Home / Rumah Tangga / MENANTU MUSUHKU / Rumah Ini Tidak Ramah

Share

Rumah Ini Tidak Ramah

Author: Beegumi
last update Last Updated: 2025-11-12 19:06:38

“Mas Arga,” ujar Delia mencoba tetap tenang. “Tentang ayahku… aku ingin tahu apa yang sebenarnya keluarga Mahendra sembunyikan.”

Arga tidak langsung menjawab. Ia membuka sebuah map di depannya, menandai beberapa bagian dengan pena. Laki-laki itu seolah mengabaikan keberadaan Delia sepenuhnya.

“Sebelum bertanya tentang ayahmu,” Arga akhirnya berkata, “kau harus tahu dulu siapa yang paling dirugikan dari proyek itu.”

Delia mengerutkan kening. “Ayahku kehilangan segalanya. Itu sudah cukup jelas.”

Arga menatapnya tajam. “Kau pikir hanya keluargamu yang hancur?”

Delia terdiam.

Arga berdiri dan membuka laci meja. Dari sana, ia mengambil sebuah berkas tipis dan melemparkannya ke meja di depan Delia. Kertas-kertas itu jatuh berserakan.

“Baca.”

Delia mengambil salah satu halaman dengan hati berdebar. Semakin ia membaca, semakin udara di ruangan itu terasa menipis.

Data korban. Nama seseorang. Tahun kejadian. Lokasi proyek.

Korban: 1. Luka berat. Identitas: A. M. Mahendra.

Delia menutup mulutnya dengan tangan, terpukul. Inisial itu hanya bisa berarti satu hal.

“Mas… ini Mas Arga?” bisiknya.

Arga berdiri bersandar di meja, kedua lengannya terlipat. Tidak ada emosi di wajahnya, tapi ada sesuatu yang kejam dalam tatapannya.

“Aku hampir mati dalam proyek itu,” katanya perlahan. “Dan ayahmu terlibat langsung.”

Delia menggeleng cepat. “Tidak mungkin. Ayahku tidak akan membiarkan… tidak mungkin ia melakukan hal seperti itu.”

Arga mengabaikan bantahannya. “Aku masih kecil waktu itu. Tapi aku ingat semuanya. Ledakan. Api. Orang-orang berlari. Salah satu staf proyek mengatakan ayahmu lah yang memberi persetujuan akhir untuk penyimpangan dana yang menyebabkan kecelakaan itu.”

“Tidak,” bisik Delia lagi. “Itu pasti fitnah. Ayahku dijebak.”

“Semua orang bilang begitu ketika mereka terpojok,” suara Arga turun satu oktaf. “Dan sekarang kau datang ke rumahku tanpa tahu apa pun.”

Delia menutup mata sejenak, merasakan kepalanya berdenyut. Ia ingin membantah, ingin menjerit, ingin menepis tuduhan itu. Namun suara hatinya berbisik: ada sesuatu yang memang tidak pernah diceritakan ayahnya.

Arga mendekat, membuat Delia spontan mundur.

“Ada yang kau cari?” suaranya rendah.

“Tidak,” jawab Delia dengan napas bergetar. “Aku hanya… khawatir.”

“Khawatir tentang apa? Tentang aku?” Arga terkekeh pendek, tetapi matanya kosong. “Kau tidak perlu khawatir tentang aku. Khawatir saja tentang dirimu sendiri. Rumah ini tidak ramah pada orang asing.”

Ucapan itu kembali membuat dingin mengalir di tulang belakang Delia. Ia ingat kata-kata Maya yang hampir sama persis pagi tadi. Rumah ini seperti memiliki satu bahasa: peringatan.

“Aku hanya ingin kita tidak terus seperti ini,” ucap Delia lirih.

Arga memiringkan kepala sedikit, mengamati wajahnya. “Kau tidak perlu peduli hubungan kita. Fokus saja pada alasan kau ada di sini.”

Delia menegakkan tubuhnya. “Aku di sini karena...”

“Karena ayahmu meninggalkan banyak hal yang belum selesai,” potong Arga. Ia mengambil lembaran lain dari meja dan menyodorkannya. “Dan aku ingin tahu apa yang ayahmu sembunyikan.”

“Kau ingin aku bicara?”

“Aku ingin kebenarannya.” Arga mencondongkan tubuh, wajahnya begitu dekat. “Dan aku akan mendapatkannya, Delia.”

“Mas Arga,” suara Delia pecah. “Ayahku bukan penjahat.”

“Banyak penjahat yang bilang begitu sebelum tertangkap.”

Seketika Delia mundur selangkah. Dadanya naik turun cepat. Arga memperhatikan gerakannya seperti predator mengamati mangsa.

“Kau tinggal di rumah orang yang paling membencimu dan keluargamu,” ujar Arga dingin. “Waktu akan membuatmu bicara.”

Saat ia hendak pergi, sebuah bingkai foto terjatuh dari rak. Delia memungutnya. Belum sempat ia melihat wajah di foto itu, Arga merebutnya kasar.

“Jangan sentuh barang-barangku.”

Delia menggigit bibir, menahan ketakutan dan kemarahan. Semakin ia melihat sikap Arga, semakin ia yakin lelaki itu menyimpan luka lebih dalam dari apa yang ia tunjukkan.

“Mas, itu foto siapa?” tanya Delia, mencoba tetap tenang.

Arga menatapnya lama. “Urusi urusanmu sendiri.”

Pintu ditutup tepat di wajahnya.

Delia berdiri terpaku. Jantungnya berdebar tak karuan. Ia menatap kertas yang masih ia genggam.

Proyek Percobaan. Korban: 1. Status: Ditutup.

Status itu yang paling mengganggu. Kenapa ditutup? Siapa yang menutupnya? Dan kenapa keluarga Mahendra seperti menyembunyikan sesuatu?

Delia kembali ke beranda rumah setelah beberapa saat, membawa beban yang semakin menekan dadanya. Matahari siang mulai bergeser, menciptakan cahaya hangat yang justru terasa kontradiktif dengan dingin yang merayap di tubuhnya.

Sinta, pelayan rumah, datang membawa minuman hangat. “Ini wedang jahenya. Tuan Arga bilang Nyonya mudah masuk angin.”

Delia menatap cangkir itu, bingung. “Arga bilang begitu?”

“Iya, Nyonya,” Sinta mengangguk lembut. “Beliau menyebutkannya sambil lalu.”

Delia tidak tahu harus tersenyum atau semakin takut. Jika Arga memperhatikan hal sekecil itu, artinya lelaki itu mempelajari dirinya. Menilai langkahnya. Menganalisis setiap kelemahannya.

Ketika Sinta pergi, Delia menatap taman. Di tengah keindahan bunga dan pepohonan, ia merasakan sesuatu yang gelap menyelinap di antara akar dan batu.

Rumah ini begitu rapi, begitu bersih, tetapi terasa seperti sangkar emas. Cantik di luar, namun mematikan di dalam.

“Kau cocok juga duduk di rumah ini.”

Suara itu membuat Delia menoleh.

Maya berdiri di dekat tangga taman dengan gaun hijau tua. Wajahnya tersenyum tipis, tetapi matanya tajam seperti belati.

“Tidak semua perempuan bisa bertahan,” ucap Maya. “Rumah ini seperti mulut binatang buas.”

Delia berdiri perlahan. “Aku tidak takut.”

Maya mendekat. “Semua orang takut, Delia. Bahkan Arga sekalipun. Kau hanya belum tahu apa yang seharusnya kau takuti.”

Delia menelan ludah, tetapi ia tetap berdiri tegak.

Maya tersenyum kecil, puas melihat ketegangan Delia. “Belajarlah cepat. Arga tidak menyukai perempuan lambat.”

Setelah Maya pergi, Delia duduk kembali. Hatinya kacau, tetapi di tengah ketakutan itu, muncul percikan tekad.

Jika rumah ini ingin menelannya, Delia tidak akan diam. Ia akan menggali rahasia keluarga Mahendra. Ia akan mencari tahu apa yang menyebabkan ayahnya hancur. Ia akan mengungkap siapa yang berbohong.

Jika Arga menganggapnya ancaman, maka ia akan menjadi ancaman yang lebih besar.

Ia menatap cincin di jarinya, dan pertempuran baru saja dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU MUSUHKU   Pecah

    Pagi itu rumah Mahendra seperti kuburan. Tidak ada suara, tidak ada pelayan yang berani menyapa, bahkan derap langkah pun terasa seperti ancaman.Delia turun tangga dengan pipi yang masih memar. Ia tidak mau menunjukkan lemah, meski semalaman ia tidak tidur. Arga sudah menunggu di ruang makan, wajah keras dan mata merah. Tidak ada sisa sikap dinginnya yang biasa. Yang tersisa hanya amarah dan tekad.Delia duduk tanpa bicara. Ia mengoleskan selai di roti, gerakan tangannya datar.Arga menatapnya. Kau yakin masih mau berada di rumah iniDelia mengunyah pelan. Sampai semua selesai.Arga mendengus, lalu berkata pelan, Ayah memanggilku subuh tadi. Dia ingin kita berhenti menggali masa lalu. Atau…Delia menatapnya. Atau apaArga menelan napas. Atau ia akan menyingkirkanmu.Delia menekuk bibirnya, setengah mengejek. Dia sudah mencoba semalam. Tapi aku masih hidup.Arga memijat pelipis. Delia, kau tidak paham. Kalau Ayah mulai mengancam, artinya dia sudah melakukan sesuatu saat kita tidak sad

  • MENANTU MUSUHKU   Permainan Dimulai

    Delia tak menjawab, tapi dalam sorot matanya ada sesuatu yang berubah—bukan hanya dendam, tapi rasa percaya kecil yang baru tumbuh. Untuk pertama kalinya sejak datang ke rumah Mahendra, ia tidak merasa sendirian. Namun ketika mereka keluar dari vila itu, sebuah mobil hitam sudah menunggu di kejauhan. Dari balik kaca gelap, seseorang sedang memotret mereka. Satu pesan dikirim ke ponsel Rendra Mahendra malam itu: “Anakmu dan menantumu menemukan ruang rahasia.” Dan permainan sesungguhnya baru saja dimulai. *** Malam itu, Delia duduk di tepi ranjang dengan kepala penuh gejolak. Ia masih bisa merasakan suara hujan di luar vila, gema argumen mereka, dan wajah Arga yang berubah ketika kebenaran terungkap. “Aku anak Arman Adinegara.” Kalimat itu akhirnya keluar dari bibirnya sendiri dan ia masih sulit percaya sudah mengatakannya. Kini, rahasia terbesar yang ia simpan tak lagi tersembunyi. Namun anehnya, justru setelah semuanya terbuka, beban di dadanya terasa lebih ringa

  • MENANTU MUSUHKU   Kunci Adinegara

    Delia hampir tidak tidur semalaman. Setelah pertengkaran di ruang kerja Arga dan peringatan dari Maya, pikirannya penuh dengan satu hal: kunci kecil bertuliskan Adinegara 2 yang ia simpan rapat-rapat di saku. Dia tidak tahu apa isi ruangan itu atau kenapa ayahnya begitu melindunginya. Tapi ia yakin, jika ada jawaban tentang kehancuran keluarganya, jawabannya pasti terkait kunci itu. Pagi harinya, rumah Mahendra kembali terasa dingin. Para pelayan bekerja seperti biasa, namun Delia bisa merasakan tatapan waspada mereka. Seolah semua orang di rumah itu sudah punya alasan masing-masing untuk memperhatikannya. Delia turun ke ruang makan. Arga sudah duduk di sana, makan sambil membaca laporan kerja. Tidak ada sapa. Tidak ada basa-basi. Hanya suara sendok dan denting piring. “Pagi,” kata Delia datar. Arga tidak langsung menjawab. Ia menutup berkasnya dan menatap Delia singkat. “Aku dengar kau keliling rumah sampai malam.” Delia duduk. “Aku hanya melihat-lihat.” “Rumah ini tidak aman

  • MENANTU MUSUHKU   Rumah Ini Tidak Ramah

    “Mas Arga,” ujar Delia mencoba tetap tenang. “Tentang ayahku… aku ingin tahu apa yang sebenarnya keluarga Mahendra sembunyikan.”Arga tidak langsung menjawab. Ia membuka sebuah map di depannya, menandai beberapa bagian dengan pena. Laki-laki itu seolah mengabaikan keberadaan Delia sepenuhnya.“Sebelum bertanya tentang ayahmu,” Arga akhirnya berkata, “kau harus tahu dulu siapa yang paling dirugikan dari proyek itu.”Delia mengerutkan kening. “Ayahku kehilangan segalanya. Itu sudah cukup jelas.”Arga menatapnya tajam. “Kau pikir hanya keluargamu yang hancur?”Delia terdiam.Arga berdiri dan membuka laci meja. Dari sana, ia mengambil sebuah berkas tipis dan melemparkannya ke meja di depan Delia. Kertas-kertas itu jatuh berserakan.“Baca.”Delia mengambil salah satu halaman dengan hati berdebar. Semakin ia membaca, semakin udara di ruangan itu terasa menipis.Data korban. Nama seseorang. Tahun kejadian. Lokasi proyek.Korban: 1. Luka berat. Identitas: A. M. Mahendra.Delia menutup mulutny

  • MENANTU MUSUHKU   Istri di Rumah Musuhku

    “Seharusnya kau tidak membuat Arga naik darah di hari pertama,” katanya dingin. Tatapannya tajam, penuh penilaian. “Kau pikir kau bisa tinggal di rumah ini tanpa membayar harga?”Delia buru-buru bangkit. “Aku tidak bermaksud...”“Terserah.” Maya memotong. “Tapi satu hal: keluarga Mahendra bukan tempat untuk perempuan rapuh.”Pintu ditutup lagi.Delia berdiri diam, menahan napas. Ia sadar satu hal: semua orang di rumah ini siap menelannya hidup-hidup.Ia kembali ke jendela. Hujan mulai reda, menyisakan udara yang dingin dan menusuk tulang.“Ayah…” suaranya retak. “Kalau ini balasan dari masa lalu… tolong beri aku kekuatan untuk melewatinya.”Delia menyentuh cincin di jarinya. Bukan karena cinta, bukan karena pernikahan, tapi sebagai pengingat bahwa mulai hari ini… setiap langkahnya diperhitungkan.Ia harus lebih kuat dari yang siapa pun kira.Karena di rumah ini, dia bukan hanya istri yang tidak diinginkan.Ia adalah saksi, ancaman, dan mungkin satu-satunya kunci yang bisa membuka raha

  • MENANTU MUSUHKU   Pernikahan Tak Diinginkan

    “Delia, jangan membuat masalah,” bisik pamannya dari belakang, mendorong punggungnya pelan namun tegas.Hujan turun deras pagi itu, seolah ingin menampar wajah Delia yang kini berdiri kaku di depan gerbang rumah keluarga Mahendra, rumah megah yang tidak pernah ia bayangkan akan menjadi “rumah” pertamanya sebagai pengantin.Ini bukan pernikahan yang ia pilih. Gaun putihnya basah, kedua tangannya gemetar.Delia menelan ludah. Pagi itu rasanya seperti mimpi buruk yang berjalan terlalu lambat dan terlalu jelas. Begitu pintu besar dibuka, puluhan mata menoleh. Tidak ada senyum. Tidak ada ucapan selamat. Hanya bisik-bisik menusuk: “Itu dia perempuan itu…” “Bagaimana keluarga Mahendra bisa menerima?” “Kasihan Arga…” Delia menunduk, menahan air mata. Ia berusaha mengatur napas ketika melihat orang yang akan menjadi suaminya berdiri di ujung ruangan. Arga Mahendra. Tegap, rapi, dan wajahnya… sedingin batu. Tidak ada simpati. Tidak ada keraguan. Tatapannya pada Delia lebih menyerupai p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status