Share

4. Sambutan dari sang istri

Berbeda dari Winnie dan Pablo, justru Gabriella menyambut kehadiran Alexander dengan penuh antusias dan kegembiraan. Dia membuka lebar pintu rumah lalu berjalan melewati ayah dan ibu tirinya. Tidak berpikir panjang dan mengingat-ingat apa pun sebab dia yakin itu adalah suaminya, Gabriella memeluk Alexander dengan sangat erat.

“Kau ke mana saja, Sayang?” Gabriella sampai menitikkan air mata karena saking terharu. Pelukannya sangat kencang, seakan-akan itu adalah pelukan terakhir untuk suaminya, seolah-olah hari ini adalah hari terakhir pertemuan mereka. Wanita penyayang itu benar-benar tidak mau lagi kehilangan Alexander untuk ke dua kalinya.

Alexander menjawabnya dengan nada yang lembut tapi menggetarkan, “Ke mana pun aku pergi, aku tidak mungkin pernah meninggalkan mu, istriku sayang.”

Melihat adegan menjijikkan itu, Winnie membekap mulutnya sendiri, matanya terbelalak dan nyaris keluar dari tempatnya. Dia sangat kaget begitu tahu bahwa ternyata Gabriella masih mau menerima kehadiran Alexander.

Pablo menggeleng keras tak percaya. Dia kira putrinya tidak mau lagi melihat wajah Alexander dan setuju untuk bercerai. Tapi, semua spekulasinya meleset jauh. Anak tunggalnya malah tidak mau berpisah lagi dari Alexander.

Gabriella bertutur dengan lembut dan penuh kasih sayang, “Jangan pernah tinggalkan aku lagi, suamiku ....”

Alexander menjawabnya dengan penuh perasaan, “Tentu saja. Selamanya aku tidak akan pernah meninggalkan mu, istriku.”

“Ayo cepat masuk! Ada banyak hal yang mesti kita ceritakan!” Gabriella menarik tangan suaminya lalu menyeretnya dengan mesra agar segera masuk ke dalam rumah.

Mereka berdua pun melenggang masuk tanpa bicara apa pun dengan dua orang yang sedang terpancang di dekat pintu.

Winnie merayu Pablo agar cepat melakukan sesuatu, meminta agar dalam waktu sesegera mungkin supaya Pablo mendepak Alexander dari lingkungan Keluarga Callister.

Kehadiran Alexander saat ini dianggap membahayakan sekaligus mencekam bagi Winnie. Bisa-bisa rencana pernikahan yang sudah diagendakan bisa saja batal.

Jika iya, Winnie pasti kecewa dan malu di hadapan keluarganya. Dia sudah menjanjikan pernikahan Letda Martin Scott pasti berlangsung.

Di ruang keluarga, Gabriella mempersilakan suaminya duduk lalu dia pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan minuman. Satu tahun setengah adalah waktu yang sangat lama. Selama dalam waktu tersebut dia menahan pedihnya kerinduan, dan sekarang, rindunya sudah terobati.

“Es lemon tea. Kesukaan mu, Sayang.” Gabriella duduk menghadap Alexander. Wajahnya sangat ceria. Setelah sekian lamanya menunggu dan menanti, akhirnya Gabriella bisa berjumpa lagi.

Perpisahan tak terduga, dan pertemuan yang tak terduga pula.

“Terima kasih, Sayang,” ucap Alexander sebelum menyesap minumannya.

Selama dua tahun masa pernikahan, sebelum Alexander menghilang tanpa kabar, Gabriella menjadi satu-satunya orang yang perhatian sama Alexander pasca kematian Sarah. Di saat Pablo dan Winnie kerap memberikan perintah tak wajar dan serangan intimidatif terhadap Alexander, Gabriella selalu memberikan pembelaan. Ketika Alexander sakit karena terlalu sering mendapat perlakuan tak pantas, waktu Alexander badannya ceking dan seperti tidak ada daya, hanya Gabriella yang peduli.

Gabriella selalu menjaga kesetiaannya selama masa dua tahun tinggal bersama Alexander meskipun ayah dan ibu tirinya tak henti membujuk agar kiranya berpisah saja. Cinta dan ketulusan wanita pendiam sekaligus penyayang itu terlalu besar. Tidak ada yang bisa mengurangi rasa cintanya terhadap Alexander walau hanya secuil pun.

“Kau gemuk dan gagah,” kata Gabriella mengernyitkan kening. Dia sedari tadi memperhatikan semua apa yang ada pada suaminya, terlebih saat ini Alexander sedang mengenakan kaos oblong putih yang ketat sehingga otot lengan, otot dada, dan otot perutnya begitu tampak.

Jelas ini tidak seperti Alexander yang dia kenal sebelumnya. Terakhir dia melihat suaminya sudah seperti mayat hidup. Hanya ada kulit yang melapisi tulang.

Ketika Gabriella tahu kabar hilangnya suaminya, sempat dia berpikir bahwa suaminya telah meninggal meskipun sebisa mungkin dia melenyapkan pikiran negatif tersebut, dan sebisanya dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa suaminya baik-baik saja dan suatu saat pasti akan kembali.

Doa dan harapannya terwujud.

Alexander sudah kembali.

“Kau sangat sehat, Alex. Aku senang sekali rasanya.” Gabriella sumringah dan tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

“Aku pun senang melihat kau senang. Tapi aku sedih karena beritanya kau sedang tersiksa. Maafkan aku. Setelah ini, aku tidak akan pernah lagi membiarkan mu menderita. Aku berjanji."

Ada banyak hal yang ingin Gabriella tanyakan pada suaminya. Apa pun itu. Tentang hilang misterius. Dan terutama tentang perubahan fisik yang luar biasa.

Tidak sampai di sana, Gabriella pun terkaget saat mendengar suaminya berbicara yang kedengarannya sama seperti ayahnya. Suara yang dalam dan sangat jantan.

Berbanding terbalik dengan cara bicara suaminya saat dia mengenalnya. Dulu Alexander sangat biasa dan tidak ada nilai lebih, terutama dalam hal yang terkait dengan kelebihan fisik dan skill bicara.

Datar, sedatar air.

Sangat biasa.

Begitu juga dengan cara duduk Alexander yang tegap sekarang. Tatapannya yang mantap. Pundaknya yang tegar. Wajahnya yang teguh. Dan body language-nya yang mengagumkan.

Gabriella membatin, ‘Apa yang sudah dilakukan suamiku selama lebih dari satu tahun belakangan?’

Alexander tidak berprofesi di pemerintahan maupun militer. Dia hanyalah penulis lepas di berbagai media dan kerap tampil di sejumlah tempat untuk menyampaikan orasinya tentang kemanusiaan, perdamaian, kebudayaan, demokrasi, keadilan, kebebasan, dan apa pun terkait dengan kenegaraan. Ya, dia merupakan aktivis dan penggerak. Akan tetapi, dia sengaja tidak tampil berlebihan dan membesarkan namanya. Alasannya adalah dia ingin main aman. Sudah banyak orang di luar sana yang diculik, ditangkap, dan dibunuh lantaran suara dan orasi mereka dianggap membahayakan negara. Alexander tidak mau dianggap sebagai teroris dan musuh negara. Meskipun, pada akhirnya dia pun tetap diculik yang hingga saat ini masih menjadi misteri, siapa yang telah menculiknya dan apa alasannya.

Itulah yang menjadi salah satu pertanyaan dari Gabriella. “Jika kau tidak pergi sendiri, berarti kau telah diculik? Siapa yang menculik mu, Alex?” Gabriella memajukan kursinya dan memasang telinganya baik-baik.

Akan terlalu panjang narasinya kalau dijelaskan sekarang. Maka dari itu Alexander akan menunda pembahasan tersebut, apalagi dia pun masih dalam proses pencarian terhadap para pelaku penculikan. “Intinya, aku diculik oleh para oknum, yang katanya mereka bagian dari pemerintah dan militer. Kita semua pastinya akan tahu nanti siapa mereka.” Alexander mengalihkan pembicaraan. Soal si Letnan Dua. “Ngomong-ngomong, mereka merencanakannya bulan depan?”

Gabriella menunduk dalam. “Soal rencana pernikahan dengan Martin? Kau jangan berpikir terlalu jauh. Yakinlah padaku. Yakinlah aku tidak mungkin menerima keinginan mereka.”

“Gaby, aku tahu diri mu, lebih tahu dari apa yang orang tua mu tahu. Kita kenal sudah sangat lama. Aku tidak pernah berpikir bahwa kau akan mengkhianati cintaku. Aku tidak melihat kau adalah wanita murahan dan gampangan. Kau tetaplah Gabriella seperti yang aku kenal, jadi tidak mungkin kau mau menikah dengan pria lain, apalagi sekarang aku sudah kembali.”

Kepulangan Alexander membawa cahaya yang sempat meredup.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status