Share

DIJEMPUT

Sekitar pukul lima sore kami baru sampai di rumah. Tanpa bicara, Alvin langsung menerobos masuk meski Bude menyambut. Tentu saja ini menimbulkan kecurigaan. 

“Alvin kenapa, Lintang? Kok kayak gitu?” tanya Bude dengan sepasang mata mengekori langkah anaknya. 

“Enggak tahu, Bude,” jawabku bohong. 

Sebenarnya aku ingin bercerita kalau kami habis ketemu perempuan yang mungkin kekasih Alvin. Namun, aku khawatir ini justru akan membuat pikirannya semakin kacau. Biar dia saja yang bercerita pada ibunya. 

“Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu, nanti bantu Bude masak,” 

“Iya, Bude.” 

Lalu, aku beranjak masuk ke kamar. Sejenak kurebahkan tubuh di atas ranjang sekedar melepas lelah. Setelah itu, baru beranjak mandi. 

Selepas magrib aku membantu Bude menyiapkan  makan malam. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Tentu saja tak kuceritakan tentang kehidupanku yang lumayan enak. Khawatir dibilang pamer. 

“Tolong panggil Alvin, Lintang!” perintah Bude setelah semua tersaji di meja makan. 

Aku mengangguk lalu melangkah menuju kamar Alvin yang sebenarnya terhubung langsung ke dapur. Entah kenapa Bude menyuruhku memanggil anaknya padahal sedikit berteriak saja pasti terdengar. 

Perlahan, aku mengetuk pintu sembari menyebut nama kakak sepupu. Sejak kejadian sore tadi, dia sama sekali belum keluar kamar. Atau mungkin dia keluar saat aku sedang di dalam kamarku. 

Hening. Meski sudah dua kali memanggil, tak kunjung kudengar sahutan dari dalam. Dengan ragu aku memberanikan diri memutar gagang pintu lalu melongok ke dalam. Rupanya Alvin sedang berbaring terlentang sembari menatap langit-langit kamar. 

“Vin,” panggilku sekali lagi. 

Lelaki berhidung bangir itu bergeming. Pandangannya masih lurus ke atas, seperti sedang melamun. 

Kemudian aku masuk, mendekati lelaki itu. Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar cowok. Bahkan, kamar kekasihku saja aku belum pernah melihat. 

“Vin, dipanggil Bude. Makan dulu yuk!” ajakku sembari menepuk pundaknya. 

Alvin menoleh sejenak, lalu pandangannya kembali tertuju pada plafon. 

“Aku udah kenyang. Kamu saja!” jawabnya. 

Aku paham betul apa yang dia rasakan saat ini. Dikhianati itu menyakitkan karena pernah mengalaminya. Tapi, tak sepantasnya sampai frustasi begitu, apalagi seorang lelaki. 

“Kenyang makan ati ya?” Aku berkelakar berharap dia tak larut oleh sakit hatinya. 

Alvin tersenyum hambar tanpa menoleh. Lalu, dia bangkit dan duduk di tepian ranjang. Aku turut duduk di sebelahnya meski dengan jarak yang lumayan jauh. 

“Semua perempuan itu sama ya. Hanya menilai cinta dari harta saja!” ucapnya dengan nada suara penuh kecewa. 

Aku mengernyit berusaha mencerna kalimatnya. Meski tak paham betul, tapi aku yakin kalau perempuan yang tadi sore itu berselingkuh dengan lelaki yang lebih kaya. 

“Sebagian memang begitu, tapi enggak semua, Vin! Banyak kok perempuan yang tak memandang harta!” jelasku. 

“Perempuan seperti itu hanya ada di novel saja! Di dunia nyata mana ada!” cibirnya. 

“Vin ... aku tahu kamu lagi kecewa, tapi jangan sampai menganggap sama setiap perempuan. Walau tak banyak, masih ada kok yang punya cinta tulus. Percaya deh...!” 

Sepertinya Alvin sampai di titik kecewa terberatnya. Mungkin ini bukan kali pertama dia dikhianati. 

“Sekarang kita makan dulu, Vin! Nanti kita bicara lagi.” Aku bangkit kemudian beranjak ke luar. 

Duduk di depan meja makan, aku dan Bude mulai menyendok nasi. Menikmati olahan yang baru saja kami buat. Sementara Alvin baru keluar setelah kami menghabiskan separuh makanan. 

Selesai makan, Alvin mengajakku mengobrol di teras. Barangkali dia sedang butuh teman, jadi walau kami baru kenal, dia tak segan menceritakan kehidupan pribadinya. 

“Percaya deh, Vin! Jodoh itu Tuhan yang menentukan. Kita hanya bisa berusaha,” ucapku berusaha menghibur. 

Alvin tersenyum getir. “Mungkin aku tak memiliki jodoh. Buktinya tiga kali pacaran tiga kali juga dikhianati.” 

“Enggak boleh bicara begitu. Nanti diaminin malaikat baru baru tahu rasa!” Aku berusaha mencairkan suasana, “yakini saja kalau mereka bukan jodohmu. Mungkin Tuhan sedang menyiapkan jodoh yang jauh lebih baik,” 

Alvin mengangguk seolah paham. Entahlah dengan hatinya. Karena aku tahu mengobati kecewa tak semudah membalikkan telapak tangan. 

Obrolan kami terhenti saat sebuah mobil memasuki pekarangan lalu berhenti di depan kami. Dua orang yang wajahnya tak asing turun lalu mendekat ke arah kami. Ya. Mereka Papa dan istrinya. 

“Assalamu alaikum,” ucap Bu Sri-perempuan yang baru turun dari mobil. 

“Waalaikum salam,” jawabku. 

Meski dia melempar senyum, entah kenapa aki malas membalas. Barangkali karena kadung kecewa dengan sikapnya. 

Kemudian, Alvin mengajak mereka masuk lalu memanggil Bude. Kami semua duduk di ruang tamu. 

“Begini, Mbak! Niat kami ke sini ingin mengajak Lintang tinggal bersama. Biar bagaimanapun dia juga keluarga kami, jadi akan lebih afdol kalau ikut kami,” ucap Bu Sri dengan nada suara terkesan manis. 

Kontan saja aku heran dengan kalimatnya. Tadi siang dia bersikap seperti itu, tapi kenapa bisa berubah secepat ini?

“Enggak! Aku mau di sini saja!” jawabku cepat. 

Tentu saja aku tak mau tinggal bareng mereka. Hati ini sudah kadung sakit. 

“Ayolah, Lintang. Ibu minta maaf soal tadi pagi!” ucap Bu Sri. 

“Iya, kamu kan anak Bapak, jadi tinggal di rumah Bapak saja ya ...,”tambah Papa. 

Semudah itukah minta maaf? Atau memang merek punya rencana jahat? 

“Enggak!” Aku bersikukuh dengan pendirianku. 

Tanpa mengenal lelah, sepasang suami istri itu terus membujuk. Bahkan sampai meminta Bude untuk menasihatiku. 

“Lintang, kamu ikut sama mereka  ya. Beri Bapakmu kesempatan untuk menebus kesalahannya,” bujuk Bude. 

Jika sudah begini, aku tak punya pilihan lain. Mau tak mau akhirnya aku ikut bersama mereka. Toh ... jaraknya hanya beberapa menit dari sini. Jadi kalau ada apa-apa aku bisa ke rumah Bude. 

Kemudian, kami bertiga pamit pada Bude. Sengaja aku tak membawa barang-barangku karena tak yakin akan betah bareng mereka. 

Tak lama, kami sampai di rumah Papa. Mereka turun lalu mengajakku ke dalam. Namun, baru saja hendak masuk, Gea muncul sembari tersenyum lebar menatapku. 

“Selamat datang di nerakamu, Lintang!” ucapnya penuh penekanan. 

Astaga! Ini jebakan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status