Share

3. Penghinaan yang tak berarti

Alexander tetap ramah dan sopan. “Betul, aku Alex Luther. Ayah apa kabar?”

Namun, Pablo tidak juga menyambut baik kehadiran Alexander di rumahnya. Karena sudah sering dicuci otak oleh omongan persuasif istrinya, dia juga memendam kebencian dan rasa muak pada Alexander. Dulu Pablo juga kerap memberikan serangan dan perlakuan tak pantas pada Alexander serta berkeinginan kuat agar Alexander bercerai lalu pergi. Itulah kenapa pria yang sudah beruban dan baru berusia lima puluhan itu tidak senang begitu melihat kehadiran Alexander.

“Bagaimana ceritanya kau bisa balik? Kami pikir kau sudah mati.” Pablo tidak bisa menahan ekspresi terkejutnya. Dia sangat syok dan sampai memegangi rambutnya.

“Ceritanya panjang, Ayah. Yang penting, aku sudah kembali. Maafkan karena lebih dari satu tahun aku menghilang tiada kabar. Sekali lagi, maafkan aku.” Alexander menunjukkan ekspresi merasa bersalah meskipun sebenarnya dia tidak sepenuhnya bersalah. Kepergian dirinya dan perpisahan dengan istrinya bukan berasal dari kemauannya pribadi. Jelas bukan. Karena itulah dia ingin mengusut kira-kira siapa orang yang telah melakukan penculikan terhadap dirinya sehingga semua tragedi ini bisa terjadi. Dia harus menemukan siapa otak pelakunya.

Pablo melengos. “Kau tidak perlu meminta maaf karena tidak perlu!”

Winnie melingkarkan lengannya ke pinggang Pablo sembari mengomel. “Suamiku, dia lebih dari satu tahun tidak ada kabar. Dia sangat kurang ajar. Izinkan aku menampar wajahnya sepuluh kali. Aku muak melihat wajah menantu brengsek macam dia!” umpatnya berapi-api. Tatapan Winnie semakin jijik dan darahnya semakin mendidih.

Akan tetapi Pablo tidak mau ada keributan di rumahnya. Menghajar menantu sampah yang lemah macam Alexander sangat mudah bagi seorang mantan jenderal seperti Pablo. Dulu, Pablo pernah menjadi pemimpin sebuah pasukan khusus militer Angkatan Darat dan beberapa kali mengepalai operasi yang ditugaskan padanya. Jabatan terakhir yang dia emban adalah Wakil Kepala Staf AD, dua level di bawah Panglima, itu artinya dia terlampau hebat di militer, dan jika saja tidak ada kasus yang menimpanya, dia sudah jadi Panglima.

Sangat gampang bagi Pablo untuk menghajar pria payah dan tidak ada harga diri macam Alexander. Meski sudah tidak berada di lingkungan militer, Pablo masih bisa mempengaruhi militer untuk melakukan sesuatu, terlebih sekarang dia mulai menyibukkan diri di politik setelah empat tahun belakangan berkecimpung di dunia bisnis. Kesibukan Pablo akhir-akhir ini adalah mengurusi investasinya di sebuah perusahaan minyak guna menambah pemasukannya.

“Sial! Kenapa ajudan ku di pos mengizinkan mu masuk?!” umpat Pablo menyeringai marah. “Seharusnya pria tidak ada harga diri seperti mu tidak boleh masuk ke sini!”

Namun, Alexander bukan lagi pria biasa saja seperti beberapa tahun lalu ketika dia belum dibuang ke Pulau Lambora. Dia sekarang bukan pria biasa saja yang sering di-underestimate. Dia bukan lagi suami menyedihkan dan menantu sampah.

Alexander berdiri tegap, dadanya bidang, wajahnya teguh, dan matanya selalu tegas. Ada aura berbeda yang dibawa Alexander.

“Aku masih berstatus sebagai suami Gabriella, Ayah,” ujar Alexander dengan tenang dan lantang.

Mendengar suara Alexander yang tegas sekaligus melihat bahasa tubuhnya yang begitu mengesankan, membuat Pablo tercengang dan menaikkan kedua alisnya ke atas. Pablo tidak melihat Alexander seperti yang biasa dia lihat. Dia pun merasakan aura yang memancar pada wajah Alexander, membuat dadanya berdesir dan ujung jemarinya bergetar.

Alexander berusaha bersikap biasa saja tapi apa yang tampak dari dirinya justru menunjukkan dirinya seperti ksatria yang gagah. Semua timbul secara alamiah setelah melewati masa satu tahun pembelajaran dan enam bulan menjadi pemimpin perang. Karakter dan cara bicaranya terbentuk dengan sendirinya, membuat Pablo semakin terheran-heran.

“Aku masih berstatus sebagai menantu Ayah, jadi aku tidak mungkin pergi meninggalkan rumah ini,” sambung Alexander dengan suara yang tegas.

Pablo sadar itu semua tidak dibuat-buat, dengan kata lain Alexander tidak sedang berpura-pura seolah-olah dia adalah pria perkasa.

Hanya saja, Pablo tidak bisa menerima dan tidak pula senang melihat Alexander tampak gagah dan berwibawa. Dia menudingkan ujung telunjuknya pas ke wajah Alexander seraya mencela, “Kau adalah menantu hina yang sangat tidak berguna! Kalau saja Sarah tidak membujuk aku supaya menerima mu, kau tidak akan pernah aku terima sebagai menantu! Jadi kehadiran mu di sini jelas sesuatu yang sia-sia. Dan jangan pernah pula kau membicarakan soal cinta mu bersama putriku sebab cinta mu juga tiada berguna. Kau adalah sampah yang harus aku singkirkan. Aku yakin kau sudah tahu kalau Gabriella akan menikah dengan Martin Scott.”

Tiba-tiba saja Winnie menyerobot, “Letda Martin Scott! Keponakanku yang begitu membanggakan. Baru selesai dari pendidikan militernya dan menjadi salah satu perwira kebanggaan!”

Pablo mengangguk penuh arti seraya mendengus tipis. “Ya, Letda Martin Scott! Aku akan sangat bangga karena bisa punya menantu yang berasal dari kalangan militer dan bakal menjadi penerusku kelak. Tidak seperti menantu menyedihkan seperti mu, Alex!”

Mendengar semua ejekan dan hinaan terhadap dirinya, Alexander cukup tersenyum tipis. Berulang kali dia mendengar kata Letnan Dua yang dimiliki oleh Martin Scott dan itu membuat kupingnya terasa gatal. Namun, sedikit pun dia tidak terusik atas kehadiran Martin Scott di rumah tangganya.

Letnan Dua?

Yang benar saja!

Kendati pun begitu, Alexander tetap tidak merasa jumawa dan congkak. Dia tetap kalem dan menjaga statusnya. Apa pun makian dan ejekan yang dia terima, tidak akan mengurangi cintanya pada Gabriella dan tidak akan pernah mengurangi asa dan semangat juangnya untuk membuktikan kebenaran.

“Gabriella tidak akan pernah mau menikah lagi,” ucap Alexander penuh percaya diri. “Aku tahu siapa istriku. Aku sudah mengenalnya semenjak kami masih berada di sekolah menengah. Jadi tidak ada alasan bagi dia untuk tidak setia padaku. Artinya, dia akan tetap menjaga cinta dan ketulusannya, hanya pada ku.”

Winnie menggerenyotkan bibirnya lalu menunjuk mata Alexander lurus-lurus. “Kau! Tidak punya malu! Sok percaya diri pula kalau Gabriella akan setia pada mu! Sekarang ayah dan ibu Gabriella sudah sangat setuju agar kalian berdua berpisah lalu Gabriella dinikahi oleh Letda Martin Scott! Tidak ada yang bisa menghalangi dan membatalkan pernikahan mereka bulan depan! Jadi kau jangan percaya diri kalau kau masih bisa bertahan di rumah ini. Camkan itu!” cecar Winnie, dadanya bergemuruh, matanya sampai berkedut mengiringi gerak bibirnya.

Alexander nyaris terpojok. Pablo dan Winnie secara bergantian memborbardir Alexander dengan beragam hujatan dan hinaan.

Namun, di saat Alexander mulai terdesak, tiba-tiba saja muncul seorang wanita yang sangat cantik dari balik pintu. Kulit tubuhnya putih halus seperti kulit bayi, rambutnya panjang terurai membingkai wajahnya yang natural, dan suaranya sangat merdu.

Dia adalah Gabriella Callister.

Lalu, apakah dia masih mau menerima kehadiran Alexander setelah ditinggal lebih dari setahun?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status