Mencoba abai dengan ucapan Gea, aku mengekori langkah Papa masuk ke dalam. Kuedarkan pandangan ke sekeliling melihat ruang tamu yang baru pertama kusinggah. Dari kemarin tak pernah mereka mengajak masuk. “Ngapain lihat-lihat? Enggak pernah masuk ke rumah mewah ya?” ejek Hana dengan setengah tertawa. Aku mencebikkan bibir. Lantai keramik saja sudah sesombong ini, apalagi kalau yang lebih bagus. Bisa-bisa dia semakin sombong. Sebenarnya aku ingin membalas ucapan Gea, tapi lebih memilih diam karena sedang mengikuti permainan mereka. “Duduk!” ucap Bu Sri setengah membentak. Aku tak heran karena susah menduga hal ini. Sikap baik yang dia tunjukkan di depan Bude hanya palsu belaka. Dan aku sudah menduganya. Aku menurut. Duduk di sofa mengikuti mereka. “Kamu duduk di bawah. Tak pantas di situ!” bentak Gea. Diam, aku menoleh pada Papa. Lelaki itu seperti tak nyaman dengan ucapan anaknya, tapi sayangnya dia bergeming, tak berusaha membelaku. Apa begitu cara menjadi seorang Bapak?Lalu,
Dering nada panggilan dari ponsel membuatku terjaga dari tidur yang belum berapa lama. Meski mata masih terasa lengket, aku meraba benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah kontak yang kuberi nama ‘Mama’ terpampang di layar. Gegas aku menggeser tombol berwarna hijau lalu mulai menyapa. “Iya, Ma!” ucapku memulai obrolan. “Gimana? Kamu sudah ketemu Papa kan?” tanya suara dari seberang sana. “Iya ... sudah,” “Terus, apa keluarga Papa menerimamu?” Pertanyaan Mama memaksa otak berpikir keras. Jika bilang diperlakukan buruk, sudah pasti Mama akan meminta lekas pulang. Tentu tak ada kesempatan membalas Papa dan keluarganya. “Iya, Ma! Papa menerimaku. Mereka sangat sayang,” ucapku berusaha menutupi fakta. “Alhamdulillah ... akhirnya Papa mau mengakui juga,” ucap Mama. “Mengakui bagaimana?” tanyaku kemudian. “Ya kan dulu Papa tak mengakuimu sebagai anak. Tapi itu hanya masa lalu. Yang penting sekarang semua sudah selesai,” jelas Mama. Astaga! Pantas saja perlakuan Papa seperti
Aku menyeka sudut mata yang mulai digenangi bulir bening. Membayangkan Nita berkhianat saja sudah sangat menyakitkan apalagi kalau benar terjadi. Bisa-bisa aku depresi. “Ah ... semoga tak seperti itu.” Aku bermonolog mencoba menepis syak wasangka. Saat sedang sibuk menenangkan hati, terdengar derit pintu yang terbuka. Aku menoleh pada sumber suara tersebut. Rupanya Alvin yang membuka. Lelaki itu melangkah masuk tanpa permisi. Tatapannya tak henti menyapu wajah memindaiku. Jujur. Aku tak suka siapa pun masuk kamar tanpa permisi. Bagiku kamar adalah tempat paling privasi. Apalagi dia seorang lelaki. Tentu saja sangat mungkin melihat sesuatu yang tak pantas. Atau memang dia sengaja ingin mengintip?“Kamu kenapa nangis, Lintang?” tanyanya setelah dekat. Abai dengan pertanyaannya, aku justru balik bertanya dengan nada suara setengah membentak. “Kenapa kamu masuk tanpa permisi? Enggak sopan tahu!” Alvin terkesiap. Sejenak kulihat raut bersalah di wajahnya. “Maaf! Aku sudah lebih dari
Menjelang magrib kami baru pulang dari pasar. Sebenarnya pembeli masih ada karena letak toko kami ada di pinggir jalan raya. Namun, demi membagi waktu beristirahat kami sepakat buka pukul tujuh, tutup pukul 17:00. Tadi, saat di jalan sengaja kami membeli lauk. Kasihan Bude jika harus menyiapkan makan malam buat kami, apalagi dia juga harus menjaga toko sepanjang hari. Tersenyum puas, aku menghempaskan tubuh letih ini di atas pembaringan. Masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana wajah Bu Sri saat mengetahui bahwa perempuan yang dihina, kini memiliki toko tepat di sebelahnya. Setelah penat berkurang, aku baru keluar kamar. Alvin dan Bude sedang mengobrol di ruang depan. Kuayunkan langkah mendekati mereka lalu duduk di sebelah Bude. “Kebetulan kamu keluar, Lintang. Ada yang mau Bude tanyakan,” ujar Bude. “Tanya apa?” “Akhir-akhir ini kalian selalu pergi pagi pulang sore. Sebenarnya kalian ke mana sih?” tanya Bude. Aduh! Rupanya Bude sudah mulai curiga dengan aktivitas kami, pad
Tergagap saat mendengar bunyi ketukan pintu, aku bangkit dan menyeka sudut mata. Tak ada yang boleh tahu kalau hati ini menjerit sakit atas ucapan Papa.“Iya. Masuk saja!” sahutku dengan suara sumbang. Tak lama pintu terbuka. Alvin melongok dengan senyum khasnya. “Bisa kita bicara sebentar?” tanyanya. Aku mengernyit heran, tapi akhirnya mengangguk mengiyakan permintaannya. “Bisa. Sini masuk!” ajakku berusaha menyembunyikan kekalutan.“Di luar saja,” tolaknya halus. “Loh, kenapa enggak di sini saja?” tanya Alvin. “Aku lelaki normal, Lintang. Apalagi kamu itu cantik.” Lelaki itu menaik turunkan alis menggoda. Sudut bibirnya tertarik ke atas hingga menampakkan sebagian gigi. Entah apa maksud pernyataannya, tapi yakin dia hanya ingin menghibur. Aku bangkit, beranjak mendekat. Lalu, berjalan beriringan dan berhenti di teras. “Ada apa, Vin?” tanyaku setelah kami duduk. Lelaki itu menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan. Detik berikutnya dia menoleh. “Aku tahu kamu
Menjelang pukul tiga sore, kami sudah mendapat dua pick up penuh aneka hasil panen. Niko bilang tak lama lagi saatnya berangkat menjual semuanya. Aku yang belum berpengalaman tentu saja tertarik ikut langsung sekalian mencari suasana baru. “Yuk, Vin! Kita harus berangkat sekarang. Aku sudah janji sama yang mau beli nanti kita ketemu di pasar induk,” ajak Niko yang sudah selesai menata semua dagangan. “Gimana, Lintang? Kamu ikut atau aku antar pulang?” tanya Alvin. “Ikut dong, sekalian healing,” jawabku asal. “Kita mau kerja, bukan jalan-jalan.” Alvin mencibir. Mungkin bagi mereka ini semata soal pekerjaan, tapi bagiku yang belum pernah melakukan hal seperti ini, tentu saja akan menjadi pengalaman baru. Bukankah ini terbilang healing. “Iya,” sahutku. Lalu, Niko dan Bima masuk ke dalam mobil yang sama, sedangkan aku dan Alvin berdua dalam mobil pick up warna hitam. Memejam sejenak, Aku menyandarkan punggung pada sandaran jok. Satu hal yang membuatku gelisah adalah tidak hadirnya
Seperti biasa, aku bangun saat fajar subuh tiba. Menjalani rutinitas sebagai makhluk, memuji Dia dengan segala keagungan-Nya. Sebentar kemudian aku berkemas, bersiap pergi ke toko. Setelah kemarin seharian tak datang, tentu aku tak sabar ingin bertemu Bu Sri-perempuan yang akan kubungkam mulutnya dengan kesuksesan. “Yuk berangkat, Vin!” ajakku pada lelaki yang sedang menikmati kopi di teras. “Loh ... kan kita menjalankan tugas masing-masing,” sahut Alvin. Tersadar, hari ini kami memang beda tujuan. Namun, entah mengapa rasanya sepi jika tak ada Alvin, padahal belum lama saling mengenal. “Terus gimana dong? Aku jalan kaki?” Aku memasang wajah cemberut. “Emang kuat?” ledeknya disertai sedikit tawa. Astaga! Ini lelaki enggak peka banget. Ya jelas enggak mungkin jalan kaki. Yang ada belum sampai ruko sudah pingsan dulu. “Dikuat-kuatin aja!” ketusku. Melipat tangan di depan dada, aku memalingkan wajah dari lelaki itu, meski tak kunjung beranjak. “Cie ... ngambek,” ledeknya, “ya
Di depan cermin aku mematut diri, memindai wajah yang telah tersentuh make up tipis. Lipstik warna nude tak luput menghiasi bibir hingga terlihat lebih menyala. Ya. Seperti janji tadi siang, malam ini aku menyanggupi jalan dengan Alvin. Entah mau mengajakku ke mana sampai kakak sepupuku itu meminta untuk berdandan secantik mungkin. Menyambar sling bag yang telah kusiapkan di atas ranjang, aku melangkah ke luar menemui Alvin. Lelaki itu telah menunggu di teras. “Sudah siap, Lintang?” Alvin bangkit sembari melempar senyum. “Iya.” Aku mengangguk sembari memperhatikan penampilannya. Malam ini ada yang berbeda dari penampilan Alvin. Dia terlihat lebih maskulin mengenakan setelan kemeja batik hitam dipadukan dengan celana jeans warna senada. Terpaku, aku kembali memperhatikan lelaki yang berdiri tak jauh dariku. Rambut yang tercukur rapi, bibir yang kemerahan alami serta hidung yang mancung cukup untuk membuat mata perempuan terpesona. Sama halnya denganku yang notabene adik sepupu.