Share

DIJEMPUT

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2023-02-06 18:58:36

Sekitar pukul lima sore kami baru sampai di rumah. Tanpa bicara, Alvin langsung menerobos masuk meski Bude menyambut. Tentu saja ini menimbulkan kecurigaan. 

“Alvin kenapa, Lintang? Kok kayak gitu?” tanya Bude dengan sepasang mata mengekori langkah anaknya. 

“Enggak tahu, Bude,” jawabku bohong. 

Sebenarnya aku ingin bercerita kalau kami habis ketemu perempuan yang mungkin kekasih Alvin. Namun, aku khawatir ini justru akan membuat pikirannya semakin kacau. Biar dia saja yang bercerita pada ibunya. 

“Ya sudah, sekarang kamu mandi dulu, nanti bantu Bude masak,” 

“Iya, Bude.” 

Lalu, aku beranjak masuk ke kamar. Sejenak kurebahkan tubuh di atas ranjang sekedar melepas lelah. Setelah itu, baru beranjak mandi. 

Selepas magrib aku membantu Bude menyiapkan  makan malam. Kami banyak mengobrol tentang kehidupan masing-masing. Tentu saja tak kuceritakan tentang kehidupanku yang lumayan enak. Khawatir dibilang pamer. 

“Tolong panggil Alvin, Lintang!” perintah Bude setelah semua tersaji di meja makan. 

Aku mengangguk lalu melangkah menuju kamar Alvin yang sebenarnya terhubung langsung ke dapur. Entah kenapa Bude menyuruhku memanggil anaknya padahal sedikit berteriak saja pasti terdengar. 

Perlahan, aku mengetuk pintu sembari menyebut nama kakak sepupu. Sejak kejadian sore tadi, dia sama sekali belum keluar kamar. Atau mungkin dia keluar saat aku sedang di dalam kamarku. 

Hening. Meski sudah dua kali memanggil, tak kunjung kudengar sahutan dari dalam. Dengan ragu aku memberanikan diri memutar gagang pintu lalu melongok ke dalam. Rupanya Alvin sedang berbaring terlentang sembari menatap langit-langit kamar. 

“Vin,” panggilku sekali lagi. 

Lelaki berhidung bangir itu bergeming. Pandangannya masih lurus ke atas, seperti sedang melamun. 

Kemudian aku masuk, mendekati lelaki itu. Ini pertama kalinya aku masuk ke kamar cowok. Bahkan, kamar kekasihku saja aku belum pernah melihat. 

“Vin, dipanggil Bude. Makan dulu yuk!” ajakku sembari menepuk pundaknya. 

Alvin menoleh sejenak, lalu pandangannya kembali tertuju pada plafon. 

“Aku udah kenyang. Kamu saja!” jawabnya. 

Aku paham betul apa yang dia rasakan saat ini. Dikhianati itu menyakitkan karena pernah mengalaminya. Tapi, tak sepantasnya sampai frustasi begitu, apalagi seorang lelaki. 

“Kenyang makan ati ya?” Aku berkelakar berharap dia tak larut oleh sakit hatinya. 

Alvin tersenyum hambar tanpa menoleh. Lalu, dia bangkit dan duduk di tepian ranjang. Aku turut duduk di sebelahnya meski dengan jarak yang lumayan jauh. 

“Semua perempuan itu sama ya. Hanya menilai cinta dari harta saja!” ucapnya dengan nada suara penuh kecewa. 

Aku mengernyit berusaha mencerna kalimatnya. Meski tak paham betul, tapi aku yakin kalau perempuan yang tadi sore itu berselingkuh dengan lelaki yang lebih kaya. 

“Sebagian memang begitu, tapi enggak semua, Vin! Banyak kok perempuan yang tak memandang harta!” jelasku. 

“Perempuan seperti itu hanya ada di novel saja! Di dunia nyata mana ada!” cibirnya. 

“Vin ... aku tahu kamu lagi kecewa, tapi jangan sampai menganggap sama setiap perempuan. Walau tak banyak, masih ada kok yang punya cinta tulus. Percaya deh...!” 

Sepertinya Alvin sampai di titik kecewa terberatnya. Mungkin ini bukan kali pertama dia dikhianati. 

“Sekarang kita makan dulu, Vin! Nanti kita bicara lagi.” Aku bangkit kemudian beranjak ke luar. 

Duduk di depan meja makan, aku dan Bude mulai menyendok nasi. Menikmati olahan yang baru saja kami buat. Sementara Alvin baru keluar setelah kami menghabiskan separuh makanan. 

Selesai makan, Alvin mengajakku mengobrol di teras. Barangkali dia sedang butuh teman, jadi walau kami baru kenal, dia tak segan menceritakan kehidupan pribadinya. 

“Percaya deh, Vin! Jodoh itu Tuhan yang menentukan. Kita hanya bisa berusaha,” ucapku berusaha menghibur. 

Alvin tersenyum getir. “Mungkin aku tak memiliki jodoh. Buktinya tiga kali pacaran tiga kali juga dikhianati.” 

“Enggak boleh bicara begitu. Nanti diaminin malaikat baru baru tahu rasa!” Aku berusaha mencairkan suasana, “yakini saja kalau mereka bukan jodohmu. Mungkin Tuhan sedang menyiapkan jodoh yang jauh lebih baik,” 

Alvin mengangguk seolah paham. Entahlah dengan hatinya. Karena aku tahu mengobati kecewa tak semudah membalikkan telapak tangan. 

Obrolan kami terhenti saat sebuah mobil memasuki pekarangan lalu berhenti di depan kami. Dua orang yang wajahnya tak asing turun lalu mendekat ke arah kami. Ya. Mereka Papa dan istrinya. 

“Assalamu alaikum,” ucap Bu Sri-perempuan yang baru turun dari mobil. 

“Waalaikum salam,” jawabku. 

Meski dia melempar senyum, entah kenapa aki malas membalas. Barangkali karena kadung kecewa dengan sikapnya. 

Kemudian, Alvin mengajak mereka masuk lalu memanggil Bude. Kami semua duduk di ruang tamu. 

“Begini, Mbak! Niat kami ke sini ingin mengajak Lintang tinggal bersama. Biar bagaimanapun dia juga keluarga kami, jadi akan lebih afdol kalau ikut kami,” ucap Bu Sri dengan nada suara terkesan manis. 

Kontan saja aku heran dengan kalimatnya. Tadi siang dia bersikap seperti itu, tapi kenapa bisa berubah secepat ini?

“Enggak! Aku mau di sini saja!” jawabku cepat. 

Tentu saja aku tak mau tinggal bareng mereka. Hati ini sudah kadung sakit. 

“Ayolah, Lintang. Ibu minta maaf soal tadi pagi!” ucap Bu Sri. 

“Iya, kamu kan anak Bapak, jadi tinggal di rumah Bapak saja ya ...,”tambah Papa. 

Semudah itukah minta maaf? Atau memang merek punya rencana jahat? 

“Enggak!” Aku bersikukuh dengan pendirianku. 

Tanpa mengenal lelah, sepasang suami istri itu terus membujuk. Bahkan sampai meminta Bude untuk menasihatiku. 

“Lintang, kamu ikut sama mereka  ya. Beri Bapakmu kesempatan untuk menebus kesalahannya,” bujuk Bude. 

Jika sudah begini, aku tak punya pilihan lain. Mau tak mau akhirnya aku ikut bersama mereka. Toh ... jaraknya hanya beberapa menit dari sini. Jadi kalau ada apa-apa aku bisa ke rumah Bude. 

Kemudian, kami bertiga pamit pada Bude. Sengaja aku tak membawa barang-barangku karena tak yakin akan betah bareng mereka. 

Tak lama, kami sampai di rumah Papa. Mereka turun lalu mengajakku ke dalam. Namun, baru saja hendak masuk, Gea muncul sembari tersenyum lebar menatapku. 

“Selamat datang di nerakamu, Lintang!” ucapnya penuh penekanan. 

Astaga! Ini jebakan. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   TAMAT SESI 1

    Aku mendekati Mas Alvin yang sedang menikmati kopi di teras,sedangkan Gea langsung masuk ke dalam.“Dari mana kamu, Lintang?” tanya Mas Alvin.Meletakkan bokong di sebelah suami, aku menyandarkanpunggung pada sandaran kursi.“Dari rumah Bu Sri, Mas! Aku sudah membayar rumah itu,”sahutku.“Terus mau dikosongkan rumahnya?”“Enggaklah! Kan ada Gea!”Mas Alvin mengangguk. Detik berikutnya dia menyambar gelasdi atas meja, menyesap sebentar lalu meletakkan di tempat semula.“Mas ... aku boleh minta sesuatu enggak?” tanyaku kemudian.Mas Alvin menoleh dengan kening berkerut. “Minta apa?”“Begini, Mas! Sekarang aku dan Gea sudah baik. Dia akantinggal di rumah yang baru saja kubeli. Nah ... yang masih mengganjal dipikiran itu Papa. Biar bagaimanapun dia orang tuaku, sedangkan saat ini akuenggak tahu dia tinggal di mana,” sahutku.“Terus?”“Aku ingin kita tunda dulu kepergian sampai Papa ketemu. Nantirencananya aku suruh Papa tinggal bareng Gea. Boleh ya, Mas!” rengekku, meraihtangan Mas Alvin

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   keputusan Gea

    Sampai rumah, Gea langsung berlari ke kamar sembari tanganmengucek mata. Aku bisa merasakan betapa hati gadis itu terluka, antara kecewadengan ibunya, juga malu padaku.Meninggalkan Alvin yang sedang memarkirkan motor, beranjakaku ke dalam menyusul Gea. Di saat seperti ini dia pasti butuh teman.Mengetuk pintu kamar Gea, aku memanggil namanya beberapakali, tapi tak kunjung ada sahutan. Nekat aku mendorong daun pintu yang rupanyatak di kunci. Gadis itu tengah terisak, duduk memeluk lutut di sudut kamar.Mendekat, aku mengelus pundak Gea berusaha menenangkan.“Sabar ya, Ge!” ucapku pelan.Bukannya menyahut, isaknya justru terdengar semakin jelas diantara nafas yang tersengal. Namun, aku tak melarang sebab tangis sedikitbanyak mampu meringankan beban di hati. Menangislah!“Mbak!” ucapnya setelah tangisnya mereda.“Iya,”“Kenapa kamu peduli denganku? Bukankah selama ini aku jahatsama kamu?” Gea menoleh, menatap lekat seperti mencari sesuatu di bola mataku.Melempar senyum, aku merapikan a

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   kepedihan Gea

    Seperti biasa aku beranjak ke dapur setelah kamar beres. Ibutampak sudah berjibaku dengan pekerjaan, sedangkan Gea belum terlihat.Aku menyambar toples berisi gula, berniat membuat kopi untukMas Alvin. Sedikit demi sedikit hubungan kami mulai membaik, meski suamikumasih sedikit kaku.“Bu, Gea kok belum kelihatan. Tumben?” tanyaku sembarimenakar gula sesuai selera suami.“Gea tadi pamit pulang, ada yang penting katanya,” sahutIbu.“Penting apa sih?”“Enggak tahu juga sih, tapi dengar-dengar dari tetangga, BuSri mau jual rumah itu!”Sontak aku terperanjat. Rumah itu milik orang tua Papa.Meski aku tak mengenalnya, setidaknya bisa menjadi pengingat bahwa aku punyagaris keturunan darinya.“Kok dijual sih? Bukannya itu punya Kakek?” tanyaku setengahprotes.“Iya, tapi kan sekarang sudah berganti nama menjadi milik BuSri. Jadi ya dia bisa jual,” jelas Ibu mertua.Ada rasa tak terima jika rumah itu berpindah tangan. Seharusnyarumah itu hak Papa dam Ibu mertua, tapi malah jatuh ke tangan Bu Sri

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   PAMIT

    Seminggu telah berlalu, tapi sikap Mas Alvin belum kembalimenghangat, padahal sudah kulakukan kewajiban sebagai seorang istri.Kemarin, saat mengurus pernikahan di KUA, Mas Alvin menolakmenggunakan mobil. Dia bilang kalau enggak ingin menggunakan apa pun darikekayaanku. Bukankah ini berlebihan?“Sampai kapan kita akan seperti ini, Mas?” tanyaku saat kamitengah berdua di kamar.“Apanya yang sampai kapan?” Mas Alvin balik tanya.Aku menghela nafas panjang lalu membuang perlahan. Entahsengaja atau tidak, tapi aku yakin Mas Alvin paham pertanyaanku.“Ya kita! Sampai kapan kamu akan mendiamkanku begini? Kita suamiistri, Mas! Bukan musuh!” jelasku berusaha sabar.Kata orang pengantin baru itu indah. Namun, nyatanya tidak!Kami menjalani hari penuh kekakuan. Bahkan urusan ranjang pun kami tak pernahmelakukan kecuali saat pertama kali dulu. Mas Alvin hanya mengecup kening saat mataini memejam. Bukankah ini menyedihkan?“Sampai aku bisa melupakan hujatanmu malam itu. Setidaknya,rasa sakit di ha

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   DIABAIKAN

    Berkali-kali aku mengerjap, memaksa membuka mata yang masihterasa lengket. Kuraba Mas Alvin yang semula tidur di sebelahku. Namun, takkutemukan dia. Astaga! Dia tak membangunkan aku.Menyadari kalau bangun kesiangan, buru-buru aku bangkit lalumenyambar pakaian yang tercecer di lantai.Tadi malam, meski aku sudah merayu Mas Alvin, kami takmelakukan apa pun. Dia terus menolak dengan alasan yang tak jelas. Yang lebihmenyedihkan, saat tidur pun dia memunggungiku.Entah apa yang terjadi padanya, tapi yang jelas dia sepertisedang membalas. Sikap dinginnya itu lebih menyakitkan ketimbang sebuahtamparan.Beranjak keluar kamar, aku menemui Ibu mertua di dapur. Tanpadiminta aku langsung membantu beberes juga menyiapkan sarapan.“Mas Alvin ke mana ya, Bu? Kok enggak kelihatan?” tanyaku disela aktivitas kami.“Lagi di depan. Tadi Gea datang. Memangnya kamu belum ketemudia?” tanyanya balik.Mendengar Ibu mertua menyebut nama Gea, cemburu datang mengganggupikiran, apalagi Mas Alvin sedang bersama p

  • MEMBUNGKAM MULUT IBU TIRI   KEMBALI

    Mobil yang kukendarai melaju pelan menembus sepinya malam.Sesekali aku menyapu wajah sekedar menepikan bayangan Mas Alvin agar tetap fokuspada jalanan.Tak lama, aku telah sampai di rumah. Hati berjingkrak girangsaat kulihat motor Mas Alvin terparkir di halaman rumah, bersebelahan denganmotor entah punya siapa. Buru-buru akuturun lalu beranjak masuk sambil berteriak.“Mas Alvin!” teriakku girang sembari membuka daun pintu yangtak tertutup rapat.Seketika senyum memudar saat menyaksikan pemandangan yangtak biasa. Mas Alvin tengah duduk berdua, saling berhadapan dengan seorangperempuan bernama Elsa.“Sudah pulang, Lintang?” sapanya dingin.Membunuh ego, aku beranjak mendekat pada suami.“Iya, Mas! Kamu ke mana saja beberapa hari ini? Aku terusmencarimu. Maafkan aku ya, Mas! Aku mengaku salah soal malam itu. Akumenyesal!” cerocosku sambil berusaha memeluk melepas rindu. Namun, kurasakansesuatu yang beda dengan Mas Alvin.Sama sekali dia tak membalas pelukan, atau sekedar mengeluspucuk k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status