Share

HAMPIR EMOSI

Mencoba abai dengan ucapan Gea, aku mengekori langkah Papa masuk ke dalam. Kuedarkan pandangan ke sekeliling melihat ruang tamu yang baru pertama kusinggah. Dari kemarin tak pernah mereka mengajak masuk. 

“Ngapain lihat-lihat? Enggak pernah masuk ke rumah mewah ya?” ejek Hana dengan setengah tertawa. 

Aku mencebikkan bibir. Lantai keramik saja sudah sesombong ini, apalagi kalau yang lebih bagus. Bisa-bisa dia semakin sombong. 

Sebenarnya aku ingin membalas ucapan Gea, tapi lebih memilih diam karena sedang mengikuti permainan mereka. 

“Duduk!” ucap Bu Sri setengah membentak. 

Aku tak heran karena susah menduga hal ini. Sikap baik yang dia tunjukkan di depan Bude hanya palsu belaka. Dan aku sudah menduganya. 

Aku menurut. Duduk di sofa mengikuti mereka. 

“Kamu duduk di bawah. Tak pantas di situ!” bentak Gea. 

Diam, aku menoleh pada Papa. Lelaki itu seperti tak nyaman dengan ucapan anaknya, tapi sayangnya dia bergeming, tak berusaha membelaku. Apa begitu cara menjadi seorang Bapak?

Lalu, aku menurut. Duduk menghinakan diri di depan mereka. Biar saja merasa menang dulu, nanti kalau sudah saatnya, akan kubuat mereka jatuh miskin. 

Lalu, Bu Sri bangkit, berdiri dan masuk semakin ke dalam. Tak lama dia kembali dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Dia duduk di tempat semula setelah meletakkan benda itu di atas meja tepat di depanku. 

“Tanda tangani itu!” ucap Bu Sri sembari memberikan pulpen. 

“Maaf, ini apa ya?” tanyaku pura-pura bodoh. 

“Tanda tangan saja! Itu surat pernyataan kalau kamu tak akan pernah meminta warisan!” tegasnya. 

Astaga! Sampai sekhawatir itu dia kehilangan hartanya. Bahkan cara kotor seperti ini tetap dia lakukan. Uniknya, Papa diam saja melihat kelakuan istrinya. 

“Tapi, Bu ...” Aku memasang wajah panik agar terkesan lebih natural. 

“Turuti saja! Jika tidak, kamu akan kubuat sengsara!” ancam Bu Sri. 

“B-baik, Bu!” ucapku tergagap. 

Lalu, aku mengambil pulpen dari tangannya dan segera membubuhkan beberapa tanda tangan di atas kertas yang telah ditempeli beberapa lembar materai. 

Bu Sri dan Gea tersenyum puas setelah keinginannya kupenuhi. Lain halnya dengan Papa yang seperti iba melihatku. Namun, percuma saja Papa menaruh belas kasihan jika hanya diam melihat kesewenang-wenangan ini. 

Dalam hati aku tertawa melihat lelucon ini. Mungkin mereka merasa aku telah menandatangani surat tersebut, padahal hanya berupa coretan yang tak sama dengan tanda tanganku. Jadi, tak ada hal yang membuktikan keabsahan tanda tangan itu. Apalagi tak kulihat cctv di semua sudut ruang tamu. 

Lagian, kalaupun benar kekayaan Papa berhasil mereka kuasai,  aku tak peduli. Sebab, aku akan menghancurkan  mereka sampai sehancur-hancurnya. Semua yang mereka miliki akan sirna. Akan kubuat mereka menyesal karena berani menginjak-injak harga diriku seperti ini. 

“Sekarang, kamu boleh istirahat. Besok harus bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan buat kami,” ucap Bu Sri kemudian. 

Rupanya mereka ingin menjadikanku pembantu di rumah ini. Sama sekali tak ada niat menganggapku keluarga seperti yang mereka sampaikan waktu di rumah Bude. Hal ini semakin membuatku mantap untuk menghancurkan mereka. 

Kemudian aku bangkit, berdiri lalu mengekori Gea yang akan menunjukkan kamarku. Langkah kami terhenti di depan sebuah ruangan yang letaknya di belakang dapur. Gea membuka pintu hingga terlihat pemandangan yang luar biasa. 

Sebuah ruangan berukuran sempit dengan beberapa tumpuk barang bekas hampir di seluruh sudut kamar. Ah... ini lebih tepat disebut gudang. 

“Ini kamarmu!” ucap Gea terkekeh. 

“Apa tak ada tempat yang lebih buruk lagi?” sindirku. 

Gea terperangah. Barangkali dia pikir aki akan mengiba agar diberikan kamar yang layak. Sayangnya itu tak kulakukan. 

“Jangan banyak omong! Tempati saja kamar ini!” Gea mendengkus kesal lalu beranjak pergi.

Sambil terus berusaha menahan emosi, aku  masuk ke dalam dan duduk di antara tumpukan kardus belas. Perlakuan mereka sungguh sudah kelewat batas. 

Tak lama, kurasakan ponselku bergetar. Gegas kukeluarkan benda pipih dari saku celana jeans lalu melihatnya. 

Sebuah pesan w******p dari Alvin terpampang di layar ponsel.

[Kamu enggak diapa-apain kan?]

[Enggak. Cuma disuruh tidur di gudang.] Balasku melalui aplikasi yang sama. 

Tak lama, sebuah pesan balasan kembali masjk ke dalam ponsel. 

[Astaga! Mereka keterlaluan.  Aku jemput sekarang!]

Buru-buru aku mengetik pesan balasan sebelum Alvin datang ke sini. 

[Nanti saja! Tunggu mereka tidur, biar saat bangun kaget karena aku gak ada]

[OK. Tapi kamu harus jaga diri. Takutnya mereka menyakiti kamu.]

Aku tersenyum membaca pesan tersebut. Alvin yang baru kenal sehari saja begitu khawatir dengan keadaanku, tapi kekasihku sendiri malah sari kemarin belum menanyakan kabar. Padahal, salah satu alasanku datang ke kota ini demi hubungan kami. 

Ya. Orang tua Arya-kekasihku tak merestui cinta kami lantaran aku dianggap gadis tak bernasab. Makanya aku mencari keberadaan Papa demi keberlangsungan hubungan kami. Sayangnya, Arya malah enggak mau menemani. Bahkan berkabar pun tidak.  

*** 

Menjelang tengah malam aku mengendap-endap keluar lewat pintu belakang sembari membawa botol bekas. Tentu saja setelah menghubungi Alvin meminta untuk dijemput. Sampai di depan, Alvin telah bersiap di motor. 

“Minta bensinnya sedikit, Vin!” ucapku yang dikuasai amarah. 

“Buat apa?” tanyanya heran. 

“Bakar rumah ini. Biar semua cepat selesai!” sahutku. 

“Gilla kamu! Enggak usah macam-macam! Buruan ikut!” 

“Enggak! Mereka harus hancur sekarang juga!” Aku bersikukuh dengan pendapatku. 

“Mikiir dong! Kamu juga akan hancur. Kalau mau membalas, pakai otak! Bukannya kamu sudah punya rencana soal ruko itu?” 

Astaga! Saking emosinya sampai aku tak bisa berpikir jernih padahal sudah kususun rencana menghancurkan mereka tanpa mengotori tangan. Untung saja Alvin mengingatkan, jadi tak sampai gegabah. 

Akhirnya aku menurut kata Alvin. Pulang bersama ke rumah. Setelah sampai, kami langsung membicarakan rencana yang akan kami lakukan untuk menyaingi usaha mereka. Walau aku harus banyak merogoh kocek, itu tak masalah. Anggap saja persaingan bisnis. 

“Jadi Papa hanya punya dua usaha andalan?” tanyaku setelah Alvin menceritakan sumber pemasukan mereka. 

“Iya, hanya ruko itu dan sebagai tengkulak hasil panen,” jelasnya. 

Soal Ruko, aku sudah punya rencana, tapi yang satunya belum ada. 

Aku memutar otak berusaha berkonsentrasi demi mendapat ide brilian. Namun, sampai lama, ide itu tak kunjung muncul. 

“Kamu ada ide enggak, Vin? Bantu dong!” ucapku. 

“Gimana ya, palingan kamu ikut menyaingi jadi tengkulak. Beli dengan harga yang lebih tinggi, pasti semua akan jual ke kamu,” ungkapnya. 

“Terus barangnya mau diapain? Jual ke mana?” tanyaku bingung. 

Untuk urusan barang dagangan toko, aku dengan mudah bisa mengurusnya, tapi kalau hasil panen sama sekali aku tak paham. 

“Nanti aku bantu. Aku punya beberapa kenalan yang menggeluti usaha itu,” sanggupnya. 

Akhirnya aku bernapas lega karena telah sukses menyusun rencana. Langkah selanjutnya tinggal eksekusi. 

Tanpa terasa kami mengobrol sampai jam tiga dini hari. Alvin banyak bercerita tentang kisah asmaranya yang selalu kandas karena materi. Dalam hati aku berjanji akan membantunya sampai dia sukses, setidaknya tak dipandang sebelah mata oleh perempuan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status