Di depan cermin aku mematut diri, memindai wajah yang telah tersentuh make up tipis. Lipstik warna nude tak luput menghiasi bibir hingga terlihat lebih menyala. Ya. Seperti janji tadi siang, malam ini aku menyanggupi jalan dengan Alvin. Entah mau mengajakku ke mana sampai kakak sepupuku itu meminta untuk berdandan secantik mungkin. Menyambar sling bag yang telah kusiapkan di atas ranjang, aku melangkah ke luar menemui Alvin. Lelaki itu telah menunggu di teras. “Sudah siap, Lintang?” Alvin bangkit sembari melempar senyum. “Iya.” Aku mengangguk sembari memperhatikan penampilannya. Malam ini ada yang berbeda dari penampilan Alvin. Dia terlihat lebih maskulin mengenakan setelan kemeja batik hitam dipadukan dengan celana jeans warna senada. Terpaku, aku kembali memperhatikan lelaki yang berdiri tak jauh dariku. Rambut yang tercukur rapi, bibir yang kemerahan alami serta hidung yang mancung cukup untuk membuat mata perempuan terpesona. Sama halnya denganku yang notabene adik sepupu.
Tiga hari ini toko Bu Sri sangat ramai oleh pembeli. Namun, separuh di antaranya adalah orang suruhan Alvin. Ya. Mereka sengaja dibayar untuk berbelanja sebanyak mungkin di toko sebelah. Tentu saja biar dagangan mereka lekas habis dan aku meraup banyak untung. Bu Sri dan Gea sehari bisa tiga kali menghampiriku. Mereka selalu menghina bahkan mengatakan aku tak becus mengurus toko. Aku yang sedang menjalankan misi hanya diam saja berusaha bersikap seolah kalah, padahal dalam hati tertawa girang melihat kebodohan mereka. Pagi ini toko Bu Sri terlihat sepi. Aku menghampiri sekedar melongok dagangan mereka. Benar saja. Dagangan yang semula banyak, kini habis hampir tak bersisa. Beberapa etalase malah kosong melompong. “Ngapain kamu ke sini?” seru Gea saat melihatku datang. “Enggak kok. Pengin lihat saja,” sahutku asal. “Oh... kamu mau mengintip konsep tokoku ya? Kreatif dong! Jangan ikut-ikutan doang,” ejeknya. Aku mencebikkan bibir mendengar celoteh Gea. Mana mungkin meniru, sedan
“Aku diblokir, Vin!” gerutuku.“Loh ... kok bisa?” Alvin mengernyit dengan sepasang mata menatap lekat pada gawai di tanganku.Tak menyahut, aku fokus melihat akun facebook Nita, melihat-lihat aktivitasnya di dunia maya.Sepasang bola mataku terbelalak sempurna saat melihat sebuah foto undangan dengan caption ‘hari yang kutunggu’. Penasaran, ku-klik foto itu agar bisa melihat lebih jelas.Gemuruh di dada semakin menggema saat membaca tulisan dalamfoto tersebut. Di situ tertera nama Nita dan Arya yang akan melangsungkan pernikahan besok siang. Seketika tubuh gemetar. Emosi membuncah dan mata terasa memanas melihat kenyataan ini.Sama sekali tak menduga Nita yang sudah kuanggap saudara sendiri tega menikung. Ini sebuah pengkhianatan yang luar biasa.“Kamu kenapa, Lintang?” tanya Alvin.Kelu, aku tak menjawab pertanyaan Alvin. Namun, air mata yang luruh cukup jelas untuk menggambarkan perasaan ini.Lalu, lelaki itu meraih ponsel dari tangan kemudian memindai layar.“Astaga! Ini Nita tem
Setelah melalui sedikit perdebatan, akhirnya diputuskanhanya aku dan Alvin saja yang datang ke pesta pernikahan mereka. Sempat Mamabersikukuh ikut, tapi aku khawatir dia mengamuk di sana. Tentu akan membuatkami semua malu.“Kamu ke salon dulu, Lintang. Dandan secantik mungkin biarArya menyesal sudah meninggalkan perempuan secantik kamu,” saran Mama.“Sepertinya enggak perlu, Tante! Lintang sudah terlihat cantikwalau tanpa make up. Malah kesannya lebih natural,” puji Alvin.Jika hati tak sedang didera luka, barangkali aku sudahtertawa mendengar pujian Alvin. Atau mungkin merasa tersanjung meski tahu diahanya bercanda.“Aku dandan sendiri saja! Percuma dong punya salon kalau gakpinter dandan,” sahutku.Mereka berdua setuju. Yang terpenting adalah aku bisa tetaptersenyum saat bertemu dua pengkhianat itu di pelaminan.Lalu, aku beranjak ke kamar, sedangkan Alvin kubiarkanmengobrol dengan Mama. Sebentar aku menghempas tubuh di atas ranjang sekedarmelepas letih yang mendera raga, memikirkan
Pagi. Aku menyambut dengan sedikit harapan, tak yakin mamputersenyum setelah semua yang kulewati. Jika bukan karena ingin menyelesaikan urusandengan mereka, tentu akan lebih memilih menyendiri di kamar. Sunyi, sepi.Berpakaian rapi, aku mengetuk pintu kamar Mama. Tak lama,perempuan yang selalu menguatkan hati itu menyembul dari balik pintu.“Ma, kita berangkat bareng yuk!” ajakku.“Loh ... kamu mau ke salon? Terus Alvin gimana?” tanya Mama.Astaga! Saking sibuknya memikirkan perasaan sendiri akusampai lupa kalau Alvin masih di rumah ini. Betapa egoisnya aku yang abaidengannya, padahal dia sudah banyak membantu.“Sekarang Alvin di mana, Ma?”“Tadi sih di teras. Coba kamu lihat!”Tanpa permisi aku melangkah cepat ke luar rumah. Benar,Alvin sedang termenung di teras dengan wajah terlihat murung.“Vin,” sapaku.Lelaki itu menoleh.“Maaf ya dari kemarin aku di kamar terus,” ucapku penuh rasabersalah.“Enggak apa-apa kok. Lagian kan kamu juga butuh waktusendiri,” sahutnya.“Tapi kamu enggak
Mobil yang kami kendarai meluncur pelan meninggalkan pelataran parkir salon. Alvin, lelaki yang duduk di balik setir, pandangannya lurus berkonsentrasi. Hampir lima menit berkendara, Alvin tak kunjung membuka suara, sekedar berbasa-basi atau menanyakan tujuan setelah ini. Kami terpaku dalam kebisuan.“Kamu enggak suka caraku memperlakukan mereka ya?” tanyaku memecah keheningan. Sebentar Alvin menoleh, lalu kembali fokus. “Enggak kok. Justru aku salut sama kamu,” “Salut kenapa?” cecarku. “Ya salut. Kamu bisa tenang saat menghadapi dua pengkhianat itu. Mungkin kalau aku yang jadi kamu, ceritanya akan lain,” ungkapnya. “Ya mau gimana lagi, Vin. Semalam aku merenung. Yang kamu katakan benar bahwa seharusnya aku bersyukur enggak jadi menikah dengan Arya. Rupanya dia hanya menginginkan uangku saja!” Selama pacaran dengan Arya, memang selalu aku yang mengeluarkan uang setiap kami jalan. Bahkan tak jarang dia meminta uang padaku. Itulah yang membuatku berasumsi kalau dia hanya mengakal
“Jadi gimana, Vin? Kapan kita lapor polisi?” Membiasakandiri mengambil keputusan dengan meminta pertimbangannya, aku memohon pendapat.“Entar deh! Kita selidiki sendiri dulu. Kalau gagal barulapor polisi. Soalnya aku merasa ini pasti ada campur tangan orang dekat.”Alvin mengedarkan pandangan menatap tiga karyawan bergantian.Mereka bertiga terperangah. Bias kemarahan terpancar jelasdari raut wajah mereka.“Kamu mencurigai kami, Vin?” tanya Rina.“Keterlaluan kamu, Vin!” umpat karyawan lainnya.Alvin, lelaki itu menyapu wajah, membuang nafas kasar.“Bukan! Bukan kalian, tapi orang lain,” jelasnya seperti takenak hati.“Oh ... aku pikir kamu mencurigai kami,” ungkap Rina yang wajahnyasedikit tenang.“Enggak mungkin aku curiga dengan kalian. Kalian itu temanterbaikku,” sahut Alvin.“Syukurlah kalau begitu,” ucap Rina, melempar senyum.Sejak tadi aku mengamati obrolan mereka yang terkesan akrab.Entah kenapa aku tak suka ada perempuan yang dekat dengan Alvin, apalagi sampaisenyum-senyum be
Mobil yang kami kendarai berhenti tepat di halaman rumah Bu Sri. Meski jarak tak terlalu jauh, kami terpaksa menggunakan kendaraan ini sebab motor Alvin tertinggal di rumahku.Kompak, kami turun lalu naik ke teras, tapi sebelum sempat mengetuk pintu, pemilik rumah lebih dulu keluar bersama suaminya. Mereka kaget melihat kedatangan kami.“Ngapain kamu ke sini? Belum puas menghancurkan semuausahaku? Atau mau pamer?” Berkacak pinggang, Papa menatapku penuh amarah.Niat baik belum tentu disambut baik juga. Padahal kami inginberbicara secara kekeluargaan. Namun, sambutan mereka sungguh tak mengenakkan.“Maaf, Om! Ada yang harus kita bicarakan,” ucap Alvin,sopan.Mereka berdua saling pandang lalu sama-sama berganti menatapkami. Sorot mata keduanya dipenuhi kebencian, terutama Bu Sri.“Enggak ada yang perlu dibicarakan. Mending kalian pergidari sini sebelum kami teriak!” usir Bu Sri.“Yakin kalian mau mengusir kami?” tantangku.“Tentu saja! Imi rumah kami, jadi bebas mengusir siapa pundari s