Namira 3
.
Rangga akhirnya bisa pulang setelah lembur menyelesaikan pekerjaannya. Ia keluar dari ruangnya dan mendapati temannya sedang melamun sambil tersenyum di sebuah sofa yang diletakkan di suatu sudut lantai 17 itu.
Rangga mengamatinya, lalu ia mendekat dan sepertinya Ervan tak menyadari kehadirannya. Hingga Rangga mengeluarkan sesuatu dari saku jas yang ia pegang di tangannya.
"Woi lagi jatuh cinta sama Ayang ya? A … yang ke berapa?" kekeh Rangga menggodanya. Pasalnya Ervan memang terkenal playboy. Hari ini dia sama cewek ini, besok bisa jadi udah sama yang lain.
Usianya sama seperti Rangga, tapi ia belum menikah sama sekali. Padahal uangnya banyak, karirnya bagus, wajahnya banyak dipuja oleh kaum hawa.
"Sialan lo, Serangga!" umpat lelaki itu karena terkejut. Ia berjongkok dan mengambil pulpen yang terjatuh di lantai, yang tadi sempat membuatnya terkejut dan menghentikan slide hayalan dalam memorinya.
Ervan melemparkan kembali pulpen pada Rangga, dan berjalan lebih dekat padanya.
Keduanya memang sudah berteman cukup lama, bahkan sejak masih kecil, karena mereka tetanggaan. Kini malah hubungan itu semakin dekat karena pelebaran bisnis dan kerja sama di dua perusahaan.
Milik orangtua Rangga dan orangtua temannya itu. Sayangnya, papa Rangga sudah meninggal yang membuat perusahaan itu kini dipimpin olehnya.
Serangga adalah panggilan untuk Rangga dari Ervan, karena mereka memang sudah terbiasa bergurau, tapi tak melampaui batas.
"Siapa?" tanya Rangga pada temannya itu.
"Apa?" Ervan malah tanya balik.
"Siapa yang bikin lo senyum-senyum?" Rangga memperjelas pertanyaan.
Sejenak Ervan terdiam, perasaannya masih terlalu belum jelas.
"Jasmine," jawabnya. Ia menyebut nama pacarnya saat ini.
"Bau-bau mau nikah nih," kekeh Rangga.
"Ribut lo! Sana pulang, ganggu aja orang lagi halu!" usir Ervan dengan mengibaskan tangannya.
Rangga malah tertawa, bahkan sampai ia tiba di depan pintu lift pun masih menertawakan temannya itu, karena tak bisanya ia memikirkan gadis yang ia pacari, apalagi sampai senyum-senyum tak jelas seperti itu.
Biasanya mah, gadis-gadis itu yang datang menemui Rangga karena ingin ketemu sama Ervan, saat lelaki itu mengabaikan chat dan telepon mereka.
.
Rangga terus mengendarai mobilnya dengan kecepatan yang lumayan. Satu tangan memegang stir, sementara satu lagi memijit kepala yang terasa berat. Berat oleh rindu.
Ia begitu merindukan istrinya, juga buah cinta dari mereka yang kini pasti sedang menunggunya di rumah. Hanna, bocah yang belum genap satu tahun itu pasti tak mau tidur jika Rangga tidak menemaninya tidur.
Seolah sudah menjadi kebiasaannya, Hanna selalu menunggunya pulang di pukul delapan malam, lalu Rangga akan memeluknya, menciumnya dan bermain sebentar dengannya, hingga akhirnya bayi itu tertidur pulas.
Ia ingat saat istrinya bilang tidak mau mengetahui jenis kelamin bayi dalam kandungannya. Biar surprise katanya.
"Kalau nanti dia laki-laki, maka anak ini akan mewarisi ketampanan dan kegagahanmu," kata Zhara waktu itu.
"Kalau dia perempuan, ia akan mewarisi kelambutan dan kecantikan kamu, Sayang," balas Rangga, lalu ia memeluk istrinya, mengelus perut buncit itu yang karenanya setiap malam Zhara susah tidur.
Rangga tersenyum, tapi seolah ada tangis yang menggantung di ujung matanya. Ia masih setia dengan bayang-bayang dan kenangan indah bersama sang istri.
Ia begitu rindu dan rasanya ingin cepat bertemu.
Rangga tenggelam dalam kenangan dengan lamunan, hingga ia memekik dan kakinya menginjak rem tiba-tiba saat melihat seorang gadis menyeberang di depan mobilnya. Entahlah, padahal ia tak terlalu ke tengah jalannya.
Rangga masih berusaha mengendalikan laju mobilnya dengan rem, tapi ia tak bisa banyak mengelak, hingga gadis itu terjatuh ditabrak mobilnya.
Seketika jantung Rangga berdebar cukup kuat, tangannya dingin dan gemetar, juga dipenuhi keringat di dahinya. Ia begitu ketakutan. Sialnya kaki juga ikut bergetar, setelah ia sadari rupanya ia masih trauma dengan kejadian yang lalu.
Rangga memejamkan mata, ia tak boleh menjadi peng*cut yang lari dari tanggungjawab. Ia memegang dadanya untuk menetralkan degup jantung. Lalu, tanpa menunggu lagi, ia segera keluar dari mobil dan memeriksa korbannya.
Langkah Rangga sejenak terhenti di hadapan tubuh yang tergeletak itu, masih gemetar tangannya. Kemudian ia kembali menggunakan kewarasannya, tangan yang bergetar itu bergerak membalikkan tubuh gadis itu.
Rangga bernapas dengan lega, karena saat wajah itu ia balikkan, tak ada darah yang banyak di sana. Namun, kondisi gadis itu pingsan.
Dengan sisa ketakutan dan kewarasan, Rangga mengangkat tubuh gadis itu ke mobil. Ia harus segera membawanya ke rumah sakit. Apa pun nantinya, yang penting korban itu harus segera mendapat pertolongan.
Rangga berbalik arah mengendarai mobilnya menuju rumah sakit terdekat.
.
"Itu hanya luka biasa, Pak, hanya tergores aspal. Tidak ada luka parah atau pembekuan darah di otaknya. Jadi, tidak perlu dirawat. Nanti kalau dia sadar, Bapak boleh bawa dia pulang." Dokter menuturkan kondisi pasien yang dibawa Rangga.
"Tapi, kenapa dia masih pingsan, Dok?"
"Itu karena dia syok aja, efek terkejut, dan biasanya itu tak akan lama."
Rangga hanya menganggukkan kepala. Ia lega, dan hanya menunggu gadis itu sadar nantinya.
Lelaki itu kembali ke ruang rawat setelah mengambil beberapa obat yang diresepkan dokter.
Rangga duduk di sofa, lalu berjalan mengamati keadaan gadis itu dan duduk lagi. Hingga akhirnya ia mendengar gadis itu merintih kesakitan.
"Kamu sudah sadar?" tanya Rangga.
Jelas saja tak mendapat jawaban, karena Namira masih menyesuaikan diri dengan keadaan.
Rangga memanggil perawat lewat bel yang disediakan di ruang itu. Beberapa saat kemudian, perawat hadir dan kembali memeriksa keadaan pasien.
Setelah memeriksa, dan bertanya tentang bagaimana keadaan yang dirasakan Namira, perawat itu mengarahkan untuk minum obat agar nyerinya sedikit terhenti.
Namira menurut saja, ia baru bisa mengingat dengan utuh apa yang terjadi padanya. Dan … ia juga bisa menebak bahwa lelaki dingin di ujung sofa sana adalah orang yang menabraknya.
Syukurlah, lelaki itu membawanya kemari, bukan meninggalkannya di jalan dan lari.
"Istirahat saja dulu beberapa jam, setelah dirasa baikan, kamu boleh pulang," kata perawat itu.
Namira hanya mengangguk. Sementara perawat itu keluar dari ruangan.
Tinggallah Namira dan Rangga di ruangan itu, hanya berdua, dan saling diam, sunyi, senyap.
Hanya pikiran mereka yang terlalu riuh. Namira dengan nasibnya, dan Rangga dengan kerinduannya.
Menit dan jam berlalu, mereka masih sunyi.
"Tolong antarkan saya pulang," kata Namira. Luka di wajahnya masih perih, ia masih sedikit lemas, tapi pusingnya sudah reda. Biarlah nanti ia istirahat di rumah, pun ibunya dan Ziyad pasti khawatir kenapa ia belum pulang.
Rangga hanya mengangguk. Ia kembali meminta bantuan perawat untuk memapah Namira sampai di mobil. Bukan memapah, tapi menemani, karena Namira masih sanggup jalan sendiri. Dan Rangga tentu enggan berdekatan dengannya.
Mereka sudah di mobil membelah jalan raya dalam kondisi yang sunyi, hanya suara dari luar mobil yang terdengar. Sementara mereka berdua tetap diam, seperti menjelaskan bahwa keduanya tak saling mengenal.
"Masih jauh?" Akhirnya Rangga bertanya, setelah tadi Namira bilang jalan ke rumahnya lumayan jauh dari sini.
Namira hanya mengangguk.
"Desa apa, gang yang mana tadi?" tanya Rangga lagi, padahal Nami sudah menyebutkan tadi, tapi Rangga lupa dan takut keliru.
Namun, tak ada jawaban yang ia dengar dari Namira. Saat ia melihat ke samping, rupanya gadis itu sudah tertidur. Mungkin ini efek obat yang diberikan oleh dokter, juga karena rasa lelah dan sakit membuat gadis itu cepat tidur.
Rangga menghentikan mobilnya di tepi jalan. Dengan terpaksa ia menggoyangkan lengan gadis itu perlahan.
"Hei, apa tadi alamatmu?" tanyanya.
Namun, Namira tetap tertidur pulas.
.
Namira 12."Kamu pasti bosan ya di rumah terus?" tanya Namira pada Hanna yang kini ia ajak jalan-jalan mengitari sekitaran kompleks perumahan elit itu.Hanna sudah dimandikan, sudah wangi, ia mengenakan baju warna pink dipadu dengan penutup kepala berbahan wol, juga kaus kaki untuk menutup kakinya. Namira takut jika udara di luar membahayakan kesehatan Hanna, tapi ia juga mengerti bahwa Hanna sepertinya bosan di rumah terus.Sejak tadi bayi mungil itu rewel, padahal semua sudah Namira lakukan. Namira terus mendorong troli bayi sambil bercerita dan mengenalkan banyak hal pada Hanna."Nanti kamu kalau udah gede, sekolah juga seperti kakak kakak itu."Namira berhenti sejenak dan menunjuk beberapa remaja yang tampaknya baru pulang sekolah atau pulang les. Mereka mengenakan seragam sekolah elit yang tentu biayanya sangat mahal untuk Namira.Gadis itu kembali berjalan bersama Hanna, lalu ia menunjuk ke sebuah halaman rumah orang, di mana beberapa anak kecil sedang main bola bersama.Seper
Namira 11."Rangga … Serangga! Di mana lo?"Sudah menjadi kebiasaan Ervan, kalau manggil Rangga malah teriak-teriak. Bu Kinanti pun sudah terbiasa, dan tak masalah dengan itu, karena Ervan memang seperti itu, ada waktu untuk serius ada waktu bercanda."Apaan sih lo? Teriak-teriak kek di hutan!" tegur Rangga.Ervan hanya nyengir.Pagi-pagi sekali Ervan sudah berada di rumah Rangga."Nih," Ervan menyodorkan sekotak sandwich dan nasi goreng untuk Rangga."Siapa yang masak? Pacar lo?" tanya Rangga."Bukan," jawab Ervan."So?" tanya Rangga lagi"Pacar lo!" kata Ervan terkekeh."Van …," ucap Rangga dengan nada serius. Ia tak suka dibecandai tentang pacar, tentang status hatinya. Karena Zhara masih bertahta di sana, dan tak akan ada yang bisa menggantikan posisi itu."Becanda. Raline. Dia tadi ke rumah gue, niatnya mau sarapan bareng. Tapi keburu ditelpon job," jelas Ervan."Owh," kata Rangga sambil mengendikkan bahu. Ia kembali membuka kotak makanan itu, dan tercium lagi aroma enak dari s
Namira 10."Hanna … ternyata kita sama nasib ya, tapi beda takdir, haha." Namira sedang duduk di bangku taman, menikmati pemandangan hijau warna warni sambil menghirup udara segar di sekitarnya. Hanna baru saja dimandikan setelah makan pagi dan minum susu, kini ia diajak Namira jalan-jalan di taman samping rumah.Namira merasa hidupnya sedikit lebih berwarna sejak bertemu dengan Hanna. Entahlah, meskipun Hanna belum bisa mengerti, tapi Namira sering bercerita banyak hal pada bayi itu.Hanna dijadikan seperti temannya. Teman tidur, teman cerita, teman jalan-jalan. Namira terlalu sibuk dengan keadaan hidupnya, hingga hampir tak punya kesempatan untuk menghabiskan masa muda. Ia bahkan jarang sekali nongkrong atau reuni dengan teman-teman sekolahnya.Namira sibuk bekerja agar saat gajian tak ada potongan gaji."Kita sama karena tidak memiliki orangtua yang lengkap. Aku gak punya ayah, Hanna. Sedangkan kamu gak punya mama. Tapi kamu terlahir dari keluarga yang kaya, jadi tak perlu pusing
Namira 9.Setelah kejadian itu, hidup Rangga terus berlanjut, tapi dengan kehidupan yang berbeda. Ia jadi lebih pendiam dan dingin dalam banyak suasana. Tak lagi hangat seperti dulu. Hanya dengan orang-orang tertentu dia bisa akrab.Setelah tahlilan Zhara selesai, Rangga semingguan mengalami demam parah yang membuatnya terasa sekarat, seperti akan mati. Jiwanya yang mati, dibawa pergi bersama Zhara. Semangat hidupnya yang layu, karena yang membuatnya bersemangat telah pergi.Ia sering mengigau tentang istrinya, bahkan tengah malam datang ke makam istrinya dan menangis di sana."Aku sangat mencintai Zhara Abi, Ummi," kata Rangga pada kedua orangtua Zhara.Mertuanya hanya mengangguk. Tanpa dijelaskan pun, mereka tau bagaimana cinta Rangga untuk almarhum putrinya.Saat itu Ummi dan Abi Zhara mengunjungi cucunya, dan begitu terluka saat melihat keadaan Rangga yang lemah terkapar di ranjang king size di kamarnya."Ini takdir kita, Nak. Allah lebih sayangkan Zhara. Allah sedang mengajarkan
Namira 8."Gapapa ya, Sayang?" tanya Rangga dengan ragu pada istrinya. Sebenarnya ia tak tega menolak ajakan Zhara, sang istri untuk periksa kehamilan sebelum tiba waktu lahir yang hanya tinggal menghitung hari."Gapapa kok, Mas. Lagian ada sopir, kan. Aku pergi sama Pak Ihsan saja," kata Zhara pada suaminya.Zhara tak masalah, ia mengerti kesibukan sang suami. Meskipun ia tadi sudah berjanji akan mengantarkannya ke rumah sakit, tapi mau bagaimana lagi, Rangga sedang sibuk-sibuknya di perusahan karena ia akan diangkat menjadi CEO di perusahaan yang dulu dibimbing oleh orangtuanya.Bu Kinanti sendiri masih menjadi Direktur Utama yang bekerja sama dengan para direksi lainnya, juga pemegang saham di perusahaan.Zhara mengeluh perutnya sudah semakin sering kram, ia hanya ingin tau apakah bayi dalam kandungannya secepatnya ingin lahir atau bagaimana. Namun, ia juga mengerti posisi Rangga, sudah terlalu lama ia menunggu untuk jabatan itu.Orangtua Rangga tidak dengan mudah memberikan jabat
Namira 7."Halo Hanna, Sayang. Kangen sama papa ya?" Rangga yang baru pulang kerja, datang menghampiri Hanna yang sedang main bersama Namira di ruang khusus main. Ada banyak boneka, mobil-mobilan, dan mainan lain di sana.Namira duduk di atas karpet berbulu yang terhampar, sengaja didesain khusus untuk Hanna yang masih merangkak agar lututnya tidak lecet.Di kamar Hanna juga banyak sekali boneka, mainan-mainan yang digantung di dinding, juga buku-buku dongeng tertata rapi di rak buku.Namira masih ingat, saat dulu ia diajak ke pasar oleh ibunya. Saat tiba di toko mainan, kakinya terhenti dan matanya sontak menatap boneka beruang berwarna pink yang memeluk bantal love. Namira benar-benar tak bisa memindahkan pandangannya dari sana.Namun, akhirnya ia kembali berjalan saat menyadari ibu menatapnya sendu.Ibunya hanya diam. Bahkan tidak berani untuk bertanya dia suka atau enggak boneka itu, dia mau atau enggak, karena tahu akan lebih menyakitkan kalau sudah ditanya tapi tak mampu dipen