MENANTI HATI MAJIKAN YANG TERPAKSA KUNIKAHI

MENANTI HATI MAJIKAN YANG TERPAKSA KUNIKAHI

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-07-23
Oleh:  El BaarishBaru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
19Bab
243Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Rangga Adimarta, seorang CEO yang mewarisi perusahaan keluarga, tiba-tiba dijodohkan dengan Namira, gadis cantik dan berani tapi miskin. Namira menyetujui perjodohan itu untuk blas jasa karena keluarga Rangga telah membiayai kuliah adiknya untuk menjadi seorang dokter. Dalam pernikahan itu, Namira tidak bahagia karena raga Rangga bersamanya, tapi hatinya masih pada Zhara, istri pertamanya yang meninggal saat melahirkan anak mereka. Mampukah Namira merebut kembali hati Rangga?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Di Cafe

Bab 1

.

“Kurang a j 4 r, s et an!” Seorang gadis berteriak memaki. Sedetik kemudian tangannya cekatan mengambil segelas minuman dingin yang tadi ia bawa, lalu dengan cepat ia tuangkan di atas kepala seorang lelaki di depannya.

“Untuk mendinginkan kepala Anda yang panas dan kotor.” Kembali ia berkata dengan berani. Hingga membuat para pelanggan di cafe itu menatapnya. Menatap satu meja yang saat ini sedang terjadi keributan.

Namira, nama yang singkat yang disematkan oleh kedua orangtuanya. Orang-orang memanggilnya Nami, seolah Namira tak cukup singkat untuk menjadi nama. Gadis cantik yang selalu ingin menjaga harga dirinya dengan cara apa pun. Ia tak akan membiarkan orang lain mengusik ketenangannya.

Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu bekerja di sebuah cafe di pusat kota. Saat matahari mulai menampakkan sinarnya hingga warna jingga terlihat di sisi langit, ia baru kembali ke rumahnya, atau bahkan ketika malam mulai menyelimuti bumi. Kembali pada tempat yang ia sebut sebagai tempat pulang, di mana ada seorang ibu yang sudah tak lagi kuat seperti dulu. Juga seorang adik yang menganggapnya sebagai penerus ibu jika ibunya telah tiada. Nami sudah terbiasa bekerja banting tulang untuk keluarganya. Sejak sang ayah meninggal, ia satu-satunya orang yang bisa diharapkan dalam keluarganya.

“Ziyad harus jadi orang sukses, biar nggak kayak kak Nami,” ucap gadis itu pada adiknya suatu hari.

Satu mimpi besarnya, bisa menyekolahkan Ziyad hingga jenjang perguruan tinggi, agar nanti bisa membantu mencari nafkah untuk keluarga. Bisa membahagiakan ibunya di masa tua. Tidak seperti Nami yang hanya lulusan SMA.

“Kuliah mahal, Kak. Mending pas gede nanti Ziyad kerja aja biar langsung dapat uang.” Ziyad berkata waktu itu.

Remaja yang saat ini sudah kelas tiga SMA itu pernah menyanggah. Ia juga tak tega melihat kakaknya banting tulang setiap hari demi kebutuhan keluarganya. Setidaknya jika ia ikut bekerja, itu akan sedikit meringankan beban Nami.

Nami tak tega, saat itu usia Ziyad masih sebelas tahun, tapi ia sudah bisa mengerti rasa lelah kakaknya. Sedangkan Nami sudah umur enam belas tahun, masih kerja part time sepulang sekolah.

Nami menggeleng. “Kamu harus jadi orang pintar, kamu harus kuliah.” Ia bertekad untuk menyekolahkan adiknya, meskipun sebenarnya ia tak tahu harus menabung dengan cara apa jika kebutuhannya saja kerap tak terpenuhi.

Sebab itu, sejak kecil Nami selalu memberikan motivasi untuk adiknya agar lebih giat belajar, dan bisa meraih beasiswa. Satu-satunya cara yang terpikir oleh Nami untuk mewujudkan impian itu.

Percakapan dua anak itu terdengar oleh Farida, ibu yang telah melahirkan dua anak baik itu. Ya, bagi Farida, Namira dan Ziyad adalah permata terindah yang dihadiahkan Tuhan untuknya. Perlahan tetesan demi tetesan air mata membasahi pipi wanita yang hampir senja itu. Ada rasa tidak berdaya yang timbul dalam hatinya, rasa lemah sebagai orang tua yang tak mampu membahagiakan anak-anaknya.

Nami dan Ziyad memang tak pernah mengeluh dengan keadaan. Keduanya cukup bisa menerima apa yang telah digariskan Tuhan, hidup dalam perekonomian pas-pasan. Kadang saat Farida merasa sehat, ia meminta pekerjaan pada tetangganya. Pekerjaan sebagai tukang cuci gosok yang setelah itu akan mendapat upah tak seberapa.

“Ibu jangan terlalu memaksakan diri,” ucap Nami saat melihat ibunya sedang mencuci baju tetangga di belakang.

“Justru ibu enggak memaksakan diri, Nami. Ibu tidak melakukannya setiap hari, hanya saat ibu merasa sehat.” Farida berujar.

Usia yang tak lagi muda membuat ia sering sakit-sakitan dan tak lagi kuat seperti dulu. Ia merasa tulang dan ototnya sering sakit dan nyeri, bukti bahwa semua bagian dari tubuhnya meminta istirahat. Namun, ia tak sanggup melihat wajah Nami yang kelelahan seorang diri. Seharusnya gadis itu menikmati masa mudanya, tapi malah dihempaskan oleh takdir yang harus berjuang.

Nami hanya bisa sekolah sampai tamat SMA, sebab itu ia tak bisa melamar pekerjaan di tempat yang lebih baik dengan gaji yang besar.

Di sinilah Nami saat ini, bekerja di sebuah cafe yang pengunjungnya selalu ramai. Namun, tampak pelayan begitu lihai dan cekatan seperti terlatih untuk menghadapi keramaian, hingga mereka tak perlu lama menunggu pesanan datang.

“Ke meja nomor 18 ya.” Seorang barista memerintahkan Nami untuk membawa nampan berisi dua gelas es kopi.

Nami tersenyum pada Azka, barista tampan yang memang sudah lama dikenalnya. “Siap, Bos!” ucapnya riang. Tak heran, gadis itu memang selalu bersemangat dalam bekerja tak peduli pada lelahnya.

Dengan senyum yang menawan dan gerakan yang lincah, Nami membawa nampan itu ke meja tujuan. Sebagai pelayan ia dituntut harus ramah pada pelanggan, karena menurut bosnya, itu juga merupakan trik marketing untuk menarik pelanggan.

Nami meletakkan pesanan itu di meja. Namun, seketika ia harus memaki dua pelanggan laki-laki yang ditaksir umurnya sekitar tiga puluhan.

Mata Nami menatap tajam pada salah satu keduanya, saat sebuah tangan berhasil menyentuh dagunya dengan sentuhan pelan dan menjij ikkan. Sementara satu orang lagi menatap suka pada Nami, mungkin tak tahan melihat dagunya yang agak runcing dan terlihat semakin menggoda.

Nami sedikit menarik jilbabnya ke belakang, lalu tatapannya menghunjam pada kedua lelaki di depannya. Ia ingin menangis saat ini, merasa dirinya telah dile ceh kan untuk pertama kali. Nami membenci kejadian itu, ia tak suka kehormatannya diganggu. Ia tak suka haknya sebagai seorang perempuan yang seharusnya dijaga, tapi malah diperlakukan seperti itu. Nami merasa diren dah kan.

Spontan tangannya mengambil es kopi dan menyirami kepala lelaki yang menyentuhnya. Menyadarkan lelaki itu di mana letak kesalahannya.

“Untuk mencuci otak Anda.” Nami terlihat begitu berani. Terserah apa yang akan dilakukan lelaki itu setelah ini. Intinya ia hanya ingin melindungi diri agar tak diperlakukan seenaknya saja.

Lelaki dengan jas hitam yang telah basah itu bangun dari duduknya. Air di atas kepalanya mengalir ke bawah hingga membuat jas dan kemejanya basah membekas noda kopi. Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka orang-orang kaya yang mungkin bekerja di perusahaan ternama. Orang kaya yang berpikir bisa melakukan apa pun untuk orang lain.

“Apa-apaan ini?” teriak lelaki berwajah tampan itu.

Kegaduhan itu membuat para pengunjung menatap mereka. Menatap satu meja yang sedang terjadi keributan, juga menanti hal apa yang akan terjadi selanjutnya, seolah itu adalah hal yang menyenangkan bagi mereka. Mungkin.

“Ada apa?” tanya seorang lelaki lain yang tiba-tiba datang pada Namira.

Namira menjelaskan, berharap ia dibela oleh bosnya.

“Minta maaf, Nami!” ucap lelaki yang Nami panggil bos. Sedikit kaget lelaki itu saat melihat dua pemuda yang menjadi sasaran Nami.

Nami memicingkan mata, terkejut dengan penuturan bosnya. Lalu, ia tersenyum miring menyiratkan bahwa seharusnya ia tak perlu merasa akan mendapat pembelaan karena pembelaan akan berpihak pada mereka yang punya uang. Bukan pada mereka yang berstatus korban.

“Tidak perlu meminta maaf, pecat saja dia!” perintah lelaki yang tadi bersikap kurang a j a r dengan Nami.

“Atau saya akan bawa kasus ini ke kantor polisi. Mempermalukan orang di depan umum, itu sama seperti pembulian.” Terdengar nada dingin dan mengejek dari lelaki itu.

Nami menatap bos yang berdiri di sampingnya. Ia tak perlu menunggu kalimat yang sama dari bosnya, karena hukumnya adalah hampir semua orang akan tunduk pada mereka yang memiliki uang. Mungkin pada Nami ia juga akan melakukan hal yang sama.

Nami segera melangkah ke ruang ganti, lalu beberapa menit kembali dengan seragam cafe yang ia pegang di tangannya.

Bos hanya melihat Nami tanpa kata. Keberanian gadis itu di luar dugaannya.

“Sampai detik itu saya masih menghormati Anda. Meskipun saya tau saat ini sedang diperlakukan tak adil. Namun saya tetap tak bisa melempar seragam ini pada Anda. Sebab itu ...,” Nami sejenak menjeda. Ia masih berhadapan dengan bosnya yang diam tak berkutik.

“Anggaplah ini sebagai rasa kesal saya.” Nami berbalik arah, lalu melempar seragamnya pada lelaki yang tadi mencolek dagunya.

Setelah itu Nami pergi, melangkah dengan cepat ke arah pintu keluar. Tak peduli pada beberapa pasang mata yang menatapnya. Saat di pintu, ia berbalik dan tersenyum sekadar menyiratkan dia akan baik-baik saja pada Azka, sang barista yang menatap sedih atas kepergiannya.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
19 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status