Rangga Adimarta, seorang CEO yang mewarisi perusahaan keluarga, tiba-tiba dijodohkan dengan Namira, gadis cantik dan berani tapi miskin. Namira menyetujui perjodohan itu untuk blas jasa karena keluarga Rangga telah membiayai kuliah adiknya untuk menjadi seorang dokter. Dalam pernikahan itu, Namira tidak bahagia karena raga Rangga bersamanya, tapi hatinya masih pada Zhara, istri pertamanya yang meninggal saat melahirkan anak mereka. Mampukah Namira merebut kembali hati Rangga?
Lihat lebih banyakBab 1
.
“Kurang a j 4 r, s et an!” Seorang gadis berteriak memaki. Sedetik kemudian tangannya cekatan mengambil segelas minuman dingin yang tadi ia bawa, lalu dengan cepat ia tuangkan di atas kepala seorang lelaki di depannya.
“Untuk mendinginkan kepala Anda yang panas dan kotor.” Kembali ia berkata dengan berani. Hingga membuat para pelanggan di cafe itu menatapnya. Menatap satu meja yang saat ini sedang terjadi keributan.
Namira, nama yang singkat yang disematkan oleh kedua orangtuanya. Orang-orang memanggilnya Nami, seolah Namira tak cukup singkat untuk menjadi nama. Gadis cantik yang selalu ingin menjaga harga dirinya dengan cara apa pun. Ia tak akan membiarkan orang lain mengusik ketenangannya.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu bekerja di sebuah cafe di pusat kota. Saat matahari mulai menampakkan sinarnya hingga warna jingga terlihat di sisi langit, ia baru kembali ke rumahnya, atau bahkan ketika malam mulai menyelimuti bumi. Kembali pada tempat yang ia sebut sebagai tempat pulang, di mana ada seorang ibu yang sudah tak lagi kuat seperti dulu. Juga seorang adik yang menganggapnya sebagai penerus ibu jika ibunya telah tiada. Nami sudah terbiasa bekerja banting tulang untuk keluarganya. Sejak sang ayah meninggal, ia satu-satunya orang yang bisa diharapkan dalam keluarganya.
“Ziyad harus jadi orang sukses, biar nggak kayak kak Nami,” ucap gadis itu pada adiknya suatu hari.
Satu mimpi besarnya, bisa menyekolahkan Ziyad hingga jenjang perguruan tinggi, agar nanti bisa membantu mencari nafkah untuk keluarga. Bisa membahagiakan ibunya di masa tua. Tidak seperti Nami yang hanya lulusan SMA.
“Kuliah mahal, Kak. Mending pas gede nanti Ziyad kerja aja biar langsung dapat uang.” Ziyad berkata waktu itu.
Remaja yang saat ini sudah kelas tiga SMA itu pernah menyanggah. Ia juga tak tega melihat kakaknya banting tulang setiap hari demi kebutuhan keluarganya. Setidaknya jika ia ikut bekerja, itu akan sedikit meringankan beban Nami.
Nami tak tega, saat itu usia Ziyad masih sebelas tahun, tapi ia sudah bisa mengerti rasa lelah kakaknya. Sedangkan Nami sudah umur enam belas tahun, masih kerja part time sepulang sekolah.
Nami menggeleng. “Kamu harus jadi orang pintar, kamu harus kuliah.” Ia bertekad untuk menyekolahkan adiknya, meskipun sebenarnya ia tak tahu harus menabung dengan cara apa jika kebutuhannya saja kerap tak terpenuhi.
Sebab itu, sejak kecil Nami selalu memberikan motivasi untuk adiknya agar lebih giat belajar, dan bisa meraih beasiswa. Satu-satunya cara yang terpikir oleh Nami untuk mewujudkan impian itu.
Percakapan dua anak itu terdengar oleh Farida, ibu yang telah melahirkan dua anak baik itu. Ya, bagi Farida, Namira dan Ziyad adalah permata terindah yang dihadiahkan Tuhan untuknya. Perlahan tetesan demi tetesan air mata membasahi pipi wanita yang hampir senja itu. Ada rasa tidak berdaya yang timbul dalam hatinya, rasa lemah sebagai orang tua yang tak mampu membahagiakan anak-anaknya.
Nami dan Ziyad memang tak pernah mengeluh dengan keadaan. Keduanya cukup bisa menerima apa yang telah digariskan Tuhan, hidup dalam perekonomian pas-pasan. Kadang saat Farida merasa sehat, ia meminta pekerjaan pada tetangganya. Pekerjaan sebagai tukang cuci gosok yang setelah itu akan mendapat upah tak seberapa.
“Ibu jangan terlalu memaksakan diri,” ucap Nami saat melihat ibunya sedang mencuci baju tetangga di belakang.
“Justru ibu enggak memaksakan diri, Nami. Ibu tidak melakukannya setiap hari, hanya saat ibu merasa sehat.” Farida berujar.
Usia yang tak lagi muda membuat ia sering sakit-sakitan dan tak lagi kuat seperti dulu. Ia merasa tulang dan ototnya sering sakit dan nyeri, bukti bahwa semua bagian dari tubuhnya meminta istirahat. Namun, ia tak sanggup melihat wajah Nami yang kelelahan seorang diri. Seharusnya gadis itu menikmati masa mudanya, tapi malah dihempaskan oleh takdir yang harus berjuang.
Nami hanya bisa sekolah sampai tamat SMA, sebab itu ia tak bisa melamar pekerjaan di tempat yang lebih baik dengan gaji yang besar.
Di sinilah Nami saat ini, bekerja di sebuah cafe yang pengunjungnya selalu ramai. Namun, tampak pelayan begitu lihai dan cekatan seperti terlatih untuk menghadapi keramaian, hingga mereka tak perlu lama menunggu pesanan datang.
“Ke meja nomor 18 ya.” Seorang barista memerintahkan Nami untuk membawa nampan berisi dua gelas es kopi.
Nami tersenyum pada Azka, barista tampan yang memang sudah lama dikenalnya. “Siap, Bos!” ucapnya riang. Tak heran, gadis itu memang selalu bersemangat dalam bekerja tak peduli pada lelahnya.
Dengan senyum yang menawan dan gerakan yang lincah, Nami membawa nampan itu ke meja tujuan. Sebagai pelayan ia dituntut harus ramah pada pelanggan, karena menurut bosnya, itu juga merupakan trik marketing untuk menarik pelanggan.
Nami meletakkan pesanan itu di meja. Namun, seketika ia harus memaki dua pelanggan laki-laki yang ditaksir umurnya sekitar tiga puluhan.
Mata Nami menatap tajam pada salah satu keduanya, saat sebuah tangan berhasil menyentuh dagunya dengan sentuhan pelan dan menjij ikkan. Sementara satu orang lagi menatap suka pada Nami, mungkin tak tahan melihat dagunya yang agak runcing dan terlihat semakin menggoda.
Nami sedikit menarik jilbabnya ke belakang, lalu tatapannya menghunjam pada kedua lelaki di depannya. Ia ingin menangis saat ini, merasa dirinya telah dile ceh kan untuk pertama kali. Nami membenci kejadian itu, ia tak suka kehormatannya diganggu. Ia tak suka haknya sebagai seorang perempuan yang seharusnya dijaga, tapi malah diperlakukan seperti itu. Nami merasa diren dah kan.
Spontan tangannya mengambil es kopi dan menyirami kepala lelaki yang menyentuhnya. Menyadarkan lelaki itu di mana letak kesalahannya.
“Untuk mencuci otak Anda.” Nami terlihat begitu berani. Terserah apa yang akan dilakukan lelaki itu setelah ini. Intinya ia hanya ingin melindungi diri agar tak diperlakukan seenaknya saja.
Lelaki dengan jas hitam yang telah basah itu bangun dari duduknya. Air di atas kepalanya mengalir ke bawah hingga membuat jas dan kemejanya basah membekas noda kopi. Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka orang-orang kaya yang mungkin bekerja di perusahaan ternama. Orang kaya yang berpikir bisa melakukan apa pun untuk orang lain.
“Apa-apaan ini?” teriak lelaki berwajah tampan itu.
Kegaduhan itu membuat para pengunjung menatap mereka. Menatap satu meja yang sedang terjadi keributan, juga menanti hal apa yang akan terjadi selanjutnya, seolah itu adalah hal yang menyenangkan bagi mereka. Mungkin.
“Ada apa?” tanya seorang lelaki lain yang tiba-tiba datang pada Namira.
Namira menjelaskan, berharap ia dibela oleh bosnya.
“Minta maaf, Nami!” ucap lelaki yang Nami panggil bos. Sedikit kaget lelaki itu saat melihat dua pemuda yang menjadi sasaran Nami.
Nami memicingkan mata, terkejut dengan penuturan bosnya. Lalu, ia tersenyum miring menyiratkan bahwa seharusnya ia tak perlu merasa akan mendapat pembelaan karena pembelaan akan berpihak pada mereka yang punya uang. Bukan pada mereka yang berstatus korban.
“Tidak perlu meminta maaf, pecat saja dia!” perintah lelaki yang tadi bersikap kurang a j a r dengan Nami.
“Atau saya akan bawa kasus ini ke kantor polisi. Mempermalukan orang di depan umum, itu sama seperti pembulian.” Terdengar nada dingin dan mengejek dari lelaki itu.
Nami menatap bos yang berdiri di sampingnya. Ia tak perlu menunggu kalimat yang sama dari bosnya, karena hukumnya adalah hampir semua orang akan tunduk pada mereka yang memiliki uang. Mungkin pada Nami ia juga akan melakukan hal yang sama.
Nami segera melangkah ke ruang ganti, lalu beberapa menit kembali dengan seragam cafe yang ia pegang di tangannya.
Bos hanya melihat Nami tanpa kata. Keberanian gadis itu di luar dugaannya.
“Sampai detik itu saya masih menghormati Anda. Meskipun saya tau saat ini sedang diperlakukan tak adil. Namun saya tetap tak bisa melempar seragam ini pada Anda. Sebab itu ...,” Nami sejenak menjeda. Ia masih berhadapan dengan bosnya yang diam tak berkutik.
“Anggaplah ini sebagai rasa kesal saya.” Nami berbalik arah, lalu melempar seragamnya pada lelaki yang tadi mencolek dagunya.
Setelah itu Nami pergi, melangkah dengan cepat ke arah pintu keluar. Tak peduli pada beberapa pasang mata yang menatapnya. Saat di pintu, ia berbalik dan tersenyum sekadar menyiratkan dia akan baik-baik saja pada Azka, sang barista yang menatap sedih atas kepergiannya.
Namira 19.Setelah mendapatkan telepon dari ibu semalam, paginya aku langsung minta izin untuk pulang sebentar. Bu Kinanti mengizinkannya, Inem yang disuruh jagain Hanna sebentar selama aku belum pulang.Aku pulang, bahkan Bu Kinanti menyuruh sopir untuk mengantar, biar cepat katanya."Assalamualaikum, Bu." Aku langsung masuk ke dalam setelah memberi salam, karena tak ada siapapun di teras."Wa'alaikumsalam, Nami."Aku menyalami tangan ibu, dan mencium keningnya. Tampaknya ibu semakin sehat, dan malah kini Ziyad yang sakit."Sejak kapan, Bu?" tanya Namira pada ibunya seraya bergegas ke kamar Ziyad.Bu Farida diam, yang membuat Namira menatapnya. Seperti ada yang tidak beres dengan ibu dan Ziyad, entah apa yang sedang terjadi. Bulan kemarin dia pioang semuanya baik-baik saja.Wanita paruh baya itu menggeleng, "Ziyad seperti orang hilang harapan, Nami." Ibunya berkata.Namira masuk ke kamar dan melihat Ziyad terbaring lemah seperti itu. Di sampingnya ada sepiring nasi goreng dan telur
Namira 18."Ayolah, Mas … sebelum besok aku masuk kerja," rengek Keira mengajak Rangga untuk jalan-jalan bersama."Ajak Mas Ervan juga," katanya lagi.Rangga hanya diam sambil mempertimbangkan. Sudah lama memang ia tidak jalan sama Keira dan yang lainnya. Apalagi besok adalah hari pertama Keira masuk kerja, pasti hari ini dia mau puas-puasin main."Apa nih, kok bawa-bawa nama gue," sahut Ervan tiba-tiba muncul di tengah-tengah mereka."Nah, orangnya datang, pas banget, Mas!" "Mas Ervan, jalan yuk, bareng sama Mas Rangga juga," ajak Keira. Kini ia bangkit dari sofa dan mendekat kada Ervan."Ayo!" Ervan setuju."Morning gais!" seru Raline yang juga baru datang.Ia membawakan beberapa oleh-oleh dari luar negeri. Baru saja tiba dari Italia semalam.Ervan dan Keira ambil satu persatu, tersisa milik Rangga, dan satu lagi entah untuk siapa."Ini buat siapa, Kak?" tanya Keira."Hmmm … siapa tuh namanya susnya Hanna?" tanya Raline yang lupa nama Namira."Namira," sahut Ervan cepat."Nah, iya
Namira 17.Malam ini semua orang sedang duduk di ruang keluarga, karena Hanna sedang membuka kado ulangtahunnya yang banyak itu.Keira yang paling bersemangat buka kado. Apalagi pas giliran kado dari Ervan."Wow, ini dari Om Ervan, Sayang," kata Keira pada keponakannya.Keira membuka kotak yang sangat besar, dibungkus pita. Tadi yang bawa kado itu satpamnya Ervan, ditaruh di dekat tumpukan kado lain."Wah, mobil nih, asiik Hanna punya mobil," seru Keira dan mencium pipi kiri Hanna."Kita harus coba nih," katanya lagi sambil mengambil Hanna dari troli, lalu mendudukkannya di mobil mainan remote control yang dihadiahkan Ervan."Hanna pegang sini," Keira membimbing tangan Hanna untuk memegang stir."Oke, are you ready, Hanna?" tanya Keira.Hana hanya tertawa. Sepertinya ia senang sekali mendapat mainan baru dari Ervan."Onty pencet ya!" Keira mulai memainkan remot kontrolnya, lalu mobil mainan itu mulai jalan.Hanna tertawa sepanjang perjalanannya.Sementara Namira hanya mengamati itu,
Namira 16."Wow, cantik sekali hari ini putri papa," seru Rangga saat Namira membawa Hanna keluar kamar dan menyerahkan padanya."Ayo kita keluar, Sayang. Udah banyak yang nungguin di sana," kata Rangga lagi."Saya permisi siap-siap dulu, Tuan," ucap Namira pada lelaki itu.Rangga hanya mengangguk, lalu membawa Hanna keluar di gendongan. Di luar sana sudah banyak yang menunggu.Hari ini Hanna genap satu tahun, dan Rangga merayakannya. Para tamu kebanyakan memang bawa anak-anak, mereka dari kalangan teman dan kolega bisnis Rangga dan ibunya. Acaranya meriah dan penuh warna.Hanna kemudian dibawa dengan troli yang sudah dihias. Sapaan dan doa mengalir begitu Rangga mendorong bayinya menuju para tamu.Waktu itu troli Hanna ditinggalkan Namira di jalanan, dan Rangga tak mau lagi memakai troli itu. Ia takut anjing itu menjil*t troli Hanna tanpa sepengetahuannya, yang tentu menyebabkan banyak kuman dan bakteri di sana.Rangga juga tak ingin Hanna naik troli itu lagi, karena mungkin membuat
Namira 15.Namira menatap bingung pada dua orang itu, terlebih pada Rangga yang katanya milik Zhara seorang, tapi peluk sana sini. Gadis itu bahkan tersenyum miris melihat pemandangan itu, kemarin-kemarin sama Raline pun lelaki itu terlihat dekat, tapi bedanya selalu ada Ervan di tengah-tengah mereka.Dan … bersama gadis yang di depan Namira kini, Rangga bahkan tak sungkan memeluknya. Lalu, di mana statement yang selama ini dia katakan pada orang-orang?"Mbok … Inem …," panggil Bu Kinanti yang juga baru masuk dari pintu depan.Eh, kok malah biasa saja liat anaknya pelukan sama perempuan?Simbok dan Inem pun datang, dan mengambil alih tas yang dibawa gadis itu. Sementara koper diambil alih oleh sopir dan langsung dibawa ke atas.Namira jadi bingung, apa gadis itu mau nginap di sini. Ah, atau memang itu istri simpanannya Rangga, bisa jadi sih. Katanya setia sama istri meskipun udah meninggal, tapi kok punya istri simpanan. Huuu, lelaki, mana bisa dipegang omongannya."Kamar udah rapi
Namira 14.Namira membuka mata saat subuh tiba, hal ia lakukan pertama adalah mengecek tubuh Hanna untuk merasakan suhunya. Panas lagi. Padahal semalam sudah dicek demamnya sudah turun.Gadis itu gegas salat subuh agar setelah itu bisa kompres Hanna lagi. Tak lupa ia berdoa untuk kesehatan Hanna, agar bayi itu kembali riang seperti biasa.Usai shalat subuh, Namira mengecek suhu tubuh Hana dengan alat, dan suhunya kembali menunjukkan 38°C, naik turun dari semalam.Namira mengompres lagi dahinya. Kemudian ia menyiapkan makanan Hanna dan meminumkannya obat.Pintu diketuk oleh Rangga saat masih pagi sekali. Ia juga ingin melihat keadaan Hanna. Segera saja Namira mengenakan jilbab instan yang ia taruh di hanger, lalu baru membuka pintu."Gimana keadaannya?" tanya Rangga."Naik lagi jadi 38°C, Tuan!" jawab Namira."Apa? Kok bisa? Bukannya semalam udah turun?" ketus Rangga menatap Namira seolah ia yang membuat suhunya jadi naik lagi."Iya, Tuan. Setau saya, demam anak memang bisa naik turu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen