Share

Hutang 2

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2025-05-29 22:33:03

Kedua kakak iparku bilang kalau aku lebay jika menagih hutang mereka dengan mengumumkan nya melalui toa masjid. Padahal aku melakukan nya karena iparku punya hutang padaku tapi malah mendukung suamiku poligami. Biar mereka malu sekalian.. 😏

MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (2)

Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara perempuan. "Kamu jangan sembarangan ngomong di sini!"

Amira berbalik. Desi, Dewi, dan Arif berdiri di sana dengan wajah marah. Lalu dengan cepat, Arif mendekati Amira, seolah tak ingin mendengar lagi kata-kata yang keluar dari mulut istrinya dengan menggunakan TOA masjid.

Ia menyeret lengan Amira, mengajaknya pergi dengan keras. “Kita selesai kan di rumah mama saja! Kamu hanya bikin malu!” Arif menyentak. “Apa maksudmu menagih hutang melalui TOA masjid?”

Amira merasa seolah seluruh tu b uhnya terhempas, namun ia tetap menatap wajah lelaki yang dulu ia cintai. Arif—lelaki yang pernah menggebu-gebu mengejarnya dengan segala cara, penuh dengan janji-janji manis dan harapan akan kebahagiaan bersama. Lelaki yang begitu romantis dan penuh dramatisme dalam setiap tindakannya. Kini, wajahnya yang dulu penuh kasih dan perhatian itu justru terlihat asing. Amira hampir tak mengenali lagi sosok yang kini berdiri di depannya.

“Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu tega menduakan aku dan berencana untuk menikah lagi?!” tanya Amira, dengan mata yang mulai berkilat menahan marah dan perasaan lelah setelah menempuh perjalanan jauh.

Arif terdiam sejenak. Seolah kata-kata Amira baru saja menamparnya keras, ia membuka mulutnya hendak menjawab, namun tak sempat.

Suara takmir masjid terdengar mengalun, menginterupsi segala ketegangan yang ada. “Maaf bapak dan ibu, tolong selesaikan masalah ini secara pribadi di rumah. Karena di sini adalah rumah Allah, dan masih banyak orang. Apa bapak dan ibu tidak malu jika saling membeberkan aib masing-masing?

Dan untuk ibu, seberat apapun ujiannya, cobalah untuk tenang. Istighfar yang banyak sebelum memutuskan sesuatu,” ujar takmir dengan suara lembut namun penuh wibawa.

Amira menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ia menundukkan kepalanya, beristighfar berulang kali, mencoba menahan gejolak yang mengguncang batinnya. Dengan perlahan, ia menyerahkan mikrofon kepada takmir masjid, sembari mengucapkan terimakasih dan permintaan maaf.

Kedua kakak Amira, Desi dan Dewi, dengan wajah cemberut, berjalan keluar lebih dulu. Mereka menuju ke rumah mama Amira, tanpa sepatah kata pun. Arif dan Amira mengikuti dari belakang, meski langkah mereka terasa berat. Takbir berkumandang kembali, namun sebagian besar jemaah yang masih berada di masjid menatap heran pada keluarga Arif.

“Masuk, Mir!” Arif membuka pintu ruang tamu rumah mama Amira dengan kasar, hampir mendorong tubuh Amira untuk masuk.

Amira berhenti sejenak, menatap Arif dan kedua kakak iparnya dengan pandangan penuh keraguan. “Aku di sini saja, di teras,” jawabnya dengan suara yang tergetar. “Kalau aku masuk ke dalam rumah kamu, aku takut kalau kamu melakukan hal buruk padaku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sendirian di sini.”

Arif tercengang. Wajahnya berubah menjadi masam. “Kamu mencurigai aku? Suami kamu sendiri?!”

Amira mengedikkan bahunya. “Tentu. Toh, suami yang paling aku percayai justru memberikan luka yang paling dalam untukku dengan rencanamu menikah lagi,” sahutnya, suaranya sarat dengan kekecewaan.

Arif tertawa terbahak-bahak. “Kamu tak punya bukti! Jangan menuduhku aneh-aneh! Mana buktinya kalau aku akan menikah lagi? Bukankah aku mudik juga untuk menagih utang pada kakakku yang telah kamu permalukan tadi?!”

Amira terhenyak. Hatinya bergetar mendengar kata-kata Arif. “Astaghfirullah… aku lupa meminta foto dari Ana,” gumamnya lirih. Tadi, dalam a ma rah yang memuncak, ia terlalu terburu-buru berangkat ke rumah mertuanya dan lupa meminta bukti foto atau rekaman. Ia hanya mengandalkan perasaan dan apa yang dia dengar.

Namun, sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya. “Teman SMA ku yang melihat dan mendengarnya tentang rencana kamu tadi. Aku bisa meneleponnya,” ujarnya sambil meraih ponsel dari tas selempangnya.

Ketika Amira membuka pesan-pesan di ponselnya, hatinya bergetar saat melihat bukti yang baru saja diterima. Ana, teman SMA nya dulu yang juga mengetahui hubungan keluarga ini, ternyata telah mengirimkan sebuah foto dan video yang cukup jelas.

Foto itu sedikit buram, namun cukup menunjukkan situasi yang sangat mencurigakan. Arif yang tampak akrab dengan perempuan

s e ksi dan bermake up glamor yang duduk di sebelah nya. Dalam rekaman video itu, terdengar jelas percakapan yang menyinggung soal rencana pernikahan kedua Arif.

“Amira, apa kamu sudah berangkat ke rumah mertua kamu? Balas kalau sudah sampai,” pesan dari Ana tertera di layar ponsel.

Beberapa panggilan tak terjawab dari Ana saat Amira sedang dalam perjalanan menuju rumah mertuanya.

Amira memang sempat berhenti sejenak di SPBU hanya untuk mengisi bensin, tanpa sempat memeriksa ponselnya.

Arif, Desi, dan Dewi tercengang melihat foto dan video yang dikirimkan Ana.

“Jadi, mari bercerai. Tapi sebelum itu, bayar utang mbak Desi dan mbak Dewi lebih dulu!” ujar Amira sambil menyeringai sinis.

"Hei, kamu sadar nggak sih kenapa Arif ingin menikah lagi? Karena kamu tidak segera memberi kan dia anak! Rumah tangga itu sepi tanpa anak, tahu?! Dasar mandvl!" sentak Desi yang dari tadi diam.

Amita tersentak. Hatinya sakit mendengar kata kata mandvl itu.

"Aku tidak mandvl! Aku pernah ha m il tapi keguguran, Mbak! Padahal kalian punya ut a ng sama aku, tapi bisa - bisanya malah ngatain aku. Sudah nggak punya malu ya atau minta diviralin lagi?!" tanya Amira dengan senyum mengejek.

next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 30 B (tamat)

    Saat Handoko membukakan pintu, Amira turun perlahan. Tangannya masih lemah, tapi semangatnya membuncah. Saat kakinya menginjak permadani merah di depan pintu utama, matanya membelalak. Taburan kelopak mawar merah dan putih tertata rapi di atas permadani, membentuk jejak menuju dalam rumah."Masya Allah..." bisiknya.Aroma harum dari lilin aroma terapi menyambutnya, berpadu dengan semerbak mawar yang lembut. Ruang tamu bersih, rapi, dan berhiaskan bunga segar."Selamat datang kembali di rumah, Non Amira!" Amira menoleh dan langsung tersenyum lebar. Bi Inem dan Mbok Sumi berdiri berdampingan menyambutnya. keduanya tersenyum hangat. "Bi... Mbok..." Amira memeluk mereka bergantian."Alhamdulillah Non Amira sehat walafiat," ucap Mbok Sumi, matanya berkaca-kaca."Terima kasih, Mbok... Bi... Kalian sudah repot-repot," balas Amira."Aduh, Non... jangan begitu... Justru kami yang berterima kasih. Non Amira sudah menolong saya dari para penghadang itu... Saya benar-benar takut kalau sampai No

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 30 A

    Bau obat yang menusuk hidung adalah hal pertama yang disadari Amira saat perlahan-lahan kesadarannya kembali. Pandangannya buram, lalu semakin jelas. Langit-langit putih, cahaya lampu neon, dan suara mesin monitor detak jantung yang berdetak pelan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.Kepalanya terasa berat, nyeri menjalar dari pelipis hingga tengkuk. Saat ia berusaha menggerakkan tangan, terasa ada genggaman hangat yang menahannya."Amira... kamu sudah sadar, sayang?" suara itu lirih, penuh kekhawatiran.Amira menolehkan kepala. Di sebelah tempat tidurnya, duduk Handoko dengan wajah kusut dan mata sembab. Pria itu menggenggam tangan Amira erat seolah tak ingin kehilangan momen kebersamaan itu lagi."Mas Handoko..." suara Amira serak. "Maafkan aku... karena aku keluar rumah tanpa izinmu, sehingga semua ini terjadi."Handoko menggeleng cepat, matanya berkaca-kaca. "Jangan pernah berkata seperti itu. Kamu tidak salah. Yang salah adalah orang-orang

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 29 C

    Namun saat mobil itu bergerak memasuki area sawah yang sepi, empat pria berpakaian serba hitam tiba-tiba berdiri mengadang jalan. Mereka tidak mengenakan penutup wajah, namun sorot mata mereka tajam seperti pisau yang siap mengoyak.Amira refleks menginjak rem."Apa itu... geng motor?" bisik Bi Inem, tubuhnya mulai bergetar.Salah satu dari pria itu maju mendekat. Tubuhnya besar, tangan bertato, dan suaranya dalam saat berkata, "Turun dari mobil sekarang juga."Amira menatap lurus ke arah pria itu dari balik kaca jendela. Matanya tak bergeming. Dulu, mungkin dia akan panik dan menangis. Tapi sejak bercerai dengan Arif, dia bertekad tak ingin jadi perempuan lemah lagi. Latihan karate selama setahun mulai menunjukkan hasil—bukan cuma ototnya yang kuat, tapi juga keberaniannya.Tanpa ekspresi takut, Amira mengambil ponsel dari dashboard, lalu cepat-cepat menghubungi nama yang sudah tersimpan dengan label "Handoko - Darurat". Begitu panggilan tersambung, dia sembunyikan ponselnya di bawah

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 29 B

    Mendadak Amira menggigil. Dia jadi teringat Arif yang sudah meninggal. Amira merasa bersalah karena menurut nya dialah yang menjadi penyebab kematian Arif. "Kenapa mbak Desi menghubungi ku? Apa dia akan membalas kematian adiknya!?" gumam Amira. Belum sempat Amira membalas pesan dari Desi, Desi lebih dulu melakukan panggilan telepon padanya. Dengan ragu, Amira menerima panggilan suara yang masuk ke ponselnya itu. "Ha... lo?!"Hening sejenak. "Halo, Amira! Aku ingin meminta maaf atas semua kesalahan ku dan seluruh keluarga ku. Apa kita bisa bertemu?" tanya Desi dari seberang telepon. Amira mengerutkan dahinya menerima permintaan maaf yang menurut nya aneh itu. "Aku menemukan kalian telah memeras almarhum bunda dengan memfitnahku. Rasanya aku susah menerima maaf kalian. Tapi aku mendengar kabar jika mas Arif sudah meninggal dunia. Jadi aku akan menganggap kalau sekarang kita impas," ujar Amira lirih. "Kalau begitu kita bisa bertemu hari ini kan?" tanya Desi. "Atau sesenggangnya k

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   hutang 29 A

    Hari itu, hujan turun sejak pagi. Gerimisnya tipis, tapi dinginnya menusuk sampai ke dalam dada. Di sebuah ruang tunggu kantor polisi, dua perempuan duduk bersebelahan dalam diam. Wajah mereka pucat, mata mereka kosong, dan tangan mereka saling menggenggam seolah dunia akan runtuh kapan saja.Desi menatap lantai. Ibunya, Sri, duduk kaku di sampingnya.Tak lama kemudian, seorang petugas berpakaian preman keluar dari dalam ruangan dan memanggil nama mereka.“Ibu Sri, Mbak Desi… mohon ikut saya sebentar.”Mereka berdiri tanpa suara, melangkah ke ruangan kecil dengan lampu temaram dan aroma lembab kertas tua. Di sana, seorang polisi senior duduk dengan map di tangannya. Tatapannya berat.“Kami mohon maaf sebelumnya… tapi kami harus menyampaikan ini secepatnya.”Sri mencengkeram tangan Desi.“Apa… ada apa dengan anak saya?”Polisi itu menarik napas panjang. Lalu mengucapkan lima kata yang membuat waktu seolah berhenti:“Arif ditemukan meninggal tadi malam. Berkelahi dengan sesama napi.”“T

  • MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID   Hutang 28 B

    Amira menatapnya. “Apa maksudmu?”“Artinya, semua akan dibuka. Hubunganmu dengan Arif, masa lalu kalian. Tapi... Arif akan ditahan secara hukum. Tidak hanya ditangkap sementara. Semua akan berjalan melalui jalur yang sah.”Amira menggigit bibir bawahnya. Lama. Tapi akhirnya ia mengangguk.“Lakukan, Mas. Aku sudah lelah dengan balas dendamku yang dulu. Biar saja dia ditahan.”Handoko tersenyum tipis, walau tak ada kelegaan di balik matanya. “Baik. Aku akan urus semua malam ini juga. Arif akan masuk tahanan sebelum pagi.”Amira menarik napas panjang. Entah karena lega, atau karena tahu semuanya baru saja dimulai.Handoko bangkit dari kursinya dan berjalan ke jendela, menatap keluar. Lalu ia berbalik, memandang Amira yang kini menatap kosong ke mangkuk sup yang telah dingin.***Ketika Arif dibawa masuk ke ruang tahanan, wajahnya tampak tenang. Dua polisi menggiringnya melintasi lorong sempit dengan dinding lembab, melewati para tahanan lain yang menatap dengan campuran penasaran dan jij

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status