Kedua kakak iparku bilang kalau aku lebay jika menagih hutang mereka dengan mengumumkan nya melalui toa masjid. Padahal aku melakukan nya karena iparku punya hutang padaku tapi malah mendukung suamiku poligami. Biar mereka malu sekalian.. š
MENAGIH HUTANG DENGAN TOA MASJID (3) "Aku tidak mandvl! Aku pernah hamil tapi keguguran, Mbak! Padahal kalian punya utang sama aku, tapi bisa - bisanya malah ngatain aku. Sudah nggak punya malu ya atau minta diviralin lagi?!" tanya Amira dengan senyum mengejek. "Berani kamu mengatakan hal itu pada kakak iparmu yang lebih tua?" tanya Desi dengan nada tinggi, seolah menganggap remeh amarah Amira. Amira menghela napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca karena amarah yang sudah menumpuk begitu lama. "Sekarang malam takbiran, ibuku terbaring di rumah sakit. Tapi mbak Desi dan mbak Dewi susah sekali membayar hutang padaku. Ditambah kenyataan bahwa Mas Arif akan kawin lagi karena kami yang belum mempunyai anak, membuatku semakin merasa gak sabar untuk mengambil kembali uang pinjaman dari mbak Desi dan mbak Dewi," ujar Amira dengan nada tinggi, setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti api yang membakar. "Bayar hutang kalian dan aku akan pulang setelahnya!" Desi dan Dewi saling berpandangan, tapi mereka tetap terdiam. Namun, suasana yang sebelumnya tenang, tiba-tiba berubah tegang. Saat itu, pintu depan terbuka dengan keras, dan muncul lah Sri, mertua Amira, dengan wajah yang tampak tak senang. "Kamu yang nagih hutang pakai TOA masjid?" tanya Sri, suaranya penuh sindiran, membuat suasana semakin panas. Wajahnya menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam, jelas-jelas Sri merasa terganggu dengan keberadaan Amira di rumah ini. Amira terdiam sejenak, matanya terbelalak mendengar pertanyaan dari mertuanya. Sejak kecil, orang tuanya selalu mengajarkan padanya untuk menghormati orang tua, tapi melihat sikap mertuanya yang selalu merendahkannya, Amira merasa muak. Jangan kan menyapa atau bersalaman dengan mertuanya, Amira bahkan tak ingin melihat wajah tua Sri yang setiap kali mudik selalu menyalahkan Amira karena belum memiliki anak. "Saya melakukan ini karena kalian sudah keterlaluan pada saya! Sudah berhutang, susah ditagih, malah mendukung Mas Arif kawin lagi!" Amira hampir berteriak, matanya mulai memerah karena marah yang tak terbendung lagi. "Bayar sekarang, dan aku akan segera pergi dari sini. Aku juga nggak suka ada di sini!" ujar Amira dengan nada yang semakin tajam. Sri tampak terkejut. Tidak pernah dalam hidupnya dia menyangka Amira, menantunya yang selalu pendiam, akan berani berbicara dengan keras seperti ini. Untuk pertama kalinya, Sri merasakan perasaan takut yang tak biasa. Dulu, Amira selalu bisa ditenangkan dengan kata-kata lembut, tapi sekarang, semuanya berbeda. Amira sudah tak bisa lagi ditekan atau dipermalukan. Dia sudah terlalu lama diam, terlalu lama membiarkan dirinya diinjak-injak. "Sombong kamu! Sudah mandul, sombong, suka mempermalukan orang lain, pelit pula!" Sri semakin emosional, suaranya meninggi, seolah tak bisa menahan amarahnya. "Uang segitu kenapa perhitungan sekali pada keluarga sendiri?" tanyanya, membuat Amira mendelik dengan kemarahan yang semakin meluap-luap. Amira merasa nyaris muntah mendengar kata-kata itu. "Keluarga?! Keluarga apa yang tega mendukung poligami tanpa sepengetahuan sang istri? Keluarga apa yang tega makan duit hutang bertahun-tahun padahal aku sedang butuh. Kalau uang itu tidak seberapa, Tante saja yang membayar hutang anak anak Tante!" ujar Amira dengan tegas. Setiap kata yang keluar terasa seperti pukulan. Ia menatap tajam ke arah Sri, kemudian berpaling ke Desi dan Dewi, yang kini mulai terlihat tidak nyaman. "Kamu telah mempermalukan kami. Padahal kami merasa tidak pernah mempunyai hutang padamu! Apa kamu punya bukti kalau kami berhutang padamu?!" tanya Dewi, dengan senyum sinis di wajahnya. Amira menelan ludah, dan dengan senyuman miris di bibirnya, ia berkata, "Kalian benar-benar keluarga gi l a! Kalian pikir karena utang kalian sudah lama dan kalian adalah saudara Arif, maka aku akan sembrono meminjamkan uang itu tanpa jaminan apapun? Aku punya buktinya, baik bukti transfer, maupun chat pinjam uang dari dari kalian masih utuh. Kalian hanya perlu memilih, akan kutagih dengan jalur hukum atau jalur netizen? Kalau kalian licik, aku bisa lebih licik. Aku minta uangku sampai merasa menjadi pengemis. Padahal itu uangku pribadi, bukan uang kalian yang kuminta!" ujar Amira dengan penuh keyakinan, matanya menyala penuh amarah karena merasa keluarga calon mantan suami nya terlalu bertele - tele dan mengulur waktu dalam membayar hutang padanya. Sri menatap tajam ke arah Amira. "Kamu pasti hanya menggertak! Toko roti ibumu sepi sejak ibumu sakit, masa kamu mau nyewa pengacara atau lapor polisi yang jelas butuh uang?!" tanya mertuanya itu. "Tante lupa kalau Omku adalah pengacara? Om ku pasti membantuku mengurus hal hutang piutang seperti ini. Atau mau diramaikan lewat jalur viral lagi? Aku mempunyai akun media sosial yang banyak followers nya karena selama ini kugunakan untuk mempromosikan roti ibu! Hanya perlu menekan tombol live dan kalian akan mendapatkan sanksi sosial. Masyarakat tak akan tinggal diam jika ada isue perselingkuhan, mertua, serta ipar jahat. Aku hitung sampai tiga, dan aku akan menggunakan salah satu cara itu untuk menagih utang. Akan kusebut kan juga rumah dan tempat kalian bekerja sehingga kalian akan dikejar netizen kemanpun. Satu!" Keluarga Arif berpandangan dan kebingungan, Amira menekan aplikasi tiktok dari di ponsel nya. "Dua!" Keluarga Arif mulai bergumam tak jelas. Amira menekan tombol live di akun tiktoknya. "Tiga! Selamat malam semuanya, maaf lama tidak live.. " "Tunggu! Aku bayar! Aku bayar!" seru Desi dan Dewi secara bersamaan. Next?Arif mendecakkan lidah. "Ah, Ibu! Kayak nggak pernah muda saja!" ujar Arif ketus. Suasana hening sejenak."Kenapa sih punya anak itu ribet? Susah? Kenapa nggak perempuan aja yang urus anak? Kan suami udah capek cari uang!" protes Arif lagi. Sri menghela napas panjang. "Memang seharusnya perempuan yang lebih banyak urus anak. Waktu kamu kecil, Ibu juga ngurus kamu dan kakak-kakakmu sendirian. Bapakmu mana pernah bantu.""Nah, itu maksudku! Harusnya ya gitu! Aku juga udah kerja keras, kenapa masih harus ikut ngurus anak segala?" Arif semakin kesal.Sri menatap putranya dengan sorot mata lelah. "Tapi kamu tahu nggak, Nak? Itu capek banget! Ibu hampir gila karena ngurus kalian bertiga sendirian. Kadang pengen nangis, pengen marah, tapi nggak ada pilihan."Arif terdiam sejenak, tapi lalu menggeleng dengan keras. "Tetap aja, Bu. Aku nggak terima kalau harus ikut-ikutan urus anak. Harusnya Rita yang tanggung jawab!"Sri menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. "Ya sudah, kalau begitu.
Teriakan tangis Irwan menembus sunyi malam, menyentak Rita dari tidurnya. Kepalanya masih berat, tetapi naluri seorang ibu membuatnya langsung terbangun dan menghampiri anaknya. Dengan langkah tergesa, ia mendapati Irwan meringkuk di lantai, menangis tersedu-sedu."Ya Allah! Irwan!" Rita menggendong anaknya, menenangkan tubuh mungil yang masih tersedu. Matanya langsung mencari Arif, suaminya, yang berdiri tak jauh dengan wajah penuh keraguan."Kenapa dia jatuh?!" Rita mendelik tajam.Arif menghela napas panjang, tampak kesal sekaligus lelah. "Anakmu itu susah dibilangin, Rita. Dari tadi udah aku suruh tidur, malah lompat-lompat di ranjang!""Anakmu?" Rita mengulangi dengan suara dingin. "Jadi karena dia bukan anak kandungmu, kau nggak peduli? Ini anak kita, Arif! Calon anak sambung kamu!""Jangan mulai lagi, Rita. Aku capek! Aku udah coba jaga dia, tapi dia bandel!"Mata Rita menyipit, amarahnya naik ke puncak. "Kau nggak sayang sama dia, ya? Itu sebabnya Tuhan nggak kasih kau anak ka
"Iya. Kamu sudah terbiasa memasarkan produk. Kenapa nggak gunakan kemampuan itu untuk membangun sesuatu yang baru? Kamu bisa cerita tentang perjalananmu, atau... kalau berani, bahas soal Arif juga," Om Handoko menyarankan dengan senyum penuh arti.Mata Amira berbinar. Ide itu menggugah sesuatu dalam dirinya. "Jadi, aku bisa membagikan pengalaman, sekaligus membuka mata orang lain?""Tepat sekali. Banyak perempuan di luar sana yang mungkin mengalami hal sama. Mengalah pada rumah tangga nya. Dikhianati suami. Memiliki mertua dan ipar yang kejam. Kalau kamu berbagi, mereka bisa belajar dari pengalamanmu. Dan, siapa tahu? Ini bisa jadi awal yang baik untuk karier baru."Amira mengangguk, perlahan tapi pasti. "Baiklah, Om. Aku akan coba.""Dan kalau kamu mau mencoba, sepertinya kamu juga cocok untuk membuat tutorial make up. Bukan kah kamu dari dulu suka mencoba coba make up?"Amira terdiam sesaat."Atau kamu juga bisa berkarier dengan ijazah kamu. Kamu dulu lulusan pendidikan guru kan?"A
"Halo Om, bisakah suami yang mencuri mahar dari istrinya dipenjara kan?" tanya Amira dengan suara bergetar. "Hah? Apa maksudnya, Ami? Mahar kamu hilang?"Amira menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum bicara. "Om... aku nggak tahu harus cerita ke siapa lagi. Mahar dari Arif... hilang, Om."Suara Om Handoko terdengar terkejut. "Apa? Mahar dari Arif hilang? Kapan kamu tahu?""Baru saja. Aku mencari di tempat biasa kusimpan, tapi nggak ada, Om. Aku curiga... Arif yang ambil," ujar Amira dengan suara bergetar."Arif? Kenapa kamu curiga dia?""Nggak ada orang lain yang tahu tempat aku menyimpannya, selain Arif, Om!"Om Handoko terdiam sesaat. "Oke, Om ke rumahmu sepuluh menit lagi. Jangan panik dulu, ya."Amira mengangguk meski tahu Om Handoko tak bisa melihatnya. Setelah menutup telepon, ia segera memeriksa kembali kamar dan laci tempat biasa ia menyimpan perhiasan itu. Tak lupa Amira memeriksa tempat penyimpanan sertifikat rumahnya di lemari kamar mendiang ibunya."Huft, u
Arif melirik ke arah perhiasan Desi dan Dewi. "Kemarin kayaknya kalian nggak pake perhiasan deh, Mbak!? Sekarang kok kalung atau gelang? Berikan saja perhiasan itu biar kujual dan kujadikan DP mobil. Aku pulang dengan apa kalau nggak naik mobil? Naik bis, pasti berdesakan. Naik kreta, aku kehabisan tiket. Mau naik motor? Aku capek di jalan!Kemarin aku menyerah kan mobil pada Amira secepatnya, agar namaku juga tidak viral karena berniat nikah lagi. Sekarang karena keadaan sudah aman dari Amira, kalian harus bayar hutang. Dan minimal ada jaminannya. Jaminannya perhiasan kalian itu, Mbak!" ujar Arif menatap tajam ke arah Desi dan Dewi. Sri memandang ketiga anak nya secara bergantian. "Arif benar. Kalian sebagai kakak dari Arif yang lebih mapan dan bahkan Dewi sudah jalan jalan ke Singapura, seharusnya tahu diri dan bayar hutang pada Arif segera. Apalagi dia juga membutuhkan uang," ujar Sri tegas. Desi dan Dewi berpandangan, lalu dengan menghela napas panjang, mereka melepas perhias
Sri duduk di kursi rotan, mengamati anaknya, Arif, yang terlihat begitu percaya diri. Dua kakaknya, Desi dan Dewi, baru saja datang, membawa keresahan yang sama."Apa kamu gila, Rif?" suara Desi meledak begitu saja. "Bagaimana kalau Amira sampai tahu kalau maharnya diambil olehmu?"Arif hanya menyeringai, menyendok opor ayam ke piringnya dengan santai. Belum sempat ia menjawab, Dewi ikut menyusul, matanya ta j am men us u k ke arah adiknya."Lalu bagaimana kalau Rita tahu kalau maharnya palsu?"Arif tertawa kecil, menikmati ketegangan yang ia ciptakan. "Tenang saja, mereka nggak akan tahu. Aku sudah punya rencana untuk mengantisipasinya," ujarnya dengan penuh percaya diri.Desi dan Dewi saling berpandangan, lalu bergerak ke arah meja makan. Mereka mengambil mangkuk dan mulai menyendok opor ayam."Bu, minta opor, aku nggak masak," kata Desi, hampir bersamaan dengan Dewi yang berkata, "Aku juga, Bu."Sri hanya mengangguk, menyodorkan sendok besar ke arah anak-anaknya. Namun, sorot matan