Bab 1
.
“Kurang a j 4 r, s et an!” Seorang gadis berteriak memaki. Sedetik kemudian tangannya cekatan mengambil segelas minuman dingin yang tadi ia bawa, lalu dengan cepat ia tuangkan di atas kepala seorang lelaki di depannya.
“Untuk mendinginkan kepala Anda yang panas dan kotor.” Kembali ia berkata dengan berani. Hingga membuat para pelanggan di cafe itu menatapnya. Menatap satu meja yang saat ini sedang terjadi keributan.
Namira, nama yang singkat yang disematkan oleh kedua orangtuanya. Orang-orang memanggilnya Nami, seolah Namira tak cukup singkat untuk menjadi nama. Gadis cantik yang selalu ingin menjaga harga dirinya dengan cara apa pun. Ia tak akan membiarkan orang lain mengusik ketenangannya.
Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu bekerja di sebuah cafe di pusat kota. Saat matahari mulai menampakkan sinarnya hingga warna jingga terlihat di sisi langit, ia baru kembali ke rumahnya, atau bahkan ketika malam mulai menyelimuti bumi. Kembali pada tempat yang ia sebut sebagai tempat pulang, di mana ada seorang ibu yang sudah tak lagi kuat seperti dulu. Juga seorang adik yang menganggapnya sebagai penerus ibu jika ibunya telah tiada. Nami sudah terbiasa bekerja banting tulang untuk keluarganya. Sejak sang ayah meninggal, ia satu-satunya orang yang bisa diharapkan dalam keluarganya.
“Ziyad harus jadi orang sukses, biar nggak kayak kak Nami,” ucap gadis itu pada adiknya suatu hari.
Satu mimpi besarnya, bisa menyekolahkan Ziyad hingga jenjang perguruan tinggi, agar nanti bisa membantu mencari nafkah untuk keluarga. Bisa membahagiakan ibunya di masa tua. Tidak seperti Nami yang hanya lulusan SMA.
“Kuliah mahal, Kak. Mending pas gede nanti Ziyad kerja aja biar langsung dapat uang.” Ziyad berkata waktu itu.
Remaja yang saat ini sudah kelas tiga SMA itu pernah menyanggah. Ia juga tak tega melihat kakaknya banting tulang setiap hari demi kebutuhan keluarganya. Setidaknya jika ia ikut bekerja, itu akan sedikit meringankan beban Nami.
Nami tak tega, saat itu usia Ziyad masih sebelas tahun, tapi ia sudah bisa mengerti rasa lelah kakaknya. Sedangkan Nami sudah umur enam belas tahun, masih kerja part time sepulang sekolah.
Nami menggeleng. “Kamu harus jadi orang pintar, kamu harus kuliah.” Ia bertekad untuk menyekolahkan adiknya, meskipun sebenarnya ia tak tahu harus menabung dengan cara apa jika kebutuhannya saja kerap tak terpenuhi.
Sebab itu, sejak kecil Nami selalu memberikan motivasi untuk adiknya agar lebih giat belajar, dan bisa meraih beasiswa. Satu-satunya cara yang terpikir oleh Nami untuk mewujudkan impian itu.
Percakapan dua anak itu terdengar oleh Farida, ibu yang telah melahirkan dua anak baik itu. Ya, bagi Farida, Namira dan Ziyad adalah permata terindah yang dihadiahkan Tuhan untuknya. Perlahan tetesan demi tetesan air mata membasahi pipi wanita yang hampir senja itu. Ada rasa tidak berdaya yang timbul dalam hatinya, rasa lemah sebagai orang tua yang tak mampu membahagiakan anak-anaknya.
Nami dan Ziyad memang tak pernah mengeluh dengan keadaan. Keduanya cukup bisa menerima apa yang telah digariskan Tuhan, hidup dalam perekonomian pas-pasan. Kadang saat Farida merasa sehat, ia meminta pekerjaan pada tetangganya. Pekerjaan sebagai tukang cuci gosok yang setelah itu akan mendapat upah tak seberapa.
“Ibu jangan terlalu memaksakan diri,” ucap Nami saat melihat ibunya sedang mencuci baju tetangga di belakang.
“Justru ibu enggak memaksakan diri, Nami. Ibu tidak melakukannya setiap hari, hanya saat ibu merasa sehat.” Farida berujar.
Usia yang tak lagi muda membuat ia sering sakit-sakitan dan tak lagi kuat seperti dulu. Ia merasa tulang dan ototnya sering sakit dan nyeri, bukti bahwa semua bagian dari tubuhnya meminta istirahat. Namun, ia tak sanggup melihat wajah Nami yang kelelahan seorang diri. Seharusnya gadis itu menikmati masa mudanya, tapi malah dihempaskan oleh takdir yang harus berjuang.
Nami hanya bisa sekolah sampai tamat SMA, sebab itu ia tak bisa melamar pekerjaan di tempat yang lebih baik dengan gaji yang besar.
Di sinilah Nami saat ini, bekerja di sebuah cafe yang pengunjungnya selalu ramai. Namun, tampak pelayan begitu lihai dan cekatan seperti terlatih untuk menghadapi keramaian, hingga mereka tak perlu lama menunggu pesanan datang.
“Ke meja nomor 18 ya.” Seorang barista memerintahkan Nami untuk membawa nampan berisi dua gelas es kopi.
Nami tersenyum pada Azka, barista tampan yang memang sudah lama dikenalnya. “Siap, Bos!” ucapnya riang. Tak heran, gadis itu memang selalu bersemangat dalam bekerja tak peduli pada lelahnya.
Dengan senyum yang menawan dan gerakan yang lincah, Nami membawa nampan itu ke meja tujuan. Sebagai pelayan ia dituntut harus ramah pada pelanggan, karena menurut bosnya, itu juga merupakan trik marketing untuk menarik pelanggan.
Nami meletakkan pesanan itu di meja. Namun, seketika ia harus memaki dua pelanggan laki-laki yang ditaksir umurnya sekitar tiga puluhan.
Mata Nami menatap tajam pada salah satu keduanya, saat sebuah tangan berhasil menyentuh dagunya dengan sentuhan pelan dan menjij ikkan. Sementara satu orang lagi menatap suka pada Nami, mungkin tak tahan melihat dagunya yang agak runcing dan terlihat semakin menggoda.
Nami sedikit menarik jilbabnya ke belakang, lalu tatapannya menghunjam pada kedua lelaki di depannya. Ia ingin menangis saat ini, merasa dirinya telah dile ceh kan untuk pertama kali. Nami membenci kejadian itu, ia tak suka kehormatannya diganggu. Ia tak suka haknya sebagai seorang perempuan yang seharusnya dijaga, tapi malah diperlakukan seperti itu. Nami merasa diren dah kan.
Spontan tangannya mengambil es kopi dan menyirami kepala lelaki yang menyentuhnya. Menyadarkan lelaki itu di mana letak kesalahannya.
“Untuk mencuci otak Anda.” Nami terlihat begitu berani. Terserah apa yang akan dilakukan lelaki itu setelah ini. Intinya ia hanya ingin melindungi diri agar tak diperlakukan seenaknya saja.
Lelaki dengan jas hitam yang telah basah itu bangun dari duduknya. Air di atas kepalanya mengalir ke bawah hingga membuat jas dan kemejanya basah membekas noda kopi. Jika dilihat dari penampilannya, sepertinya mereka orang-orang kaya yang mungkin bekerja di perusahaan ternama. Orang kaya yang berpikir bisa melakukan apa pun untuk orang lain.
“Apa-apaan ini?” teriak lelaki berwajah tampan itu.
Kegaduhan itu membuat para pengunjung menatap mereka. Menatap satu meja yang sedang terjadi keributan, juga menanti hal apa yang akan terjadi selanjutnya, seolah itu adalah hal yang menyenangkan bagi mereka. Mungkin.
“Ada apa?” tanya seorang lelaki lain yang tiba-tiba datang pada Namira.
Namira menjelaskan, berharap ia dibela oleh bosnya.
“Minta maaf, Nami!” ucap lelaki yang Nami panggil bos. Sedikit kaget lelaki itu saat melihat dua pemuda yang menjadi sasaran Nami.
Nami memicingkan mata, terkejut dengan penuturan bosnya. Lalu, ia tersenyum miring menyiratkan bahwa seharusnya ia tak perlu merasa akan mendapat pembelaan karena pembelaan akan berpihak pada mereka yang punya uang. Bukan pada mereka yang berstatus korban.
“Tidak perlu meminta maaf, pecat saja dia!” perintah lelaki yang tadi bersikap kurang a j a r dengan Nami.
“Atau saya akan bawa kasus ini ke kantor polisi. Mempermalukan orang di depan umum, itu sama seperti pembulian.” Terdengar nada dingin dan mengejek dari lelaki itu.
Nami menatap bos yang berdiri di sampingnya. Ia tak perlu menunggu kalimat yang sama dari bosnya, karena hukumnya adalah hampir semua orang akan tunduk pada mereka yang memiliki uang. Mungkin pada Nami ia juga akan melakukan hal yang sama.
Nami segera melangkah ke ruang ganti, lalu beberapa menit kembali dengan seragam cafe yang ia pegang di tangannya.
Bos hanya melihat Nami tanpa kata. Keberanian gadis itu di luar dugaannya.
“Sampai detik itu saya masih menghormati Anda. Meskipun saya tau saat ini sedang diperlakukan tak adil. Namun saya tetap tak bisa melempar seragam ini pada Anda. Sebab itu ...,” Nami sejenak menjeda. Ia masih berhadapan dengan bosnya yang diam tak berkutik.
“Anggaplah ini sebagai rasa kesal saya.” Nami berbalik arah, lalu melempar seragamnya pada lelaki yang tadi mencolek dagunya.
Setelah itu Nami pergi, melangkah dengan cepat ke arah pintu keluar. Tak peduli pada beberapa pasang mata yang menatapnya. Saat di pintu, ia berbalik dan tersenyum sekadar menyiratkan dia akan baik-baik saja pada Azka, sang barista yang menatap sedih atas kepergiannya.
Namira 13."Aku takut banget, Mbok." Namira mengeluh pada Simbok yang sedang menikmati makan malam di ruang khusus para pekerja.Gadis itu bahkan tak ikut makan, hanya menatap nasinya di depan. Terlihat tak selera, karena takut pada ancaman Rangga yang akan memecatnya jika terjadi sesuatu pada Hanna.Sejak Namira pulang tadi, ia bahkan belum bisa melihat Hanna, karena bayi kecil itu masih dalam pengawasan ayahnya. Namira hanya mengintip di pintu, bagaimana Rangga mengganti popok Hanna, juga membuka bajunya hingga menyisakan singlet.Ia tak berani masuk, atau bahkan bertanya keadaan Hanna. "Sabar ya, Namira. Tuan memang seperti itu. Sudah saya jelaskan di awal, kan?" kata Simbok.Namira hanya mengangguk. Niatnya hanya ingin membuat Hanna senang dengan jalan-jalan, tapi malah jadi diluar prediksi.Semua gara-gara anjing itu, merusak kebahagian dalam hatinya.Jika Namira dipecat, ke mana lagi ia harus mencari pekerjaan? Ia tidak mau kembali bergabung di cafe milik Ervan."Berdoa yang
Namira 12."Kamu pasti bosan ya di rumah terus?" tanya Namira pada Hanna yang kini ia ajak jalan-jalan mengitari sekitaran kompleks perumahan elit itu.Hanna sudah dimandikan, sudah wangi, ia mengenakan baju warna pink dipadu dengan penutup kepala berbahan wol, juga kaus kaki untuk menutup kakinya. Namira takut jika udara di luar membahayakan kesehatan Hanna, tapi ia juga mengerti bahwa Hanna sepertinya bosan di rumah terus.Sejak tadi bayi mungil itu rewel, padahal semua sudah Namira lakukan. Namira terus mendorong troli bayi sambil bercerita dan mengenalkan banyak hal pada Hanna."Nanti kamu kalau udah gede, sekolah juga seperti kakak kakak itu."Namira berhenti sejenak dan menunjuk beberapa remaja yang tampaknya baru pulang sekolah atau pulang les. Mereka mengenakan seragam sekolah elit yang tentu biayanya sangat mahal untuk Namira.Gadis itu kembali berjalan bersama Hanna, lalu ia menunjuk ke sebuah halaman rumah orang, di mana beberapa anak kecil sedang main bola bersama.Seper
Namira 11."Rangga … Serangga! Di mana lo?"Sudah menjadi kebiasaan Ervan, kalau manggil Rangga malah teriak-teriak. Bu Kinanti pun sudah terbiasa, dan tak masalah dengan itu, karena Ervan memang seperti itu, ada waktu untuk serius ada waktu bercanda."Apaan sih lo? Teriak-teriak kek di hutan!" tegur Rangga.Ervan hanya nyengir.Pagi-pagi sekali Ervan sudah berada di rumah Rangga."Nih," Ervan menyodorkan sekotak sandwich dan nasi goreng untuk Rangga."Siapa yang masak? Pacar lo?" tanya Rangga."Bukan," jawab Ervan."So?" tanya Rangga lagi"Pacar lo!" kata Ervan terkekeh."Van …," ucap Rangga dengan nada serius. Ia tak suka dibecandai tentang pacar, tentang status hatinya. Karena Zhara masih bertahta di sana, dan tak akan ada yang bisa menggantikan posisi itu."Becanda. Raline. Dia tadi ke rumah gue, niatnya mau sarapan bareng. Tapi keburu ditelpon job," jelas Ervan."Owh," kata Rangga sambil mengendikkan bahu. Ia kembali membuka kotak makanan itu, dan tercium lagi aroma enak dari s
Namira 10."Hanna … ternyata kita sama nasib ya, tapi beda takdir, haha." Namira sedang duduk di bangku taman, menikmati pemandangan hijau warna warni sambil menghirup udara segar di sekitarnya. Hanna baru saja dimandikan setelah makan pagi dan minum susu, kini ia diajak Namira jalan-jalan di taman samping rumah.Namira merasa hidupnya sedikit lebih berwarna sejak bertemu dengan Hanna. Entahlah, meskipun Hanna belum bisa mengerti, tapi Namira sering bercerita banyak hal pada bayi itu.Hanna dijadikan seperti temannya. Teman tidur, teman cerita, teman jalan-jalan. Namira terlalu sibuk dengan keadaan hidupnya, hingga hampir tak punya kesempatan untuk menghabiskan masa muda. Ia bahkan jarang sekali nongkrong atau reuni dengan teman-teman sekolahnya.Namira sibuk bekerja agar saat gajian tak ada potongan gaji."Kita sama karena tidak memiliki orangtua yang lengkap. Aku gak punya ayah, Hanna. Sedangkan kamu gak punya mama. Tapi kamu terlahir dari keluarga yang kaya, jadi tak perlu pusing
Namira 9.Setelah kejadian itu, hidup Rangga terus berlanjut, tapi dengan kehidupan yang berbeda. Ia jadi lebih pendiam dan dingin dalam banyak suasana. Tak lagi hangat seperti dulu. Hanya dengan orang-orang tertentu dia bisa akrab.Setelah tahlilan Zhara selesai, Rangga semingguan mengalami demam parah yang membuatnya terasa sekarat, seperti akan mati. Jiwanya yang mati, dibawa pergi bersama Zhara. Semangat hidupnya yang layu, karena yang membuatnya bersemangat telah pergi.Ia sering mengigau tentang istrinya, bahkan tengah malam datang ke makam istrinya dan menangis di sana."Aku sangat mencintai Zhara Abi, Ummi," kata Rangga pada kedua orangtua Zhara.Mertuanya hanya mengangguk. Tanpa dijelaskan pun, mereka tau bagaimana cinta Rangga untuk almarhum putrinya.Saat itu Ummi dan Abi Zhara mengunjungi cucunya, dan begitu terluka saat melihat keadaan Rangga yang lemah terkapar di ranjang king size di kamarnya."Ini takdir kita, Nak. Allah lebih sayangkan Zhara. Allah sedang mengajarkan
Namira 8."Gapapa ya, Sayang?" tanya Rangga dengan ragu pada istrinya. Sebenarnya ia tak tega menolak ajakan Zhara, sang istri untuk periksa kehamilan sebelum tiba waktu lahir yang hanya tinggal menghitung hari."Gapapa kok, Mas. Lagian ada sopir, kan. Aku pergi sama Pak Ihsan saja," kata Zhara pada suaminya.Zhara tak masalah, ia mengerti kesibukan sang suami. Meskipun ia tadi sudah berjanji akan mengantarkannya ke rumah sakit, tapi mau bagaimana lagi, Rangga sedang sibuk-sibuknya di perusahan karena ia akan diangkat menjadi CEO di perusahaan yang dulu dibimbing oleh orangtuanya.Bu Kinanti sendiri masih menjadi Direktur Utama yang bekerja sama dengan para direksi lainnya, juga pemegang saham di perusahaan.Zhara mengeluh perutnya sudah semakin sering kram, ia hanya ingin tau apakah bayi dalam kandungannya secepatnya ingin lahir atau bagaimana. Namun, ia juga mengerti posisi Rangga, sudah terlalu lama ia menunggu untuk jabatan itu.Orangtua Rangga tidak dengan mudah memberikan jabat