Namira 6
.
Sepuluh hari kemudian.
Namira menyandarkan wajahnya di kaca mobil seraya menikmati pemandangan jalan di seberang sana. Setelah kesepakatan beberapa hari yang lalu, ia memutuskan untuk menghubungi Bu Kinanti agar dijemput untuk memulai kerja.
Ia berangkat dengan sopir majikannya itu pagi-pagi sekali, karena memang Namira akan mulai bekerja hari itu juga.
Luka di wajahnya sudah berangsur pulih, hanya tersisa sebagian bekas yang belum mengelupas. Ia rutin mengoleskan salep dan minum obat. Untuk saat ini bekas putih lukanya sedikit berbeda dengan wajah putih aslinya, tapi tak mengapa nanti perlahan akan sama rata.
"Hati-hati di rumah orang ya, Nak. Jangan lupa telepon ibu," pesan sang ibu saat Namira akan pergi.
Pasti berat untuk Bu Farida, ibu Namira, untuk melepaskan anak gadisnya. Pasalnya Namira kerja menjadi baby sitter yang tentunya harus tinggal di rumah itu. Namun, tak ada pilihan lain untuk orang-orang seperti mereka.
"InsyaAllah, Bu. Doakan Namira selalu," katanya sambil memeluk ibu.
"Ziyad juga, tetap rajin belajar ya. Kakak usahakan pulang sebulan sekali."
Ziyad hanya mengangguk. Salah satu semangatnya untuk terus belajar adalah Namira. Api semangat yang dikobarkannya sangat berpengaruh untuk Ziyad. Remaja itu tak tega melihat kakaknya yang masih muda, terus bekerja keras untuk hidup mereka.
Ziyad ingin cepat dewasa, ingin segera bisa meringankan beban Namira entah dengan cara apa.
Rencana awal, Namira akan menunggu sampai dua Minggu, sampai lukanya benar-benar sembuh. Namun, ia juga tak bisa melihat ibunya susah. Susah memikirkan hari ini makan apa, besok makan apa. Sisa uang Namira sudah dibelikan beras beberapa kilo, dan waktu itu Bu Kinanti juga menyerahkan uang sebanyak lima ratus ribu, katanya buat beli obat Namira. Padahal obatnya sudah siap sedia dengan kualitas yang bagus.
Hanya itu uang yang mereka punya, Nami perkirakan harus cukup untuk bulan depan ia gajian.
Namun, nyatanya kebutuhan tak seperti yang diperkirakan. Namira harus menggunakan uang itu untuk membayar beberapa keperluan Ziyad di sekolah, termasuk beli kuota internet.
Pagi itu, Namira terbangun dengan sedikit rasa pusing. Ia melangkah ke dapur, mencari ibunya karena tak terdengar suaranya di rumah.
Tak ada siapa-siapa di rumah, yang membuat hatinya seketika bersedih saat menduga ibunya pergi ke mana.
Siangnya, sang ibu pulang dan Namira langsung bertanya.
"Ibu cuci baju orang lagi ya?" tanyanya.
Bu Farida hanya diam. Tak dijawab pun Namira sudah bisa menebak. Di seberang jalan sana, ada kompleks orang kaya, yang rata-rata ibu-ibu PNS atau istri dari tentara polisi. Bagi Bu Farida, mereka orang kaya, yang terlalu sibuk dan terkadang tak sempat mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Jadi, saat merasa sehat atau bohong lagi sehat, Bu Farida meminta kerja pada mereka.
"Ibu cuci kalau lagi sanggup aja, Nami. Hari ini ibu merasa sehat," katanya.
"Nanti uangnya bisa untuk beli beras lagi, udah mau habis berasnya," tambah sang ibu.
Kini Namira yang terdiam. Tanpa kata, ia membalikkan badan dan masuk ke kamar. Setetes air mata meluncur di pipinya, gadis itu merasa terlalu lama beristirahat, ia merasa tak berguna di saat ia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa ibunya tak boleh kerja berat lagi.
Bu Farida mengalami penyakit gastritis akut, yang kalau kelelahan bisa membuatnya kambuh. Ia bisa pusing, muntah atau bahkan pingsan.
Namira masuk ke kamar, sementara ibunya hanya menatap punggung gadis itu yang mulai terguncang.
Ia tahu, banyak kesedihan dan kekalahan yang dirasakan anak gadisnya sejak kecil, dan Bu Farida tak mampu menghapusnya.
Mereka hanya bisa saling sayang dengan cara yang seperti itu. Cara yang tak akan membiarkan satu sama lain bersedih. Tapi … ada keadaan yang terkadang tak bisa dikendalikan.
.
Mobil memasuki pekarangan rumah elit, lalu benar-benar masuk ke halaman rumah mewah berlantai dua dengan tanaman bonsai berjejer di sisi paving.
Namira menarik napas dalam-dalam, menghirup udara yang ia dapatkan dari sekitarnya. Mulai hari ini ia masuk dalam dunia yang baru dari sebelumnya.
Ini memang pertama kali ia menjadi seorang baby sitter, biasanya kalau bukan di cafe ya jadi karyawan minimarket. Atau kerja di tempat loundry.
Ia menyukai anak-anak, dan berharap nantinya Hanna anteng sama dia.
Namira turun dari mobil dan disambut oleh Bu Kinanti. Gadis itu mencium tangan perempuan paruh baya itu, salam penyambutan.
"Bagaimana, Namira? Sudah sehat?" tanya Bu Kinanti.
Namira hanya mengangguk sambil tersenyum. Lalu, Bu Kinanti sedikit menyingkap bagian atas jilbab Namira untuk melihat bekas lukanya.
"Nanti saya akan suruh Rangga belikan salep yang lebih bagus lagi, biar gak belang wajah kamu."
"Salep yang itu belum habis, Bu," kata Namira.
"Gak apa-apa, biar cepat kembali warna kulitmu."
Namira menurut saja, toh dia tidak minta, hanya ditawarkan.
Sementara Bu Kinanti benar-benar merasa bersalah, ia mau ciptaan Tuhan yang secantik Namira harus kembali seperti sediakala.
Namira diajak Bu Kinanti untuk jalan-jalan keliling rumah itu sambil mengarahkan apa saja kerjanya di sini, jam berapa Hanna biasanya bangun dan makan, lalu tidur lagi. Ia menjelaskan banyak hal, bahkan terkadang mengenalkan pekerja lain yang berpapasan saat mereka jalan.
"Itu Mang Saleh, tukang kebun di rumah ini," ucap Bu Kinanti.
Namira hanya tersenyum pada lelaki paruh baya yang sedang membersihkan tanaman di halaman.
"Yang tadi buang sampah tuh namanya Inem, dia tugasnya bersih-bersih. Nah, yang waktu manggil kamu buat makan, itu namanya Mbok Dasmi, dia yang paling lama kerja di sini. Tugasnya cuma urusan masak," kata Bu Kinanti lagi.
Namira sedikit tertawa miris dalam hatinya. Beruntung sekali ya ditakdirkan hidup menjadi orang kaya. Segala pekerjaan udah ada yang ngurusin. Berbeda dengannya, yang apa-apa harus sendiri.
"Semua pekerja di sini aman dan rukun, saya harap kamu juga bisa seperti mereka ya."
Ya, dari yang terlihat, Namira bisa menyimpulkan bahwa Bu Kinanti ini cinta damai.
Setelah itu, barulah Namira diajak ke kamar Hanna.
"Assalamualaikum, Hanna," ucap Namira dengan semringah.
Hanna yang merasa ada yang memanggilnya pun menoleh. Ia baru bangun di tempat tidur kecilnya. Tempat tidur persegi yang seluruh bagian atasnya ada pembatas agar bayi itu tidak jatuh ke bawah.
Hanna terbiasa tidur sendiri, kamarnya dekat dengan kamar ART dan kamar Bu Kinanti, jadi kalau bangun tengah malam dan nangis, mereka bisa dengar.
Sementara kamar Rangga berada di atas.
Namira mendekat, dan menatap wajah mungil itu. Pipinya tembem, kulitnya putih, hidungnya mancung, rambutnya kriwil. Pemandangan itu membuat Namira tersenyum gemas.
"Hai, Hanna sayang. Kenalin ini Kak Namira, teman baru kamu. Semoga senang ya," kata Bu Kinanti seraya mengecup pipinya.
"Oke, Namira.
Kamu bisa memulai tugasmu," katanya lagi, lalu keluar dari kamar.
Namira mengangguk mengerti maksudnya.
Namira 12."Kamu pasti bosan ya di rumah terus?" tanya Namira pada Hanna yang kini ia ajak jalan-jalan mengitari sekitaran kompleks perumahan elit itu.Hanna sudah dimandikan, sudah wangi, ia mengenakan baju warna pink dipadu dengan penutup kepala berbahan wol, juga kaus kaki untuk menutup kakinya. Namira takut jika udara di luar membahayakan kesehatan Hanna, tapi ia juga mengerti bahwa Hanna sepertinya bosan di rumah terus.Sejak tadi bayi mungil itu rewel, padahal semua sudah Namira lakukan. Namira terus mendorong troli bayi sambil bercerita dan mengenalkan banyak hal pada Hanna."Nanti kamu kalau udah gede, sekolah juga seperti kakak kakak itu."Namira berhenti sejenak dan menunjuk beberapa remaja yang tampaknya baru pulang sekolah atau pulang les. Mereka mengenakan seragam sekolah elit yang tentu biayanya sangat mahal untuk Namira.Gadis itu kembali berjalan bersama Hanna, lalu ia menunjuk ke sebuah halaman rumah orang, di mana beberapa anak kecil sedang main bola bersama.Seper
Namira 11."Rangga … Serangga! Di mana lo?"Sudah menjadi kebiasaan Ervan, kalau manggil Rangga malah teriak-teriak. Bu Kinanti pun sudah terbiasa, dan tak masalah dengan itu, karena Ervan memang seperti itu, ada waktu untuk serius ada waktu bercanda."Apaan sih lo? Teriak-teriak kek di hutan!" tegur Rangga.Ervan hanya nyengir.Pagi-pagi sekali Ervan sudah berada di rumah Rangga."Nih," Ervan menyodorkan sekotak sandwich dan nasi goreng untuk Rangga."Siapa yang masak? Pacar lo?" tanya Rangga."Bukan," jawab Ervan."So?" tanya Rangga lagi"Pacar lo!" kata Ervan terkekeh."Van …," ucap Rangga dengan nada serius. Ia tak suka dibecandai tentang pacar, tentang status hatinya. Karena Zhara masih bertahta di sana, dan tak akan ada yang bisa menggantikan posisi itu."Becanda. Raline. Dia tadi ke rumah gue, niatnya mau sarapan bareng. Tapi keburu ditelpon job," jelas Ervan."Owh," kata Rangga sambil mengendikkan bahu. Ia kembali membuka kotak makanan itu, dan tercium lagi aroma enak dari s
Namira 10."Hanna … ternyata kita sama nasib ya, tapi beda takdir, haha." Namira sedang duduk di bangku taman, menikmati pemandangan hijau warna warni sambil menghirup udara segar di sekitarnya. Hanna baru saja dimandikan setelah makan pagi dan minum susu, kini ia diajak Namira jalan-jalan di taman samping rumah.Namira merasa hidupnya sedikit lebih berwarna sejak bertemu dengan Hanna. Entahlah, meskipun Hanna belum bisa mengerti, tapi Namira sering bercerita banyak hal pada bayi itu.Hanna dijadikan seperti temannya. Teman tidur, teman cerita, teman jalan-jalan. Namira terlalu sibuk dengan keadaan hidupnya, hingga hampir tak punya kesempatan untuk menghabiskan masa muda. Ia bahkan jarang sekali nongkrong atau reuni dengan teman-teman sekolahnya.Namira sibuk bekerja agar saat gajian tak ada potongan gaji."Kita sama karena tidak memiliki orangtua yang lengkap. Aku gak punya ayah, Hanna. Sedangkan kamu gak punya mama. Tapi kamu terlahir dari keluarga yang kaya, jadi tak perlu pusing
Namira 9.Setelah kejadian itu, hidup Rangga terus berlanjut, tapi dengan kehidupan yang berbeda. Ia jadi lebih pendiam dan dingin dalam banyak suasana. Tak lagi hangat seperti dulu. Hanya dengan orang-orang tertentu dia bisa akrab.Setelah tahlilan Zhara selesai, Rangga semingguan mengalami demam parah yang membuatnya terasa sekarat, seperti akan mati. Jiwanya yang mati, dibawa pergi bersama Zhara. Semangat hidupnya yang layu, karena yang membuatnya bersemangat telah pergi.Ia sering mengigau tentang istrinya, bahkan tengah malam datang ke makam istrinya dan menangis di sana."Aku sangat mencintai Zhara Abi, Ummi," kata Rangga pada kedua orangtua Zhara.Mertuanya hanya mengangguk. Tanpa dijelaskan pun, mereka tau bagaimana cinta Rangga untuk almarhum putrinya.Saat itu Ummi dan Abi Zhara mengunjungi cucunya, dan begitu terluka saat melihat keadaan Rangga yang lemah terkapar di ranjang king size di kamarnya."Ini takdir kita, Nak. Allah lebih sayangkan Zhara. Allah sedang mengajarkan
Namira 8."Gapapa ya, Sayang?" tanya Rangga dengan ragu pada istrinya. Sebenarnya ia tak tega menolak ajakan Zhara, sang istri untuk periksa kehamilan sebelum tiba waktu lahir yang hanya tinggal menghitung hari."Gapapa kok, Mas. Lagian ada sopir, kan. Aku pergi sama Pak Ihsan saja," kata Zhara pada suaminya.Zhara tak masalah, ia mengerti kesibukan sang suami. Meskipun ia tadi sudah berjanji akan mengantarkannya ke rumah sakit, tapi mau bagaimana lagi, Rangga sedang sibuk-sibuknya di perusahan karena ia akan diangkat menjadi CEO di perusahaan yang dulu dibimbing oleh orangtuanya.Bu Kinanti sendiri masih menjadi Direktur Utama yang bekerja sama dengan para direksi lainnya, juga pemegang saham di perusahaan.Zhara mengeluh perutnya sudah semakin sering kram, ia hanya ingin tau apakah bayi dalam kandungannya secepatnya ingin lahir atau bagaimana. Namun, ia juga mengerti posisi Rangga, sudah terlalu lama ia menunggu untuk jabatan itu.Orangtua Rangga tidak dengan mudah memberikan jabat
Namira 7."Halo Hanna, Sayang. Kangen sama papa ya?" Rangga yang baru pulang kerja, datang menghampiri Hanna yang sedang main bersama Namira di ruang khusus main. Ada banyak boneka, mobil-mobilan, dan mainan lain di sana.Namira duduk di atas karpet berbulu yang terhampar, sengaja didesain khusus untuk Hanna yang masih merangkak agar lututnya tidak lecet.Di kamar Hanna juga banyak sekali boneka, mainan-mainan yang digantung di dinding, juga buku-buku dongeng tertata rapi di rak buku.Namira masih ingat, saat dulu ia diajak ke pasar oleh ibunya. Saat tiba di toko mainan, kakinya terhenti dan matanya sontak menatap boneka beruang berwarna pink yang memeluk bantal love. Namira benar-benar tak bisa memindahkan pandangannya dari sana.Namun, akhirnya ia kembali berjalan saat menyadari ibu menatapnya sendu.Ibunya hanya diam. Bahkan tidak berani untuk bertanya dia suka atau enggak boneka itu, dia mau atau enggak, karena tahu akan lebih menyakitkan kalau sudah ditanya tapi tak mampu dipen