Share

Bersyukur

Author: El Baarish
last update Last Updated: 2025-06-07 12:20:51

Bab 2

.

Hari telah sore ketika Nami memilih terus berjalan kaki entah ke mana. Terlihat semburat jingga telah mewarnai kaki langit begitu indahnya. Nami mengagumi senja dengan segala keindahan yang disuguhkannya, tapi hari ini ia bahkan tak bersemangat untuk menatapnya lama.

Setelah keluar dari cafe tempat ia membela harga dirinya, Nami memikirkan akan melangkahkan kaki ke mana. Ia tentu harus mencari pekerjaan lagi untuk menyambung hidupnya. Menyambung nyawa untuk bisa bertahan hidup di ibukota.

Tak hanya hidupnya, tapi hidup ibu dan juga adiknya. Ia telah berjanji pada diri sendiri untuk membahagiakan mereka entah dengan sebanyak apa pengorbanan keringatnya. Namun, hingga detik ini Nami sama sekali tak menyesal telah meninggalkan pekerjaan itu, meskipun ia belum mendapatkan pekerjaan baru.

Jika ia menceritakan pada ibunya, pasti wanita itu akan mengerti dan menyuruhnya berhenti bekerja di sana. Namun, Nami tak ingin menambah beban pikiran ibunya. Lebih baik ia ceritakan saat ia telah menemukan pekerjaan baru.

Nami menghentikan langkahnya sebentar. Ia membuka tas selempang yang dikenakannya, lalu sebuah dompet kecil ia buka dan terlihat isinya. Selembar uang seratus ribu tersisa di sana. Ia juga masih mempunyai sedikit tabungan di rumahnya untuk berjaga-jaga jika tiba-tiba ibunya sakit atau ada keadaan darurat lainnya. Gadis itu berpikir sejenak, akan tahan beberapa hari uang itu jika dirinya tak segera menemukan pekerjaan.

Nami menghela napas berat, lalu kembali melanjutkan langkah entah ke mana, yang pasti bukan pulang tujuannya. Ia masih ingin berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya untuk menanyakan sebuah posisi pekerjaan yang bisa mendapatkan upah.

“Tidak ada, Mbak.”

“Karyawan kami sudah cukup, Dek.”

“Maaf, Mbak. Tidak ada lowongan.”

Entah sudah berapa tempat yang Nami datangi. Toko baju, supermarket, tempat laundry, cafe, bahkan tempat fotocopy atau tukang bakso di pinggir jalan. Semua tempat itu tak memberikan kesempatan untuknya. Tuhan benar-benar sedang menguji kesabarannya saat ini.

Adzan magrib terdengar saat Nami kembali ingin melangkah. Ia menghela napas lelah, lalu melanjutkan langkahnya untuk menemukan mesjid di sekitarnya.

Memasuki gerbang masjid, Nami melihat banyak orang yang masuk ingin salat berjamaah. Seketika hatinya merasa damai seolah beban yang tadi dipikulnya menguap seketika. Ia melihat perkumpulan orang melakukan kebaikan bersama-sama. Ia mengambil wudu di tempat wudu jamaah perempuan. Setelah itu, Nami masuk ke dalam masjid dan berdiri diantara shaf para jamaah perempuan.

Usai salat magrib dan dzikir, beberapa jamaah bubar. Sebagiannya tetap tinggal karena ada pengajian khusus setelah magrib. Seperti di dekat Nami tinggal, ada malam-malam khusus diadakan pengajian setelah magrib.

Nami kembali mengenakan sepatunya. Ia merasa hatinya tenang setelah mengadukan semua permasalahan pada Rabbnya. Ya, tempat berkeluh kesah paling nyaman, tempat membisikkan rahasia paling aman, tempat memohon ampunan.

Setelah memakai sepatunya, Nami tetap duduk di teras masjid. Teras yang berbentuk anak tangga rendah. Ia bingung ke mana lagi akan mencari pekerjaan di malam seperti ini. Kebutuhan rumah, biaya sekolah Ziyad, semua beban itu menari di kepala Nami, membuatnya merasa pusing.

Tiba-tiba suara keroncongan dalam perut Nami berhasil membawanya kembali dari lamunan. Ia baru menyadari bahwa sedari keluar dari cafe tadi, ia belum makan sama sekali. Itu artinya dia hampir melewati dua waktu makan.

Nami bangun dari duduknya dan bergegas keluar dari masjid. Ia ingin mencari makanan yang dijual di pinggir jalan, sekalian bertanya apakah ada lowongan pekerjaan. Sambil menyelam minum susu, begitu kata orang, dan saat ini Nami sedang ingin melakukannya.

Di dekat pagar masjid, dalam temaram lampu malam, Nami seolah melihat sesuatu yang bergerak dekat tong sampah. Ia mendekat demi memastikan apa yang dilihatnya. Saat Nami berada dalam jarak dekat, tiba-tiba seorang anak terkejut melihat keberadaan Nami.

Bocah yang ditaksir oleh Nami usianya delapan tahun. Ia menyembunyikan sesuatu di balik tubuh dekil yang terbungkus pakaian kumuh hingga lehernya terlihat melorot. Mata terangnya menatap sendu pada Nami, tapi tetap tak menampakkan apa yang disembunyikan.

“Hei, ngapain malam-malam di sini?” tanya Nami.

Gadis kecil dengan rambut diikat sebagian terurai itu diam sejenak. Lalu menunduk.

“Cari makanan,” ujar gadis kecil itu dengan polos.

Nami baru mengerti kenapa anak itu berada di sini. Di depan masjid banyak sekali penjual makanan, dan anak itu mengambil bagiannya. Bagian yang terbuang oleh orang lain, dan ia memakannya.

“Allah ...,” lirih Nami berucap. Berulangkali ia beristigfar dalam hatinya. Ia malu pada adik kecil yang ia temui itu, baru saja ia mengeluh tentang hari sialnya. Baru saja Nami mengeluh atas nasibnya. Ia memang tidak meratapi, tapi jauh dalam lubuk hatinya ia merasa hidupnya tak adil.

Nami menadahkan tangan seraya menunduk menyajarkan posisi dengan anak itu. Sejenak gadis kecil nan dekil itu menatap Nami dengan mata polosnya, lalu ia memberikan bungkusan nasi yang ia pungut dari tong sampah.

Nami mengambilnya, lalu ia letakkan di atas paving di pinggir jalan. Seketika seekor kucing seolah mencium bau rezekinya. Nami membiarkan kucing itu melahapnya, diikuti tatapan sendu sang bocah saat dengan lahap kucing itu menjilat bungkusan dan memakan nasi sisa itu.

Nami kembali menadahkan satu tangannya lagi untuk ke dua kali. Kali ini ia ingin gadis kecil itu memegang tangannya dan ikut bersamanya.

“Ikut kakak, yuk!” ajak Nami.

“Ke mana?”

“Makan.” Nami menjawab pertanyaan yang ia yakin begitu ditunggu jawabannya oleh gadis kecil itu. Terlihat dari matanya yang berbinar saat Nami menyebut kata makan.

Bocah kecil itu menurut saja saat Nami membawanya menyeberangi jalan. Entah ia bertemu orang baik atau orang jahat, yang ia tahu perutnya beberapa kali terdengar berbunyi meminta diisi.

Nami memesan dua porsi nasi goreng ayam pada penjual gerobak di pinggir jalan. Ia tersenyum saat melihat gadis kecil itu begitu lahap memakannya.

Tersenyum ketika melihat orang yang ditolong merasa bahagia, itu artinya Nami juga sedang membahagiakan diri sendiri.

“Kenyang?” tanya Nami saat gadis kecil itu menandaskan minuman di gelasnya.

Gadis kecil itu hanya mengangguk, tapi masih terlihat sendu di wajahnya.

“Kenapa?” Nami yang melihat raut itu bertanya.

“Tadi sebelum aku ke sini, ibu sama kakak juga bilang lapar.”

Nami tak kuasa membayangkan nasib anak kecil yang ia temui. Nasib Nami juga tak seberuntung orang lain, tapi seumur hidup ia belum pernah mengais makanan sisa di tong sampah. Hanya sering makan seadanya, atau hanya nasi saja.

Nami menyuruh penjual untuk membungkus dua nasi goreng untuk kakak dan ibu gadis dekil itu. Padahal uang Nami hanya tersisa lima puluh ribu lagi. Entah bagaimana ia akan mengirit kebutuhan di rumah. Intinya ia juga tak bisa merasa baik-baik saja ketika melihat ada anak di bawah lampu temaram sedang mengais makanan sisa. Itu terlalu mengoyak sisi kemanusiaan Nami.

Gadis kecil itu pulang setelah membawa dua nasi bungkus. Lily namanya, Nami bertanya saat ia akan pergi. Seorang anak yang tinggal di gang yang Nami tahu paling kumuh di daerah itu.

Nami juga ingin pulang. Ia takut ibunya khawatir jika ia pulang terlalu larut, karena biasanya Nami pulang jam delapan malam paling terlambat. Kadang naik angkutan umum, tapi seringkali diantar oleh Azka dengan motornya.

Isi kepala Nami masih penuh dengan segala permasalahannya. Lagi-lagi ia menghela napas berat. Ia terus berjalan untuk sampai di halte dan akan naik angkutan umum.

Namun, saat Nami ingin menyeberang jalan, tiba-tiba sebuah mobil menabrak dirinya. Nami terjatuh di atas aspal di pinggir jalan, karena mobil itu berada di sebelah kiri. Nami tak fokus pada jalannya hingga ia tak melihat mobil yang mengarah padanya.

Nami sempat merasa pusing, lalu semua rasa itu berubah menjadi gelap.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTI HATI MAJIKAN YANG TERPAKSA KUNIKAHI   Bab 13

    Namira 13."Aku takut banget, Mbok." Namira mengeluh pada Simbok yang sedang menikmati makan malam di ruang khusus para pekerja.Gadis itu bahkan tak ikut makan, hanya menatap nasinya di depan. Terlihat tak selera, karena takut pada ancaman Rangga yang akan memecatnya jika terjadi sesuatu pada Hanna.Sejak Namira pulang tadi, ia bahkan belum bisa melihat Hanna, karena bayi kecil itu masih dalam pengawasan ayahnya. Namira hanya mengintip di pintu, bagaimana Rangga mengganti popok Hanna, juga membuka bajunya hingga menyisakan singlet.Ia tak berani masuk, atau bahkan bertanya keadaan Hanna. "Sabar ya, Namira. Tuan memang seperti itu. Sudah saya jelaskan di awal, kan?" kata Simbok.Namira hanya mengangguk. Niatnya hanya ingin membuat Hanna senang dengan jalan-jalan, tapi malah jadi diluar prediksi.Semua gara-gara anjing itu, merusak kebahagian dalam hatinya.Jika Namira dipecat, ke mana lagi ia harus mencari pekerjaan? Ia tidak mau kembali bergabung di cafe milik Ervan."Berdoa yang

  • MENANTI HATI MAJIKAN YANG TERPAKSA KUNIKAHI   Bab 12

    Namira 12."Kamu pasti bosan ya di rumah terus?" tanya Namira pada Hanna yang kini ia ajak jalan-jalan mengitari sekitaran kompleks perumahan elit itu.Hanna sudah dimandikan, sudah wangi, ia mengenakan baju warna pink dipadu dengan penutup kepala berbahan wol, juga kaus kaki untuk menutup kakinya. Namira takut jika udara di luar membahayakan kesehatan Hanna, tapi ia juga mengerti bahwa Hanna sepertinya bosan di rumah terus.Sejak tadi bayi mungil itu rewel, padahal semua sudah Namira lakukan. Namira terus mendorong troli bayi sambil bercerita dan mengenalkan banyak hal pada Hanna."Nanti kamu kalau udah gede, sekolah juga seperti kakak kakak itu."Namira berhenti sejenak dan menunjuk beberapa remaja yang tampaknya baru pulang sekolah atau pulang les. Mereka mengenakan seragam sekolah elit yang tentu biayanya sangat mahal untuk Namira.Gadis itu kembali berjalan bersama Hanna, lalu ia menunjuk ke sebuah halaman rumah orang, di mana beberapa anak kecil sedang main bola bersama.Seper

  • MENANTI HATI MAJIKAN YANG TERPAKSA KUNIKAHI   Bab 11

    Namira 11."Rangga … Serangga! Di mana lo?"Sudah menjadi kebiasaan Ervan, kalau manggil Rangga malah teriak-teriak. Bu Kinanti pun sudah terbiasa, dan tak masalah dengan itu, karena Ervan memang seperti itu, ada waktu untuk serius ada waktu bercanda."Apaan sih lo? Teriak-teriak kek di hutan!" tegur Rangga.Ervan hanya nyengir.Pagi-pagi sekali Ervan sudah berada di rumah Rangga."Nih," Ervan menyodorkan sekotak sandwich dan nasi goreng untuk Rangga."Siapa yang masak? Pacar lo?" tanya Rangga."Bukan," jawab Ervan."So?" tanya Rangga lagi"Pacar lo!" kata Ervan terkekeh."Van …," ucap Rangga dengan nada serius. Ia tak suka dibecandai tentang pacar, tentang status hatinya. Karena Zhara masih bertahta di sana, dan tak akan ada yang bisa menggantikan posisi itu."Becanda. Raline. Dia tadi ke rumah gue, niatnya mau sarapan bareng. Tapi keburu ditelpon job," jelas Ervan."Owh," kata Rangga sambil mengendikkan bahu. Ia kembali membuka kotak makanan itu, dan tercium lagi aroma enak dari s

  • MENANTI HATI MAJIKAN YANG TERPAKSA KUNIKAHI   Bab 10

    Namira 10."Hanna … ternyata kita sama nasib ya, tapi beda takdir, haha." Namira sedang duduk di bangku taman, menikmati pemandangan hijau warna warni sambil menghirup udara segar di sekitarnya. Hanna baru saja dimandikan setelah makan pagi dan minum susu, kini ia diajak Namira jalan-jalan di taman samping rumah.Namira merasa hidupnya sedikit lebih berwarna sejak bertemu dengan Hanna. Entahlah, meskipun Hanna belum bisa mengerti, tapi Namira sering bercerita banyak hal pada bayi itu.Hanna dijadikan seperti temannya. Teman tidur, teman cerita, teman jalan-jalan. Namira terlalu sibuk dengan keadaan hidupnya, hingga hampir tak punya kesempatan untuk menghabiskan masa muda. Ia bahkan jarang sekali nongkrong atau reuni dengan teman-teman sekolahnya.Namira sibuk bekerja agar saat gajian tak ada potongan gaji."Kita sama karena tidak memiliki orangtua yang lengkap. Aku gak punya ayah, Hanna. Sedangkan kamu gak punya mama. Tapi kamu terlahir dari keluarga yang kaya, jadi tak perlu pusing

  • MENANTI HATI MAJIKAN YANG TERPAKSA KUNIKAHI   Bab 9

    Namira 9.Setelah kejadian itu, hidup Rangga terus berlanjut, tapi dengan kehidupan yang berbeda. Ia jadi lebih pendiam dan dingin dalam banyak suasana. Tak lagi hangat seperti dulu. Hanya dengan orang-orang tertentu dia bisa akrab.Setelah tahlilan Zhara selesai, Rangga semingguan mengalami demam parah yang membuatnya terasa sekarat, seperti akan mati. Jiwanya yang mati, dibawa pergi bersama Zhara. Semangat hidupnya yang layu, karena yang membuatnya bersemangat telah pergi.Ia sering mengigau tentang istrinya, bahkan tengah malam datang ke makam istrinya dan menangis di sana."Aku sangat mencintai Zhara Abi, Ummi," kata Rangga pada kedua orangtua Zhara.Mertuanya hanya mengangguk. Tanpa dijelaskan pun, mereka tau bagaimana cinta Rangga untuk almarhum putrinya.Saat itu Ummi dan Abi Zhara mengunjungi cucunya, dan begitu terluka saat melihat keadaan Rangga yang lemah terkapar di ranjang king size di kamarnya."Ini takdir kita, Nak. Allah lebih sayangkan Zhara. Allah sedang mengajarkan

  • MENANTI HATI MAJIKAN YANG TERPAKSA KUNIKAHI   Bab 8

    Namira 8."Gapapa ya, Sayang?" tanya Rangga dengan ragu pada istrinya. Sebenarnya ia tak tega menolak ajakan Zhara, sang istri untuk periksa kehamilan sebelum tiba waktu lahir yang hanya tinggal menghitung hari."Gapapa kok, Mas. Lagian ada sopir, kan. Aku pergi sama Pak Ihsan saja," kata Zhara pada suaminya.Zhara tak masalah, ia mengerti kesibukan sang suami. Meskipun ia tadi sudah berjanji akan mengantarkannya ke rumah sakit, tapi mau bagaimana lagi, Rangga sedang sibuk-sibuknya di perusahan karena ia akan diangkat menjadi CEO di perusahaan yang dulu dibimbing oleh orangtuanya.Bu Kinanti sendiri masih menjadi Direktur Utama yang bekerja sama dengan para direksi lainnya, juga pemegang saham di perusahaan.Zhara mengeluh perutnya sudah semakin sering kram, ia hanya ingin tau apakah bayi dalam kandungannya secepatnya ingin lahir atau bagaimana. Namun, ia juga mengerti posisi Rangga, sudah terlalu lama ia menunggu untuk jabatan itu.Orangtua Rangga tidak dengan mudah memberikan jabat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status