Share

HAMPIR EMOSI

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-02-23 17:43:13

Mencoba abai dengan ucapan Gea, aku mengekori langkah Papa masuk ke dalam. Kuedarkan pandangan ke sekeliling melihat ruang tamu yang baru pertama kusinggah. Dari kemarin tak pernah mereka mengajak masuk. 

“Ngapain lihat-lihat? Enggak pernah masuk ke rumah mewah ya?” ejek Hana dengan setengah tertawa. 

Aku mencebikkan bibir. Lantai keramik saja sudah sesombong ini, apalagi kalau yang lebih bagus. Bisa-bisa dia semakin sombong. 

Sebenarnya aku ingin membalas ucapan Gea, tapi lebih memilih diam karena sedang mengikuti permainan mereka. 

“Duduk!” ucap Bu Sri setengah membentak. 

Aku tak heran karena susah menduga hal ini. Sikap baik yang dia tunjukkan di depan Bude hanya palsu belaka. Dan aku sudah menduganya. 

Aku menurut. Duduk di sofa mengikuti mereka. 

“Kamu duduk di bawah. Tak pantas di situ!” bentak Gea. 

Diam, aku menoleh pada Papa. Lelaki itu seperti tak nyaman dengan ucapan anaknya, tapi sayangnya dia bergeming, tak berusaha membelaku. Apa begitu cara menjadi seorang Bapak?

Lalu, aku menurut. Duduk menghinakan diri di depan mereka. Biar saja merasa menang dulu, nanti kalau sudah saatnya, akan kubuat mereka jatuh miskin. 

Lalu, Bu Sri bangkit, berdiri dan masuk semakin ke dalam. Tak lama dia kembali dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Dia duduk di tempat semula setelah meletakkan benda itu di atas meja tepat di depanku. 

“Tanda tangani itu!” ucap Bu Sri sembari memberikan pulpen. 

“Maaf, ini apa ya?” tanyaku pura-pura bodoh. 

“Tanda tangan saja! Itu surat pernyataan kalau kamu tak akan pernah meminta warisan!” tegasnya. 

Astaga! Sampai sekhawatir itu dia kehilangan hartanya. Bahkan cara kotor seperti ini tetap dia lakukan. Uniknya, Papa diam saja melihat kelakuan istrinya. 

“Tapi, Bu ...” Aku memasang wajah panik agar terkesan lebih natural. 

“Turuti saja! Jika tidak, kamu akan kubuat sengsara!” ancam Bu Sri. 

“B-baik, Bu!” ucapku tergagap. 

Lalu, aku mengambil pulpen dari tangannya dan segera membubuhkan beberapa tanda tangan di atas kertas yang telah ditempeli beberapa lembar materai. 

Bu Sri dan Gea tersenyum puas setelah keinginannya kupenuhi. Lain halnya dengan Papa yang seperti iba melihatku. Namun, percuma saja Papa menaruh belas kasihan jika hanya diam melihat kesewenang-wenangan ini. 

Dalam hati aku tertawa melihat lelucon ini. Mungkin mereka merasa aku telah menandatangani surat tersebut, padahal hanya berupa coretan yang tak sama dengan tanda tanganku. Jadi, tak ada hal yang membuktikan keabsahan tanda tangan itu. Apalagi tak kulihat cctv di semua sudut ruang tamu. 

Lagian, kalaupun benar kekayaan Papa berhasil mereka kuasai,  aku tak peduli. Sebab, aku akan menghancurkan  mereka sampai sehancur-hancurnya. Semua yang mereka miliki akan sirna. Akan kubuat mereka menyesal karena berani menginjak-injak harga diriku seperti ini. 

“Sekarang, kamu boleh istirahat. Besok harus bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan buat kami,” ucap Bu Sri kemudian. 

Rupanya mereka ingin menjadikanku pembantu di rumah ini. Sama sekali tak ada niat menganggapku keluarga seperti yang mereka sampaikan waktu di rumah Bude. Hal ini semakin membuatku mantap untuk menghancurkan mereka. 

Kemudian aku bangkit, berdiri lalu mengekori Gea yang akan menunjukkan kamarku. Langkah kami terhenti di depan sebuah ruangan yang letaknya di belakang dapur. Gea membuka pintu hingga terlihat pemandangan yang luar biasa. 

Sebuah ruangan berukuran sempit dengan beberapa tumpuk barang bekas hampir di seluruh sudut kamar. Ah... ini lebih tepat disebut gudang. 

“Ini kamarmu!” ucap Gea terkekeh. 

“Apa tak ada tempat yang lebih buruk lagi?” sindirku. 

Gea terperangah. Barangkali dia pikir aki akan mengiba agar diberikan kamar yang layak. Sayangnya itu tak kulakukan. 

“Jangan banyak omong! Tempati saja kamar ini!” Gea mendengkus kesal lalu beranjak pergi.

Sambil terus berusaha menahan emosi, aku  masuk ke dalam dan duduk di antara tumpukan kardus belas. Perlakuan mereka sungguh sudah kelewat batas. 

Tak lama, kurasakan ponselku bergetar. Gegas kukeluarkan benda pipih dari saku celana jeans lalu melihatnya. 

Sebuah pesan w******p dari Alvin terpampang di layar ponsel.

[Kamu enggak diapa-apain kan?]

[Enggak. Cuma disuruh tidur di gudang.] Balasku melalui aplikasi yang sama. 

Tak lama, sebuah pesan balasan kembali masjk ke dalam ponsel. 

[Astaga! Mereka keterlaluan.  Aku jemput sekarang!]

Buru-buru aku mengetik pesan balasan sebelum Alvin datang ke sini. 

[Nanti saja! Tunggu mereka tidur, biar saat bangun kaget karena aku gak ada]

[OK. Tapi kamu harus jaga diri. Takutnya mereka menyakiti kamu.]

Aku tersenyum membaca pesan tersebut. Alvin yang baru kenal sehari saja begitu khawatir dengan keadaanku, tapi kekasihku sendiri malah sari kemarin belum menanyakan kabar. Padahal, salah satu alasanku datang ke kota ini demi hubungan kami. 

Ya. Orang tua Arya-kekasihku tak merestui cinta kami lantaran aku dianggap gadis tak bernasab. Makanya aku mencari keberadaan Papa demi keberlangsungan hubungan kami. Sayangnya, Arya malah enggak mau menemani. Bahkan berkabar pun tidak.  

*** 

Menjelang tengah malam aku mengendap-endap keluar lewat pintu belakang sembari membawa botol bekas. Tentu saja setelah menghubungi Alvin meminta untuk dijemput. Sampai di depan, Alvin telah bersiap di motor. 

“Minta bensinnya sedikit, Vin!” ucapku yang dikuasai amarah. 

“Buat apa?” tanyanya heran. 

“Bakar rumah ini. Biar semua cepat selesai!” sahutku. 

“Gilla kamu! Enggak usah macam-macam! Buruan ikut!” 

“Enggak! Mereka harus hancur sekarang juga!” Aku bersikukuh dengan pendapatku. 

“Mikiir dong! Kamu juga akan hancur. Kalau mau membalas, pakai otak! Bukannya kamu sudah punya rencana soal ruko itu?” 

Astaga! Saking emosinya sampai aku tak bisa berpikir jernih padahal sudah kususun rencana menghancurkan mereka tanpa mengotori tangan. Untung saja Alvin mengingatkan, jadi tak sampai gegabah. 

Akhirnya aku menurut kata Alvin. Pulang bersama ke rumah. Setelah sampai, kami langsung membicarakan rencana yang akan kami lakukan untuk menyaingi usaha mereka. Walau aku harus banyak merogoh kocek, itu tak masalah. Anggap saja persaingan bisnis. 

“Jadi Papa hanya punya dua usaha andalan?” tanyaku setelah Alvin menceritakan sumber pemasukan mereka. 

“Iya, hanya ruko itu dan sebagai tengkulak hasil panen,” jelasnya. 

Soal Ruko, aku sudah punya rencana, tapi yang satunya belum ada. 

Aku memutar otak berusaha berkonsentrasi demi mendapat ide brilian. Namun, sampai lama, ide itu tak kunjung muncul. 

“Kamu ada ide enggak, Vin? Bantu dong!” ucapku. 

“Gimana ya, palingan kamu ikut menyaingi jadi tengkulak. Beli dengan harga yang lebih tinggi, pasti semua akan jual ke kamu,” ungkapnya. 

“Terus barangnya mau diapain? Jual ke mana?” tanyaku bingung. 

Untuk urusan barang dagangan toko, aku dengan mudah bisa mengurusnya, tapi kalau hasil panen sama sekali aku tak paham. 

“Nanti aku bantu. Aku punya beberapa kenalan yang menggeluti usaha itu,” sanggupnya. 

Akhirnya aku bernapas lega karena telah sukses menyusun rencana. Langkah selanjutnya tinggal eksekusi. 

Tanpa terasa kami mengobrol sampai jam tiga dini hari. Alvin banyak bercerita tentang kisah asmaranya yang selalu kandas karena materi. Dalam hati aku berjanji akan membantunya sampai dia sukses, setidaknya tak dipandang sebelah mata oleh perempuan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status