"Heh, Retha. Kenapa dari tadi kamu diam aja? Padahal tadi waktu berangkat kamu banyak bicara, tapi sekarang ...."
"Nggak apa-apa, cuma lagi 'bad mood' aja. Yuk, cari tempat ngobrol, sekalian nanti aku ceritain."Dengan cekatan Lina membawa Aretha ke kedai teh dulu, setelah membeli minuman, lalu kemudian Lina membawa Aretha ke alun-alun desa.Setelah mereka berdua sampai di alun-alun, Lina mengajak Aretha duduk di trotoar sembari menikmati cilok dan segarnya angin malam."Ada apa?" tanya Lina seraya menatap wajah murung Aretha."Gini Lin, setelah lihat semua teman-teman kita tadi, kayaknya cuma aku sendiri ya yang hidupnya kelihatan susah banget.""Ish, kamu ngomong apaan sih, Reth. Hei, Ingat ya! Di dunia ini semuanya itu cuma 'sawang sinawang', jadi kita tidak bisa menilai kehidupan orang lain dari pandangan kita aja, dan kita mana tahu kalau orang yang kelihatannya sukses, terus bahagia. Tapi, pada kenyataannya justru sebaliknya, jadi jangan pernah merasa rendah sendiri, oke?""Iya sih, tapi yang tadi itu jelas kelihatan banget, terus kamu coba ingat lagi deh, semua orang yang datang di sana pada pakai baju model baru, kamu juga. Dan, sudah jelas banget cuman aku sendiri lah yang pakai baju buat lebaran dari lima tahun yang lalu," sahut Aretha seraya tersenyum sedih.Lina sontak meringis, ia jadi bingung harus menanggapinya bagaimana? Sebab, apa yang dikatakan Aretha memanglah kenyataan.Jangankan berpikir untuk bisa berpenampilan mewah seperti orang-orang tadi, Aretha bahkan kesulitan hanya sekedar untuk beli satu baju lebaran yang datangnya hanya satu tahun sekali.Sungguh miris sekali bukan? Sebab, Aretha selama ini memang selalu mendahulukan anaknya terlebih dahulu, karena Aretha harus memastikan bahwa anaknya tidak akan mengalami nasib yang sama dengannya, oleh karena itu Aretha selalu berusaha agar anaknya terlihat sama dengan anak sebayanya, ya contohnya dengan membeli baju baru di setiap lebaran idul fitri datang, ya walaupun itu juga cuma satu."Dan, pasti tadi pas aku ambil 'dessert', semua orang pasti tadi sedang ngomongin aku kan? Mereka pasti mengomentari penampilanku yang terlihat ketinggalan zaman banget.""Hus! Kamu ini ngomong apaan sih! Nggak ada yang ngomongin kamu, jangan kepedean deh ...." sahut Lina berbohong.Sebab kenyataannya teman-teman mereka tadi memang sedang membicarakan Aretha, semua orang mengatakan prihatin, namun sorot mata mereka tadi tidak bisa menipu kalau mereka tadi sedang mencemooh Aretha."Lin, pokoknya aku pingin banget sama seperti yang lain, kalau nggak bisa, separuhnya aja deh nggak apa-apa, ya minimal bisa dandan cantik kayak kamu dan yang lainnya gitu. Tapi, gimana caranya ya? Soalnya Mas Fauzan pelit banget, dan aku juga tidak dibolehin bekerja, lantas kapan aku bisa bahagia sama dengan seperti kamu dan yang lainnya?""Kamu yang sabar dulu ya, Reth. Mereka tadi kelihatan 'wah' karena rata-rata mereka memang bekerja sendiri, contohnya seperti Dinda, dia kan jadi TKW di luar negeri, jadi tidak heran kalau pakaian dan tasnya bagus, terus perhiasannya juga banyak. Tapi, jika soal pahala, kemungkinan besar pahalamu lebih besar dari dia, soalnya kamu kan nggak kerja karena menuruti perintah suamimu untuk tetap di rumah saja, ya kan?""Halah, kamu itu memang pandai menghibur orang. Ya udah kalau begitu ayo, kita pulang sekarang," ajak Aretha yang kemudian langsung diangguki Lina.Sesampainya di rumah, Vano sedang menonton televisi dengan neneknya. Namun, setelah ia mendengar Aretha sudah pulang, ia buru-buru menghampiri ibunya."Bu, tolong ajarin aku jawab PR dong, tadi Ayah nggak mau bantuin aku," ujar Vano seraya menarik-narik baju Aretha.Sedangkan Aretha yang mendapat laporan dari Vano, ia sontak melirik suaminya yang baru saja keluar dari kamar."Aku kan tadi lagi sibuk disuruh rekap penjualan dari atasan, jadi nggak bisa ngajarin Vano dong."Aretha mendesah, jika Fauzan memang sibuk bekerja, ia pun tidak bisa mengomeli suaminya."Ya sudah kalau begitu ayo, kita kerjakan PR mu," ajak Aretha seraya menggandeng tangan Vano masuk ke dalam kamar mereka.Di dalam kamar hanya ada Aretha dan Vano saja, sebab Fauzan pindah duduk di teras seraya masih asyik dengan ponselnya sendiri.Setelah beberapa menit kemudian, Vano sudah menyelesaikan tugas sekolahnya, lalu kemudian ia memasukkan kembali buku-bukunya ke dalam tasnya."Bu, tadi Ayah lo nggak sibuk kerja, tapi Ayah lagi sibuk WA an sama orang. Aku juga lihat Ayah tadi senyum-senyum sendiri, kan kalau sibuk seharusnya mukanya serius kayak aku lagi belajar kayak tadi.""Iya, nggak apa-apa biarin aja, mungkin Ayah lagi capek, jadi cari alasan biar nggak bantuin kamu belajar," sahut Aretha seraya mengusap kepala Vano."Ya sudah lebih baik kamu tidur sana, biar besok bangunnya nggak kesiangan.""Iya, Bu."Setelah kepergian Vano, Aretha mendesah, ia masih memaklumi sikap Fauzan tadi karena mungkin Fauzan memang lagi capek, namun kenapa suaminya itu juga harus membohonginya? Dan, seseru apa sih chat an suaminya, hingga dia bisa tersenyum-senyum sendiri dan bahkan sampai mengabaikan Vano."Hadeh ... daripada aku mikir yang nggak-nggak, lebih baik aku ganti baju aja sekarang, terus pergi salat lalu tidur," gumam Aretha yang kemudian mengganti pakaiannya.Setelah selesai berganti pakaian, Aretha hendak meletakkan baju kotornya ke dalam ranjang baju kotor. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika melihat sesuatu di punggung baju kerja suaminya tadi."Apa ini? Kayak lipstik, tapi kenapa ada bekas lipstik di baju suamiku?"Berulang kali Aretha mengamati warna lipstik tersebut, lipstik itu jelas bukan punyanya, apalagi Nina ataupun Ibu mertuanya. Lalu kalau begitu lipstik ini punya siapa?"Halah, mungkin tadi ada pembeli yang tidak sengaja nabrak punggungnya," gumam Aretha yang tidak ingin curiga pada suaminya sendiri. Sebab Aretha yakin kalau Fauzan itu sosok suami yang setia.Daripada berpikir yang macam-macam, Aretha memutuskan pergi ke kamar mandi yang terletak di dapur untuk mengambil air wudhu.Namun, saat Aretha hendak kembali ke kamarnya untuk salat, Aretha sempat mendengar suaminya terkekeh kecil seraya memegang ponsel."Mas Fauzan lagi chatting an sama siapa sih? Kenapa dari tadi kelihatan seneng banget, memangnya hal lucu apa yang sedang mereka bahas."Karena penasaran, Aretha berniat mengintip sedikit isi pesan Fauzan lewat jendela kaca depan rumah yang menghalangi tubuh mereka. Akan tetapi, apa yang Aretha lakukan malah membuat Aretha merasa menyesal sendiri.Aretha tidak menyangka bahwa kepercayaan yang ia berikan pada Fauzan, nyatanya malah membuatnya kecewa sendiri, sebab sekarang Aretha melihat Fauzan sedang asyik berbalas pesan dengan Nila. Ya, Nila, yaitu nama dari seorang gadis yang beberapa hari ini datang mengganggu kehidupannya.Lalu, kalau sudah terjadi kejadian seperti ini, apakah itu berarti sekarang memang sudah waktunya untuk Aretha melepaskan pernikahannya?Satu bulan kemudian....Setelah mengetahui Fauzan mulai bermain api di belakangnya, Aretha lantas tidak langsung mencecar atau menyudutkan Fauzan dengan tuduhan perselingkuhan. Namun, Aretha sengaja membiarkan Fauzan melangkah bebas ke mana pun ia mau."Bagaimana?""Sudah, semuanya sudah diurus sama saudara suamiku, jadi kapan pun kamu siap tinggal di PT, kamu tinggal pindah saja," sahut Lina seraya tersenyum sedih. Lina sedih karena sahabatnya ini akan pergi jauh ke belahan dunia yang lain."Terima kasih ya, terutama untuk Vano." Aretha yang tidak kuat membayangkan akan meninggalkan anaknya, ia langsung menangis ketika menyebut nama Vano."Sudah, sabar ... jangan nangis, aku nanti juga ikutan nangis lho. Pokoknya kamu yang tenang aja, aku pasti akan bantu jaga Vano seperti anakku sendiri, dan kamu juga tidak perlu khawatir soal kebutuhan Vano, karena kami akan selalu siap memenuhi segala kebutuhannya, pokoknya kamu cukup fokus bekerja saja."Aretha yang mempunyai rencana untuk menjad
Satu tahun kemudian ....Setelah berpisah dengan Fauzan, Aretha langsung berangkat ke PT, dan saat ini ia sudah berada di Taiwan untuk bekerja sebagai pengasuh lansia. Awal-awal bekerja sebagai TKW adalah masa yang paling berat yang harus dialami oleh semua para TKI, namun bukan hanya TKI saja, semua pekerja lain pun akan mengalami masa sulit ini karena mereka harus beradaptasi dengan orang baru dan juga lingkungan yang baru.Aretha bahkan diam-diam sering menangis ketika ia hendak tidur, sebab selain merindukan anaknya, ia juga mengalami tekanan mental saat merawat bosnya yang sudah tua itu."Laoban, Laoban Niang, makan siang sudah disiapkan," ujar Aretha pada anak majikannya yang saat ini sedang berkunjung ke rumah ibunya."Iya, terima kasih, Retha.""Retha, bukankah aku sudah pernah bilang? Panggil kami, Thai-Thai dan Sienseng!" raung nenek yang dirawat Aretha. Majikan Retha sangat mempedulikan status, oleh karena itu ia tidak suka jika Aretha memanggil mereka dengan sebutan Laoba
Dua tahun kemudian ...Aretha entah harus merasa sedih atau senang, sebab saat ia hendak memperbaharui kontrak kerja, ternyata nenek yang selama ini ia rawat telah menghembuskan napas terakhirnya karena sakit, sehingga masa kontrak kerja pun berakhir dan Aretha diperbolehkan pulang ke Indonesia.Sebelum nenek sakit parah, ia pernah berpesan agar Aretha pulang saja jika dirinya telah meninggal. Nenek juga berpesan untuk menyuruh Aretha menerima saja apa yang akan anak-anaknya berikan nantinya."Semua wasiat Nainai sudah saya kirim ke rekeningmu, terima kasih karena selama ini sudah merawat Nainai dengan baik, salam buat keluargamu di Indonesia ya, dan hati-hati di jalan."Aretha kembali mengingat ucapan terakhir anak majikannya sebelum ia berangkat ke bandara, Aretha hendak menanyakan maksud wasiat yang dibicarakan bosnya itu, namun anaknya yang lain sudah mendesaknya agar cepat berangkat agar tidak ketinggalan pesawat.Aretha menghembuskan napas panjang ketika melihat buku rekening ta
Sesuai dengan dugaan Aretha, kini para tetangganya Fauzan mulai berbisik-bisik ketika melihat Aretha menempati rumah kosong yang berada di kawasan rumah mereka.Meskipun rumah itu terbilang sedikit jauh dari rumah Fauzan, namun tetap saja mereka sekarang berada di satu komplek, dan Aretha juga pasti sedang digosipkan bahwa ia belum bisa move on dari Fauzan."Eh, itu tuh ... dia keluar," bisik salah satu tetangga yang masih bisa didengar Aretha saat ia hendak membeli sayuran di pedagang sayur keliling."Lho, Mbak Aretha. Lama tidak kelihatan, bagaimana kabarnya?" tanya Mamang tukang sayur dengan ramah."Alhamdulillah baik, Mang. Mamang sendiri bagaimana?""Alhamdulillah baik juga, wah ... Mbak Retha habis kerja di luar negeri, pasti sekarang duitnya banyak dong.""Halah, sama saja Mang, kan cuma tiga tahun di sana," sahut Aretha merendah, namun itu malah menjadi bahan hinaan terempuk buat para tetangganya."Eh, Retha. Yang namanya kerja di luar negeri, nggak peduli berapa tahun juga ka
Nina melengos, namun sebelum ia pergi dari tempat itu, Nina sempat melirik isi keranjang belanjaannya Aretha. Melihat banyaknya aneka macam snack yang Aretha ambil, membuat Nina iri, dan tentunya ia juga tidak boleh kalah dari Aretha, lantas Nina pun segera mengambil lagi beberapa boks snack untuk anaknya."Ternyata Nilna suka jajan ya, kalau begitu ini ambillah, kamu kasihkan ke Nilna, ya anggap saja sebagai oleh-oleh aku pulang dari luar negeri," ujar Aretha sambil menyodorkan sekotak cokelat dengan harga yang cukup mahal.Di dalam hati Nina, ada sebuah gejolak perasaan untuk ingin mengambilnya. Namun, rasa gengsinya telah mencegahnya untuk mengambil barang tersebut."Huh! Maaf ya, Nilna nggak level makan cokelat murah seperti itu," sahut Nina sombong, padahal yang ditawarkan Aretha adalah cokelat dengan merek yang sudah terkenal enaknya, dan tentunya lumayan mahal."Oh ... kalau begitu bagaimana dengan yang ini?" Aretha mengembalikan cokelat di tangannya pada tempatnya, lalu kemud
Aretha dan Lina kini akhirnya sampai di depan toko swalayan tempat kerjanya Fauzan, dan juga Nila, yang kini sudah menjadi istrinya Fauzan."Kita mau beli apa di sini? Kan nggak mungkin kalau cuma lihat mantan suamimu dan istri barunya," ujar Lina polos, dan ia juga takut jika sahabatnya nanti akan dipermalukan dan dianggap belum move on dari mantan suaminya."Ya Kita lihat-lihat dulu, nanti kalau ada yang cocok ya kita beli," sahut Aretha santai sembari menahan senyum, ia sengaja menggoda Lina dengan jawaban seperti itu agar Lina semakin khawatir dan juga terlihat semakin lucu."Ish, kamu ini ... nanti kalau mereka berdua mempermalukan mu gimana? Aku kan khawatir.""Sudah kamu tenang saja, bukan aku yang nantinya akan malu, akan tetapi mereka," sahut Aretha sembari tersenyum miring.Lina menghela napas, ia bingung mau menjawab apa, yang penting ia hanya bisa berdoa semoga apa yang direncanakan sahabatnya itu akan selalu berhasil.Setelah masuk ke dalam toko, Aretha dan Lina langsung
Para karyawan langsung menunduk hormat ketika sang pemilik toko datang, begitu juga dengan Nila yang langsung menundukkan kepalanya dalam, sebab ia malu dan juga takut."Ada apa ini?" Ulang Pak Prabu dengan wajah sangarnya, namun ia langsung tersenyum ramah pada Lina, karena ia mengenal Lina sebagai istri temannya."Eh, Bu Lina. Anda bersama siapa, Bu? Dengan Pak Roni kah?""Oh, bukan Pak. Saya datang bersama sahabat saya, ini perkenalkan, namanya Aretha."Aretha dan Pak Prabu lantas bersalaman, lalu kemudian ia menanyakan masalah yang tadi lagi."Mohon maaf sebelumnya, ini ada apa ya Bu Lina?" tanya Pak Prabu yang memang tidak mengerti pokok permasalahannya, namun tadi ia sempat mendengar suara teriakan keras Nila."Jadi begini, Pak. Aretha tadi ingin minta warna lain dari baju ini, namun mbaknya mungkin sudah lelah ya, jadi dia marah-marah pada sahabat saya dan mengira sahabat saya hanya mengerjainya saja, padahal sahabat saya ini sudah membeli banyak baju lo, itu buktinya di atas m
Setelah puas berbelanja, Aretha dan Lina langsung pergi menuju parkiran, Aretha tidak jadi membeli kebutuhan pokok sehari-hari karena ia mendengar bahwa Fauzan sudah tidak bekerja lagi di bagian itu.Namun, siapa yang menduga jika Aretha tetap bisa bertemu dengan mantan suaminya, sebab saat ini Fauzan telah berlari menyusul langkahnya."Retha, ... Retha, ... tunggu!" teriak Fauzan di lorong basemen tersebut.Mendengar suara yang tidak asing di telinganya, Aretha sontak berhenti, lalu kemudian segaris senyum muncul di bibirnya yang tipis sebelum ia membalikkan tubuhnya."Tunggu ...." ujar Fauzan seraya terengah-engah.Aretha tersenyum, lalu ia mengatakan, "Ada apa?"Mendengar suara datar istrinya, hati Fauzan sontak mencelos, namun ia buru-buru tersenyum dan menanyakan kabar Aretha dengan ramah."Retha, bagaimana kabarmu? Lama tidak bertemu, kamu sekarang jadi jauh lebih cantik ya," puji Fauzan apa adanya. Ya, Fauzan memang bisa melihat perbedaan Aretha, begitu juga dengan orang-orang