Nadin terbangun dengan mata sembab. Malam tadi ia tidak benar-benar tidur. Setiap kali memejamkan mata, suara mertuanya kembali terngiang-tajam, dingin, dan penuh penilaian. Kata-kata itu menempel seperti duri, sulit dicabut.
Ia melirik Rama yang masih terlelap di sampingnya. Wajah suaminya terlihat tenang, seakan tidak ada beban. Nadin menahan helaan napas panjang. Dalam hati ia iri pada ketenangan itu. Baginya, hidup di rumah ini seperti berjalan di atas pecahan kaca-setiap langkah bisa melukai.
Pagi menjelang. Nadin tetap bangkit, meski tubuhnya terasa berat. Ia menuju dapur, menyiapkan sarapan sederhana. Tangan yang biasanya lincah kini gemetar, hampir menjatuhkan piring.
"Assalamualaikum," suara mertuanya terdengar dari belakang.
Nadin buru-buru menoleh. "Waalaikumsalam, Bu."
Senyum yang ia pasang terasa kaku, sekadar formalitas. Mertuanya hanya melirik, lalu duduk di kursi ruang makan dengan tatapan menilai.
"Rama suka sarapan yang agak berat, jangan cuma nasi sama tempe gini, Nad," ucapnya datar, tanpa menatap langsung.
Nadin menunduk. "Iya, Bu. Maaf Besok saya usahakan lebih lengkap."
Dalam hatinya, Nadin ingin berkata bahwa ia hanya memasak sesuai kemampuan. Gaji honorer bidan yang tidak seberapa membuatnya harus mengatur tiap rupiah. Tapi kata-kata itu hanya berputar di kepalanya, tak pernah keluar dari bibir.
Tak lama, Rama masuk dengan wajah masih mengantuk. "Pagi, Bu, Ra..." katanya sambil duduk.
Nadin menatapnya penuh harap-mungkin Rama akan berkata sesuatu untuk menyeimbangkan suasana.
Namun, yang keluar dari mulut suaminya hanyalah, "Nad, nanti siang jangan lupa cuciin kemeja biru ya. Aku ada rapat."
Sekali lagi, Nadin merasa dirinya hanya bayangan.
Sepulang dari puskesmas, Nadin berjalan pelan menuju rumah. Langkahnya gontai, bukan hanya karena lelah bekerja, tapi juga karena enggan menghadapi rumah yang penuh tatapan sinis. Sepanjang jalan, ia mengingat bagaimana pasien-pasien di puskesmas justru menyapanya dengan ramah. Mereka menghargai kerjanya, meski ia hanyalah tenaga honorer dengan seragam sederhana.
"Kalau di luar, aku bisa dihargai. Tapi kenapa di rumah sendiri, aku selalu dianggap rendah?" pikirnya getir.
Saat sampai, pintu rumah setengah terbuka. Dari dalam, terdengar suara mertuanya bercakap dengan tetangga.
"Iya, anak saya nikah sama bidan. Tapi bidan honorer saja. Kerjanya nggak tetap, gajinya kecil. Ya saya cuma kasihan sama Rama, harus hidup susah."
Tubuh Nadin membeku di depan pintu. Kata-kata itu menampar, menelanjangi harga dirinya. Air matanya hampir jatuh, tapi ia buru-buru menghapus sebelum masuk.
"Permisi, Bu..." suaranya pelan ketika melewati ruang tamu.
Mertua dan tetangga menoleh. Senyum basa-basi muncul, tapi Nadin tahu itu hanya sekadar topeng.
Malam itu, Nadin duduk di tepi ranjang, menatap lantai tanpa suara. Rama sibuk dengan ponselnya.
"Ram..." panggil Nadin lirih.
Rama mendongak. "Hm?"
"Kamu dengar nggak obrolan Ibu tadi siang sama Bu Wati?" tanyanya, nyaris berbisik.
Rama mengerutkan dahi. "Nggak. Memangnya kenapa?"
Nadin menelan ludah. "Ibu bilang... dia kasihan sama kamu, karena nikah sama aku yang cuma bidan honorer."
Suasana hening sejenak. Rama meletakkan ponselnya, menatap istrinya. "Nad, jangan terlalu dipikirin. Ibu memang orangnya suka ngomong gitu."
"Tapi sakit, Ram..." Nadin menunduk, bahunya bergetar. "Aku merasa seolah-olah semua yang kulakukan selalu salah. Apa aku memang nggak pantas jadi istrimu?"
Rama mendekat, memegang tangannya. "Kamu pantas. Jangan mikir aneh-aneh. Aku nikahin kamu karena aku cinta, bukan karena status atau gaji."
Nadin mengangkat wajahnya, menatap mata Rama. Ada kehangatan, tapi juga ada keraguan. Suaminya memang menenangkan, tapi tidak pernah benar-benar membela.
"Kalau kamu cinta aku..." Nadin berhenti sejenak, suaranya bergetar. "...kenapa kamu nggak pernah tegak di hadapan Ibu?"
Pertanyaan itu membuat Rama terdiam. Bibirnya bergerak, tapi tak ada kata keluar.
Keheningan menyelimuti kamar. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, seakan mengingatkan bahwa waktu terus berjalan sementara luka Nadin semakin dalam.
Esoknya, Nadin berangkat kerja dengan mata bengkak. Rekan-rekan di puskesmas sempat menanyakan, tapi ia hanya menjawab singkat, "Kurang tidur."
Sepulang kerja, ia kembali harus menghadapi kenyataan. Di ruang tamu, mertuanya menatapnya sambil berucap, "Nad, jangan pulang terlalu sore. Istri itu harus bisa ngurus rumah, bukan sibuk di luar terus."
Nadin tersenyum pahit. "Iya, Bu."
Di kamarnya, ia terjatuh di ranjang. Tangannya menutupi wajah, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Untuk kesekian kali, ia bertanya dalam hati: sampai kapan ia bisa bertahan dalam rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, tapi justru penuh luka?
Malam itu, setelah perdebatan kecil dengan Rama, Nadin tidak bisa tidur. Ia berbaring sambil menatap langit-langit, jantungnya berdegup tak karuan. Pikiran demi pikiran berlarian liar di kepalanya.
"Kalau aku terus begini, aku bisa hancur sendiri," batinnya.
Ia ingin keluar dari kamar, berjalan keluar rumah sekadar mencari udara segar. Tapi ia tahu, kalau mertuanya melihat, mungkin akan ada komentar baru lagi: "Istri kok malam-malam keluyuran, nggak bisa diem di rumah."
Akhirnya, Nadin hanya bisa menarik selimut, membungkus tubuhnya rapat-rapat. Air matanya kembali jatuh, membasahi bantal.
Keesokan harinya, Nadin sengaja berangkat lebih awal ke puskesmas. Jalanan pagi masih lengang, udara sejuk menusuk kulit. Aneh, justru di luar rumah ia merasa lebih bebas bernapas.
Di puskesmas, ia disambut hangat oleh pasien-pasien yang datang berobat. Seorang ibu hamil muda bahkan sempat memegang tangannya dengan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih ya, Bu Bidan. Kalau bukan karena saran Ibu, mungkin saya masih takut untuk periksa rutin," katanya tulus.
Nadin tersenyum, kali ini senyum yang benar-benar dari hati. "Sama-sama, Bu. Saya hanya melakukan kewajiban saya."
Saat itu, Nadin merasakan sesuatu yang hilang di rumahnya: penghargaan.
Namun kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama. Sesampainya di rumah sore hari, ia langsung disambut tatapan tajam mertuanya.
"Kamu kalau pulang kerja jangan langsung masuk kamar. Lihat rumah ini. Lantai belum disapu, jemuran masih di luar. Apa kamu pikir jadi istri cukup cari uang?"
Nadin menunduk, menahan air mata. "Maaf, Bu. Saya langsung kerjakan sekarang."
Ia meletakkan tas di kamar, berganti baju, lalu segera menyapu dan menarik jemuran. Hatinya menjerit, tapi mulutnya tetap diam.
Saat malam tiba, Nadin berharap bisa sedikit beristirahat. Namun, saat ia baru saja menyiapkan teh hangat untuk dirinya sendiri, mertuanya kembali bicara.
"Nad, kamu itu harus tahu diri. Jangan banyak ngeluh. Istri itu ukurannya bukan dari sekolah atau kerjaannya, tapi dari bagaimana dia ngurus suami dan rumah. Kalau cuma kerja, pembantu juga bisa."
Ucapan itu menusuk dalam. Nadin hanya bisa menggenggam gelas tehnya erat-erat, takut air matanya jatuh di depan mertuanya.
Di kamar, Rama baru pulang kerja. Nadin mendekatinya dengan hati-hati.
"Ram.. aku capek." Suaranya hampir tak terdengar.
Rama menoleh, lalu mengusap bahu Nadin sebentar. "Aku tahu kamu capek, tapi sabar ya. Namanya juga tinggal sama orang tua, pasti ada penyesuaian."
Nadin menatapnya, air mata memenuhi pelupuk. "Tapi kamu tahu nggak rasanya dipandang rendah terus? Rasanya aku nggak pernah cukup."
Rama terdiam. Ia ingin berkata sesuatu, tapi yang keluar hanyalah, "Ya, nanti lama-lama Ibu bisa terima kamu. Jangan dipikirin terlalu dalam."
Nadin menggeleng lemah. "Kalau aku terus diam, aku bisa habis, Ram. Kamu ngerti nggak?"
Pertanyaan itu menggantung di udara. Rama menunduk, tak sanggup menatap mata istrinya.
Malam itu, Nadin menulis di buku catatan kecilnya. Ia menuliskan semua perasaan yang tak pernah bisa ia ucapkan dengan lantang.
"Aku lelah. Tapi aku masih cinta. Aku ingin bertahan, tapi aku juga ingin dihargai. Kalau aku terus diperlakukan begini, entah sampai kapan aku bisa kuat."
Setiap huruf yang ia tulis terasa seperti tetes darah dari hatinya.
Hari-hari berikutnya berjalan sama. Nadin bekerja, pulang, lalu kembali menghadapi cemoohan. Ia mulai jarang bicara, lebih banyak diam. Namun dalam diam itu, ada sesuatu yang perlahan tumbuh sebuah tekad kecil untuk membuktikan bahwa ia bukan perempuan lemah seperti yang dikira mertuanya. Ia tahu, luka ini tidak akan hilang dalam semalam.
Tapi Nadin mulai menyadari, ia tidak bisa terus-menerus hanya menangis. Ada harga diri yang harus ia jaga, meski ia harus berdiri sendirian.