Namira 5
.
Nami akhirnya bisa bernapas lega saat Bu Kinanti menerimanya sebagai baby sitter dari Hanna. Ia tak lagi harus pusing memikirkan tentang pekerjaan dan cari uang.
Bahkan Bu Kinanti sudah terang-terangan memberitahukan berapa gaji yang akan diterima Namira nantinya.
Kini ia pulang diantar oleh Rangga dan ibunya. Samar Namira tersenyum membayangkan bisa secepatnya bekerja, tapi senyumnya memudar karena kembali teringat bahwa keadaannya masih sakit.
"Kata dokter, wajah kamu gak boleh kena air dulu," tutur Bu Kinanti menghalau senyap yang ada diantara ketiganya.
Rangga yang menyetir, di sampingnya ada Bu Kinanti. Sementara Namira, duduk di belakang, jadi kalau diam-diam mau senyum pun bisa bersembunyi dari mereka.
Apa tadi, gak boleh kena air?
Batin Namira bertanya, tadi subuh ia malah setengah sadar dan langsung wudhu seperti biasa.
"Rutin minum obat yang tadi saya kasih, olesin juga salepnya ya. Ingat jangan kena air dulu, bisa bernanah nantinya," lanjut Bu Kinanti.
Ia sedikit tahu tentang kesehatan, karena dulu teman-temannya banyak yang kerja sebagai perawat di rumah sakit. Pun dokter sudah mengatakan itu pada Rangga, sebab itulah dokter tak menutup luka Namira dengan perban, karena kalau panas bisa lebih beresiko bernanah. Biar saja terbuka seperti itu, kalau lukanya dirawat dengan baik, dua minggu atau lebih sedikit sudah sembuh.
"Iya, Bu." Hanya itu yang Namira ucapkan.
"Ingat itu! Kasian wajah kamu yang cantik itu kalau dipenuhi bekas luka." Bu Kinanti memperingatkan dengan nada memuji.
Nami hanya tersenyum, lalu melempar pandangan ke luar jendela, di mana kini sudah masuk jalan menuju rumahnya.
Benar apa yang dikatakan ART tadi, Bu Kinanti memang orang baik. Bahkan sebelum pulang, ia menyuruh seseorang untuk membelikannya pakaian baru. Agar setidaknya Nami tidak pulang dengan pakaian yang terkena darah sana sini. Ya, meskipun tidak banyak.
Hanya saja, ia terlihat benar-benar bertanggungjawab atas apa yang menimpanya.
.
"Berhenti di sini, sudah sampai, Bu," kata Namira pada Bu Kinanti. Padahal yang nyetir adalah Rangga, tapi rasanya Namira malas sekali ngomong sama lelaki itu. Dinginnya kebangetan.
"Mana rumahnya?" tanya Bu Kinanti.
"Harus jalan kaki masuk gang depan, Bu." Namira berkata lagi dengan agak berat. Maunya Bu Kinanti hanya mengantar sampai sini, kasian kalau jalan menyusuri gang menuju rumahnya.
Namira sudah bilang seperti itu, tapi Bu Kinanti tetap kekeuh ingin bertemu orangtua Namira.
"Em … Ibu gak apa-apa jalan kaki?" tanya Namira agak ragu.
Bu Kinanti menautkan sebelah alisnya sambil menatap Namira dengan senyuman.
"Kamu pikir saya gak pernah jalan kaki?" sarkasnya.
"Em … bukan begitu, Bu. Tapi, saya hanya kasian kalau ibu kelelahan."
"Saya itu dulunya juga bukan orang kaya, Nami. Nikahnya aja ketemu sama orang kaya, gak kaya juga sebenarnya, tapi kami berkecukupan, lalu perlahan merintis hingga jadi seperti sekarang." Bu Kinanti cerita sedikit tentang dirinya tanpa Namira minta.
"Dulu pas saya masih gadis, jangankan jalan, naik gunung pun saya jabanin, Nami. Yah … sekarang aja udah tua, rasanya mengurus Hanna saja sudah terasa lelahnya," lanjut perempuan itu.
Rangga turun dari mobil, diikuti Bu Kinanti dan Namira yang tadinya duduk di belakang.
"Ayo, Bu," ajak Nami pada dua orang tamunya.
Nami sudah berjalan di depan, ibarat pemandu jalan. Sementara Rangga dan Ibunya jalan di belakang.
"Ma …," panggil Rangga menyentuh lengan ibunya.
"Apa sih kamu?" tanya sang ibu agak jutek. Bu Kinanti pikir Rangga mau mengeluh tentang jalan sempit dengan bau kurang sedap itu.
"Itu, Ma," kata Rangga pelan.
"Apa?" tanya ibunya lagi.
Rangga menunjuk bagian belakang celana Namira, hingga terlihatlah warna merah oleh Bu Kinanti. Seketika mata perempuan itu membelalak, dan kini ia menatap Rangga.
"Itu, Ma ... itu, Ma. Bilang kek kalau Namira tembus," bisik Bu Kinanti pada putranya.
"Namira …," panggil Bu Kinanti. Lalu, dengan cepat ia melangkah mendekat pada Namira. Ia menarik selendang yang tersangkut di bahu dan melingkarkan pada tubuh bagian bawah Namira, semata agar gadis itu tak menjadi pusat pandangan.
"Sepertinya kamu tembus, Nami," bisik Bu Kinanti pada Namira agar ia sedikit bisa meredam rasa malunya pada Rangga.
Mendengar itu membuat mata Namira membulat sempurna. Ia memegang bagian belakangnya dan berdecak kesal. Kesal bercampur malu.
Kemudian ia teringat sesuatu, jika dari tadi ia sudah tembus, maka ….
Namira dengan selendang melilit tubuhnya itu berlari untuk kembali ke mobil. Karena pintunya terkunci, jadilah ia melihat lewat jendela. Melihat bekas duduknya yang mungkin saja terkena noda darah.
"Maafkan saya. Izinkan saya membersihkannya, Tuan," kata Namira pada Rangga sambil sedikit menunduk.
Rangga malah menatap ibunya.
"Tidak perlu, Nami. Biar saja nanti dicuci sama tukang cuci mobil." Bu Kinanti berkata.
"Tapi … ini memalukan, Bu. Ini kotor, dan itu karena saya." Namira merasa tak enak, karena mobil itu pasti harganya sangat mahal.
"Tidak perlu, Namira."
"Tapi …,"
"Kamu paham kata gak perlu gak sih?" tanya Rangga dengan nada dingin yang membuat Namira terdiam.
Bu Kinanti menatap Rangga yang mulai bertingkah seperti itu, lalu mengajak Namira untuk lanjut jalan.
"Itu Kak Nami, Bu!" teriak Ziyad di teras sambil menunjuk Namira yang berjalan menuju rumah.
Langsung saja wanita yang telah melahirkan Namira itu bangun untuk menyambut anak gadisnya, disusul tangis lega karena akhirnya Namira pulang.
Semalam, Ziyad disuruh mencari kakaknya di cafe tempatnya bekerja. Namun, informasi yang didapatkan di sana adalah bahwa Namira dipecat hari ini dan entah pergi ke mana.
Ziyad mencari ke mana-mana, sama seperti pikirannya yang ke mana-mana. Ia khawatir, jika Namira stress dan nekat mengakhiri hidupnya.
Pulang dengan tak membawa Namira bersama membuat ibunya semakin gundah. Ponsel Namira pun mati, Ziyad coba untuk menghubungi teman-temannya, tapi tak ada yang tau keberadaan Nami.
"Alhamdulillah … Ya Allah … anakku pulang," tangis Ibu Namira pecah di pelukannya.
Bu Kinanti yang melihat itu pun tak tega, sebagai seorang ibu, ia paham bagaimana perasaan Ibu Namira.
"Nami gak apa-apa, Bu. Cuma ada sedikit musibah semalam." Namira mencium kening ibunya berulang kali.
"Nami ke dalam dulu ya, mau ganti," kata Namira sambil terus masuk ke dalam. Sekalian nanti dibuatkan minuman untuk dua tamunya.
Tinggallah Ibu Nami, Ziyad, Bu Kinanti dan Rangga.
Rangga minta maaf karena telah membuat Nami seperti itu. Ia bilang tak sengaja, dan keluarga Nami memaklumi.
Bu Kinanti juga bilang bahwa saat Namira sembuh, ia akan bekerja di rumahnya sebagai baby sitter. Tak ada masalah bagi ibu Namira, yang penting anak gadisnya sehat dan diperlakukan dengan baik.
"Ziyad, ngapain lagi belum pake baju sekolah?" kata Namira pada adiknya seraya membawa nampan berisi beberapa cangkir teh hangat.
Ziyad langsung bangun dari kursi di ruang keluarga, ia mendekat pada kakaknya saat Nami kembali masuk ke dalam.
"Kakak baik-baik saja, kan?" tanya Ziyad sambil mengamati wajah kakaknya yang masih luka.
"Aman. Kakak gak sesakit itu, cuma perih."
Terdengar helaan napas lega Ziyad, lalu ia memeluk kakaknya.
"Aku sempat berpikir kakak putus asa dan mengakhiri hidup. Pikiran itu bikin aku takut sampai gak bisa tidur, Kak." Remaja kelas tiga SMA itu tak bisa menahan, ia kini menangis.
"Na'uzubillah, semoga Allah melindungi kakak dari hal buruk itu,"
.
Namira 12."Kamu pasti bosan ya di rumah terus?" tanya Namira pada Hanna yang kini ia ajak jalan-jalan mengitari sekitaran kompleks perumahan elit itu.Hanna sudah dimandikan, sudah wangi, ia mengenakan baju warna pink dipadu dengan penutup kepala berbahan wol, juga kaus kaki untuk menutup kakinya. Namira takut jika udara di luar membahayakan kesehatan Hanna, tapi ia juga mengerti bahwa Hanna sepertinya bosan di rumah terus.Sejak tadi bayi mungil itu rewel, padahal semua sudah Namira lakukan. Namira terus mendorong troli bayi sambil bercerita dan mengenalkan banyak hal pada Hanna."Nanti kamu kalau udah gede, sekolah juga seperti kakak kakak itu."Namira berhenti sejenak dan menunjuk beberapa remaja yang tampaknya baru pulang sekolah atau pulang les. Mereka mengenakan seragam sekolah elit yang tentu biayanya sangat mahal untuk Namira.Gadis itu kembali berjalan bersama Hanna, lalu ia menunjuk ke sebuah halaman rumah orang, di mana beberapa anak kecil sedang main bola bersama.Seper
Namira 11."Rangga … Serangga! Di mana lo?"Sudah menjadi kebiasaan Ervan, kalau manggil Rangga malah teriak-teriak. Bu Kinanti pun sudah terbiasa, dan tak masalah dengan itu, karena Ervan memang seperti itu, ada waktu untuk serius ada waktu bercanda."Apaan sih lo? Teriak-teriak kek di hutan!" tegur Rangga.Ervan hanya nyengir.Pagi-pagi sekali Ervan sudah berada di rumah Rangga."Nih," Ervan menyodorkan sekotak sandwich dan nasi goreng untuk Rangga."Siapa yang masak? Pacar lo?" tanya Rangga."Bukan," jawab Ervan."So?" tanya Rangga lagi"Pacar lo!" kata Ervan terkekeh."Van …," ucap Rangga dengan nada serius. Ia tak suka dibecandai tentang pacar, tentang status hatinya. Karena Zhara masih bertahta di sana, dan tak akan ada yang bisa menggantikan posisi itu."Becanda. Raline. Dia tadi ke rumah gue, niatnya mau sarapan bareng. Tapi keburu ditelpon job," jelas Ervan."Owh," kata Rangga sambil mengendikkan bahu. Ia kembali membuka kotak makanan itu, dan tercium lagi aroma enak dari s
Namira 10."Hanna … ternyata kita sama nasib ya, tapi beda takdir, haha." Namira sedang duduk di bangku taman, menikmati pemandangan hijau warna warni sambil menghirup udara segar di sekitarnya. Hanna baru saja dimandikan setelah makan pagi dan minum susu, kini ia diajak Namira jalan-jalan di taman samping rumah.Namira merasa hidupnya sedikit lebih berwarna sejak bertemu dengan Hanna. Entahlah, meskipun Hanna belum bisa mengerti, tapi Namira sering bercerita banyak hal pada bayi itu.Hanna dijadikan seperti temannya. Teman tidur, teman cerita, teman jalan-jalan. Namira terlalu sibuk dengan keadaan hidupnya, hingga hampir tak punya kesempatan untuk menghabiskan masa muda. Ia bahkan jarang sekali nongkrong atau reuni dengan teman-teman sekolahnya.Namira sibuk bekerja agar saat gajian tak ada potongan gaji."Kita sama karena tidak memiliki orangtua yang lengkap. Aku gak punya ayah, Hanna. Sedangkan kamu gak punya mama. Tapi kamu terlahir dari keluarga yang kaya, jadi tak perlu pusing
Namira 9.Setelah kejadian itu, hidup Rangga terus berlanjut, tapi dengan kehidupan yang berbeda. Ia jadi lebih pendiam dan dingin dalam banyak suasana. Tak lagi hangat seperti dulu. Hanya dengan orang-orang tertentu dia bisa akrab.Setelah tahlilan Zhara selesai, Rangga semingguan mengalami demam parah yang membuatnya terasa sekarat, seperti akan mati. Jiwanya yang mati, dibawa pergi bersama Zhara. Semangat hidupnya yang layu, karena yang membuatnya bersemangat telah pergi.Ia sering mengigau tentang istrinya, bahkan tengah malam datang ke makam istrinya dan menangis di sana."Aku sangat mencintai Zhara Abi, Ummi," kata Rangga pada kedua orangtua Zhara.Mertuanya hanya mengangguk. Tanpa dijelaskan pun, mereka tau bagaimana cinta Rangga untuk almarhum putrinya.Saat itu Ummi dan Abi Zhara mengunjungi cucunya, dan begitu terluka saat melihat keadaan Rangga yang lemah terkapar di ranjang king size di kamarnya."Ini takdir kita, Nak. Allah lebih sayangkan Zhara. Allah sedang mengajarkan
Namira 8."Gapapa ya, Sayang?" tanya Rangga dengan ragu pada istrinya. Sebenarnya ia tak tega menolak ajakan Zhara, sang istri untuk periksa kehamilan sebelum tiba waktu lahir yang hanya tinggal menghitung hari."Gapapa kok, Mas. Lagian ada sopir, kan. Aku pergi sama Pak Ihsan saja," kata Zhara pada suaminya.Zhara tak masalah, ia mengerti kesibukan sang suami. Meskipun ia tadi sudah berjanji akan mengantarkannya ke rumah sakit, tapi mau bagaimana lagi, Rangga sedang sibuk-sibuknya di perusahan karena ia akan diangkat menjadi CEO di perusahaan yang dulu dibimbing oleh orangtuanya.Bu Kinanti sendiri masih menjadi Direktur Utama yang bekerja sama dengan para direksi lainnya, juga pemegang saham di perusahaan.Zhara mengeluh perutnya sudah semakin sering kram, ia hanya ingin tau apakah bayi dalam kandungannya secepatnya ingin lahir atau bagaimana. Namun, ia juga mengerti posisi Rangga, sudah terlalu lama ia menunggu untuk jabatan itu.Orangtua Rangga tidak dengan mudah memberikan jabat
Namira 7."Halo Hanna, Sayang. Kangen sama papa ya?" Rangga yang baru pulang kerja, datang menghampiri Hanna yang sedang main bersama Namira di ruang khusus main. Ada banyak boneka, mobil-mobilan, dan mainan lain di sana.Namira duduk di atas karpet berbulu yang terhampar, sengaja didesain khusus untuk Hanna yang masih merangkak agar lututnya tidak lecet.Di kamar Hanna juga banyak sekali boneka, mainan-mainan yang digantung di dinding, juga buku-buku dongeng tertata rapi di rak buku.Namira masih ingat, saat dulu ia diajak ke pasar oleh ibunya. Saat tiba di toko mainan, kakinya terhenti dan matanya sontak menatap boneka beruang berwarna pink yang memeluk bantal love. Namira benar-benar tak bisa memindahkan pandangannya dari sana.Namun, akhirnya ia kembali berjalan saat menyadari ibu menatapnya sendu.Ibunya hanya diam. Bahkan tidak berani untuk bertanya dia suka atau enggak boneka itu, dia mau atau enggak, karena tahu akan lebih menyakitkan kalau sudah ditanya tapi tak mampu dipen