakaianku? Dalamanku, lingerieku atau rok milikku juga akan kamu pakai?!” aku mencoba mengalihkan perhatian suamiku. Bisa bahaya kalau sampai dia menggeledah isi tas ku.

“Diam kamu Miranti! Kemarikan tasmu!” perintah mas arya sembari merebut tas yang kupegang. Aku sengaja melepasnya. Semakin kutahan, dia pasti akan bernafsu untuk mengetahui isinya. Menghadapi orang seperti suamiku harus pandai memainkan strategi.

Aku harus mengalihkan sedikit perhatiannya. Kodorong tubuh Mas Arya kesamping, lalu membuka pintu. Pancingan berhasil. Benar saja mas arya mencegahku untuk masuk dan meletakkan tas di lantai.

“Mau kemana kamu?!” suamiku menahan dengan memegang pergelangan tanganku.

“Kau sendiri yang mengusirku, lalu kau juga yang meminta tasku. Artinya kau menyuruhku untuk membatalkan kepergianku dan aku punya kesempatan untuk membongkar rahasia apa antara keluargamu dengan bu Arya!” sahutku dengan tegas. Kuperhatikan wajah arya mengeras. Sulit untuk mengartikannya. Kemarahan atau kecemasan yang muncul dari aura wajahnya. Walau aku yakin, ada sebuah rahasia yang sangat penting untuk kuketahui, tapi fokusku lebih kepada penyelamatan tas milikku.

“Pergilah! Jangan ge-er! Aku tak kan menahanmu!” Mas Arya mendorongku lalu masuk kedalam rumah dan menguncinya.

Baguslah, sebelum mereka menyadari kalau aku telah membawa kunci kamar, aku bergegas mengambil tas dan berlalu. Walau tubuhku terasa lemas, aku harus mampu menyetir hingga sampai tujuan.

***

{pov Arya}

“Ibu, aku’kan sudah bilang jangan bicara dengan Miranti! Kalau sampai dia tahu sekarang, semua bisa jadi kacau! Apa ibu mau renovasi rumah berhenti? Atau mau kita jadi gelandangan dan hidup miskin karena Miranti menendangku?!” aku kesal dengan sikap ibu yang hampir saja membocorkan rahasia besarku.

“Kenapa sih tidak kamu cere’in aja si Miranti?! Kamu sudah dapat fani yang lebih segalanya dari Miranti. Bodoh kamu masih mempertahankannya!” jawab ibuku tak kalah sengit.

“Maaf, Boleh aku bertanya? Kenapa sepertinya kau takut istrimu tahu mas? Jangan lupa janjimu kalau kau akan menceraikan istri pertamamu!” tanya Stefani kepadaku.

Mulutku terasa terkunci. Selama ini aku memang tak pernah berterus terang padanya kalau restoran itu milik keluarga istriku. Aku sengaja menyembunyikannya supaya stefani mau menikah denganku. Toh selama ini semua keinginannya selalu aku penuhi.

“Ibu, Nia, bisa tinggalkan kami sebentar?” pintaku pada ibu dan adikku.”

“Oke. Ibu juga mau istirahat dulu di kamar. Ayo, Nia!” Ibu dan adikku juga suaminya beranjak meninggalkan kami. Aku lalu duduk di samping istri mudaku yang sangat menggiurkan.

“Sayang, aku tidak lupa akan janjiku. Tapi tidak bisa secepat ini. Semua butuh waktu.” memegang tangannya dan mencoba meyakinkan dengan kesungguhanku.

“Lalu sampai kapan? Dan kenapa kamu kelihatan takut banget sama istrimu sayang?” Stefani bermanja di dadaku. Rasanya tubuh molek itu di penuhi oleh medan magnet yang menarik kuat untuk menyentuhnya lebih berani.

“Aku janji secepatnya membereskan istriku. Suatu saat kau akan mengetahuinya, tapi tidak untuk saat ini.” Kukecup puncak kepalanya dan aku menginginkan lebih. Tak sabar membisikkan kaliamat nakal di telinganya. Dia meremas dadaku dan menganggukkan kepala. Oh, rasanya aku benar-benar kejatuhan bintang yang terindah. Aku sekarang bebas melakukan apa saja. Apalagi istri bodohku itu sedang tidak di rumah. Jadi mau selama apapun aku bersama Stefani, takkan ada yang menggangguku.

Kami berdua bangkit dan saling berpelukan dan sepakat akan melakukannya di rumah stefani. Di sana lebih aman dari gangguan siapapun. Kami akan leluasa untuk memadu kasih. Belum sempat aku membuka pintu, terdengar teriakan ibu dan juga Nia.

“Arya, kenapa pintu kamarmu di kunci sih?!” teriakan ibu memekakan telinga.

“Iya, kamar aku juga. Gimana mau istirahat?” terdengar suara Nia mengeluhkan hal yang sama.

Argh, kesal sekali rasanya mendengar teriakkan mereka. Biarlah, aku tak peduli, hasratku sudah tak terkendali. Urusan mereka nanti saja. Ada yang lebih penting yang harus kutuntaskan.

Tak kupedulikan teriakannya dan dengan cepat kubuka pintu rumah dan keluar menuju rumah surgaku. Tak lupa mengunci rapat dan mempercepat langkahku menuju kamar. Membiarkan sementara ibu dan nia yang terus memanggil namaku.

Saat aku memulai permainan panasku, stefani tak seperti biasanya. Dia terlihat dingin dan malas membalas seranganku. Bahkan ditengah permainan, dia menghentikanku. Aku tidak suka dengan caranya yang tak meresponku. Apalagi dia mendorong tubuhku dengan kasar.

“Kenapa kau  mendorongku?!”

“Sory, kepalaku agak pusing.” Stefani memijit keningnya. Mencoba memegang keningnya, tapi tak panas. Suhu badannya seperti orang yang sehat. Aku kesal melihat dia memakai pakaiannya kembali. Artinya dia menolak untuk melayaniku.

“Layani aku sayang! aku menginginkanmu!” Aku sudah tak bisa menahan gejolak dalam dadaku. Tubuh istriku itu terlalu menantang dan sangat sayang kalau tak menaklukannya.

“Aku sudah bilang kepalaku pusing. Tolong mengertilah. Kau tengoklah ibu dan adikmu, bikin kepalaku tambah pusing saja!”

“Kau kenapa sayang? Biasanya kau yang selalu merindukan sentuhanku. Kau yang selalu ....”

“Aku sudah bilang kepalaku pusing!” Stefani terus memijit-mijit kepalanya.

“Ya sudah. Lebih baik aku pergi ke restoran dan menggoda wanita cantik yang datang kesana! Siapa tahu salah satu dari mereka akan mau aku ajak kencan!” ucapku sengaja memanasi istri keduaku. Aku yakin caraku ini akan berhasil dan membuatnya kembali bertekuk lutut di hadapanku.

Tak kusangka respon dari Stefani justru sebaliknya. Dia sama sekali tak menanggapi ucapanku yang tak serius. Aku melihatnya seperti ada sesuatu yang di pikirkan olehnya. Kucoba mendekat ke arahnya dan duduk di sampingnya.

“Sayang, apa ada masalah denganmu?” aku membelai rambutnya yang panjang tergerai.

“Aku tidak apa-apa!” Jawabnya ketus. Sepertinya dia marah denganku. Tapi kenapa? Aku tak pernah berbuat salah kepadanya.

“Kau seperti marah kepadaku, kenapa?!” kusentuh tangan stefani, tapi tanganku di tepisnya dengan kasar.

“Kenapa kau mengusir istrimu dan juga anak-anaknya?!” stefani memukul lenganku. Kulihat api kemarahan pada wajahnya.

“Kenapa? Bukankah kau suka? Dengan kepergian mereka akan membuat kita bebas.  Tak ada gangguan apapun. Bukankah kau ingin aku menceraikan Miranti?” tanyaku tak mengerti dengan sifat istriku.

“Iya, aku memang menginginkan itu. Tapi tidak dengan mengusir anakmu. Terutama umar!” stefani meninggikan suaranya. Berani sekali dia membentakku. Selama ini tak berani sedikitpun dia membentakku. Umar, ada apa dengannya? Darimana dia tahu tentang anakku Umar? Bukankah aku belum pernah mempertemukan dia dengan anak-anakku. Aku akan mencoba menggali informasi dari mulut istriku. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.

“Kenapa denganmu? Apa kau mengenal umar? Darimana kamu tahu tentang anak-anakku?! Bukankah aku belum pernah mengenalkannya kepadamu?” aku bertanya penuh selidik.

“Aku ... aku ....” kulihat Stefani gugup. Dia seperti menyembunyikan sesuatu dariku.

“Aku apa?!” tanyaku penasaran.

“Bukankah kamu sendiri yang pernah memberitahu fotomu dan anak-anakmu. Dan kau memperkenalkannya satu persatu. Apa kau lupa?” stefani mengalungkan tangannya di leherku dan mengecup bibirku sekilas.

Aku mencoba memikirkan kata-kata stefani. Mencoba mengingat kapan aku pernah menunjukkan foto anak-anakku. Kenapa tak satu memory pun yang muncul dalam otakku. Aku memukul kepalaku perlahan, mencoba mengingat peristiwa yang diceritakan oleh istri mudaku. Namun tetap saja aku lupa kejadian itu.

“Bisa kau ingatkan, kapan aku memperlihatkan foto anakku kepadamu? Seingatku, kau tak ingin aku cerita tentang istri dan anak-anakku saat kita sedang bersama.”

“Sudahlah sayang, kau tak perlu mengingatnya. Itu tak penting bagimu,” Ucap istriku. Sepertinya dia tak ingin aku memperpanjang pertanyaanku. Sikapnya kembali berubah agresif.

“Apa kau menginginkanku?” tanyaku padanya.

“Iya, sayang!”

“Bukankah tadi kamu bilang kepalamu pusing?” tanyaku kembali.

“Sekarang sudah sembuh. Ayo, sayang!”

Stefani membungkam mulutku dari segala pertanyaan. Dia melayaniku dengan penuh semangat. Entahlah, aku tetap saja merasakan perbedaan. Seolah dia sedang menutupi sesuatu dariku. Sikapnya menandakan tak ingin aku bertanya lebih jauh lagi.

Biarlah yang penting bagiku adalah kenikmatan. Aku tak peduli lagi dengan pertanyaan stefani. Kutemukan kembali stefaniku yang begitu menarik dan menggairahkan. Tak kuingat lagi rasa penasaranku padanya.

Saat dia memintaku untuk tak bertanya lebih jauh lagi, aku mengiyakannya. Bagiku yang penting kebahagiaanku dan stefani. Apa yang di inginkan olehnya akan aku penuhi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status