Share

Tumbuh Tekad

Author: BundaBee
last update Last Updated: 2025-10-07 20:22:58

Pagi itu, Nadin kembali ke puskesmas dengan wajah letih, namun matanya menyimpan api kecil yang baru saja menyala. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Aku tidak boleh terus tenggelam. Kalau aku diam, aku akan hancur. Aku harus berdiri, meski pelan-pelan.

Suasana puskesmas ramai. Pasien antre, sebagian ibu hamil, sebagian lagi membawa anak-anak mereka yang demam atau batuk pilek. Nadin langsung sigap, mengenakan jas putihnya yang sederhana namun selalu rapi.

"Bu Bidan, tolong lihat anak saya. Semalam panasnya tinggi sekali," ujar seorang ibu muda dengan wajah panik.

Nadin meraih termometer dan dengan sabar memeriksa anak itu. "Tenang, Bu. Mari kita cek dulu suhunya, jangan khawatir berlebihan."

Setelah memeriksa, ia memberikan penjelasan singkat tentang perawatan rumah yang bisa dilakukan sambil menunggu resep obat dari dokter. Ibu muda itu mengangguk penuh syukur.

"Terima kasih banyak, Bu. Kalau sama Ibu, rasanya tenang," katanya.

Ucapan sederhana itu membuat hati Nadin menghangat. Setiap kali ia berada di puskesmas, ia merasa berharga. Pasien-pasien menghargai dedikasinya, meski ia hanyalah bidan honorer.

"Kalau di sini aku bisa dihormati, kenapa di rumah sendiri aku dipandang rendah?" Nadin bergumam lirih sambil menuliskan catatan medis.

Hari itu, ia sempat membantu persalinan seorang ibu muda. Bayi mungil lahir dengan tangisan keras, membuat seluruh ruangan lega. Nadin menggendong bayi itu sebentar, lalu menyerahkan pada ibunya. Senyum kebahagiaan di wajah sang ibu membuat Nadin merasa hidupnya tidak sia-sia.

"Selamat ya, Bu. Bayinya sehat sekali," ucap Nadin  suaranya lembut.

Seketika Nadin tersadar, inilah kekuatannya: ia bisa menjadi penolong, meski dirinya sendiri sedang terluka.

Pulang ke rumah.

Namun kebahagiaan itu hanya sebentar. Begitu Nadin sampai di rumah, ia kembali dihadapkan pada wajah mertuanya yang datar.

"Kamu pulang jam segini?

Rumah berantakan, siapa yang mau beresin kalau bukan kamu?" suara mertuanya menusuk telinga.

Nadin menunduk. "Iya, Bu. Saya langsung kerjakan."

Rama yang duduk di ruang tamu hanya diam, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Nadin sempat menatapnya sejenak, berharap ada pembelaan. Tapi yang ia dapat hanya keheningan.

Hatinya perih, tapi ia menahan. Aku harus kuat. Aku tidak boleh kalah.

Malam itu, setelah semua pekerjaan rumah selesai, Nadin duduk di kamar dengan buku catatannya. Ia menuliskan kalimat baru:

"Aku akan buktikan bahwa aku pantas. Aku tidak akan membiarkan kata-kata mereka membunuhku. Aku bukan sekadar bidan honorer. Aku punya arti."

Beberapa minggu kemudian, puskesmas mengadakan program penyuluhan kesehatan ibu hamil di desa. Nadin ditunjuk menjadi salah satu pemateri. Awalnya ia ragu, merasa dirinya tidak cukup pantas. Namun kepala puskesmas percaya padanya.

"Nadin, kamu yang paling sabar dan komunikatif. Saya yakin warga akan mudah menerima kalau kamu yang menyampaikan," ujar Bu Lilis, atasannya.

Nadin mengangguk pelan. "Baik, Bu. Saya akan coba."

Hari penyuluhan tiba. Aula desa penuh dengan ibu-ibu, sebagian membawa anak kecil. Nadin berdiri di depan, tangan dingin, suara sempat bergetar saat membuka acara.

"Selamat pagi, Ibu-Ibu. Hari ini kita akan belajar bersama tentang pentingnya pemeriksaan rutin saat hamil..."

Perlahan, kata-kata mengalir lancar. Nadin menjelaskan dengan sederhana, disertai contoh-contoh yang mudah dipahami. Sesekali ia tersenyum, sesekali ia bertanya balik untuk membuat suasana interaktif.

Ibu-ibu tertawa kecil, mengangguk, bahkan ada yang mencatat. Wajah-wajah mereka terlihat puas dan bersemangat.

Di akhir acara, seorang ibu berkata lantang, "Terima kasih, Bu Bidan. Penjelasannya gampang dimengerti. Saya jadi lebih semangat periksa rutin."

Tepuk tangan pun terdengar.

Nadin menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia merasa bangga-bukan pada dirinya sendiri saja, tapi karena ia bisa bermanfaat.

Momen itu menjadi titik balik. Nadin sadar, dirinya punya nilai yang tidak bisa dihapuskan hanya karena status "honorer."

Nadin mungkin beruntung punya pasien pasien yang baik, namun kemalangan nya adalah mempunyai Mertua yang Kian Tajam menghina profesinya.

Sayangnya, kabar keberhasilan Nadin tidak membuat rumahnya lebih hangat. Suatu sore, Bu Rahayu mendengar kabar dari tetangga tentang penyuluhan itu.

"Katanya kamu jadi pembicara di balai desa ya?" tanya Bu Rahayu.

Nadin mengangguk, tersenyum kecil. "Iya, Bu. Itu program dari puskesmas."

Alih-alih bangga, Bu Rahayu justru berkata dingin, "Ah, paling juga karena nggak ada orang lain. Kalau kamu itu kan statusnya cuma honorer, jadi suruh aja. Orang yang benar-benar penting pasti sibuk dengan urusan lain."

Ucapan itu membuat senyum Nadin pudar. Hatinya kembali teriris. Namun kali ini, ia tidak langsung menangis. Ia hanya menarik napas dalam-dalam.

"Kalau Ibu menganggap begitu, ya nggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa bantu orang lain."

Bu Rahayu menatapnya, seakan terkejut dengan jawaban itu. Nadin tidak lagi hanya diam atau menunduk. Ada ketegasan lembut yang baru muncul.

Malam itu, di kamar, Nadin memberanikan diri bicara pada Rama.

"Ram, aku tahu kamu sayang sama aku. Tapi aku juga butuh kamu ada buat aku. Bukan cuma di kamar, tapi juga di depan Ibu."

Rama terdiam, menunduk. "Nad, kamu tahu sendiri gimana Ibu. Aku susah kalau harus melawan dia."

Nadin menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku nggak minta kamu melawan. Aku cuma minta kamu berdiri di sampingku. Supaya aku tahu aku nggak sendirian."

Rama menggenggam tangan istrinya. Ada getar di genggamannya. "Aku janji, Nad. Aku akan coba lebih berani. Aku nggak mau kamu terus merasa sendirian."

Nadin tersenyum lemah. Ia tahu janji itu mungkin tidak akan mudah ditepati. Tapi setidaknya, Rama mulai menyadari luka yang selama ini ia pendam.

"Aku mulai belajar berdiri. Aku bukan perempuan lemah yang bisa diinjak seenaknya. Aku mungkin hanya bidan honorer, tapi aku tahu nilai diriku. Dan aku akan terus melangkah, meski satu per satu. dan aku akan buktikan kepada semua termasuk ibu mertua aku akan sukses"

Dengan itu, ia menutup bukunya, tersenyum tipis, lalu memejamkan mata. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidur dengan hati yang sedikit lebih ringan.

Nadin menarik napas panjang sebelum memejamkan mata. Ia tahu jalan di depannya masih penuh batu, tapi kini hatinya tidak lagi sama. Luka itu memang belum sembuh, namun tekadnya tumbuh. Dalam diam, ia berjanji: Aku akan bertahan, dan aku

Hari-hari berikutnya, Nadin lebih banyak tersenyum di puskesmas. Ia menemukan kekuatan baru di balik pekerjaannya. Setiap kali seseorang berterima kasih padanya, ia merasa sedikit lebih utuh.

Di rumah, ia masih sering mendapat komentar sinis dari Bu Rahayu. Namun kini, ia tidak lagi larut dalam tangis setiap malam. Sesekali ia membalas dengan jawaban tenang, sesekali ia hanya diam tanpa merasa kalah.

Dalam hati, Nadin bertekad: Aku akan buktikan. Bukan dengan kata-kata, tapi dengan perbuatan.

Malam itu, Dara kembali menulis di buku catatannya : Aku akan bertahan dan aku akan menang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MENANTU TANPA RESTU   Cobaan Dua Arah

    Pagi itu udara terasa berat. Nadin bangun lebih awal, matanya masih sembab karena kurang tidur. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa hari ini akan lebih baik. Namun, doa itu belum sempat selesai ketika kabar buruk datang di puskesmas. Kegaduhan di Puskesmas membuat Nadin yang tidak sepenuh nya siap menghadapi sedikit kewalahan. Seorang ibu muda masuk dengan wajah panik sekaligus marah. Di gendongannya, seorang balita tampak lemas. Suaranya menggema di ruangan. "Mana Bu Nadim? Saya mau ketemu sekarang!" Nadin yang sedang mengatur berkas pasien menoleh terkejut. Ia segera menghampiri dengan langkah cepat. "Saya di sini, Bu. Ada apa dengan anaknya?" tanyanya, berusaha tenang. Ibu itu menatapnya dengan mata berapi-api. "Anak saya makin parah setelah saya ikuti saran Ibu! Katanya cukup dikasih obat penurun panas, tapi sekarang malah kejang! Kalau sampai kenapa-kenapa, Ibu tanggung jawab!" Semua mata di puskesmas menoleh. Beberapa pasien berbisik-bisik, sebagian tampak tegang. Nadin m

  • MENANTU TANPA RESTU   Tumbuh Tekad

    Pagi itu, Nadin kembali ke puskesmas dengan wajah letih, namun matanya menyimpan api kecil yang baru saja menyala. Ia berjanji pada dirinya sendiri: Aku tidak boleh terus tenggelam. Kalau aku diam, aku akan hancur. Aku harus berdiri, meski pelan-pelan. Suasana puskesmas ramai. Pasien antre, sebagian ibu hamil, sebagian lagi membawa anak-anak mereka yang demam atau batuk pilek. Nadin langsung sigap, mengenakan jas putihnya yang sederhana namun selalu rapi. "Bu Bidan, tolong lihat anak saya. Semalam panasnya tinggi sekali," ujar seorang ibu muda dengan wajah panik. Nadin meraih termometer dan dengan sabar memeriksa anak itu. "Tenang, Bu. Mari kita cek dulu suhunya, jangan khawatir berlebihan." Setelah memeriksa, ia memberikan penjelasan singkat tentang perawatan rumah yang bisa dilakukan sambil menunggu resep obat dari dokter. Ibu muda itu mengangguk penuh syukur. "Terima kasih banyak, Bu. Kalau sama Ibu, rasanya tenang," katanya. Ucapan sederhana itu membuat hati Nadin menghangat

  • MENANTU TANPA RESTU   Luka Yang Samar

    Nadin terbangun dengan mata sembab. Malam tadi ia tidak benar-benar tidur. Setiap kali memejamkan mata, suara mertuanya kembali terngiang-tajam, dingin, dan penuh penilaian. Kata-kata itu menempel seperti duri, sulit dicabut. Ia melirik Rama yang masih terlelap di sampingnya. Wajah suaminya terlihat tenang, seakan tidak ada beban. Nadin menahan helaan napas panjang. Dalam hati ia iri pada ketenangan itu. Baginya, hidup di rumah ini seperti berjalan di atas pecahan kaca-setiap langkah bisa melukai. Pagi menjelang. Nadin tetap bangkit, meski tubuhnya terasa berat. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan sederhana. Tangan yang biasanya lincah kini gemetar, hampir menjatuhkan piring. "Assalamualaikum," suara mertuanya terdengar dari belakang. Nadin buru-buru menoleh. "Waalaikumsalam, Bu." Senyum yang ia pasang terasa kaku, sekadar formalitas. Mertuanya hanya melirik, lalu duduk di kursi ruang makan dengan tatapan menilai. "Rama suka sarapan yang agak berat, jangan cuma nasi sama tempe g

  • MENANTU TANPA RESTU   Luka Pertama

    Hujan baru saja reda sore itu, meninggalkan aroma tanah basah yang meruap ke udara. Nadin duduk di kursi kayu ruang tamu rumah besar bercat krem pucat, rumah mertuanya. Perasaan campur aduk menyeruak dalam dadanya: bahagia karena akhirnya resmi menjadi istri Rama, tapi juga canggung, sebab ia tahu sejak awal bahwa pernikahan mereka tidak sepenuhnya disambut hangat oleh keluarga suaminya. Nadin masih mengenakan kebaya sederhana, rambutnya disanggul rapi, namun hatinya resah. Beberapa jam lalu ia masih duduk di pelaminan, tersenyum terhadap tamu yang memberi selamat. Kini hanya ada Nadin, Rama dan tatapan tajam ibu mertuanya. "Jadi ini menantuku?" suara Bu Rahayu datar, dingin, tanpa senyum. Tatapan matanya menyapu Nadin dari ujung kepala hingga kaki. "Bidan, tapi honorer, kan?" Nadin menunduk. Ada nada sinis yang jelas terasa. "Iya, Bu. Saya baru ditempatkan di puskesmas kecamatan," jawab Nadin lirih, mencoba terdengar sopan. Bu Rahayu menghela napas panjang, lalu melirik Rama. "Ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status