Share

MENANTU SETENGAH DEWA
MENANTU SETENGAH DEWA
Author: Hare Ra

Kembalinya Kekuatan Hakya

“Dasar sampah tidak berguna! Bantulah istrimu itu!”

Teriakan dari nyonya Farah mengagetkan Hakya yang saat itu sedang duduk termenung.

“Apa yang harus saya lakukan, Ibu?” tanya Hakya takut-takut.

Plak! Plak!

Dua tamparan mendarat di wajah Hakya. Saking kesalnya nyonya Farah kepada Hakya yang sudah dua tahun menjadi menantunya itu namun tetap tidak bisa melakukan apapun.

“Angkat semua barang-barang dari gudang itu, lihatlah banyak sekali pelanggan!” teriak nyonya Farah kembali.

Memang keluarga Kafka Handria, mertuanya Hakya, memiliki usaha toko kelontong yang begitu besar. Masih pagi seperti ini saja para pelanggan sudah begitu banyak. Kanaya, istrinya Hakya bertugas sebagai kasir di toko tersebut.

Pagi ini, suasana toko begitu ramai. Bahkan semua karyawan tampak kewalahan dengan datangnya pengunjung yang membludak, hal itulah yang membuat nyonya Farah marah kepada Hakya.

“Tolong, ambilkan 5 karung beras!” teriak Kanaya dibalik meja kasir yang membuat nyonya Farah mendorong Hakya dengan sangat keras agar segera menuju gudang.

Pernikahan antara Hakya dan Kanaya terjadi karena memenuhi wasiat dari sang kakek, Askara, yang katanya memiliki hutang budi kepada Hakya yang telah menyelamatkan nyawanya saat Askara sakit keras lima tahun lalu.

Tiga bulan lalu kakek Askara meninggal. Namun, wasiatnya yang beliau tinggalkan adalah Hakya dan Kanaya tidak boleh bercerai dalam kurun waktu dua tahun. Itu artinya, masih ada sekitar enam bulan lagi Hakya menjadi suami Kanaya.

Dan selama menjadi suami istri, keduanya belum pernah melakukan hubungan suami istri, hingga saat ini Kanaya masih perawan.

Kalau bukan karena sebuah wasiat yang menyatakan jika Kanaya dan Hakya bercerai sebelum dua tahun, maka semua warisan Aksara jatuh ke Hakya, mungkin sudah lama Hakya di usir dari rumah itu. Tapi, demi warisan dan juga Kanaya yang memang sangat patuh kepada kakeknya itu, makanya pernikahan mereka masih bertahan hingga saat ini.

Dan juga keluarga Kanaya ingin membuktikan apa yang dikatakan oleh kakek Askara kalau Hakya adalah orang yang hebat, dan dia mampu melakukan semuanya. Bahkan bisa meyembuhkan orang yang sakit.

“Aduuuh!”

Hakya berteriak kesakitan saat dia mencoba mengangkat satu karung beras, dan dia terjatuh berkali-kali karena rasanya dia tidak memiliki tenaga. Hal itu kembali membuat nyonya Farah marah.

“Kau ini benar-benar tidak berguna! Mengangkat itu saja tidak bisa!”

Berbagai hinaan dan cacian keluar dari mulut ibu mertuanya, membuat Hakya tampak terdiam beberapa saat. Dalam hatinya mengutuk dirinya yang saat ini begitu lemah, dia kesal karena kekuatannya belum kembali.

Memang saat ini Hakya sedang menjalani sebuah ritual, dimana dia akan memperdalam ilmu penakluk api, dengan syarat dia tidak boleh berhubungan badan dengan wanita selama dua tahun, juga selama itu juga tubuhnya menjadi lemah dan tidak berdaya. Hakya mulai menjalani ritual itu adalah enam bulan sebelum dia bertemu kembali dengan Askara dan diminta untuk menikahi Kanaya.

Seharusnya ini adalah hari terakhir Hakya menjalani ritual itu, apalagi kalau melihat wajah cantik Kanaya, rasanya ingin sekali dia melanggar aturan dari ritual tersebut.

“Ini sangat berat, Ibu,” jawab Hakya dengan wajah memelas.

Rasanya tulang-tulang Hakya mau lepas karena berusaha untuk mengangkat barang-barang yang sangat berat itu. Dia sudah tidak sanggup lagi.

“Dasar tidak begrguna!” teriak nyonya Farah sambil mengibaskan kipas yang berada di tangannya sembari kakinya menendang Hakya yang terduduk di lantai.

“Katanya punya kekuatan, nyatanya nol besar. Entah mimpi apa kakek Askara menjodohkan lelaki tidak berguna ini kepada Kanaya,” gerutu nyonya Farah sembari berjalan menuju ke belakang gudang. Sementara itu pembeli sudah mulai sepi, sehingga terlihat Kanaya sedang menghela nafas lega.

Saat Hakya menatap ke arah sang istri, pandangan keduanya bertemu. Kebetulan di saat yang sama Kanaya juga menatap Hakya, dan dengan segera Kanaya memalingkan wajahnya. Seperti biasa Kanaya tidak pernah akan menatap Hakya.

“Pergilah beristirahat.”

Tiba-tiba suara Kanaya sudah berada tepat di belakang Hakya, membuat Hakya menatap Kanaya dengan pandangan yang sulit di artikan. Kanaya selalu memperhatikannya, walaupun sijapnya sangat dingin.

“Kamu selalu membuat aku semakin mencintai kamu, Kanaya,” jawab Hakya pelan sambil menunduk.

“Masuklah sebelum Ibu kembali memarahimu!” ujar Kanaya yang kemudian kembali meninggalkan Hakya menuju meja kasir.

Hakya hanya mengangguk, namun dia tidak mengindahkan Kanaya. Karena dia tahu kalau dia beristirahat lebih cepat, maka ibu mertuanya pasti akan sangat berang.

Hakya kembali mencoba meregangkan otot-ototnya.

“Arrghht! Kemana kekuatan itu. Katanya dua tahun, dan seharusnya hari ini semua sudah kembali normal!” teriak Hakya, namun hanya sebatas dalam hatinya.

Hakya merasa dia telah di tipu oleh Dewa Api, dia merasa sangat kecewa.

Braaak!

“Cepat bersihkan gudang sekarang!”

Nyonya Farah membanting sapu dan peralatan kebersihan lainnya ke hadapan Hakya. Seperti biasa, setelah pelanggan sepi Hakya yang bertugas membersihkan gudang, dan itu harus sampai bersih. Tidak boleh ada debu yang tersisa.

Dengan langkah gontai, Hakya mengambil semua itu dan berjalan menuju gudang.

"Biarkan Hakya beristirahat sebentar, Ibu. Kasihan dia kelelahan," ujar Kanaya di balik meja kasir.

"Diam kau, Kanaya!" teriak Nyonya Farah marah dan melotot ke arah Kanaya.

Hakya mulai membersihkan sampah dan ceceran beras dan tepung terigu yang berceceran di lantai, dan bahkan ada bekas tumpahan minyak juga di lantai. Hal itu membuat Hakya hanya bisa menggelengkan kepalanya, karena dia tahu membersihkan bekas minyak itu adalah hal yang paling dibencinya.

“Ah siapa sih yang buat ceroboh seperti ini, masak minyak sampai tumpah seperti ini?!” kesal Hakya.

Namun, tiba-tiba….

Brrrukkkk!

“Aaarrrrghht!”

Hakya terpeleset saat kakinya menginjak genangan minyak tersebut. Namun, ada hal yang berbeda dari respon tubuhnya, dia terjatuh kepalanya terbentur dan seluruh tubuh Hakya tampak menggigil.

Kepala Hakya rasanya berputar, pandangannya berkunang-kunang seperti banyak sekali bintang-bintang menari diatas kepalanya, hingga akhirnya semua menggelap.

Hakya jatuh pingsan.

Saat malam hari Hakya baru terbangun dari pingsannya, dia tidak tahu berapa lama dia pingsan, dan saat membuka matanya dia sudah berada di dalam kamarnya bersama Kanaya.

Hakya tidak melihat siapapun di dalam kamar itu, hanya ada satu gelas besar air putih yang terletak di atas meja, dan juga ada semacam ramuan berwarna hijau di dalam mangkuk.

Hakya duduk dan merentangkan tangannya, dan dia merasakan hal yang berbeda. Tubuhnya seperti memiliki kekuatan, dan Hakya tidak percaya dengan semua itu. Dia mendekatkan mangkuk yang berisi ramuan itu ke hidungnya dan dari baunya dia sudah paham ramuan apa itu.

“Ini obat untuk keseleo,” gumam Hakya.

Hakya membelalakkan matanya karena ternyata dia sudah mampu mengenali tumbuhan obat seperti sedia kala.

Hakya memejamkan matanya sejenak dengan kedua tangan di depan dada untuk membuktikaan kalau kekuatannya sudah kembali, dan ternyata dia bisa melihat dimana keberadaan sang istri. Ternyata Kanaya masih berada di toko.

Hakya sangat gembira, senyuman tersungging di bibirnya.

“Kekuatanku telah kembali!” teriak Hakya.

Kriet!

Pintu kamar tiba-tiba di buka, dan nyonya Farah tampak menyipitkan matanya saat dia melihat Hakya. Dia heran kenapa saat ini Hakya begitu bersinar.

“Dasar pembohong! Pura-pura pingsan agar tidak disuruh bekerja! Sekarang cepat ke toko!” teriak nyonya Farah kepada Hakya.

****

Hare Ra

Hai...haiii.. selamat datang di karya pertama saya. Terima kasih sudah mampir, semoga suka. Jangan lupa tambahkan ke rak yok..❤️

| 7
Comments (10)
goodnovel comment avatar
Kamarul Zaini
Dukungan dari saya semoga Author terus sukses dengan karya2nya....... lanjutttttt......
goodnovel comment avatar
Handika Pratama
semangat berkarya sehat selalu ya
goodnovel comment avatar
Zul Kifli
semoga semakin sukses
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status