Beranda / Rumah Tangga / MENANTU MUSUHKU / Permainan Dimulai

Share

Permainan Dimulai

Penulis: Beegumi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-12 19:09:23

Delia tak menjawab, tapi dalam sorot matanya ada sesuatu yang berubah—bukan hanya dendam, tapi rasa percaya kecil yang baru tumbuh.

Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah Mahendra, ia tidak merasa sendirian.

Namun ketika mereka keluar dari vila itu, sebuah mobil hitam sudah menunggu di kejauhan. Dari balik kaca gelap, seseorang sedang memotret mereka.

Satu pesan dikirim ke ponsel Rendra Mahendra malam itu:

“Anakmu dan menantumu menemukan ruang rahasia.”

Dan permainan sesungguhnya baru saja dimulai.

***

Malam itu, Delia duduk di tepi ranjang dengan kepala penuh gejolak.

Ia masih bisa merasakan suara hujan di luar vila, gema argumen mereka, dan wajah Arga yang berubah ketika kebenaran terungkap.

“Aku anak Arman Adinegara.”

Kalimat itu akhirnya keluar dari bibirnya sendiri dan ia masih sulit percaya sudah mengatakannya.

Kini, rahasia terbesar yang ia simpan tak lagi tersembunyi.

Namun anehnya, justru setelah semuanya terbuka, beban di dadanya terasa lebih ringan.

Yang menakutkan bukan lagi kebohongan, melainkan apa yang akan terjadi setelahnya.

***

Pagi datang dengan kabut tipis.

Arga sudah menunggunya di taman belakang, mengenakan kemeja biru dan wajah yang lebih dingin dari udara pagi itu.

Delia melangkah mendekat perlahan.

“Aku tidak tidur semalaman,” kata Arga tanpa menoleh. “Aku membaca semua dokumen itu. Aku pikir aku tahu siapa ayahku, tapi ternyata aku hanya melihat topengnya.”

Delia berhenti di sebelahnya. “Sekarang kau tahu kebenarannya.”

Arga menatapnya. “Tidak cukup tahu. Aku harus memastikan. Kalau kau benar, berarti selama ini ayahku menipu bukan cuma keluargamu, tapi juga aku.”

Delia mengangguk. “Aku punya rencana.”

Arga mengangkat alis. “Rencana?”

“Kita tidak bisa menuduh tanpa bukti kuat. Tapi aku punya satu jalan untuk menembus pertahanan Rendra Mahendra.”

“Dan itu?”

Delia menatapnya dalam. “Sekretaris pribadinya, Dika Pratama. Ayahku sering menyebut nama itu dalam catatan lama. Jika aku bisa membuat Dika bicara, semua akan terbuka.”

Arga berpikir sejenak, lalu berkata pelan, “Itu berbahaya. Dika adalah anjing peliharaan Ayah. Sekali kau mendekatinya, Ayah akan tahu.”

Delia tersenyum samar. “Maka aku akan melakukannya dengan caraku.”

***

Siang itu, Delia menemui Dika di kantor pusat MA Group, berpura-pura ingin membantu mengurus kegiatan sosial perusahaan.

Dika, pria berusia empat puluhan dengan senyum rapi tapi mata yang licik, menyambutnya dengan sopan berlebihan.

“Ah, Nyonya Mahendra. Kehormatan besar bagi saya.”

Delia menatapnya dingin. “Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang pekerjaan suami saya. Tentu Anda bisa membantu?”

“Oh, tentu saja,” jawab Dika cepat. “Tuan Arga lebih fokus di proyek ekspansi baru. Tapi semua catatan lama masih di bawah pengawasan Tuan Rendra.”

Delia tersenyum tipis. “Saya dengar ada proyek lama yang gagal tahun 2008. Saya penasaran kenapa nama ayah saya—Arman Adinegara—tidak pernah disebut dalam laporan publik.”

Dika menegang sesaat, lalu tertawa kering. “Oh, itu hanya kesalahpahaman lama, Nyonya. Semua sudah diselesaikan secara internal.”

“Internal?” Delia mencondongkan tubuh. “Maksud Anda… ditutup?”

Tatapan Dika berubah tajam. “Sebaiknya Nyonya tidak ikut mencampuri urusan masa lalu. Beberapa hal lebih baik dibiarkan terkubur.”

Delia tersenyum dingin. “Kuburan pun bisa digali kembali, Pak Dika.”

Ia berdiri, meninggalkan ruangan itu dengan langkah mantap. Tapi begitu pintu tertutup, Dika mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang.

“Pak, istri Tuan Arga baru saja datang menanyakan proyek lama.”

Suara di seberang tegas dan dalam.

“Jaga jarak darinya. Tapi jangan lepaskan pandangan.”

“Baik, Pak Rendra.”

***

Sore itu, Arga sudah menunggunya di mobil.

“Bagaimana?”

Delia menatap keluar jendela. “Dia takut. Itu artinya aku di jalur yang benar.”

Arga menghela napas. “Dan sekarang Ayahku pasti tahu.”

Delia tersenyum tipis. “Bagus. Biar dia tahu. Kadang untuk membongkar monster, kau harus membuatnya keluar dari sarangnya.”

Arga menatapnya lama, setengah kagum setengah khawatir. “Kau tidak seperti perempuan mana pun yang pernah kutemui.”

Delia menoleh. “Karena aku tidak datang untuk mencintai, Arga. Aku datang untuk menang.”

Namun di balik kata-kata itu, sesuatu di mata mereka berubah—bukan cinta, tapi pengakuan.

Mereka tahu, sejak malam di vila itu, tak ada jalan kembali.

***

Malam harinya, Delia menemukan amplop di bawah pintu kamarnya.

Tidak ada nama, hanya satu kalimat di depan:

“Kau terlalu mirip ayahmu.”

Ia membukanya.

Di dalam, ada foto dirinya saat memasuki vila Mahendra bersama Arga, foto yang diambil dari kejauhan.

Delia menatapnya lama, lalu menggenggamnya kuat.

Seseorang mengawasi mereka.

Ia segera menemui Arga di ruang kerja.

“Kita diawasi.”

Arga membaca foto itu, rahangnya mengeras. “Ayah mulai bergerak cepat.”

“Kita harus selangkah lebih cepat darinya,” kata Delia tegas. “Aku akan kembali ke vila itu malam ini. Masih ada dokumen yang belum sempat kuambil.”

Arga menatapnya tajam. “Tidak. Aku ikut.”

“Tidak perlu.”

“Aku bilang aku ikut!” suaranya meninggi. “Kalau sesuatu terjadi padamu, Ayah akan menghancurkanmu dan aku tidak akan diam.”

Delia menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk.

“Kita pergi malam ini.”

***

Vila Mahendra kembali sunyi saat mereka tiba. Bulan separuh menggantung di langit.

Delia memegang senter, sementara Arga membuka jalan di depan.

Mereka kembali ke ruang arsip, mencari dokumen lain. Tapi kali ini, di meja yang dulu bersih, ada satu amplop baru.

Arga membuka pelan. Di dalamnya: foto Arman Adinegara—ayah Delia dan ibunya sendiri, sedang berbicara dengan Rendra Mahendra.

“Ini… apa maksudnya?” bisik Arga.

Delia menatap foto itu. “Ibuku? Tidak… ini tidak mungkin.”

Di belakang foto, ada tulisan tangan:

“Kebenaran tidak sesederhana hitam dan putih.”

Arga memukul meja. “Ayahku! Dia memainkan kita berdua!”

Delia mundur setapak, merasa sesak. Dunia yang ia yakini mulai retak.

Apakah mungkin… ibunya juga terlibat?

Arga menghampirinya, memegang bahunya. “Jangan biarkan dia memecah kita. Itu yang dia mau.”

Delia menatapnya. “Kau bilang ‘kita’?”

Arga menatap balik. “Ya. Kau dan aku. Sekarang kita sudah terlalu dalam untuk mundur.”

Dalam diam, sesuatu tumbuh di antara mereka. Sebuah persekutuan, dan mungkin, sedikit rasa yang mereka berdua tak mau akui.

***

Beberapa jam kemudian, mereka kembali ke rumah dengan selamat. Tapi malam belum selesai.

Rendra Mahendra sudah menunggu di ruang tamu, duduk di kursi besar dengan tatapan seperti singa yang baru mencium darah.

“Sudah larut malam untuk jalan berdua,” katanya dingin.

Delia menegakkan tubuh, berusaha tenang. “Kami hanya...”

“Berhenti berbohong.” Rendra berdiri. “Kau pikir aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di vila itu?”

Arga maju setengah langkah. “Ayah, dengarkan dulu...”

“Diam!” bentak Rendra. “Kau pikir kau bisa melindunginya? Gadis itu menipumu, Arga! Dia datang bukan untuk mencintaimu, tapi menghancurkan kita!”

Delia menatap Rendra dengan mata membara. “Kalau kau tahu siapa aku, berarti kau juga tahu kenapa aku di sini.”

Rendra mendekat, wajahnya gelap dan menakutkan. “Kau anak Arman Adinegara. Lelaki yang mengkhianatiku.”

Delia tidak mundur. “Tidak. Kaulah yang menghancurkan hidupnya.”

Tamparan keras mendarat di pipinya, tapi Delia tidak menunduk. Ia menatap balik dengan tatapan yang tak goyah sedikit pun.

Arga memegang lengan ayahnya, menahan. “Cukup!”

Rendra menatap anaknya dengan kemarahan yang belum pernah terlihat sebelumnya. “Kalau kau berpihak padanya, Arga, jangan harap masih jadi anakku.”

Sunyi.

Arga melepaskan genggaman itu pelan, tapi suaranya tenang. “Kalau menjadi anakmu berarti harus menutup mata pada kebenaran, maka aku memilih tidak menjadi siapa pun.”

Rendra menatap keduanya lama, lalu berkata dengan suara dingin yang mematikan,

“Kalau begitu, bersiaplah. Kalian berdua baru saja memulai perang.”

---

Malam itu, Delia berdiri di balkon kamar, pipinya masih terasa perih. Arga datang membawa kompres es, menatapnya tanpa kata.

Delia menatap ke arah taman, bibirnya bergetar tapi matanya tegas.

“Permainan sudah dimulai, Arga. Dan kali ini… aku tidak akan kalah.”

Arga meletakkan tangannya di bahunya. “Kita berdua tidak akan kalah.”

Dan di kejauhan, lampu rumah Mahendra perlahan padam, menandai dimulainya perang dingin antara darah dan kebenaran.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MENANTU MUSUHKU   Pecah

    Pagi itu rumah Mahendra seperti kuburan. Tidak ada suara, tidak ada pelayan yang berani menyapa, bahkan derap langkah pun terasa seperti ancaman.Delia turun tangga dengan pipi yang masih memar. Ia tidak mau menunjukkan lemah, meski semalaman ia tidak tidur. Arga sudah menunggu di ruang makan, wajah keras dan mata merah. Tidak ada sisa sikap dinginnya yang biasa. Yang tersisa hanya amarah dan tekad.Delia duduk tanpa bicara. Ia mengoleskan selai di roti, gerakan tangannya datar.Arga menatapnya. Kau yakin masih mau berada di rumah iniDelia mengunyah pelan. Sampai semua selesai.Arga mendengus, lalu berkata pelan, Ayah memanggilku subuh tadi. Dia ingin kita berhenti menggali masa lalu. Atau…Delia menatapnya. Atau apaArga menelan napas. Atau ia akan menyingkirkanmu.Delia menekuk bibirnya, setengah mengejek. Dia sudah mencoba semalam. Tapi aku masih hidup.Arga memijat pelipis. Delia, kau tidak paham. Kalau Ayah mulai mengancam, artinya dia sudah melakukan sesuatu saat kita tidak sad

  • MENANTU MUSUHKU   Permainan Dimulai

    Delia tak menjawab, tapi dalam sorot matanya ada sesuatu yang berubah—bukan hanya dendam, tapi rasa percaya kecil yang baru tumbuh. Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah Mahendra, ia tidak merasa sendirian. Namun ketika mereka keluar dari vila itu, sebuah mobil hitam sudah menunggu di kejauhan. Dari balik kaca gelap, seseorang sedang memotret mereka. Satu pesan dikirim ke ponsel Rendra Mahendra malam itu: “Anakmu dan menantumu menemukan ruang rahasia.” Dan permainan sesungguhnya baru saja dimulai. *** Malam itu, Delia duduk di tepi ranjang dengan kepala penuh gejolak. Ia masih bisa merasakan suara hujan di luar vila, gema argumen mereka, dan wajah Arga yang berubah ketika kebenaran terungkap. “Aku anak Arman Adinegara.” Kalimat itu akhirnya keluar dari bibirnya sendiri dan ia masih sulit percaya sudah mengatakannya. Kini, rahasia terbesar yang ia simpan tak lagi tersembunyi. Namun anehnya, justru setelah semuanya terbuka, beban di dadanya terasa lebih ringa

  • MENANTU MUSUHKU   Kunci Adinegara

    Delia hampir tidak tidur semalaman. Setelah pertengkaran di ruang kerja Arga dan peringatan dari Maya, pikirannya penuh dengan satu hal: kunci kecil bertuliskan Adinegara 2 yang ia simpan rapat-rapat di saku. Dia tidak tahu apa isi ruangan itu atau kenapa ayahnya begitu melindunginya. Tapi ia yakin, jika ada jawaban tentang kehancuran keluarganya, jawabannya pasti terkait kunci itu. Pagi harinya, rumah Mahendra kembali terasa dingin. Para pelayan bekerja seperti biasa, namun Delia bisa merasakan tatapan waspada mereka. Seolah semua orang di rumah itu sudah punya alasan masing-masing untuk memperhatikannya. Delia turun ke ruang makan. Arga sudah duduk di sana, makan sambil membaca laporan kerja. Tidak ada sapa. Tidak ada basa-basi. Hanya suara sendok dan denting piring. “Pagi,” kata Delia datar. Arga tidak langsung menjawab. Ia menutup berkasnya dan menatap Delia singkat. “Aku dengar kau keliling rumah sampai malam.” Delia duduk. “Aku hanya melihat-lihat.” “Rumah ini tidak aman

  • MENANTU MUSUHKU   Rumah Ini Tidak Ramah

    “Mas Arga,” ujar Delia mencoba tetap tenang. “Tentang ayahku… aku ingin tahu apa yang sebenarnya keluarga Mahendra sembunyikan.”Arga tidak langsung menjawab. Ia membuka sebuah map di depannya, menandai beberapa bagian dengan pena. Laki-laki itu seolah mengabaikan keberadaan Delia sepenuhnya.“Sebelum bertanya tentang ayahmu,” Arga akhirnya berkata, “kau harus tahu dulu siapa yang paling dirugikan dari proyek itu.”Delia mengerutkan kening. “Ayahku kehilangan segalanya. Itu sudah cukup jelas.”Arga menatapnya tajam. “Kau pikir hanya keluargamu yang hancur?”Delia terdiam.Arga berdiri dan membuka laci meja. Dari sana, ia mengambil sebuah berkas tipis dan melemparkannya ke meja di depan Delia. Kertas-kertas itu jatuh berserakan.“Baca.”Delia mengambil salah satu halaman dengan hati berdebar. Semakin ia membaca, semakin udara di ruangan itu terasa menipis.Data korban. Nama seseorang. Tahun kejadian. Lokasi proyek.Korban: 1. Luka berat. Identitas: A. M. Mahendra.Delia menutup mulutny

  • MENANTU MUSUHKU   Istri di Rumah Musuhku

    “Seharusnya kau tidak membuat Arga naik darah di hari pertama,” katanya dingin. Tatapannya tajam, penuh penilaian. “Kau pikir kau bisa tinggal di rumah ini tanpa membayar harga?”Delia buru-buru bangkit. “Aku tidak bermaksud...”“Terserah.” Maya memotong. “Tapi satu hal: keluarga Mahendra bukan tempat untuk perempuan rapuh.”Pintu ditutup lagi.Delia berdiri diam, menahan napas. Ia sadar satu hal: semua orang di rumah ini siap menelannya hidup-hidup.Ia kembali ke jendela. Hujan mulai reda, menyisakan udara yang dingin dan menusuk tulang.“Ayah…” suaranya retak. “Kalau ini balasan dari masa lalu… tolong beri aku kekuatan untuk melewatinya.”Delia menyentuh cincin di jarinya. Bukan karena cinta, bukan karena pernikahan, tapi sebagai pengingat bahwa mulai hari ini… setiap langkahnya diperhitungkan.Ia harus lebih kuat dari yang siapa pun kira.Karena di rumah ini, dia bukan hanya istri yang tidak diinginkan.Ia adalah saksi, ancaman, dan mungkin satu-satunya kunci yang bisa membuka raha

  • MENANTU MUSUHKU   Pernikahan Tak Diinginkan

    “Delia, jangan membuat masalah,” bisik pamannya dari belakang, mendorong punggungnya pelan namun tegas.Hujan turun deras pagi itu, seolah ingin menampar wajah Delia yang kini berdiri kaku di depan gerbang rumah keluarga Mahendra, rumah megah yang tidak pernah ia bayangkan akan menjadi “rumah” pertamanya sebagai pengantin.Ini bukan pernikahan yang ia pilih. Gaun putihnya basah, kedua tangannya gemetar.Delia menelan ludah. Pagi itu rasanya seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu lambat dan terlalu jelas. Begitu pintu besar dibuka, puluhan mata menoleh. Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan selamat. Hanya bisik-bisik menusuk: “Itu dia perempuan itu…” “Bagaimana keluarga Mahendra bisa menerima?” “Kasihan Arga…” Delia menunduk, menahan air mata. Ia berusaha mengatur napas ketika melihat orang yang akan menjadi suaminya berdiri di ujung ruangan. Arga Mahendra. Tegap, rapi, dan wajahnya… sedingin batu. Tidak ada simpati. Tidak ada keraguan. Tatapannya pada Delia lebih menyerupai p

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status