LOGINDelia hampir tidak tidur semalaman. Setelah pertengkaran di ruang kerja Arga dan peringatan dari Maya, pikirannya penuh dengan satu hal: kunci kecil bertuliskan Adinegara 2 yang ia simpan rapat-rapat di saku.
Dia tidak tahu apa isi ruangan itu atau kenapa ayahnya begitu melindunginya. Tapi ia yakin, jika ada jawaban tentang kehancuran keluarganya, jawabannya pasti terkait kunci itu. Pagi harinya, rumah Mahendra kembali terasa dingin. Para pelayan bekerja seperti biasa, namun Delia bisa merasakan tatapan waspada mereka. Seolah semua orang di rumah itu sudah punya alasan masing-masing untuk memperhatikannya. Delia turun ke ruang makan. Arga sudah duduk di sana, makan sambil membaca laporan kerja. Tidak ada sapa. Tidak ada basa-basi. Hanya suara sendok dan denting piring. “Pagi,” kata Delia datar. Arga tidak langsung menjawab. Ia menutup berkasnya dan menatap Delia singkat. “Aku dengar kau keliling rumah sampai malam.” Delia duduk. “Aku hanya melihat-lihat.” “Rumah ini tidak aman untuk orang yang suka mencari-cari,” balas Arga. Delia menatapnya balik, tak gentar. “Aku tidak akan menyentuh urusanmu. Tapi kau juga jangan sentuh urusanku.” Arga menahan komentar, lalu berdiri. “Selama kau tetap di jalurmu, kita tidak punya masalah.” Delia hanya mengangguk. Namun di dalam hati, ia tahu itu bohong. Justru karena Arga tahu sesuatu, ia harus bergerak lebih cepat sebelum keluarga Mahendra mendahuluinya. Setelah sarapan, Delia meminta sopir mengantarnya ke pusat kota. Katanya ingin membeli beberapa perlengkapan. Padahal tujuan sebenarnya adalah mencari petunjuk soal kunci Adinegara 2. Delia akhirnya tiba di gedung tua Adinegara & Partners—tempat terakhir ayahnya bekerja. Tempat yang masih menyimpan rahasia yang tidak pernah dibuka siapa pun. --- Hujan berhenti sebelum fajar. Langit masih kelabu ketika Delia berdiri di depan cermin, menatap wajahnya sendiri yang tampak asing. Perempuan itu bukan lagi Delia Adinegara yang dulu menangis di depan makam ayahnya. Ia kini Delia Mahendra—nama yang dibuat untuk menuntut keadilan dengan cara yang tidak biasa. Tangannya menggenggam benda kecil di saku: kunci Adinegara 2. Ia tak tahu pasti apa yang dikunci oleh benda itu, tapi nalurinya berkata, kunci ini bukan sekadar peninggalan. Ia adalah jalan menuju kebenaran yang telah dikubur. --- “Tidurmu nyenyak?” tanya Arga datar paginya. Delia duduk tanpa menjawab. Ia mengambil roti, mengoleskan mentega, dan menjawab pelan, “Cukup.” Arga meneguk kopinya. “Aku jarang melihat perempuan yang berkeliaran di malam hari, lalu terlihat tenang paginya.” Nada sinis itu tak luput dari Delia. “Mungkin karena aku tidak hidup dengan rasa takut.” Arga menatapnya lama, seolah menimbang sesuatu. “Kau seharusnya takut, Delia. Rumah ini bukan tempat yang aman, bahkan untukku.” Delia mengangkat wajah, menatapnya lurus. “Aku tidak datang untuk mencari aman. Aku datang untuk mencari kebenaran.” Ucapan itu membuat Arga terdiam beberapa detik, sebelum ia berdiri dan mengambil jasnya. “Kalau begitu, semoga kau menemukan apa yang kau cari.” Dan ia pergi tanpa menoleh lagi. --- Siang hari, Delia pergi ke pusat kota dengan alasan “membeli perlengkapan pribadi.” Ia meminta sopir berhenti di dekat gedung tua bertuliskan Adinegara & Partners, kantor lama ayahnya yang kini sudah tutup. Gedung itu setengah terbengkalai, tapi papan nama masih menempel kusam di depan pintu. Ketika ia masuk, udara dingin menyambutnya. Di dalam, hanya ada satu orang tua penjaga gedung yang masih mengenal nama itu. “Delia?” lelaki itu menatapnya lama, matanya bergetar. “Kau anak Pak Arman Adinegara, ya?” Delia mengangguk pelan. “Saya datang untuk mencari sesuatu. Ayah pernah meninggalkan kunci dengan nama Adinegara 2. Apa Anda tahu artinya?” Penjaga itu berpikir sejenak. “Adinegara 2… tunggu. Itu bukan proyek, tapi ruangan penyimpanan dokumen di vila lama keluarga Mahendra. Saya pernah mengantarkan berkas ke sana dulu. Hanya dua orang yang punya akses—Pak Arman dan Tuan Rendra.” Delia menatapnya dengan mata melebar. “Vila Mahendra?” “Ya. Di pinggiran kota, dekat hutan kecil. Sekarang sudah jarang dipakai.” Ia memberikan alamatnya di selembar kertas. Delia menerima sambil menunduk. “Terima kasih, Pak.” Ketika ia keluar dari gedung itu, angin berhembus kencang, membawa aroma debu dan kenangan. Tangannya menggenggam kunci itu lebih erat. Vila Mahendra. Di sanalah semua jawaban mungkin tersembunyi. --- Sore hari, Arga pulang lebih awal dari kantor. Ia tidak melihat Delia di rumah. “Bu Maya, istri saya ke mana?” tanyanya. Maya menatapnya tajam sambil menutup buku bacaan. “Dia keluar sejak pagi. Tidak bilang ke mana.” “Dengan siapa?” “Sopir bilang dia minta diturunkan di pusat kota.” Arga memejamkan mata, menahan emosi. “Perempuan itu akan membawa masalah,” gumamnya. Maya tersenyum dingin. “Kau mulai peduli?” Arga menatapnya tajam. “Aku hanya tidak ingin ada yang mengguncang rumah ini lagi.” “Rumah ini sudah hancur lama, Arga,” jawab Maya tenang. “Kau hanya belum sadar.” Arga terdiam. Kata-kata itu menggema di kepalanya bahkan setelah ia berjalan pergi. --- Malam tiba. Delia berdiri di depan Vila Mahendra, bangunan besar dengan atap runcing dan jendela tinggi yang kini dipenuhi lumut. Udara dingin menusuk kulit, tapi ia tidak gentar. Ia menyalakan senter kecil dan melangkah masuk. Lantai kayu berderit setiap kali diinjak. Di dinding, lukisan-lukisan tua menggantung miring. Ia menyusuri lorong panjang hingga menemukan pintu besi kecil di ujung, dengan plat bertuliskan Adinegara 2. Tangannya bergetar saat memasukkan kunci. Klik. Pintu itu terbuka. Ruangan di dalam gelap dan berdebu. Di tengahnya, ada meja besar dan lemari arsip penuh map. Ia menyalakan senter, membuka satu per satu map yang berlabel “Proyek Pembangunan Sungai Timur 2008.” Di dalamnya: dokumen kontrak, laporan dana, dan surat-surat dari ayahnya. Tapi di antara berkas-berkas itu, ada satu folder merah—berbeda dari yang lain. Ia membukanya perlahan. Isinya: laporan transfer dana rahasia dari rekening perusahaan ayahnya ke rekening MA Group, atas nama Rendra Mahendra. Tanggalnya—sehari sebelum ayahnya dinyatakan bunuh diri. Delia menggigit bibir, menahan tangis. “Jadi ini buktinya,” bisiknya. Namun saat ia hendak memotret dokumen itu, suara langkah terdengar di belakang. Ia menoleh cepat. Arga berdiri di pintu, wajahnya tegang. “Delia?” Suara itu berat, nyaris seperti geraman. “Apa yang kau lakukan di sini?” Delia membeku. “Aku… aku hanya—” “Jangan bohong!” bentak Arga, mendekat cepat dan merebut map dari tangannya. “Ini ruang arsip keluarga! Bagaimana kau bisa punya kuncinya?” Delia terdiam, dadanya naik-turun cepat. “Aku… menemukannya.” Arga menatap map itu, lalu surat-surat di meja. Tatapannya berubah dari marah menjadi bingung. “Ini laporan dari proyek lama Ayah…” gumamnya. “Dari mana kau tahu tentang ini?” Delia menatapnya dengan mata berair. “Karena ayahku adalah bagian dari proyek ini. Dan dia mati karenanya.” Arga terpaku. “Apa maksudmu?” “Arman Adinegara adalah ayahku, Arga!” teriak Delia akhirnya. “Lelaki yang dihancurkan oleh Rendra Mahendra—ayahmu!” Suasana membeku. Suara hujan di luar terasa seperti drum kematian. Arga mematung, wajahnya kehilangan warna. “Kau… anak itu?” Delia mengangguk, air mata menetes di pipinya. “Aku datang untuk menuntut balas, bukan untuk menikah.” Arga menunduk, memejamkan mata. Tangannya mengepal kuat, tapi bukan karena marah—karena hancur. “Jadi semua ini… permainanmu?” suaranya parau. Delia menatapnya dengan mata penuh luka. “Bukan permainan, Arga. Ini cara satu-satunya agar kebenaran keluar.” Arga berjalan pelan, mendekatinya. Wajahnya gelap, tapi suaranya lembut. “Kau tidak tahu apa yang kau hadapi. Ayahku bukan manusia biasa. Kalau dia tahu, kau—” “Aku tidak peduli!” potong Delia. “Aku sudah kehilangan segalanya!” Hening. Lalu Arga menatap matanya dalam-dalam. “Kau pikir aku tidak kehilangan apa pun? Aku kehilangan ibuku karena dia juga melawan Ayahku!” Delia tertegun. Mereka berdua sama-sama korban. Beberapa detik berlalu dalam sunyi, hanya napas mereka yang terdengar. Arga meletakkan map itu di meja, lalu berkata pelan, “Kau boleh membenciku, Delia. Tapi jangan biarkan Ayahku menghancurkanmu seperti dia menghancurkan semua orang.” Delia menatapnya. “Lalu apa yang harus kulakukan?” Arga mendekat, begitu dekat hingga Delia bisa merasakan hangat napasnya. “Kita selesaikan ini bersama.”Pagi itu rumah Mahendra seperti kuburan. Tidak ada suara, tidak ada pelayan yang berani menyapa, bahkan derap langkah pun terasa seperti ancaman.Delia turun tangga dengan pipi yang masih memar. Ia tidak mau menunjukkan lemah, meski semalaman ia tidak tidur. Arga sudah menunggu di ruang makan, wajah keras dan mata merah. Tidak ada sisa sikap dinginnya yang biasa. Yang tersisa hanya amarah dan tekad.Delia duduk tanpa bicara. Ia mengoleskan selai di roti, gerakan tangannya datar.Arga menatapnya. Kau yakin masih mau berada di rumah iniDelia mengunyah pelan. Sampai semua selesai.Arga mendengus, lalu berkata pelan, Ayah memanggilku subuh tadi. Dia ingin kita berhenti menggali masa lalu. Atau…Delia menatapnya. Atau apaArga menelan napas. Atau ia akan menyingkirkanmu.Delia menekuk bibirnya, setengah mengejek. Dia sudah mencoba semalam. Tapi aku masih hidup.Arga memijat pelipis. Delia, kau tidak paham. Kalau Ayah mulai mengancam, artinya dia sudah melakukan sesuatu saat kita tidak sad
Delia tak menjawab, tapi dalam sorot matanya ada sesuatu yang berubah—bukan hanya dendam, tapi rasa percaya kecil yang baru tumbuh. Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah Mahendra, ia tidak merasa sendirian. Namun ketika mereka keluar dari vila itu, sebuah mobil hitam sudah menunggu di kejauhan. Dari balik kaca gelap, seseorang sedang memotret mereka. Satu pesan dikirim ke ponsel Rendra Mahendra malam itu: “Anakmu dan menantumu menemukan ruang rahasia.” Dan permainan sesungguhnya baru saja dimulai. *** Malam itu, Delia duduk di tepi ranjang dengan kepala penuh gejolak. Ia masih bisa merasakan suara hujan di luar vila, gema argumen mereka, dan wajah Arga yang berubah ketika kebenaran terungkap. “Aku anak Arman Adinegara.” Kalimat itu akhirnya keluar dari bibirnya sendiri dan ia masih sulit percaya sudah mengatakannya. Kini, rahasia terbesar yang ia simpan tak lagi tersembunyi. Namun anehnya, justru setelah semuanya terbuka, beban di dadanya terasa lebih ringa
Delia hampir tidak tidur semalaman. Setelah pertengkaran di ruang kerja Arga dan peringatan dari Maya, pikirannya penuh dengan satu hal: kunci kecil bertuliskan Adinegara 2 yang ia simpan rapat-rapat di saku. Dia tidak tahu apa isi ruangan itu atau kenapa ayahnya begitu melindunginya. Tapi ia yakin, jika ada jawaban tentang kehancuran keluarganya, jawabannya pasti terkait kunci itu. Pagi harinya, rumah Mahendra kembali terasa dingin. Para pelayan bekerja seperti biasa, namun Delia bisa merasakan tatapan waspada mereka. Seolah semua orang di rumah itu sudah punya alasan masing-masing untuk memperhatikannya. Delia turun ke ruang makan. Arga sudah duduk di sana, makan sambil membaca laporan kerja. Tidak ada sapa. Tidak ada basa-basi. Hanya suara sendok dan denting piring. “Pagi,” kata Delia datar. Arga tidak langsung menjawab. Ia menutup berkasnya dan menatap Delia singkat. “Aku dengar kau keliling rumah sampai malam.” Delia duduk. “Aku hanya melihat-lihat.” “Rumah ini tidak aman
“Mas Arga,” ujar Delia mencoba tetap tenang. “Tentang ayahku… aku ingin tahu apa yang sebenarnya keluarga Mahendra sembunyikan.”Arga tidak langsung menjawab. Ia membuka sebuah map di depannya, menandai beberapa bagian dengan pena. Laki-laki itu seolah mengabaikan keberadaan Delia sepenuhnya.“Sebelum bertanya tentang ayahmu,” Arga akhirnya berkata, “kau harus tahu dulu siapa yang paling dirugikan dari proyek itu.”Delia mengerutkan kening. “Ayahku kehilangan segalanya. Itu sudah cukup jelas.”Arga menatapnya tajam. “Kau pikir hanya keluargamu yang hancur?”Delia terdiam.Arga berdiri dan membuka laci meja. Dari sana, ia mengambil sebuah berkas tipis dan melemparkannya ke meja di depan Delia. Kertas-kertas itu jatuh berserakan.“Baca.”Delia mengambil salah satu halaman dengan hati berdebar. Semakin ia membaca, semakin udara di ruangan itu terasa menipis.Data korban. Nama seseorang. Tahun kejadian. Lokasi proyek.Korban: 1. Luka berat. Identitas: A. M. Mahendra.Delia menutup mulutny
“Seharusnya kau tidak membuat Arga naik darah di hari pertama,” katanya dingin. Tatapannya tajam, penuh penilaian. “Kau pikir kau bisa tinggal di rumah ini tanpa membayar harga?”Delia buru-buru bangkit. “Aku tidak bermaksud...”“Terserah.” Maya memotong. “Tapi satu hal: keluarga Mahendra bukan tempat untuk perempuan rapuh.”Pintu ditutup lagi.Delia berdiri diam, menahan napas. Ia sadar satu hal: semua orang di rumah ini siap menelannya hidup-hidup.Ia kembali ke jendela. Hujan mulai reda, menyisakan udara yang dingin dan menusuk tulang.“Ayah…” suaranya retak. “Kalau ini balasan dari masa lalu… tolong beri aku kekuatan untuk melewatinya.”Delia menyentuh cincin di jarinya. Bukan karena cinta, bukan karena pernikahan, tapi sebagai pengingat bahwa mulai hari ini… setiap langkahnya diperhitungkan.Ia harus lebih kuat dari yang siapa pun kira.Karena di rumah ini, dia bukan hanya istri yang tidak diinginkan.Ia adalah saksi, ancaman, dan mungkin satu-satunya kunci yang bisa membuka raha
“Delia, jangan membuat masalah,” bisik pamannya dari belakang, mendorong punggungnya pelan namun tegas.Hujan turun deras pagi itu, seolah ingin menampar wajah Delia yang kini berdiri kaku di depan gerbang rumah keluarga Mahendra, rumah megah yang tidak pernah ia bayangkan akan menjadi “rumah” pertamanya sebagai pengantin.Ini bukan pernikahan yang ia pilih. Gaun putihnya basah, kedua tangannya gemetar.Delia menelan ludah. Pagi itu rasanya seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu lambat dan terlalu jelas. Begitu pintu besar dibuka, puluhan mata menoleh. Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan selamat. Hanya bisik-bisik menusuk: “Itu dia perempuan itu…” “Bagaimana keluarga Mahendra bisa menerima?” “Kasihan Arga…” Delia menunduk, menahan air mata. Ia berusaha mengatur napas ketika melihat orang yang akan menjadi suaminya berdiri di ujung ruangan. Arga Mahendra. Tegap, rapi, dan wajahnya… sedingin batu. Tidak ada simpati. Tidak ada keraguan. Tatapannya pada Delia lebih menyerupai p







