Suara nyaring itu terdengar bergetar akibat saking lantangnya orang itu berteriak, apalagi usianya juga sudah tidak muda lagi."Mbok, ...." Mata Nayra terlihat berkaca-kaca ketika melihat sosok tua itu berjalan dengan tegasnya di saat Beliau membelanya.Nayra yang khawatir akan kesehatan Marsih, ia pun dengan cepat berjalan menghampiri Marsih."Dari dulu aku selalu mengajari cucuku untuk hati-hati dan bertanggung jawab dalam pekerjaan, jadi tidak mungkin Nayra akan lalai seperti ini.""Ssttt ... sudah, Mbok. Mbok jangan teriak-teriak, nanti tenggorokan Mbok bisa sakit.""Sudah kamu diam dulu, orang mau ngebelain kamu, kok kamu malah mau nyuruh Mbok diam.""Bukannya begitu, tapi--""Ada apa ini ribut-ribut?" tanya salah satu anak buahnya Bagas yang baru saja tiba di tempat itu."Ini, Mas. Yang nyuci piring nggak bersih, ini buktinya," sahut tantenya Angga."Oh, kalian berdua sudah minta maaf?" tanya laki-laki tersebut pada Nayra dan temannya."Nggak perlu minta maaf, aku tau cucuku dan
"Lho, Mbok belum pulang?" Nayra yang baru saja keluar dari halaman rumah Hendra, ia terkejut ketika melihat neneknya masih berada di sini."Iya, Nay. Mbok mau nunggu kamu aja katanya," sahut Yah beralasan.Nayra yang tahu kalau Mbok habis menangis, ia hanya manggut-manggut dan pura-pura tidak menyadarinya."Ya sudah kalau begitu ayo, pulang." Nayra menepuk jok belakangnya, agar Marsih diboncengnya, namun Marsih malah menolak."Nggak mau, aku mau bareng Yah aja, sadelnya lebih empuk daripada punyamu."Nayra mendesah, ia geleng-geleng kepala melihat kelakuan neneknya, bisa-bisanya neneknya memakai alasan itu agar tidak ketahuan sedang sedih."Iya-iya, besok aku akan beli motor yang lebih bagus, biar sadelnya empuk," sahut Nayra sembari pura-pura cemberut."Oh ya, Mas. Ini uangnya," ujar Yah sembari menyodorkan uang air mineral pada Vano, namun Vano langsung menolaknya."Nggak apa-apa, Bu. Nggak usah dibayar, airnya buat Mbah aja.""Lho, gimana to? Kan kamu jualan.""Iya, Bu. Nggak apa-a
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nayra sudah mengetuk pintu rumah Bu Ginten, sebab ia ingin meminta anaknya Bu Ginten yang seorang perawat untuk memeriksa neneknya."Assalamualaikum, Bu. Mas Puguh ada?""Iya, ada apa, Nay?""Itu, mau minta tolong untuk periksa si Mbok, soalnya Mbok sekarang badannya panas, dan tadi juga muntah-muntah.""Owalah iya-iya, sebentar tak panggil Puguh nya dulu."Nayra hanya manggut-manggut, namun kaki dan tangannya tidak bisa diam karena ia begitu khawatir dengan keadaan neneknya.Sedangkan dari arah belakang, Vano yang melihat Nayra tampak gelisah di depan rumah ibu kosnya, ia pun segera menghampiri Nayra."Ada apa, Nay?" tanya Vano."Itu, Mbok sakit, jadi aku minta tolong sama Mas Puguh untuk periksa Mbok."Baru saja Nayra menjawab pertanyaan Vano, Puguh kemudian keluar sembari membawa tas kerjanya."Mbok katanya sakit ya, Nay? Kalau begitu ayo, ke rumahmu sekarang," ujar Puguh sembari mengunyah makanan, sebab ia sedang sarapan.Nayra mengangguk, lalu
Beberapa hari kemudian ....Semenjak Vano menjenguk Marsih, Nayra dan Vano jadi semakin dekat, dan tidak hanya itu, Vano juga akrab dengan Marsih, seperti Marsih akrab dengan Bagas."Van, Mbok ku nyuruh kamu datang ke rumah nanti malam," ujar Nayra saat mereka tidak sengaja bertemu di gudang untuk mengambil barang."Kenapa? Mbok lagi bikin gatot lagi ya?" tanya Vano antusias."Enggak, kali ini kamu disuruh nyobain nasi goreng tiwul buatannya.""Nasi goreng tiwul? Wah, kayaknya enak itu. Oke, aku akan datang.""Jangan telat ya, soalnya--" Belum selesai Nayra berbicara, Rendi datang menghampiri mereka berdua."Nay, kamu dicari Pak Yono tuh," ujar Rendi sembari melirik Vano yang terlihat senang.Nayra mengangguk, lalu kemudian ia langsung pergi ke ruangannya Pak Yono. Sedangkan di dalam gudang, Rendi menatap Vano dengan tajam."Padahal dulu aku sudah bilang ke kamu, jangan dekati Nayra jika hanya ingin bermain-main dengannya, Nayra itu--""Iya aku tau, aku juga masih ingat kok, dan aku j
Keesokan harinya."Nih, nasi goreng tiwul dari Mbok," ujar Nayra sembari menyodorkan kotak bekal pada Vano."Wah, kebetulan aku belum sarapan, makasih banyak ya.""Oh ya--" Belum sempat Vano meminta maaf pada Nayra karena tidak jadi datang ke rumahnya semalam, namun Nayra sudah pergi dari parkiran terlebih dahulu."Tck, aku belum minta maaf lagi karena nggak jadi masuk rumahnya," gerutu Vano saat melihat punggung Nayra semakin menjauh.Vano semalam sebenarnya sudah berada di depan rumahnya Nayra, namun ketika ia melihat Bagas juga datang, Vano tidak jadi masuk, sebab ia tidak bisa menutupi rasa irinya ketika melihat neneknya Nayra menyambut Bagas sudah seperti cucunya sendiri. Vano sangat iri melihat keakraban itu.Setelah masuk ke dalam toko, Vano terlihat tidak bersemangat, sebab penyemangat hidupnya sedang berada di outlet lain, jika seperti ini, Vano jadi ingin cepat menyelesaikan misinya, lalu membongkar identitasnya dan kemudian melamar Nayra.Siang harinya, Vano menunggu Nayra
"Wi, ... Dewi, ...." teriak Ana ketika memasuki rumah."Ada apa sih, Ma? Teriak-teriak kayak gitu, ganggu orang lagi tidur siang aja.""Kamu ngambil sertifikat toko ya? Terus kamu jual?"Dewi mengangguk dengan santai, lalu ia duduk di sofa ruang tamu."Dasar bocah, kenapa nggak bilang-bilang dulu sama Mama sih? Hampir aja Mama jantungan karena mengira Hendra yang jual, tapi ternyata kamu. Terus mana uangnya? Kan Mama dulu yang punya rencana ingin jual tokonya diam-diam.""Nggak, aku aja yang pegang uangnya, nanti kalau Mama yang pegang bisa habis buat belanja lagi. Sekarang tugas Mama cuma tinggal ceraiin Ayah, lalu kita tinggal di rumah kita yang baru.""Itu udah Mama pikirin, suratnya juga udah jadi kok, kalau begitu ayo kita pindah hari ini aja."Ana yang sudah memikirkan hal ini sejak lama, ia tentu sudah menyiapkan semuanya. Lagi pula, siapa juga yang ingin hidup selamanya bersama laki-laki penyakitan itu.Sedangkan di sisi lain, orang yang dipercaya Nayra untuk menjaga ayahnya,
"Retha, cepat sapu lantainya!" teriak Yuni, yaitu ibu mertuanya Aretha.Belum sempat Aretha menyahut, dari arah belakang pundak Aretha ditepuk oleh Nina, yaitu adik iparnya."Mbak, tolong cucikan bajunya Nilna dulu, dia habis gumoh, takutnya membekas nanti." Menyodorkan baju bayi yang terlihat kotor dan juga bau."Iya, kamu rendam dulu aja, nanti setelah aku selesai nyapu--""Aduh, Mbak. Sekarang aja, nanti kalau membekas dan bau, kamu mau gantiin dengan yang baru?""Tapi--""Retha, .... cepetan!!! Teman-teman Ibu sudah hampir sampai ini, dan rumah masih berantakan!""Iya, Bu, ...." Lalu tanpa mempedulikan Nina lagi, Aretha langsung pergi ke ruang tamu untuk menuruti perintah ibu mertuanya."Dari tadi dipanggil baru nongol, lelet banget jadi orang! Kamu sengaja ya mau bikin Ibu malu!" Yuni langsung mengomel, sedangkan Aretha hanya bisa menghela napas panjang.Sabar ... sabar ... sabar ...Aretha hanya bisa merapalkan kalimat itu untuk menghadapi semua orang yang ada di sini.Tepat set
Setelah selesai menyiapkan semua kebutuhan Fauzan yang sudah pulang bekerja, kini Aretha memberanikan diri untuk berbicara dengan Fauzan tentang satu persatu keinginannya."Mas, jatah bulanan untuk bulan ini kamu kasih lebih ya, soalnya aku ingin membeli beberapa barang," ujar Aretha pelan seraya menaruh secangkir kopinya Fauzan di atas meja ruang tamu."Ya nggak bisa dong, Reth. Lagi pula, kamu ini mau beli apa sih?""Ya banyak lah pokoknya, Mas. Kamu kan gajinya dua juta, masa sekali-kali nambahin tiga ratus ribu saja tidak bisa," keluh Aretha.Aretha yang selama ini hanya mendapatkan uang bulanan lima ratus ribu saja, ia tentu harus super irit agar bisa mencukupi segala kebutuhan dapur dan jajan anaknya saja, jadi Aretha tidak pernah menikmati sedikit pun uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, yaitu seperti membeli baju, skincare atau yang lainnya.Jangankan untuk membeli baju baru atau skincare, hanya untuk membeli lipstik atau bedak saja, Aretha bisa membelinya k