Kedua kakak iparku bilang kalau aku lebay jika menagih hutang mereka dengan mengumumkan nya melalui toa masjid. Padahal aku melakukan nya karena iparku punya hutang padaku tapi malah mendukung suamiku poligami. Biar mereka malu sekalian.. 😏
MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (2) Tiba-tiba dari belakang, terdengar suara perempuan. "Kamu jangan sembarangan ngomong di sini!" Amira berbalik. Desi, Dewi, dan Arif berdiri di sana dengan wajah marah. Lalu dengan cepat, Arif mendekati Amira, seolah tak ingin mendengar lagi kata-kata yang keluar dari mulut istrinya dengan menggunakan TOA masjid. Ia menyeret lengan Amira, mengajaknya pergi dengan keras. “Kita selesai kan di rumah mama saja! Kamu hanya bikin malu!” Arif menyentak. “Apa maksudmu menagih hutang melalui TOA masjid?” Amira merasa seolah seluruh tu b uhnya terhempas, namun ia tetap menatap wajah lelaki yang dulu ia cintai. Arif—lelaki yang pernah menggebu-gebu mengejarnya dengan segala cara, penuh dengan janji-janji manis dan harapan akan kebahagiaan bersama. Lelaki yang begitu romantis dan penuh dramatisme dalam setiap tindakannya. Kini, wajahnya yang dulu penuh kasih dan perhatian itu justru terlihat asing. Amira hampir tak mengenali lagi sosok yang kini berdiri di depannya. “Aku yang ingin bertanya padamu, kenapa kamu tega menduakan aku dan berencana untuk menikah lagi?!” tanya Amira, dengan mata yang mulai berkilat menahan marah dan perasaan lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Arif terdiam sejenak. Seolah kata-kata Amira baru saja menamparnya keras, ia membuka mulutnya hendak menjawab, namun tak sempat. Suara takmir masjid terdengar mengalun, menginterupsi segala ketegangan yang ada. “Maaf bapak dan ibu, tolong selesaikan masalah ini secara pribadi di rumah. Karena di sini adalah rumah Allah, dan masih banyak orang. Apa bapak dan ibu tidak malu jika saling membeberkan aib masing-masing? Dan untuk ibu, seberat apapun ujiannya, cobalah untuk tenang. Istighfar yang banyak sebelum memutuskan sesuatu,” ujar takmir dengan suara lembut namun penuh wibawa. Amira menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri. Ia menundukkan kepalanya, beristighfar berulang kali, mencoba menahan gejolak yang mengguncang batinnya. Dengan perlahan, ia menyerahkan mikrofon kepada takmir masjid, sembari mengucapkan terimakasih dan permintaan maaf. Kedua kakak Amira, Desi dan Dewi, dengan wajah cemberut, berjalan keluar lebih dulu. Mereka menuju ke rumah mama Amira, tanpa sepatah kata pun. Arif dan Amira mengikuti dari belakang, meski langkah mereka terasa berat. Takbir berkumandang kembali, namun sebagian besar jemaah yang masih berada di masjid menatap heran pada keluarga Arif. “Masuk, Mir!” Arif membuka pintu ruang tamu rumah mama Amira dengan kasar, hampir mendorong tubuh Amira untuk masuk. Amira berhenti sejenak, menatap Arif dan kedua kakak iparnya dengan pandangan penuh keraguan. “Aku di sini saja, di teras,” jawabnya dengan suara yang tergetar. “Kalau aku masuk ke dalam rumah kamu, aku takut kalau kamu melakukan hal buruk padaku, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa karena sendirian di sini.” Arif tercengang. Wajahnya berubah menjadi masam. “Kamu mencurigai aku? Suami kamu sendiri?!” Amira mengedikkan bahunya. “Tentu. Toh, suami yang paling aku percayai justru memberikan luka yang paling dalam untukku dengan rencanamu menikah lagi,” sahutnya, suaranya sarat dengan kekecewaan. Arif tertawa terbahak-bahak. “Kamu tak punya bukti! Jangan menuduhku aneh-aneh! Mana buktinya kalau aku akan menikah lagi? Bukankah aku mudik juga untuk menagih utang pada kakakku yang telah kamu permalukan tadi?!” Amira terhenyak. Hatinya bergetar mendengar kata-kata Arif. “Astaghfirullah… aku lupa meminta foto dari Ana,” gumamnya lirih. Tadi, dalam a ma rah yang memuncak, ia terlalu terburu-buru berangkat ke rumah mertuanya dan lupa meminta bukti foto atau rekaman. Ia hanya mengandalkan perasaan dan apa yang dia dengar. Namun, sebuah ide tiba-tiba terlintas di benaknya. “Teman SMA ku yang melihat dan mendengarnya tentang rencana kamu tadi. Aku bisa meneleponnya,” ujarnya sambil meraih ponsel dari tas selempangnya. Ketika Amira membuka pesan-pesan di ponselnya, hatinya bergetar saat melihat bukti yang baru saja diterima. Ana, teman SMA nya dulu yang juga mengetahui hubungan keluarga ini, ternyata telah mengirimkan sebuah foto dan video yang cukup jelas. Foto itu sedikit buram, namun cukup menunjukkan situasi yang sangat mencurigakan. Arif yang tampak akrab dengan perempuan s e ksi dan bermake up glamor yang duduk di sebelah nya. Dalam rekaman video itu, terdengar jelas percakapan yang menyinggung soal rencana pernikahan kedua Arif. “Amira, apa kamu sudah berangkat ke rumah mertua kamu? Balas kalau sudah sampai,” pesan dari Ana tertera di layar ponsel. Beberapa panggilan tak terjawab dari Ana saat Amira sedang dalam perjalanan menuju rumah mertuanya. Amira memang sempat berhenti sejenak di SPBU hanya untuk mengisi bensin, tanpa sempat memeriksa ponselnya. Arif, Desi, dan Dewi tercengang melihat foto dan video yang dikirimkan Ana. “Jadi, mari bercerai. Tapi sebelum itu, bayar utang mbak Desi dan mbak Dewi lebih dulu!” ujar Amira sambil menyeringai sinis. "Hei, kamu sadar nggak sih kenapa Arif ingin menikah lagi? Karena kamu tidak segera memberi kan dia anak! Rumah tangga itu sepi tanpa anak, tahu?! Dasar mandvl!" sentak Desi yang dari tadi diam. Amita tersentak. Hatinya sakit mendengar kata kata mandvl itu. "Aku tidak mandvl! Aku pernah ha m il tapi keguguran, Mbak! Padahal kalian punya ut a ng sama aku, tapi bisa - bisanya malah ngatain aku. Sudah nggak punya malu ya atau minta diviralin lagi?!" tanya Amira dengan senyum mengejek. next?Arif mendecakkan lidah. "Ah, Ibu! Kayak nggak pernah muda saja!" ujar Arif ketus. Suasana hening sejenak."Kenapa sih punya anak itu ribet? Susah? Kenapa nggak perempuan aja yang urus anak? Kan suami udah capek cari uang!" protes Arif lagi. Sri menghela napas panjang. "Memang seharusnya perempuan yang lebih banyak urus anak. Waktu kamu kecil, Ibu juga ngurus kamu dan kakak-kakakmu sendirian. Bapakmu mana pernah bantu.""Nah, itu maksudku! Harusnya ya gitu! Aku juga udah kerja keras, kenapa masih harus ikut ngurus anak segala?" Arif semakin kesal.Sri menatap putranya dengan sorot mata lelah. "Tapi kamu tahu nggak, Nak? Itu capek banget! Ibu hampir gila karena ngurus kalian bertiga sendirian. Kadang pengen nangis, pengen marah, tapi nggak ada pilihan."Arif terdiam sejenak, tapi lalu menggeleng dengan keras. "Tetap aja, Bu. Aku nggak terima kalau harus ikut-ikutan urus anak. Harusnya Rita yang tanggung jawab!"Sri menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Ya sudah, kalau begitu.
Teriakan tangis Irwan menembus sunyi malam, menyentak Rita dari tidurnya. Kepalanya masih berat, tetapi naluri seorang ibu membuatnya langsung terbangun dan menghampiri anaknya. Dengan langkah tergesa, ia mendapati Irwan meringkuk di lantai, menangis tersedu-sedu."Ya Allah! Irwan!" Rita menggendong anaknya, menenangkan tubuh mungil yang masih tersedu. Matanya langsung mencari Arif, suaminya, yang berdiri tak jauh dengan wajah penuh keraguan."Kenapa dia jatuh?!" Rita mendelik tajam.Arif menghela napas panjang, tampak kesal sekaligus lelah. "Anakmu itu susah dibilangin, Rita. Dari tadi udah aku suruh tidur, malah lompat-lompat di ranjang!""Anakmu?" Rita mengulangi dengan suara dingin. "Jadi karena dia bukan anak kandungmu, kau nggak peduli? Ini anak kita, Arif! Calon anak sambung kamu!""Jangan mulai lagi, Rita. Aku capek! Aku udah coba jaga dia, tapi dia bandel!"Mata Rita menyipit, amarahnya naik ke puncak. "Kau nggak sayang sama dia, ya? Itu sebabnya Tuhan nggak kasih kau anak ka
"Iya. Kamu sudah terbiasa memasarkan produk. Kenapa nggak gunakan kemampuan itu untuk membangun sesuatu yang baru? Kamu bisa cerita tentang perjalananmu, atau... kalau berani, bahas soal Arif juga," Om Handoko menyarankan dengan senyum penuh arti.Mata Amira berbinar. Ide itu menggugah sesuatu dalam dirinya. "Jadi, aku bisa membagikan pengalaman, sekaligus membuka mata orang lain?""Tepat sekali. Banyak perempuan di luar sana yang mungkin mengalami hal sama. Mengalah pada rumah tangga nya. Dikhianati suami. Memiliki mertua dan ipar yang kejam. Kalau kamu berbagi, mereka bisa belajar dari pengalamanmu. Dan, siapa tahu? Ini bisa jadi awal yang baik untuk karier baru."Amira mengangguk, perlahan tapi pasti. "Baiklah, Om. Aku akan coba.""Dan kalau kamu mau mencoba, sepertinya kamu juga cocok untuk membuat tutorial make up. Bukan kah kamu dari dulu suka mencoba coba make up?"Amira terdiam sesaat."Atau kamu juga bisa berkarier dengan ijazah kamu. Kamu dulu lulusan pendidikan guru kan?"A
"Halo Om, bisakah suami yang mencuri mahar dari istrinya dipenjara kan?" tanya Amira dengan suara bergetar. "Hah? Apa maksudnya, Ami? Mahar kamu hilang?"Amira menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum bicara. "Om... aku nggak tahu harus cerita ke siapa lagi. Mahar dari Arif... hilang, Om."Suara Om Handoko terdengar terkejut. "Apa? Mahar dari Arif hilang? Kapan kamu tahu?""Baru saja. Aku mencari di tempat biasa kusimpan, tapi nggak ada, Om. Aku curiga... Arif yang ambil," ujar Amira dengan suara bergetar."Arif? Kenapa kamu curiga dia?""Nggak ada orang lain yang tahu tempat aku menyimpannya, selain Arif, Om!"Om Handoko terdiam sesaat. "Oke, Om ke rumahmu sepuluh menit lagi. Jangan panik dulu, ya."Amira mengangguk meski tahu Om Handoko tak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, ia segera memeriksa kembali kamar dan laci tempat biasa ia menyimpan perhiasan itu. Tak lupa Amira memeriksa tempat penyimpanan sertifikat rumahnya di lemari kamar mendiang ibunya."Huft, u
Arif melirik ke arah perhiasan Desi dan Dewi. "Kemarin kayaknya kalian nggak pake perhiasan deh, Mbak!? Sekarang kok kalung atau gelang? Berikan saja perhiasan itu biar kujual dan kujadikan DP mobil. Aku pulang dengan apa kalau nggak naik mobil? Naik bis, pasti berdesakan. Naik kreta, aku kehabisan tiket. Mau naik motor? Aku capek di jalan!Kemarin aku menyerah kan mobil pada Amira secepatnya, agar namaku juga tidak viral karena berniat nikah lagi. Sekarang karena keadaan sudah aman dari Amira, kalian harus bayar hutang. Dan minimal ada jaminannya. Jaminannya perhiasan kalian itu, Mbak!" ujar Arif menatap tajam ke arah Desi dan Dewi. Sri memandang ketiga anak nya secara bergantian. "Arif benar. Kalian sebagai kakak dari Arif yang lebih mapan dan bahkan Dewi sudah jalan jalan ke Singapura, seharusnya tahu diri dan bayar hutang pada Arif segera. Apalagi dia juga membutuhkan uang," ujar Sri tegas. Desi dan Dewi berpandangan, lalu dengan menghela napas panjang, mereka melepas perhias
Sri duduk di kursi rotan, mengamati anaknya, Arif, yang terlihat begitu percaya diri. Dua kakaknya, Desi dan Dewi, baru saja datang, membawa keresahan yang sama."Apa kamu gila, Rif?" suara Desi meledak begitu saja. "Bagaimana kalau Amira sampai tahu kalau maharnya diambil olehmu?"Arif hanya menyeringai, menyendok opor ayam ke piringnya dengan santai. Belum sempat ia menjawab, Dewi ikut menyusul, matanya ta j am men us u k ke arah adiknya."Lalu bagaimana kalau Rita tahu kalau maharnya palsu?"Arif tertawa kecil, menikmati ketegangan yang ia ciptakan. "Tenang saja, mereka nggak akan tahu. Aku sudah punya rencana untuk mengantisipasinya," ujarnya dengan penuh percaya diri.Desi dan Dewi saling berpandangan, lalu bergerak ke arah meja makan. Mereka mengambil mangkuk dan mulai menyendok opor ayam."Bu, minta opor, aku nggak masak," kata Desi, hampir bersamaan dengan Dewi yang berkata, "Aku juga, Bu."Sri hanya mengangguk, menyodorkan sendok besar ke arah anak-anaknya. Namun, sorot matan